Sinar Redup Sang Guru

Guru Sebagai Matahari  


Guru bukanlah sorang onderwijzer, yang minta disebut “Meneer” atau “Tuan” oleh murid-muridnya dan selalu memberikan perintah-perintah. Seorang guru bisa dibandingkan dengan matahari, yang bersinar ke seluruh penjuru dan memberikan tenaga (daya) kepada segala yang hidup: ia memberi tenaga batin yang bermanfaat bagi kehidupan anak-anak. Kenyataan bahwa guru bisa dibandingkan dengan matahari berarti bahwa, jika seseorang tidak bisa memancarkan sinar, maka ia belum mampu menjadi matahari. - Soedyono (Gajah Mada) dalam Karangan Didiklah Kamu Sendiri, Majalah Pusara Oktober 1931


Soedyono adalah rekan kerja dari KHD (Ki Hajar Dewantara), dalam karangan yang dia terbitkan banyak terpengaruh oleh pemikiran KHD mengenai konsep pendidikan. Artikel ini tidak akan membahas mengenai tulisan Soedyono dalam karangannya yang terdiri dari tujuh bagian tersebut, namun saya akan coba mengurai bagaimana potongan dari karangan tersebut, mengenai laku hidup seorang guru layaknya matahari. 


Siapa yang tidak tahu matahari? Begitu banyaknya manfaat terhadap kehidupan. Jika sinar matahari yang didapatkan pas, akan menjadi “bahan bakar” tumbuhan untuk melakukan fotosintesis,  Sinar matahari kaya akan vitamin D bagi manusia. Bagian ini mencoba untuk menelaah bagaimana fungsi dan manfaat dari sinar matahari, jika sekarang sinar matahari itu kita analogikan sebagai manusia seperti apa yang dipikirkan oleh Soedyono, fungsi dan manfaat apa yang bisa anda berikan dalam memancarkan sinarnya?


Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang reflektif terhadap diri anda dan saya pula. Apakah selama ini dalam kehidupan, atau selama saya mengajar saya kerap memancarkan sinar untuk memberi manfaat positif bagi lingkungan dan peserta didik saya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan sulit saya jawab sebelum kita dapat mengurai pemikiran dari Soedyono tersebut. 


Jika dapat kita urai, pertanyaan pertama yang dapat kita ajukan adalah apa yang menjadikan manusia memiliki sinar? Apakah anda akan menjawab pendidikan? Tentu pendidikan menjadi satu alternatif dalam jawaban tersebut, karena dengan pendidikan akan membedakan setiap individu dari pikiran dan tingkah lakunya. 


Manusia akan selalu haus ilmu dari pendidikannya untuk menjawab tantangan yang ada di dunia ini, baik untuk kebutuhan hidupnya atau untuk sebagai pengetahuan. Guru memiliki tanggung jawab sebagai manusia yang bersinar. Bagaimana guru bisa bersinar? Dengan kesederhanaan pengetahuan saya salah satunya adalah melaksanakan pendidikan pada jenjang pendidikan berikutnya. Setiap saat Guru dihadapkan dunia yang berubah, pengetahuan yang dahulu terasa benar mungkin akan kurang relevan dengan perkembangan zaman. Guru dalam proses bersinarnya harus menyelami dunia pengetahuan yang bisa didapat dari mana saja. Seperti apa yang dibilang Ki Hajar Dewantara, Setiap orang adalah guru dan setiap tempat adalah sekolah. 


Guru Bersinar Walau Redup


Jika dikaitkan dengan tulisan sebelumnya cara guru bersinar adalah dengan melanjutkan pendidikan pada institusi pendidikan tinggi. Syarat menjadi seorang guru sudah memprioritaskan guru dengan strata satu untuk bisa mengajar. Saat sudah mendapat gelar sarjana, para guru kini harus mengikuti Pendidikan Profesi Guru Pra Jabatan untuk penempatan ke sekolah-sekolah, karena proses rekrutmen honorer itu sudah ditiadakan. Jika diakumulasikan untuk menjadi guru durasi waktu yang diperlukan adalah sekitar lima sampai enam tahun pembelajaran. 


Lima sampai enam tahun adalah sebuah proses yang cukup baik untuk menjaga “sinar” guru agar bisa menjadi matahari, namun menurut hemat saya untuk sampai pada pengetahuan bangku akademik di strata satu terdapat kekurangan, karena terlalu banyak mata kuliah yang didapatkan sehingga kadang mahasiswa keguruan kehilangan fokus. Penulis merekomendasikan untuk para guru untuk menjawab tantangan masa depan dan menjadi matahari. Bagi guru yang sudah lama menjalani profesi guru suatu keharusan untuk melanjutkan pada strata dua (S2)  dan strata tiga (S3) selain dari pada itu juga bisa mengikuti beberapa pelatihan secara berkala untuk upgrade pengetahuan. 


Dengan mengikuti perkuliahan kembali seorang guru akan lebih menunduk, dan lebih menghayati pengetahuan, tidak lagi bersikap angkuh dan sombong seakan akan menegasikan pengetahuan teoritis dan lebih mementingkan tataran praktikal yang masih meraba-raba. Dalam ruang akademik, siapapun yang memiliki pengetahuan yang banyak dan bermanfaat seorang jangan ragu untuk "bersimpu di kakinya" walaupun ia masih sangat belia, hirarkis usia hanya sekedar hormat menghormati, perdebatan atas nama kebenaran akan selalu ditegakan tanpa pandang bulu.  


Terdapat sebuah adagium yang normal bahwa murid akan selalu pandai dari gurunya, namun kesempatan untuk lebih pintar dari pada gurunya terkadang dimatikan di dalam ruang kelas yang kerap tidak ada dialog. Penguasa kecil, dalam artian guru menjadi tiran dalam balairung kelasnya. Hal ini cukup berbahaya, guru harus menempatkan dirinya secara egaliter dengan muridnya ketika ada di ruang kelas. Keduanya saling "menyinari".


Ketika seorang guru sudah menaruh minatnya untuk melaksanakan pendidikan lanjutan ia berhadapan dengan biaya, memang untuk pendidikan bagi guru, dosen, dan tenaga kependidikan sudah banyak beasiswa-beasiswa yang ada, namun jarang sekali beasiswa tersebut diperbolehkan mengambil kelas non reguler, harus kelas reguler untuk itu harus meninggalkan pekerjaan di sekolah, yang berarti pendapatan yang didapatkan akan juga berkurang. 


Primum vivere, deinde philosophari (Berjuang dulu untuk hidup, barulah boleh berfilsafah) - Aristoteles. Kutipan ini disampaikan ulang oleh N. Daldjoeni seorang ahli Gegrafi,  dalam kutipan tersebut Daldjoeni mengatakan: kegiatan berilmu dapat dimungkinkan bagi seseorang yang sudah tidak disibukan oleh perjuangan sehari-hari mencari nafkah. 


Terjadi dilema untuk melanjutkan pendidikan, karena dengan gaji seorang guru yang jauh dari kata cukup, sedangkan intensi seorang guru yang harus bersinar ia perlu memperluas cakupan pengetahuannya, ia perlu memperluas cakrawala pikir untuk mendidik peserta didiknya dengan penuh kebijaksanaan,.


Guru bersinar dalam redupnya ia akan fokus melihat peluang-peluang di luar pekerjaannya ia disibukkan dengan nafkah dibandingkan untuk memupuk pengetahuannya dalam mengajar. Dalam redupnya tak terasa sedikit lagi sinarnya akan padam– ia kehilangan sinarnya, Pengetahuan dalam dirinya hilang. Jika ini berlanjut pendidikan kita akan tetap tiarap tanpa memikirkan bagaimana guru bisa menjadi bangsawan pikir yang bersinar.


Terima kasih telah membaca, dukungan anda dalam proses kreatif penulisan sangat amat berarti, jika anda ingin mendukung saya silahkan bisa dilakukan di sini