Muhammad Syafei
Indonesisch Nederlandsche School (INS) Kayu Tanam, Indonesia Nippon School Kayu Tanam, Institut Nasional Syafei Kayu Tanam atau yang sering kita kenal dengan nama SMA Plus INS Kayu tanam adalah salah satu sekolah unggulah sejak zaman penjajahan belanda di Indonesia. Sekolah yang terletak di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat ini didirikan pada tahun 1926, oleh seorang tokoh dalam sejarah panjang pendidikan Indonesia, beliau bernama Dr. Muhammad Sjafei.
Dr. Muhammad Sjafei (Mohammad Syafei) adalah seorang tokoh pejuang pergerakan dan pendidikan Indonesia. Mohammad Syafei lahir di Ketapang, Kalimantan Barat pada tahun 1893. Mohammad Syafei adalah anak angkat dari Anduang Khalijah dan Engku Ibrahim Marah Sutan. Mereka bertemu saat Marah Sutan bertugas mengajar di Pontianak. Mohammad Syafei yang saat itu masih lagi anak-anak bertemu di sekolah tempat Engku Ibrahim Marah Sutan mengajar. Mohammad Syafei datang ke sana bukan sebagai murid untuk belajar tapi untuk menjajakan makanan/kue kecil yang dibuat oleh ibunya. Sambil menjajakan makanan tadi, Syafei kecil ikut mencuri dengar dan menyimak pelajaran yang diberikan oleh Engku Ibrahim Marah Sutan dari balik jendela kelas. Bahkan, Syafei kecil pun ikut bersuara di balik tembok ruangan ketika seisi kelas diajak bernyanyi oleh Marah Sutan. Sifat demikian membuat Sutan tertarik akan sosok Syafei kecil dan mencari tahu mengenai anak kecil ini
Kemudian Pada tahun 1904, di usia sepuluh tahun Mohammad Syafei belajar di Sekolah Melayu di Pidie, Aceh. Pada pertengahan tahun 1907, Mohammad Syafei pindah ke Sekolah Melayu di Pontianak. Setahun kemudian, beliau dikirim oleh orang tua angkatnya ke Sekolah Raja atau Kweekschool di Fort de Kock (Bukittinggi) setelah berhasil lulus di ujian masuk sekolah bergengsi ini yang juga adalah almamater Engku Ibrahim Marah Sutan.Pada tanggal 31 Mei 1922, Mohammad Syafei berangkat ke Belanda untuk belajar pendidikan kerajinan tangan dengan menumpang kapal Oranje menuju Genoa, Italia. Pelepasan keberangkatan Mohammad Syafei diadakan dengan meriah di Kartini School, sekolah tempat beliau mengajar pada tanggal 25 April 1922[18][19]. Pada acara yang sama, Sukardi saudara angkat Mohammad Syafei berpidato ikut melepas[18]. Kepergian Mohammad Syafei ke Belanda adalah untuk melihat dinamika kenapa dan bagaimana sebuah negeri kecil yang daratannya lebih rendah dari permukaan air laut di Eropa Barat itu bisa maju dan kuat serta mampu menguasai Nusantara begitu lamanya.
Sebagai anak angkat dari Ibrahim Marah Sutan, seorang aktivis kemerdekaan dan intelektual besar Minangkabau yang paham bahwa bangsa Indonesia harus berjuang melalui pendidikan dari dan untuk mereka sendiri, Mohammad Syafei telah menjadi bagian dari kerja-kerja politik perjuangan kemerdekaan. Bersama ayahnya, Mohammad Syafei menjadi anggota aktif De Indische Partij dan partai penerusnya, Insulinde.
Selain itu, selama masa-masa tugas belajar di negeri Belanda,Mohamamd Syafei ikut bergabung dalam wadah pergerakan mahasiswa Indonesia di Belanda, De Indische Vereeniging/Perhimpun an Hindia. Melalui organisasi mahasiswa ini, Mohammad Syafei bertemu dan berkenalan dengan para aktivis Indonesia yang sama-sama belajar di Belanda. Pertemanan dan koneksi ini kemudian hari membawa Mohammad Syafei aktif dalam usaha pergerakan kemerdekaan di tanah air, usaha-usaha bersama menjaga kemerdekaan, dan kemudian mengisi kemerdekaan. Kontribusi besar darin Mohammad Syafei dan selalu dikenang adalah pendirian sekolah bersejarah INS Kayutanam di desa kecil bernama Kayutanam. Nama harum sekolah pendidikan jaman kolonial di mana sekolah adalah tempat untuk menghasilkan INS Kayutanam dalam lembaran sejarah Indonesia tidak terlepas dari orisinalitas konsep pendidikan yang diajukan Mohammad Syafei yang tidak hanya melawan kelaziman pegawai rendahan di dalam sistem pemerintahan kolonial yang jelas sangat merugikan bangsa Indonesia, tapi juga sebuah konsep pendidikan yang bertujuan untuk menggali dan membentuk identitas manusia Indonesia itu sendiri.
Pada masa pendudukan Jepang, Mohammad Syafei ditunjuk sebagai ketua Chuo Sang-In Sumatera Tengah yang berkedudukan di Bukittinggi[27][28][29][30]. Ketika Jepang menyerah ke pada Sekutu, Mohamamd Syafei membacakan naskah proklamasi di Bukittinggi pada 29 Agustus 1945. Naskah proklamasi ini adalah naskah yang sama dibacakan Soekarno dan Mohammad Hatta di Jakarta pada 17 Agustus 1945.
Pada masa awal kemerdekaan, kegiatan belajar dan mengajar tidak serta-merta dapat dilangsungkan begitu saja. Situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pendidikan, segala perhatian dan usaha tercurah untuk menjaga kemerdekaan. INS Kayutanam pada waktu itu menjadi pusat pergerakan di Sumatera Barat, termasuk pusat diplomasi kebudayaan Indonesia.
Pada masa awal kemerdekaan, kegiatan belajar dan mengajar tidak serta-merta dapat dilangsungkan begitu saja. Situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pendidikan, segala perhatian dan usaha tercurah untuk menjaga kemerdekaan. INS Kayutanam pada waktu itu menjadi pusat pergerakan di Sumatera Barat, termasuk pusat diplomasi kebudayaan Indonesia.
Sebagai sebuah usaha untuk mendukung diplomasi pengakuan kemerdekaan Indonesia, Mohammad Syafei mendirikan Ruang Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan di Padang Panjang. Institusi ini menjadi sendi utama diplomasi pendidikan dan kebudayaan Indonesia di Sumatera Barat dengan menyelenggarakan berbagai kegiatan pendidikan dan kesenian seperti perpustakaan, museum kerajinan tangan daerah, sandiwara rakyat, sendratari, dan berbagai bentuk kesenian lain nya. Sasaran nya adalah tamu dari Jawa dan para rombongan tamu negara asing yang hendak berkunjung ke Bukittinggi, Ibukota Indonesia saat itu. Tujuannya adalah agar para tamu pemerintah pusat dan wakil presiden yang berkunjung ke Bukittinggi dapat dijamu dan melihat eksistensi bahwa Republik Indonesia masih ada dan memiliki kebudayaan khas.
Dikarenakan sangat sulit nya untuk mengumpulkan segala bahan untuk mendirikan Gedung Ruang Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan dan menyelenggarakan kegiatan, maka semua bahan dan alat yang dibutuhkan dibawa dari kampus INS Kayutanam. Alat-alat pertukangan dan lima puluh orang siswa dibawa ke Padang Panjang untuk menyiapkan gedung ini dan persiapan mobilisasi perang berupa pembuatan senjata dan amunisi yang nanti hasil nya akan dibagikan ke pada seluruh rakyat nanti.
Setelah kemerdekaan, Mohammad Syafei ikut aktif dalam membangun Republik Indonesia. Di masa awal kemerdekaan, Engku Mohammad Syafei diangkat sebagai Residen Sumatera Barat. Jabatan ini tidak lama dipegang, segera pada Oktober 1945 Engku Mohammad Syafei memilih mengundurkan diri. Sepanjang 12 Maret 1946 hingga 2 Oktober 1946, Engku Mohammad Syafei diminta mengurusi bidang pendidikan dengan menjadi Menteri Pengajaran Indonesia pada Kabinet Sjahrir II menggantikan Todung Sutan Gunung Mulia. Pada Pemilu 1955, Engku Mohammad Syafei ikut terjun berpolitik, namun tidak terpilih menjadi anggota parlemen karena kekurangan suara.
Pada peristiwa pergolakan daerah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berlangsung dari 1958-1961, situasi dan kondisi memaksa Engku Mohammad Syafei untuk bergabung dengan gerakan ini dengan menjadi Menteri Pendidikan dan Kesehatan PRRI. Walau pun perang hanya berlangsung selama tiga tahun, namun kegiatan belajar di sekolah INS Kayutanam terlantar cukup lama. Selama masa perang saudara itu, kampus INS Kayutanam mengalami kerusakan yang cukup parah. Pada tahun 1968, Mohammad Syafei kembali ke Kayutanam untuk membangun INS yang terlantar akibat perang. Selain membangun dunia pendidikan melalui INS Kayutanam,Mohammad Syafei juga turut membantu pendirian Sekolah Tinggi Hukum Pancasila di Padang, yang kemudian hari menjadi Fakultas Hukum Universitas Andalas.
Kontribusi besar Engku Mohammad Syafei ke pada Republik Indonesia tidak hanya ada melalui sekolah INS Kayutanam yang beliau rintis dan dirikan di Nagari Kayutanam, Sumatera Barat. Sekembalinya beliau menuntut ilmu di negeri Belanda sepanjang tahun 1922 hingga 1925, beliau memfokuskan diri untuk mendirikan sebuah sekolah untuk anak-didik Indonesia dengan sistem pendidikan yang sesuai dengan jati diri luhur bangsa Indonesia.
Ajisman mencatat bahwa dalam usaha-usaha beliau mendirikan sekolah ini beliau menolak berbagai bentuk tawaran pekerjaan yang tentunya dapat membuat beliau dan orang tua beliau hidup dengan mapan. Tawaran pekerjaan itu adalah sebagai redaktur di Volkslecuur (kemudian berubah menjadi Balai Poestaka) dan tawaran posisi dosen bahasa Indonesia di Universitas Leiden dengan gaji 4000 gulden dan tiket pulang-pergi ke Hindia Belanda[9]. Pada 31 Oktober 1926, Engku Mohammad Syafei mendirikan Indonesische-Nederlandsche School (INS) di Kayutanam, Sumatera Barat. Sekolah menjadi nasional, dan merupakan reaksinya terhadap pendidikan kolonial waktu itu, yang hanya bertujuan untuk mempersiapkan anak-anak pribumi menjadi pegawai rendahan Belanda. Tujuan pendidikan yang diamanatkan Mohammad Syafei adalah anak didik yang berketerampilan dan punya daya kreatif melalui tiga komponen utama yaitu memberdayakan tenaga agar murid bisa bekerja, memberdayakan otak agar murid bisa berpikir, dan memberdayakan jiwa agar murid bisa merasa.
Keberadaan INS Kayutanam serupa dengan sekolah-sekolah nasionalis lainya, seperti Taman Siswa, yang menjadikan sekolah sebagai tempat mengasah pikiran sehingga lahir generasi kritis dan sadar akan nasib bangsa. Pada waktu itu sekolah dan politik tidak bisa dipisahkan, karena ia hadir di tengah pergerakan nasional. Nilai-nilai yang hadir di masa perjuangan tersebut sepantasnya diteruskan kepada generasi bangsa di era digital, sehingga peka terhadap kemaslahatan orang banyak (bangsa).
Jasa-jasa Engku Mohammad Syafei di bidang pendidikan tidak hanya sampai dalam pendirian sekolah menengah. Beliau juga tercatat sebagai tokoh yang mempelopori berdirinya Sekolah Tinggi Hukum Pancasila di Padang (Perguruan Tinggi Pertama di Sumatera, kemudian lebur menjadi Fakultas Hukum, setelah berdirinya Universitas Andalas 1956).
Engku Mohmmad Syafei dikenal tidak hanya sebagai tokoh pendidik yang berpikiran moderen dalam zaman penjajahan, namun juga dikenal sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang berada di garis depan pemimpin Sumatera. Ia pernah menjadi Ketua Dewan Sumatera (masa pendudukan Jepang). Pada masa awal kemerdekaan dipercaya memerankan diri atas nama bangsa Indonesia di Sumatera membacakan lagi teks proklamasi 17 Agustus 1945, sekaligus menyatakan:
“ “Maka kami Bangsa Indonesia di Sumatera dengan ini mengakui Kemerdekaan Indonesia seperti dimaksud dalam Proklamasi di atas dan menjunjung keagungan kedua pemimpin Indonesia itu”. ”
Teks ini dibacakan pada pada tanggal 29 Agustus 1945. Mohammad Syafei dipercaya pula menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia daerah (KNID) dan kemudian menjadi Residen pertama Sumatera Barat. Pemikiran tentang Kurikulum (pengajaran) yaitu dapatdilihat pada seluruh proses pengajaran akademik, keterampilan dan akhlaq mulia terintegrasi dalam pelaksanaan pendidikan berbasis bakat dan minat sesuai dengan potensi anak, dilaksanakan dengan cara kreatif, bertanggung jawab, disiplin berdasarkan sifat dan jiwa anak.