Pernikahan di Era Sekarang : Antara Harapan Suci dan Kenyataan yang Tak Selalu Indah
"Indah di awal, rapuh di tengah perjalanan?"
Oleh : Fadly Noor Adha Fuad, S.Sos
Penghulu Ahli Pertama KUA Sukahaji
Oleh : Fadly Noor Adha Fuad, S.Sos
Penghulu Ahli Pertama KUA Sukahaji
Pernikahan adalah ikatan suci, momen sakral yang disaksikan oleh langit dan bumi, serta menjadi tonggak awal terbentuknya masyarakat. Namun di era modern, nilai-nilai luhur pernikahan semakin diuji. Teknologi berkembang, gaya hidup berubah, dan arus budaya global masuk tanpa filter. Semua ini berdampak pada cara pandang masyarakat terutama generasi muda terhadap pernikahan.
Kini, pernikahan bukan hanya urusan agama atau keluarga, tapi juga citra, tren, bahkan bisnis. Akibatnya, pernikahan seringkali dibangun di atas fondasi yang rapuh: ekspektasi tinggi, minim persiapan, dan kurangnya pemahaman.
Di masa lalu, pernikahan dianggap sebagai ibadah, komitmen jangka panjang, dan tempat menunaikan amanah ilahi dalam membangun keluarga. Kini, banyak pasangan muda melihat pernikahan sebagai ajang menunjukkan status sosial atau bahkan pelarian dari tekanan hidup.
Sering muncul fenomena:
- Menikah karena merasa “sudah waktunya”, bukan karena siap.
- Menikah karena bosan hidup sendiri, bukan karena paham tujuan hidup berpasangan.
- Menikah karena tren media sosial, bukan karena cinta yang berlandaskan iman.
Tak heran jika angka perceraian muda melonjak dalam 1–3 tahun pertama pernikahan. Karena ketika realita tak seindah mimpi, banyak yang menyerah.
Badan Peradilan Agama mencatat bahwa lebih dari 50% kasus perceraian di Indonesia terjadi pada pasangan dengan usia pernikahan di bawah lima tahun. Penyebabnya beragam, namun mayoritas disebabkan oleh:
- Kurangnya kesiapan mental dan emosional
- Kecemburuan dan pertengkaran kecil yang terus menumpuk
- Ketiadaan komunikasi sehat dalam rumah tangga
- Masalah ekonomi yang tidak diantisipasi sejak awal
Pernikahan yang tidak dibekali dengan pendidikan pra-nikah cenderung mudah goyah
Tren "Nikah muda" kini kembali populer, digaungkan oleh sebagian figur publik dan konten kreator. Namun kenyataannya, banyak pernikahan muda berakhir prematur.
Meskipun secara agama pernikahan usia muda diperbolehkan, namun kedewasaan dalam berpikir dan bersikap tidak bisa diukur dari umur semata.
Mereka belum selesai dengan pencarian jati diri, tapi sudah harus mengurus dapur, popok, dan tagihan.
Media sosial adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia bisa menjadi sarana belajar dan inspirasi. Tapi di sisi lain, ia bisa menjadi sumber krisis rumah tangga.
Banyak suami istri yang:
- Terlalu sibuk bermain gadget hingga lupa berinteraksi.
- Membandingkan pasangannya dengan konten 'pasangan ideal'.
- Selingkuh secara emosional lewat aplikasi pesan.
- Mengumbar konflik pribadi ke publik hanya demi validasi.
Permasalahan ekonomi menjadi salah satu penyebab utama perceraian. Namun di era ini, tekanan ekonomi bukan hanya soal kebutuhan pokok, tetapi juga tuntutan gaya hidup.
Banyak pasangan yang:
- Terjebak dalam standar hidup yang dipaksakan
- Menikah tanpa tabungan atau perencanaan keuangan
- Terlilit utang setelah resepsi karena mengutamakan gengsi daripada fungsi
Untuk mengatasi berbagai permasalahan pernikahan di era sekarang, kita perlu mengembalikan makna pernikahan pada hakikatnya: sebagai ibadah, amanah, dan jalan menuju keberkahan hidup, bukan sekadar formalitas sosial atau ajang pencitraan. Adapun beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan adalah:
Program Bimbingan Perkawinan (Bimwin) yang difasilitasi KUA harus terus diperkuat, tidak hanya sekadar penyampaian materi, tetapi benar-benar membekali calon pengantin dengan kemampuan:
Mengelola konflik rumah tangga secara dewasa
Berkomunikasi sehat antar pasangan
Menyusun visi misi keluarga
Mengatur keuangan secara syar’i
Menanamkan nilai ibadah dalam pernikahan
Bimwin juga sebaiknya melibatkan alumni pasangan yang telah berhasil membina rumah tangga harmonis sebagai inspirasi nyata.
Penghulu dan penyuluh agama harus diberdayakan tidak hanya untuk bimbingan pranikah, tetapi juga untuk pendampingan pasca-nikah. Banyak pasangan muda yang setelah menikah justru kehilangan arah karena tidak tahu harus berkonsultasi ke mana.
KUA harus menjadi rumah pembinaan keluarga, bukan sekadar kantor administrasi.
Banyak rumah tangga runtuh karena ketidakmampuan mengelola emosi, cemburu berlebihan, atau pengaruh media sosial yang tidak sehat. Maka:
Literasi emosional harus ditanamkan: bagaimana menahan marah, mendengar pasangan, dan menyelesaikan masalah tanpa kekerasan.
Edukasi digital: bagaimana menggunakan media sosial secara bijak, menghindari perbandingan yang tidak realistis, dan menjaga kesucian hubungan suami istri dari pengaruh negatif luar.
Melalui masjid, majelis taklim, dan media sosial, perlu digalakkan dakwah-dakwah ringan namun mendalam tentang:
Nilai-nilai sakinah, mawaddah, dan rahmah
Hak dan kewajiban suami istri
Adab dalam berumah tangga
Peran spiritualitas dalam menghadapi ujian rumah tangga
Dengan begitu, masyarakat akan memiliki pemahaman yang kuat bahwa pernikahan bukan hanya hubungan biologis, tapi perjanjian suci di hadapan Allah (mitsaqan ghaliza).
Peran orang tua tak berhenti saat menikahkan anak. Justru pasca menikah, anak-anak muda butuh bimbingan. Maka orang tua dan tokoh masyarakat perlu:
Menjadi penengah jika ada konflik
Tidak membandingkan atau menekan pasangan muda
Menguatkan peran rumah tangga sebagai wadah ibadah, bukan hanya ekonomi
Pasangan perlu ditanamkan bahwa pernikahan bukan akhir pencarian cinta, tapi awal perjuangan membuktikannya dalam bentuk:
Sabar dan syukur
Komitmen dan pengorbanan
Tanggung jawab dan kerja sama
Pernikahan adalah ibadah yang akan dinilai setiap hari. Bukan hanya oleh pasangan, tetapi juga oleh Allah SWT.
Pernikahan bukanlah garis akhir, tapi awal dari perjalanan panjang menuju ridha Allah. Ia bukan tentang menikah cepat, tapi tentang siap untuk tumbuh bersama dalam suka dan duka.
Semoga pernikahan di era sekarang tidak hanya menjadi pesta sehari, tetapi ibadah seumur hidup yang membawa keberkahan dunia akhirat.