Di seluruh dunia, fenomena bullying merupakan suatu hal yang umum di sekolah dasar maupun menengah padahal sesuai dengan Piagam Hak Asasi Anak-Anak PBB, siswa memiliki hak untuk merasa aman dan untuk memperoleh pendidikan. Fenomena ini muncul dalam interaksi sosial di antara teman sebaya. Anak-anak (khususnya pada masa kanak akhir) dan remaja menghabiskan waktu minimal 6 jam sehari di sekolah sehingga interaksi dengan teman sebaya serta guru menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari mereka. Istilah bullying menurut laporan SEJIWA (Yayasan Semai Jiwa Amini) belum banyak dikenal di Indonesia, kendati fenomena bullying telah lama menjadi bagian dari dinamika kehidupan di sekolah-sekolah negeri ini. Sebenarnya bullying dapat ditemukan dimana- mana antara lain “ketika ada sejumlah orang yang merasa punya kekuasaan menemukan pihak lain untuk dikuasai”. Orang lebih mengenal bullying dengan istilah penggencetan, pemalakan, pengucilan, intimidasi dan lain-lain Perilaku ini kurang mendapat perhatian, bahkan ada pihak-pihak yang tidak menganggapnya sebagai hal yang serius. Padahal menurut beberapa peneliti (dalam Veenstra et al, 2005) bullying menimbulkan ancaman serius terhadap perkembangan yang sehat selama masa sekolah. Pelaku btdlying (disebut Bully) berisiko tinggi terlibat dalam kenakalan remaja, kriminalitas dan penyalahgunaan alkohol. Konsekuensi negatif dalam jangka panjang juga terjadi pada korban bullying (disebut Victim) di mana secara umum korban berisiko tinggi mengalami depresi dan harga diri yang rendah saat masa dewasa. Bullying di antara anak-anak dan remaja merupakan masalah penting yang mempengaruhi kesejahteraan dan fungsi psikososial.
Tidak mudah menyelesaikan masalah bully. Oleh sebab itu adalah baik dalam menyelesaikan tindakan bully ini diharapkan ada campur tangan orang ketiga (guru atau ahli profesional). Kepada anak yang mengalami kasus bully, diajarkan untuk dapat mengatasi masalah tersebut dan jangan menghindari masalah.
Pengertian Bullying
Bullying merupakan suatu perilaku negatif berulang yang bermaksud menyebabkan ketidaksenangan atau menyakitkan oleh orang lain, baik satu atau beberapa orang secara langsung terhadap seseorang yang tidak mampu melawannya (Olweus, 2006). Menurut American Psychiatric Association (APA) (dalam Stein dkk., 2006), bullying adalah perilaku agresif yang dikarakteristikkan dengan 3 kondisi yaitu
Menurut Coloroso (2007), bullying merupakan tindakan intimidasi yang dilakukan secara berulang-ulang oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah, dilakukan dengan sengaja dan bertujuan untuk melukai korbannya secara fisik maupun emosional. Rigby (dalam Astuti, 2008), menyatakan bullying merupakan perilaku agresi yang dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus, terdapat kekuatan yang tidak seimbang antara pelaku dan korbannya, serta bertujuan untuk menyakiti dan menimbulkan rasa tertekan bagi korbannya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku bullying adalah suatu perilaku negatif yang dilakukan secara berulang-ulang,
dilakukan dengan sadar dan sengaja yang bertujuan untuk menyakiti orang lain secara fisik maupun emosional, dilakukan oleh seorang anak atau kelompok anak dan terdapat ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan dari pihak-pihak yang terlibat.
Tanda-tanda bullying
Olweus (2006) merumuskan adanya tiga unsur dasar bullying, yaitu bersifat menyerang dan negatif, dilakukan secara berulang kali, dan adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang terlibat. Coloroso (2003) juga mengatakan bahwa bullying akan selalu mengandung tiga elemen, yaitu: kekuatan yang tidak seimbang, bertujuan untuk menyakiti, dan adanya ancaman akan dilakukannya agresi. Oleh sebab itu, seseorang dianggap menjadi korban bullying bila ia dihadapkan pada tindakan negatif seseorang atau lebih, yang dilakukan berulang-ulang dan terjadi dari waktu ke waktu. Selain itu, bullying juga melibatkan kekuatan dan kekuasaan yang tidak seimbang, sehingga korbannya berada dalam keadaan tidak mampu mempertahankan diri secara efektif untuk melawan tindakan negatif yang diterimanya (Olweus, dalam Krahe, 2005).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang dikatakan menjadi korban bullying dilihat dari frekuensi mengalami bullying, yaitu minimal dua sampai tiga kali dalam sebulan. Seorang korban bullying dapat mengalami satu atau beberapa bentuk bullying. Ketika hanya satu bentuk bullying yang dialami seseorang, namun
frekuensinya minimal dua sampai tiga kali dalam sebulan, hal itu juga termasuk menjadi korban bullying.
Bentuk bentuk Bully
Ada tiga bentuk bullying menurut Coloroso (2007), yaitu:
Dampak bullying
Bullying akan menimbulkan dampak yang sangat merugikan, tidak hanya bagi korban tetapi juga bagi pelakunya. Menurut Coloroso (2006) pelaku bullying akan terperangkap dalam peran sebagai pelaku bullying, mereka tidak dapat mengembangkan hubungan yang sehat, kurang cakap dalam memandang sesuatu dari perspektif lain, tidak memiliki empati, serta menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai sehingga dapat mempengaruhi pola hubungan sosialnya di masa yang akan datang. Sementara dampak negatif bagi korbannya adalah akan timbul perasaan depresi dan marah. Mereka marah terhadap diri sendiri, pelaku bullying, orang dewasa dan orang-orang di sekitarnya karena tidak dapat atau tidak mau menolongnya. Hal tersebut kemudian mulai mempengaruhi prestasi akademik para korbannya. Mereka mungkin akan mundur lebih jauh lagi ke dalam pengasingan karena tidak mampu mengontrol hidupnya dengan cara-cara yang konstruktif. Menurut Peterson (dalam Berthold dan Hoover, 2000), bullying akan mempengaruhi self esteem korbannya dan hal tersebut merupakan pengaruh yang ditimbulkan dari pengaruh jangka panjang. Demikian pula Olweus (dalam Berthold dan Hoover, 2000) menyatakan bahwa bullying memiliki pengaruh yang besar bagi kehidupan korbannya hingga dewasa. Saat masa sekolah akan menimbulkan depresi dan perasaan tidak bahagia untuk mengikuti sekolah, karena dihantui oleh perasaan cemas dan ketakutan. Selain itu menurut Swearer, dkk. (2010) korban bullying juga merasa sakit, menjauhi sekolah, prestasi akademik menurun, rasa takut dan kecemasan meningkat, adanya keinginan bunuh diri, serta dalam jangka panjang akan mengalami kesulitan-kesulitan internal yang meliputi rendahnya self esteem, kecemasan, dan depresi. Korban bullying cenderung merasa takut, cemas, dan memiliki self esteem yang lebih rendah dibandingkan anak yang tidak menjadi korban bullying (Olweus, Rigby, & Slee, dalam Aluedse, 2006). Duncan (dalam Aluedse, 2006) juga menyatakan bila dibandingkan dengan anak yang tidak menjadi korban bullying, korban bullying akan memiliki self esteem yang rendah, kepercayaan diri rendah, penilaian diri yang buruk, tingginya tingkat depresi, kecemasan, ketidakmampuan, hipersensitivitas, merasa tidak aman, panik dan gugup di sekolah, konsentrasi terganggu, penolakan oleh rekan atau teman, menghindari interaksi sosial, lebih tertutup, memiliki sedikit teman, terisolasi, dan merasa kesepian. Penelitian yang dilakukan di Swedia mengenai dampak bullying terhadap korbannya menunjukkan bahwa remaja yang saat berusia 16 tahun pernah mengalami bullying akan mengalami penurunan self esteem dan peningkatan kadar depresi (Olweus dalam Arseneault, dkk., 2009). Korban bullying cenderung menunjukkan gejala peningkatan kecemasan dan depresi (Hodges & Perry dalam Arseneault dkk., 2009), self esteem yang rendah dan keterampilan sosial yang buruk (Egan & Perry, dalam Arseneault, dkk., 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Riauskina dkk. (2005), juga menemukan bahwa korban merasakan banyak emosi negatif (marah, dendam, kesal, tertekan, takut, malu, sedih, tidak nyaman, terancam)
Ketika mengalami bullying, namun tidak berdaya menghadapi kejadian bullying yang menimpa mereka. Dalam jangka panjang emosi-emosi tersebut dapat berujung pada munculnya perasaan rendah diri dan merasa bahwa dirinya tidak berharga
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bullying adalah tindakan yang negatif yang menyebabkan kesakitan yang mendalam kepada orang yang telah di bully dan dilakukan secara berulang ulang