Pertemuan 1
A. Peran umat Islam pada masa penjajahan dan kemerdekaan.
1. Perjuangan umat Islam pada masa penjajahan
2. Perjuangan Umat Islam pada masa kebangkitan Nasional
A. Peran umat Islam pada masa penjajahan dan kemerdekaan.
1. Perjuangan umat Islam pada masa penjajahan
2. Perjuangan Umat Islam pada masa kebangkitan Nasional
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Selamat datang dan selamat belajar kembali di beranda SKI anak anak yang saya cintai dan saya banggakan
Semoga kalian selalu dalam keadaan sehat dan dalam lindungan Allah SWT,
Pada pertemuan ini kalian akan mempelajari Sejarah Kebudayaan Islam
BAB 4 : A. Peran umat Islam pada masa penjajahan dan kemerdekaan.
1. Perjuangan umat Islam pada masa penjajahan
2. Perjuangan Umat Islam pada masa kebangkitan Nasional
Sebelum kalian mempelajari materi pelajaran awali pembelajaran dengan membaca Basmallah
Bismillahirrahmanirrahim
Selamat belajar Anak Anak....
Baca dan Pelajari Materi BAB 4 Pertemuan 1 Berikut ini !
Penjajah datang ke Indonesia sejak awal abad ke-15. Kedatangan bangsa Portugis dan Spanyol dan dilanjutkan Belanda yang awalnya mereka datang ke Indonesia berniat mencari dagangan rempah-rempah. Namun karena ingin menguasai secara berlebih, Mereka menjajah bangsa Indonesia secara halus. Perjuangan umat Islam dalam mengusir penjajah dan meraih kemerdekaan dibagi dalam beberapa tahap perjuangan antara lain pertama, masa penjajahan dimana perjuangan rakyat dibayangi oleh politik pecah belah (Devide at Impera), kedua masa kebangkitan Nasional.
Pada masa penjajahan, perlawanan yang dilakukan oleh para pejuang di daerah- daerah dengan semangat masing-masing tanpa ada pola hubungan untuk menjalin persatuan. Belanda menerapkan politik Devide at Impera yaitu kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat. Perlawanan di lakukan oleh Pangeran Diponegoro di Jawa, Teuku Umar di Aceh, Pangeran Antasari di Kalimantan dan lain-lain. Perlawanan tersebut tidak mampu mengusir penjajah dari bumi Indonesia.
Pada masa kebangkitan nasional para pemuda yang belajar keluar negeri baik itu di timur tengah maupun barat dengan semangat nasionalisme-nya kembali ke Indonesia dan bersatu berjuang meraih kemerdekaan. Kesadaran terhadap perjuangan yang bersifat kedaerahan seperti perang Paderi, perang Diponegoro maupun Aceh dianggap tidak efektif dalam mengusir penjajah dari negeri Indonesia. Kesadaran dalam menggalang semangat kebangsaan ini melahirkan gerakan kebangkitan nasional. HOS Cokroaminoto, Haji Agus Salim, KH Ahmad dahlan, KH Hasyim Asyari dan lain-lain merupakan tokoh-tokoh yang sangat berperan dalam organisasi- organisasi pada masa kebangkitan Nasional.
Setelah Indonesia merdeka muncul tokoh-tokoh intelektual muslim mengisi kemerdekaan dengan berbagai karyanya. Prof. HAMKA, Abdurrahman Wahid, Habibie dan lain-lain berkarya sesuai bidangnya.
1. PERJUANGAN UMAT ISLAM PADA MASA PENJAJAHAN
a. Pangeran Diponegoro (w.1855 M)
Pangeran Diponegoro adalah putra sulung dari Sultan Hamengkubuwana III, raja ketiga di Kesultanan Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan nama Mustahar dari seorang ibu bernama R.A. Mangkarawati, yang merupakan keturunan Kyai Agung Prampelan, ulama yang sangat disegani di masa Panembahan Senapati mendirikan kerajaan Mataram
Semasa kecilnya, Pangeran Diponegoro bernama Bendara Raden Mas Antawirya. Sejak kecil beliau dididik oleh neneknya, Kanjeng Ratu Ageng di Tegalrejo, terkenal sebagai orang yang amat saleh. Beliau selalu berusaha memperdalam soal agama. Untuk memperkuat imannya, beliau sering mengasingkan diri di tempat-tempat yang jauh, bertapa dan mengembara, sehingga dengan sendirinya banyak orang tertarik oleh kepribadiannya. Sebagai orang yang sangat saleh, beliau tidak mementingkan keduniawian, dan selalu mengingat kepentingan umum. Terdesak oleh keadaan maka beliau bertindak untuk mempertahankan kedudukan para bangsawan dan membela nasib rakyat kecil.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo, daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana V (1822). Ketika itu, Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja di bawah pengawasan residen. Pangeran Diponegoro yang menyadari maksud dan tujuan siasat Belanda itu menganggap bahwa kedudukannya sebagai wali Sultan bertentangan dengan aturan-aturan agama sehingga ia menolak pengangkatan tersebut Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujuinya.
Perang Diponegoro (1825-1830) berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, ia memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak. Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran GPH Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah gua yang bernama Gua Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Gua Selarong. Kyai Mojo dikenal sebagai ulama besar yang sebenarnya masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Diponegoro. Ibu Kyai Mojo, R.A. Mursilah, adalah saudara perempuan dari Sultan Hamengkubuwana III
Dalam pertempuran-pertempuran dari tahun 1825 sampai 1826 kemenangan ada di pihak Diponegoro. Hal ini disebabkan (1) semangat perang pasukan Diponegoro masih tinggi, (2) siasat gerilya yang dilakukan Diponegoro belum tertandingi, dan (3) sebagian pasukan Belanda masih berada di Sumatera Barat dalam rangka Perang Padri. Karena itu tawaran Belanda untuk melakukan perdamaian selalu ditolak oleh Diponegoro.
Melihat semakin kuatnya Diponegoro dan semakin meluasnya medan pertempuran, maka Belanda menilai bahwa perlawanan Diponegoro sangat membahayakan kedudukan Belanda di Indonesia. Itulah sebabnya Belanda lalu menggelar berbagai siasat untuk menumpas atau menghentikan perlawanan Diponegoro itu. Pada tahun 1829 Pangeran Mangkubumi dan Alibasya Sentot Prawirodirjo mengambil keputusan menyerahkan diri sebelum dikalahkan. Sampai tahun 1829 tersebut kira-kira 200 ribu pasukan Diponegoro telah gugur. Oleh karena kondisinya yang semakin terdesak dan melihat kedudukannya yang sudah tidak ada harapan lagi, maka Diponegoro bersedia untuk melakukan perundingan.
Dengan berbagai alasan tersebut, Pangeran Diponegoro ditangkap di tempat perundingan tersebut. Diponegoro kemudian dibawa ke Menado dan pada tahun 1834 dipindahkan ke Makasar dan di sana beliau wafat pada tanggal 8 Januari 1855. Makam beliau hingga kini menjadi tempat ziarah bangsa Indonesia.
Sebagai penghargaan atas jasa Diponegoro dalam melawan penjajahan. Di beberapa kota besar Indonesia terdapat Jalan Pangeran Diponegoro. Kota Semarang sendiri juga memberikan apresiasi agar nama Pangeran Diponegoro akan senantiasa hidup. Nama-nama tempat yang menggunakan namanya antara lain Stadion Diponegoro, Jalan Pangeran Diponegoro, Universitas Diponegoro (Undip), maupun Kodam IV/Diponegoro.
Pemerintah Republik Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno pada tanggal 8 Januari 1955 pernah menyelenggarakan Haul Nasional memperingati 100 tahun wafatnya Pangeran Diponegoro, sedangkan pengakuan sebagai Pahlawan Nasional diperoleh Pangeran Diponegoro pada tanggal 6 November 1973 melalui Keppres No.87/TK/1973
b. Teuku Umar (w.1899 M)
Salah satu pahlawan dari Aceh yang dengan gigih melawan Belanda adalah Teuku Umar. Teuku Umar yang dilahirkan di Meulaboh Aceh Barat pada tahun 1854, adalah anak seorang Uleebalang bernama Teuku Achmad dengan adik perempuan Raja Meulaboh. Umar mempunyai dua orang saudara perempuan dan tiga saudara laki-laki. Nenek moyang Umar adalah Datuk Makhudum Sati berasal dari Minangkabau. Dia merupakan keturunan dari Laksamana Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman.
Ketika perang Aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, umurnya baru menginjak 19 tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya sendiri, kemudian dilanjutkan ke Aceh Barat. Pada umur yang masih muda ini, Teuku Umar sudah diangkat sebagai keuchik gampong (kepala desa) di daerah Daya Meulaboh. Pada usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang. Untuk meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim. Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dhien, puteri pamannya Teuku Nanta Setia. Suami Cut Nya Dien, yaitu Teuku Ibrahim Lamnga meninggal dunia pada Juni 1878 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Keduanya kemudian berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda.
Teuku Umar kemudian mencari strategi untuk mendapatkan senjata dari pihak Belanda. Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek Belanda. Belanda berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Gubernur Van Teijn pada saat itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh. Teuku Umar kemudian masuk dinas militer. aktik tersebut berhasil, sebagai kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pang Laot (panglima Laut).
Tahun 1884 Kapal Inggris "Nicero" terdampar. Kapten dan awak kapalnya disandera oleh raja Teunom. Teuku Umar ditugaskan untuk membebaskan kapal tersebut. Teuku Umar menyatakan bahwa merebut kembali Kapal "Nicero" dengan syarat diberi logistik dan senjata yang banyak sehingga dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama. Teuku Umar berangkat dengan kapal "Bengkulen" ke Aceh Barat membawa 32 orang tentara Belanda dan beberapa panglimanya. Tidak lama, Belanda dikejutkan berita yang menyatakan bahwa semua tentara Belanda yang ikut, dibunuh di tengah laut. Seluruh senjata dan perlengkapan perang lainnya dirampas. Sejak itu Teuku Umar kembali memihak pejuang Aceh untuk melawan Belanda.
Pada tanggal 10 Pebruari 1899 M, di Keudee Lhok Bubon, Teuku Umar bersama pasukannya mengatur rencana penyerangan terhadap Belanda yang berada di Tangsi Meulaboh. Namun rencana ini terdengar oleh Belanda, Jendral Van Heutzs memerintahkan Letnan Ver Brugh untuk memimpin pasukannya berpatroli ke arah Barat dengan menyusuri pantai serta melakukan penjagaan di Suak Ujong Kalak. Teuku Umar bergerak menyusuri pantai bersama pasukannya dari Lhok Bubon menuju Meulaboh pada malam hari tanggal 11 Pebruari 1899 M, Pasukan Belanda yang telah lebih dahulu bersiaga di seberang Suak Ujong Kalak melepaskan tembakan. Pasukan Teuku Umar terkepung, Peluru Belanda bersarang di dada kirinya dan usus besar, beliau gugur sebagai Syuhada’.
2. PERJUANGAN UMAT ISLAM PADA MASA KEBANGKITAN NASIONAL
a. HOS Cokroaminoto atau Hadji Oemar Said Tjokroaminoto (w.1934 M)
Lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 6 Agustus 1882 dan meninggal di Yogyakarta, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun. Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai bupati Ponorogo. Sebagai salah satu pelopor pergerakan nasional, ia mempunyai beberapa murid yang selanjutnya memberikan warna bagi sejarah pergerakan Indonesia, yaitu Musso yang sosialis/komunis, Soekarno yang nasionalis, dan Kartosuwiryo yang agamis. Namun ketiga muridnya itu saling berselisih.
Pada bulan Mei 1912, Tjokroaminoto bergabung dengan organisasi Sarekat Islam. Sebagai pimpinan Sarikat Islam, HOS dikenal dengan kebijakan- kebijakannya yang tegas namun bersahaja. Kemampuannya berdagang menjadikannya seorang guru yang disegani karena mengetahui tatakrama dengan budaya yang beragam. Pergerakan SI yang pada awalnya sebagai bentuk protes atas para pedagang asing yang tergabung sebagai Sarekat Dagang Islam yang oleh HOS dianggap sebagai organisasi yang terlalu mementingkan perdagangan tanpa mengambil daya tawar pada bidang politik. Dan pada akhirnya tahun 1912 SDI berubah menjadi Sarekat Islam, SI digiring menjadi partai politik setelah mendapatkan status Badan Hukum pada10 September 1912 oleh pemerintah yang saat itu dikontrol oleh Gubernur Jenderal Idenburg. SI kemudian berkembang menjadi parpol dengan keanggotaan yang tidak terbatas pada pedagang dan rakyat Jawa-Madura saja. Kesuksesan SI ini menjadikannya salah satu pelopor partai Islam yang sukses saat itu.
Perpecahan SI menjadi dua kubu karena masuknya infiltrasi komunisme memaksa HOS Cokroaminoto untuk bertindak lebih hati-hati kala itu. Ia bersama rekan-rekannya yang masih percaya bersatu dalam kubu SI putih berlawanan dengan Semaun yang berhasil membujuk tokoh-tokoh pemuda saat itu seperti Alimin, Tan Malaka, dan Darsono dalam kubu SI Merah. Namun bagaimanapun, kewibawaan HOS Cokroaminoto justru dibutuhkan sebagai penengah di antara kedua pecahan SI tersebut, mengingat ia masih dianggap guru oleh Semaun. Akhirnya Semaun dan Darsono dikeluarkan dari SI.
Pada tahun 1929, SI diusung sebagai Partai Sarikat Islam Indonesia hingga menjadi peserta pemilu pertama pada 1955. HOS Cokroaminoto hingga saat ini akhirnya dikenal sebagai salah satu pahlawan pergerakan nasional yang berbasiskan perdagangan, agama, dan politik nasionalis. Kata- kata mutiaranya seperti “ Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat ” akhirnya menjadi embrio pergerakan para tokoh pergerakan nasional yang patriotik, dan ia menjadi salah satu tokoh yang berhasil membuktikan besarnya kekuatan politik dan perdagangan Indonesia. H.O.S. Cokroaminoto meninggal di Yogyakarta pada 17 Desember 1934 pada usia 52 tahun
b. Kiai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis (w.1923 M)
Lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 dan meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia Beliau adalah putra keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu.
Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Dia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa. Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana 'Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, kiai Ilyas, kiai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, K.H. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).
Pada umur 15 tahun, dia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, dia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Dia ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 November 1912. Dan sejak awal Ahmad Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada PemerintahHindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Maka dari itu kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-Iain telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyah di Garut. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasi- relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Atas jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut: KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat; Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam dan Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria
c. Kiai Haji Mohammad Hasjim Asy'arie (w. 1947 M)
Lahir di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, 14 Februari 1871 meninggal di Jombang, Jawa Timur pada umur 76 tahun; 24 Dzul Qo'dah 1287 H- 3 Ramadhan 1366 H; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang) adalah salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang merupakan pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia. Di kalangan Nahdliyin dan ulama pesantren ia dijuluki dengan sebutan Hadratus Syeikh yang berarti maha guru.
K.H Hasjim Asy'ari adalah putra ketiga dari 10 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai Asy'ari, pemimpin Pondok Pesantren yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Sementara kesepuluh saudaranya antara lain: Nafi'ah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi dan Adnan. Berdasarkan silsilah garis keturunan ibu, K.H. Hasjim Asy'ari memiliki garis keturunan baik dari Sultan Pajang Jaka Tingkir juga mempunyai keturunan ke raja Hindu Majapahit, Raja Brawijaya V (Lembupeteng).
K.H. Hasjim Asy'ari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, ia berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo. Pada tahun 1892, K.H. Hasjim Asy'ari pergi menimba ilmu ke Mekah, dan berguru pada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Muhammad Mahfudz at-Tarmasi, Syekh Ahmad Amin Al-Aththar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said Yamani, Syekh Rahmaullah, Syekh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al-Habsyi.
Di Makkah, awalnya K.H. Hasjim Asy'ari belajar di bawah bimbingan Syaikh Mafudz dari Termas (Pacitan) yang merupakan ulama dari Indonesia pertama yang mengajar Sahih Bukhori di Makkah. Ia mendapatkan ijazah langsung dari Syaikh Mahfudz untuk mengajar Sahih Bukhari, di mana Syaikh Mahfudz merupakan pewaris terakhir dari pertalian penerima (Isnad) hadis dari 23 generasi penerima karya ini. Selain belajar hadis ia juga belajar tassawuf (sufi) dengan mendalami Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. K.H. Hasjim Asy'ari juga mempelajari fiqih madzab Syafi'i di bawah asuhan Syaikh Ahmad Khatib dari Minangkabau yang juga ahli dalam bidang astronomi (ilmu falak), matematika (ilmu hisab), dan aljabar. Pada masa belajar pada Syaikh Ahmad Khatib inilah K.H. Hasjim Asy'ari mempelajari Tafsir Al-Manar karya monumental Muhammad Abduh. Pada prinsipnya ia mengagumi rasionalitas pemikiran Abduh akan tetapi kurang setuju dengan ejekan Abduh terhadap ulama tradisionalis.
Pada tahun 1899, sepulangnya dari Mekah, K.H. Hasjim Asy'ari mendirikan Pesantren Tebu Ireng, yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Pada tahun 1926, K.H Hasjim Asy'ari menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya Nadhlatul Ulama (NU), yang berarti kebangkitan ulama. Dalam upaya perjuangan untuk meraih kemerdekaan, pada tanggal 17 September 1945 fatwa Jihad telah di tanda tangani KH Hasyim Asy’ari yang kemudian di kukuhkan dalam rapat para kyai tanggal 21-22 Oktober 1945 dan di kenal dengan nama Resolusi Jihad. Resolusi Jihad sebagai pengobar semangat para ulama dan santri yang tergabung dalam laskar Hizbullah dan Sabilillah dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah. Selain itu juga mendesak pemerintah agar segera menentukan sikap melawan kekuatan asing yang ingin menggagalkan kemerdekaan. Surabaya menjadi medan pertempuran antara laskar Hizbullah dan sekutu. Berbekal fatwa Jihad yang diteguhkan dalam resolusi Jihad yang isinya menyerukan kepada seluruh elemen bangsa khususnya umat Islam untuk membela NKRI. Pertempuran 10 Nopember 1945 laskar ulama dan santri menjadi garda terdepan dalam pertempuran. Berikut isi teks resolusi jihad Nahdlatul Ulama sebagaimana pernah dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, edisi No. 26 tahun ke-I, Jumat Legi, 26 Oktober 1945.
Toentoetan Nahdlatoel Oelama kepada Pemerintah Repoeblik Indonesia Soepaya mengambil tindakan jang sepadan
Resoloesi wakil-wakil daerah Nahdlatoel Oelama Seloeroeh Djawa-Madoera Bismillahirrochmanir Rochim
Resoloesi :
Rapat besar wakil-wakil daerah (Konsoel2) Perhimpoenan Nahdlatoel Oelama seloeroeh Djawa-Madoera pada tanggal 21-22 October 1945 di Soerabaja.
Mendengar :
Bahwa di tiap-tiap Daerah di seloeroeh Djawa-Madoera ternjata betapa besarnja hasrat Oemmat Islam dan ‘Alim Oelama di tempatnja masing-masing oentoek mempertahankan dan menegakkan agama, kedaoelatan negara repoeblik indonesia merdeka.
Menimbang :
a. Bahwa oentoek mempertahankan dan menegakkan Negara Repoeblik Indonesia menurut hoekoem Agama Islam, termasoek sebagai satoe kewadjiban bagi tiap2 orang Islam.
b. Bahwa di Indonesia ini warga negaranja adalah sebagian besar terdiri dari Oemmat Islam.
Mengingat:
Bahwa oleh fihak Belanda (NICA) dan Djepang jang datang dan berada di sini telah banjak sekali didjalankan kedjahatan dan kekedjaman jang menganggoe ketentraman oemoem.
Bahwa semoea jang dilakoekan oleh mereka itu dengan maksoed melanggar kedaoelatan Negara Repoeblik Indonesia dan Agama, dan ingin kembali mendjadjah di sini maka beberapa tempat telah terdjadi pertempoeran jang mengorbankan beberapa banjak djiwa manoesia.
Bahwa pertempoeran2 itu sebagian besar telah dilakoekan oleh Oemmat Islam jang merasa wadjib menoeroet hoekoem Agamanja oentoek mempertahankan Kemerdekaan Negara dan Agamanja.
Bahwa di dalam menghadapai sekalian kedjadian2 itoe perloe mendapat perintah dan toentoenan jang njata dari Pemerintah Repoeblik Indonesia jang sesoeai dengan kedjadian terseboet.
Memoetoeskan :
Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Repoeblik Indonesia soepaja menentoekan soeatoe sikap dan tindakan jang njata serta sepadan terhadap oesaha2 jang akan membahajakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia teroetama terhadap fihak Belanda dan kaki tangannja.
Seoapaja memerintahkan melandjoetkan perdjoeangan bersifat “sabilillah”
oentoek tegaknja Negara Repoeblik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.
Soerabaja, 22 Oktober 1945 NAHDLATOEL OELAMA
TUGAS BAB 4 PERTEMUAN 1 :
Setelah membaca dan mempelajari Materi Pertemuan 1 kerjakan tugas dengan cara :