Monolog Rama
(ketika malam dipirig rerintik hujan)
Istriku,
katakan kepada mereka, manusia
aku berperang di medan laga
sama sekali bukan kerna gengsi
akan kesucianmu aku tak sangsi
(petir menggelegar, tiba-tiba)
Istriku,
bahkan cinta pun harus bersujud
pada singgasana
(gerimis itu menjadi hening)
Menisik Jaring
Di bawah terik
Jaring kutisik
Jaring nasib yang terkoyak
Sebab waktu yang menghentak
Selepas senja tak merah
Dengan bilah dayung rapuh
Katinting kecil kukayuh
Melaut ke arah entah
Pada malam bergemawan
Kulempar jala, doa-doa dan harapan
Di sekitar teluk, di ujung palung
Kawan-kawanku melempar pancing
Dengan umpan irisan hati dan jantung
Dari tubuh masing-masing
Ketika angin mulai membasah
Sejenak kami mengusir lelah resah
Menyusuri palung waktu dan mereka-reka cerita
Seekor ikan dewata menjelma intan permata
Di hening subuh
Kami berlabuh
Meski apa yang terjaring hanya
Angin dan dera dingin semata
Molulo di Kelam Malam
Di sini, malam-malam kelam
adalah gairah. Dua tangan saling genggam
jemari kasarku hanyut menyelusup
di sela halus jemarimu erat mengatup
tangan bergoyang naik-turun dalam gerak ritmis
tak peduli pada gerimis dan waktu yang teriris
musik menghentak mengencangkan detak
kaki-kaki melangkah serempak ke kanan dan ke kiri
diayun ke depan dan ke belakang sesekali
maka lingkaran pun berputar melawan arah jam
mengekalkan gerak menjadi diam
Di sini, malam-malam sunyi
adalah keriuhan. Tetabuhan gong telah berganti
dengan keyboard yang melimpahkan aneka bunyi
dilontarkan sound system hingga malam jadi hingar
walau barangkali di matamu, wahai penyanyi, binar
telah lenyap di balik hatimu yang teramat senyap
sebab irama mesti tetap terjaga, tak peduli nada ria
atau lagu sendu, bukankah melodi mesti mengabdi
pada irama ayunan kaki. Di sini
Malam-malam molulo
Malam-malam intermezo.
Masjid Tua Wawotobi
tiada lagi tikar terhampar
sajadah pun telah dipindah
dari masjid tua itu
segenap pintu ditutup rapat
atap seng penuh karat
noktah pada kaca
yang tertinggal di sana
para pendaras Quran
para tetamu Tuhan
barangkali sedang berdzikir
di kilau marmar
yang lebih binar
hanya debu-debu suci
berwirid di lantai dingin sunyi
dari mihrab sempit
tali-tali cahaya terentang
: bermarifat menopang
keluasan langit
Asiwung*)
itu bulan
bulat sempurna
piring perak
terapung di angkasa
“kekasih, joloklah
tak ada galah
asiwung pun jadilah”
katamu sambil tengadah
aku termenung
“mengapa kau bawa asiwung,
bukankah bilahan bambu itu
pasangan kain kafanku?”
*) sebilah bambu pengukur panjang mayat