Ayah
SETIAP akan berangkat sekolah, ayahku selalu memberi nasihat agar aku rajin belajar. “Carilah ilmu, walau sampai ke negeri Cina,” katanya berkali-kali. Selain harus bersungguh-sungguh menuntut ilmu, tak henti-hentinya ayah mengingatkan aku agar memperbanyak teman dan jangan sekali-sekali memutuskan persahabatan, menciptakan permusuhan. Ayah bilang, “Kawan seribu orang masih sangat kurang, satu orang musuh sudah terlalu banyak”.
Entah lupa entah sengaja, ayah kadang-kadang bilang, “Seribu orang berilmu masih sangat kurang, satu orang bodoh sudah terlalu banyak.” Sementara kala menasihatiku agar punya banyak teman, entah lupa entah sengaja, beberapa kali ayah berkata, “Carilah teman, walau sampai ke negeri Cina”.
Adapun nasihat yang diucapkan ibuku berulang-ulang adalah, “Jadilah anak yang berguna, ya Nak”. Entah mengapa ibu cuma menasihatiku seperti itu. Barangkali, karena Ibu tidak punya banyak teman, dan tak sempat kuliah seperti ayah.
JANGAN salah, ayahku tidak hanya pintar berkata-kata. Bukan hanya amat fasih menasihatiku setiap hari, ayah juga menjadi teladan yang sempurna.
Walaupun ayah bukan seorang doktor, gelar master sudah di tangan. Ayah bersekolah dasar di kampung halaman, melanjutkan ke SMP di kampung tetangga di pusat pemerintahan desa, menempuh SMA di ibukota kecamatan, kuliah sampai jadi sarjana di ibukota kabupaten, dan baru-baru ini menamatkan pascasarjana di ibukota provinsi. Memang, ayah tidak sampai belajar di Cina, seperti yang sering diulang-ulang dalam nasihatnya. Namun, pendidikan di mana pun sama, bukan? Gelarnya juga sama, kata ayah. Pasti ilmu yang diberikan juga sama.
Dalam hal teman, boleh percaya boleh tidak, tak ada orang lain yang lebih banyak temannya dibanding ayah. Kata ayah, waktu ia sekolah di kampung, seluruh anak kampung sudah menjadi temannya. “Mereka semua menuruti apa pun keinginan ayah,” kenang ayah. Padahal, ayah cuma anak seorang kepala kampung.
Ketika sekolah di kota kecamatan, semua remaja di kota kecamatan menjadi teman baik ayah – teman-teman yang sangat patuh pada perintah ayah. Padahal, ayah cuma seorang anak kepala kampung dan kala itu ikut tinggal di rumah seorang preman pasar. Demikian pula ketika kuliah di kota kabupaten, semua pemuda di kota kabupaten itu tak ada yang bukan teman ayah. Dan mereka semua pun menuruti apa pun keinginan ayah. Padahal, sekali lagi, ayah cuma seorang anak kepala kampung. Waktu kuliah, ayah dititipkan kakek kepada seorang tentara, teman kakek. Orang-orang di kota kabupaten biasa menyapa teman kakek itu Pak Dandim.
Ayah tidak lama menganggur. Tentara yang dipanggil Pak Dandim itu berbaik hati membawa ayah bertemu temannya, Pak Bupati, pada suatu pagi. Dan pada pagi itu juga ayah tidak diperbolehkan pulang: ayah diminta mulai bekerja saat itu juga. Tak berapa lama, pada suatu upacara di kantor kabupaten, ayah mendapat surat pengangkatan sebagai PNS.
Di samping atas jasa baik Pak Dandim teman baik kakek, ayah segera diangkat jadi PNS karena sewaktu kuliah ayah tak pernah mencari musuh. Setiap hari ayah tak henti-henti menjalin pertemanan, dan tabu menjalin permusuhan. Ayah tak pernah bermusuhan dengan siapa pun, baik dengan sesama mahasiswa, para dosen, maupun pimpinan universitas. Apalagi memusuhi pejabat pemerintah, baik Pak RT, Pak RW, Pak Lurah, Pak Camat, Pak Walikota, maupun Pak Gubernur. Sebab ayah percaya betul bahwa “kawan seribu orang masih sangat kurang, satu orang musuh sudah terlalu banyak”. Namun, ayah bilang, mahasiswa sekarang beda memang. Bagi mahasiswa sekarang, “musuh seribu orang masih sangat kurang, satu orang kawan sudah terlalu banyak”. Maka, kalau ada masalah sekecil apa pun, mereka pasti demonstrasi; bakar ban, bakar mobil dan gedung, bahkan kalau perlu bakar kota juga.
Semua orang tahu, kemudian ayah kawin dengan seorang gadis anak teman baik Pak Dandim. Gadis itulah yang kini kusebut ibuku. Suatu saat ibu bilang, ia tak pernah bermimpi menikah dengan ayah. Tapi, bukankah itu hal biasa? Ayah pernah bilang, mimpi hanya bunga tidur. Guru agama di sekolah mengajari aku untuk tidak percaya tahayul, termasuk mimpi. Mengapa untuk menikah dengan seseorang, harus terlebih dahulu memimpikannya?
“Kalau saja bukan Pak Dandim yang datang melamar, aku tak akan jadi ibumu,” kata ibu. Kalau suatu saat aku kawin dengan Cacha, kawan sekolahku yang wajahnya mirip ibu dan matanya bersemu biru, aku akan minta Pak Dandim teman baik kakek untuk melamarnya.
SELURUH orang di kantor tempat ayah bekerja, tak ada yang tidak kenal ayah. Apalagi ketika ayah mendapat tugas sebagai Kepala Badan Pengawas Daerah. Seluruh kepala kantor di kabupaten adalah teman baik ayah. Mereka sering datang ke rumah, dengan tangan menjinjing sesuatu. Buah apel dan buah kiwi Australia kesukaanku, buah anggur dan es krim kesukaan ibu, jagung dan singkong rebus kesukaan ayah.
Ketika Pak Bupati teman baik Pak Dandim, yang teman baik kakek itu, terpilih menjadi wakil gubernur, ayah dapat tugas di kantor provinsi. Oh aku lupa, tentara teman baik kakek itu tidak lagi dipanggil Pak Dandim. Ayah biasa menyapanya “Pak Danrem”. Yang tidak berubah adalah, biarpun berganti sapaan, tentara yang baik hati itu tetap teman baik kakek dan ayah pun menganggapnya sebagai orang tua sendiri.
Teman-teman ayah pun semakin banyak sebab ayah tak pernah membeda-bedakan asal-usul. Banyak teman-teman ayah yang bermata sipit berkulit lebih putih dari warna kulitku. Ayah bilang, orang bermata sipit itu adalah orang Cina. Aku makin kagum pada ayah. Bukannya ayah yang harus bersusah payah mencari teman sampai ke negeri Cina. Namun orang-orang dari Cina itu yang datang ke rumah, berteman baik dengan ayah. Barangkali, di negara Cina itu berlaku pepatah, “carilah teman, walau sampai ke pelosok Indonesia”. Dan anak-anak di Cina sana, berulang-ulang mendapat nasihat seperti itu setiap mau berangkat sekolah.
Orang-orang berkulit pucat itu datang ke rumah kadang malam-malam, biasa juga sore hari, atau pagi-pagi sekali sebelum ayah berangkat ke kantor. Benar kata ayah, semakin banyak teman, hidup semakin bahagia. Lihatlah, rumah yang kami tempati sekarang sudah lebih luas, berlantai keramik yang tak akan retak sedikitpun walau tertimpa pilar besar. Atapnya genting metal seperti yang sering diiklankan di televisi. Walau di luar panas terik, rumahku sangat dingin, lebih dingin daripada lembah dingin di pegunungan saat hujan deras di tengah malam yang dingin. Televisi di ruang tengah lebih tipis, selebar papan tulis di sekolahku. Dan aku kini bisa menonton televisi di kamarku, televisi yang dulu di ruang tengah itu. Di garasi, sebuah mobil baru dibawakan teman ayah sebulan yang lalu.
Ayah bilang, semua itu pemberian teman-teman baik ayah. Syukurlah, mereka semua sangat perduli kepada ayah, teman baik mereka. Aku pun tak luput dari perhatian teman-teman baik ayah. Kalau suatu saat punya waktu luang, datanglah ke rumah. Akan aku tunjukkan satu lemari besar selebar dinding kamarku. Di dalamnya aku simpan semua mainan pemberian teman-teman baik ayah. Ayah bilang, kalau aku besar nanti salah seorang teman ayah akan memberi aku sebuah motor besar. Ah, aku jadi ingin cepat besar, agar dapat membonceng Cacha keliling Indonesia, atau berwisata ke mana saja. Yang pasti, bukan demonstrasi memacetkan jalan dan membuat banyak orang menggerutu pelan.
Dan ibu mestinya senang karena dua minggu lalu teman ayah yang lain membawa kompor gas yang lebih besar. Ketika dicoba, apinya lebih biru dari mata Cacha. Tapi, aku tak paham mengapa ibu lebih suka menggunakan kompor lama yang sering ngadat itu.
KALAU kemudian dalam tiga hari ini ayah tidak pulang ke rumah, itu pasti karena pekerjaan ayah di kantor sangat banyak. Tiga tahun lalu, ketika ayah dipindah ke kantor provinsi, ayah jarang sekali pulang. Dan di rumah aku harus sanggup tinggal berdua dengan ibu. Tapi ibu memang perempuan tabah. Ia tak pernah mengeluh, walau ditinggal ayah berhari-hari. Ayah bilang, hidup itu perjuangan. Dan penderitaan anggaplah sebagai selingan. Barangkali itu yang membuat ibu tidak pernah ketakutan bila harus berdua saja denganku.
Sekarang, pasti ayah akan dipindah lagi. Dulu, di kantor kabupaten juga ayah cuma kerja tidak sampai empat tahun, lalu dipindah ke kantor provinsi. Akan dipindah ke mana ya ayah sekarang? Sejak bulan lalu, Cacha ikut orang tuanya pindah ke Jakarta. Apakah ayah juga akan dipindah ke Jakarta?
Ya, ayah pasti akan pindah dari kota ini. Lihatlah, sejak beberapa hari lalu hingga tadi siang, teman-teman ayah yang berseragam itu datang. Mereka kulihat sibuk membereskan kamar tempat ayah bekerja di rumah. Berkas-berkas di ruang kerja ayah diangkut semua oleh teman-teman kantor ayah.
Di televisi ramai berita pergantian menteri. Apa ayah diangkat jadi menteri, ya? Kalau ayah diangkat jadi menteri, berarti aku bisa satu sekolah lagi dengan Cacha yang kini sudah di Jakarta.
Kutanya ibu, “Kita akan pindah ke Jakarta, ya?”
Ibu tak menjawab Mata ibu kulihat sembab. Ibu pasti sedih karena akan tinggal makin jauh dari kakek dan nenek. Aku tak bertanya lagi sebab jika ibu tak menjawab, itu artinya benar. Ayah suatu waktu pernah bercerita, ibu tidak menjawab juga ketika ditanya, “Maukah menikah dengan ayah?” Dan ibu kemudian menjadi istri ayah.
Ah, aku harus mempersiapkan diri untuk pindah ke Jakarta. Tadi siang teman-teman ayah sudah membawa mobil baru ayah. Besok, kalau teman-teman ayah datang lagi, akan kuminta mereka membongkar lemari mainanku.
Di Jakarta nanti, ayah tak perlu takut kalau ada demonstrasi. Di ibukota, kata berita di televisi, banyak polisi dan tentara berjaga.
IBU membawa aku bertemu ayah. Ayah bilang, ia tidak dipindah ke Jakarta atau kota lain. Ayah rupanya hanya mendapat tugas menata kantor yang baru. Pasti banyak hal yang harus dilakukan sampai-sampai ayah tak sempat pulang.
Di kantor ayah yang baru, aku lihat banyak sekali polisi. Barangkali mereka sedang berjaga-jaga, jangan sampai ada mahasiswa berdemonstrasi merusak kantor baru ayah. Soalnya, ayah juga teman baik Pak Walikota yang pernah didemo mahasiswa minggu lalu.
Ibu memeluk ayah. Pasti ibu rindu karena beberapa hari tidak bertemu.
Kudengar ayah berbisik, “Sabar…, sabar, Ma.”
“Pa, dari dulu juga Ibu ….” Yang kudengar selanjutnya hanya suara isak yang tertahan. Dan mata ibu kulihat kembali sembab.
Ah, mestinya ibu tidak usah bersedih. Kantor baru ayah sangat aman. Kalau mahasiswa datang berdemonstrasi di sini, mereka tak akan dapat menyentuh apalagi mencelakai ayah. Pintu ruang kerja ayah sudah dipasangi jeruji besi, bukan pintu kayu yang bisa didobrak atau pintu kaca yang bisa hancur oleh sebongkah batu atau sepotong kayu.
Dan ayah tak akan merasa kesepian. Aku lihat, teman-teman baik ayah – yang dulu membawa mobil dan televisi, kulkas dan kompor gas, serta selemari besar mainan kesayanganku – bersama-sama ayah di sini. §
Kendari, April 2008
Dimuat di rubrik Sastra & Budaya Kendari Pos, 29 Agustus 2009