SEMBILAN pemain yang terdiri dari 6 perempuan dan 3 lelaki itu serempak menyanyikan lagu berbahasa Tolaki, begitu pembawa acara usai menyampaikan kata pembuka pementasan Kena Batunya di Aula Taman Budaya Provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari, 15-16 Maret silam. Nyanyian berjudul “Mombakani” itu mereka bawakan sambil melangkah ke kiri dan ke kanan menyerupai gerakan tari lulo, Lagu yang berarti menggembala itu berkisah tentang I Bio, sosok yang setiap pagi bergegas menggembala kerbau di tepi hutan, lalu bergegas pergi bersekolah. Selesai berdendang, para pemain lenyap ke balik sebeng, kecuali 3 perempuan duduk di kursi lengkung yang ditata di bagian kiri panggung.
Namun, bukan lantaran belum pulang juga dari sekolah kalau Pia mengomel tentang I Bio. Tapi lantaran I Bio (diperankan oleh Safaruddin) adalah lelaki 40-an tahun, dan Pia bukanlah ibunya. Ketiga perempuan yang menggerutu itu, ternyata istri-istri I Bio: Sitti (Sulprina Rahmin Putri) adalah istri pertama, Pia (Rina Nuryani) sebagai istri kedua, dan Narti (Yuda Anindya C.) istri ketiga yang sedang mengandung. Masalah yang mereka hadapi adalah I Bio sudah kembali tidak betah di rumah. Mereka jengkel sekaligus khawatir suami mereka akan kawin lagi.
Kecemasan ketiga perempuan itu tidaklah berlebihan. Sebab, I Bio memang sedang berencana menikahi Zaenab (Sri Rahmatia). Agar rencananya berhasil, atas petunjuk Pode satpamnya (Kiky Resky), I Bio datang ke dukun (Krisma Ladae). Meminta bantuan agar istri-istrinya mengikhlaskan dia kawin lagi; Zaenab rela dijadikan istri keempat, dan ayah Zaenab (Muh. Yusuf) bersuka hati menerimanya walau dia pernah berbohong mengaku-ngaku duda ditinggal mati sang istri.
Rencana itu kemungkinan besar berhasil andai saja ketiga istri I Bio itu tinggal di rumah saja, tak mengenal dunia di luar rumah. Tapi cerita menjadi lain, ketiga istri I Bio tak sepenuhnya terkungkung di ruang domestik. Dan peristiwa pencopetan yang gagal di mall, memperkenalkan mereka dengan Zaenab, perempuan yang akan dikawini I Bio. Upaya Zaenab menyelidiki siapa sebenarnya I Bio kembali mempertemukan mereka berempat. Maka, rencana rahasia I Bio pun dengan sendirinya terbongkar. Rencana I Bio pun berantakan.
Feminisme tanpa Menggugat
Apa yang terjadi bila para istri -- sesama perempuan yang telah dan akan dimadu oleh seorang lelaki, kompak bersatu? Hasilnya, tindakan suami untuk menambah jumlah istri dengan mengawini seorang mahasiswi cantik itu tidak kesampaian. “Wahai para istri yang terlibat poligami, bersatulah!” Demikianlah kira-kira pernyataan yang ingin disampaikan La Ode F. Akhyar Hisanuddin melalui pertunjukan yang disadur (diadaptasi) dari naskah karya N. Lia Marliana yang berjudul asli Kena’ Batunye. Salah satu dari tiga naskah pilihan hasil lokakarya “Perempuan Penulis Naskah Drama” (Dewan Kesenian Jakarta, 2005).
Dalam gaya komedi, pertunjukan drama ini mengangkat soal poligami. Menyuarakan rintihan dan kegeraman perempuan akibat poligami yang dilakukan lelaki, sang penghamba nafsu. Dalam katalog pertunjukan dinyatakan, keuniversalan persoalan ini menjadi salah satu alasan mengapa sutradara mengangkat naskah yang berlatar Betawi tersebut ke atas pentas.
Walaupun mengangkat problem dalam praktik poligami, tapi secara ideologis tidak bermaksud mempertanyakan kenyataan, apalagi membongkar atau menggugat, mengapa mesti ada aturan poligami. Melunturnya usungan ideologis tentang oposisi laki-laki – perempuan juga tampak dari pilihan latar yakni ketika sutradara memilih latar sebuah taman untuk adegan dialog Sitti dan Kasma. Dalam naskah asli, percakapan Siti dan instruktur mengemudi ini terjadi di rumah makan Padang, keduanya sedang makan, dilayani oleh pelayan laki-laki. Dari latar ini, maka hadirlah acuan budaya Padang yang menempatkan perempuan pada posisi lebih tinggi. Juga ada pembalikan peran: di ruang domestik, Sitti biasa menghidangkan makanan buat laki-laki (suami), sedangkan di ruang publik dia justru dilayani laki-laki. Hal lain yang “memperlemah” gagasan feminisme adalah pengubahan peran satpam dari yang mestinya laki-laki menjadi perempuan. Sungguh aneh, jika perempuan satpam ini malah turut membantu I Bio mewujudkan keinginan berbini lagi.
Minim Publikasi
Pertunjukan dari Unit Kegiatan Seni Universitas Haluoleo ini terasa menarik walau ada persoalan pada tata lampu akibat keterbatasan alat. Sutradara cukup berhasil mengadaptasi naskah yang cukup pelik itu – naskah asli terdiri atas 13 babak, dengan begitu banyak latar tempat, seperti naskah sinetron.
Secara teknis, pembagian pentas menjadi 4 bagian (rumah Zaenab di bagian kanan, rumah dukun di bagian tengah-belakang ditinggikan, rumah I Bio di bagian kiri-tengah, tempat satpam di bagian kiri-depan) ditambah satu bagian di depan panggung (pada lantai yang sejajar dengan penonton), telah memadai sebagai ruang permainan. Namun, secara ideologis, penempatan rumah dukun di bagian tengah panggung dalam posisi paling tinggi, patut dipertanyakan. Apalagi jika sutradara punya keinginan menyatakan ketidakpercayaannya pada dunia perdukunan.
Para pemain secara umum menunjukkan kemampuan berperan yang baik. Pemeranan Sulprina Rahmin Putri sebagai Sitti - yang menyuarakan kepedihan istri yang dimadu suami, membuat pertunjukan begitu hidup. Kegetiran itu berhasil menoreh sukma penonton. Demikian juga dalam tata musik, penata musik (Arif R. Oba) telah membuat pertunjukan menjadi terasa hangat dan menghibur. Inilah pertunjukan pertama (di Kendari) dengan mengelaborasi unsur musik secara optimal.
Di balik memukaunya pertunjukan, hal yang sangat disayangkan adalah minimnya publikasi. Dalam dua malam pentas, penonton yang datang tak lebih dari 100 orang. Apakah karena cuaca yang tidak bersahabat serta matinya listrik pada malam pertama sehingga pertunjukan baru dimulai sekitar pukul 21.05 yang menjadi penyebabnya? Dalam kasus ini, pihak manajemen pertunjukan semestinya sudah mempersiapkan langkah, misalnya dengan meminta jaminan PLN untuk menyediakan pasokan pada saat berlangsungnya pertunjukan. Hal ini sekaligus bisa menjadi catatan, di saat krisis listrik berlangsung di Kendari, sudah saatnya Taman Budaya Provinsi Sulawesi Tenggara memikirkan pengadaan genset dengan jumlah daya yang memadai untuk kebutuhan pementasan. Dan bagaimana dengan cuaca yang tidak bersahabat? Perlukah meminta bantuan pawang hujan? Sukses memang perlu banyak kunci.
kembali ke