I
Dalam tiga tahun terakhir ini (sejak November 1996 sampai September 1999), majalah sastra Horison secara berkesinambungan menyajikan sisipan tetap Kakilangit. Dalam pengantarnya dikatakan bahwa sisipan ini adalah bentuk baru dari rubrik lama Apresiasi yang ditujukan – lebih khusus – untuk siswa SMU, MA, dan pesantren di seluruh Indonesia.[1]
Sebelum Kakilangit hadir, Horison memang sudah menunjukkan perhatiannya terhadap pengajaran sastra di sekolah dengan menyediakan ruang tetap Apresiasi Sastra yang dikelola oleh Sapardi Djoko Damono.[2] Ruangan ini memang tidak secara khusus ditujukan bagi siswa SMU, MA, dan pesantren seperti sisipan Kakilangit.[3] Namun, tujuan adanya ruangan ini tidak jauh berbeda dengan sisipan yang hadir pada tiga tahun ini, yakni “memberikan sumbangan yang lebih nyata terhadap pengajaran dan apresiasi sastra”. Setelah hadir lebih kurang dua tahun – barangkali – karena kesibukan pengelolanya, ruangan ini menghilang.
Setelah absen lebih kurang sembilan tahun, rubrik apresiasi sastra kemudian hadir kembali dalam bentuk sisipan dengan nama baru Kakilangit. Ruangan yang disediakan kini lebih luas dan sajian yang lebih kaya. Keinginan pengelola Horison yang dikemukakan dalam pengantar Apresiasi Sastra, bisa dikatakan barulah terwujud dalam Kakilangit.[4] Pengelolanya pun tidak sendirian lagi, dengan isi yang beragam: karya – cerpen, penggalan novel, sajak – pilihan (disertai ulasan, riwayat hidup pengarang, proses kreatifnya, juga anekdot), pengetahuan bahasa, pengetahuan sastra, puisi karya siswa disertai ulasan, serta pengalaman guru (dari siswa yang puisinya dimuat).
Kehadiran sisipan Kakilangit disambut gembira para guru yang terlibat langsung dalam pengajaran sastra. Tidak dapat disangkal lagi, Kakilangit memberikan sesuatu yang selama ini dikeluhkan para guru yakni tidak tersedianya bahan pelajaran yang bisa digunakan.[5] Ini bisa disimak dari pendapat para guru dalam rubrik “pengalaman guru” atau seperti surat pembaca yang dimuat redaksi Horison. Dalam rubrik “pengalaman guru”, seorang guru bahasa dan sastra Indonesia di SMUN Baubau mengemukakan bahwa “Kakilangit ibarat angin segar buat siswa-siswi serta kami sebagai pengajar sastra dalam menuntun bakat mereka dalam pelajaran sastra, terutama proses penciptaan karya sastra”.[6] Hal senada dikemukakan Rosianto, guru SMU di Banyuasin, bahwa “Kedatangan majalah Horison dengan sisipan Kakilangit di sekolah kami, seperti kedatangan hujan di padang gersang, yang dapat menyegarkan semua yang ada di sekitarnya. Kedatangan Horison besar sekali manfaatnya, khususnya untuk materi pelajaran sastra bagi anak didik kami. Karena isinya sarat dengan informasi tentang karya sastra …”.[7] Kakilangit menjadi “angin segar” dan “hujan di padang gersang”, di tengah terik dan ganasnya sorotan para pakar/sastrawan terhadap kemampuan para guru mengajarkan sasrta kepada para siswanya.
Tulisan ini memfokuskan perhatian pada “Pengalaman Guru” yang merupakan salah satu rubrik tetap dalam sisipan Kakilangit. Rubrik ini memuat tulisan para guru (yang puisi-puisi siswanya dimuat pada edisi yang sama) yang berisi pandangan dan pengalaman dalam membimbing siswa mengapresiasi sastra. Pandangan para guru ini penting untuk disimak, mengingat selama ini yang kerap terdengar adalah suara-suara orang yang memandang dari luar pagar sekolah: para peneliti dari kalangan perguruan tinggi dan sastrawan yang berkeluh kesah tentang carut marutnya pengajaran sastra. Setelah membahas isi rubrik “Pengalaman Guru” tersebut, selanjutnya akan dibahas dua hal, yakni perbedaan persepsi yang timbul dan sistem produksi guru sastra.[8]
II
Sampai Kakilangit edisi 34 (September 1999), ada tiga puluh satu orang guru yang telah mengisi rubrik “Pengalaman Guru” di Kakilangit.[9] Dalam tulisannya, para guru umumnya berbicara tentang apa yang mereka alami dalam mengajarkan sastra di sekolah masing-masing. Apa yang dikemukakan para guru itu mencakup berbagai komponen pengajaran sastra: kurikulum, materi/bahan ajar, kegiatan belajar-mengajar, serta komponen guru dan siswa.
Di samping mengajarkan sastra, aktivitas para guru yang tampil di Kakilangit amat beragam: mengelola perpustakaan, membina majalah dinding, melatih teater, mengelola sanggar anak, menjadi instruktur PKG/bimbingan belajar, bahkan ada juga yang mengajar di perguruan tinggi. Dalam bidang tulis-menulis, ada yang sudah bisa menulis sajak – bahkan dikenal sebagai penyair nasional, menulis cerpen, novel, esai, resensi, serta mengikuti lomba dalam bidang karang-mengarang. Mengamati profil guru seperti itu, muncul kesan pada diri saya untuk tidak terlalu mengkhawatirkan program pengajaran sastra di sekolah. Apalagi bila saya berandai-andai bahwa semua guru sastra Indonesia berprofil yang lebih kurang sama dengan para guru yang hadir di Kakilangit ini.
Berikut ini beberapa hal yang dituturkan para guru mengenai pengalaman mengajarkan sastra di sekolah masing-masing.
Sastra masing dipandang sebagai salah satu aspek kebudayaan yang terpenting.[10] Lalu, apa yang bisa diharapkan dari pelajaran sastra sehingga perlu diajarkan lewat sekolah? Dalam hal ini, guru masih sependapat dengan pandangan Moody bahwa pengajaran sastra berperan dalam meningkatkan berbagai keterampilan berbahasa. Suatu asumsi yang rupanya digunakan sebagai landasan “pencangkokan” sastra ke dalam bidang studi bahasa, membantu meningkatkan pengetahuan tentang budaya, memberi manfaat bagi pengembangan cipta dan rasa, serta menunjang pembentukan watak.[11] Keterpaduan bahasa dan sastra jadinya dianggap sebagai keunggulan Kurikulum 1994. “Ciri keterpaduan dalam pengajaran bahasa dapat dimanfaatkan sebagai sarana apresiasi sastra, selain untuk meningkatkan keterampilan berbahasa. Sebaliknya, pengajaran sastra dimungkinkan sebagai sarana berbahasa selain meningkatkan apresiasi sastra”.[12]
Mengenai pelajaran sastra yang kini masih juga digabung ke dalam pelajaran bahasa, ada guru yang berpandangan bahwa pelajaran sastra semestinya berdiri sendiri sebagai mata pelajaran tersendiri, yakni sebagai pelajaran seni yang memberi kesempatan kepada siswa untuk “bermain kata”.[13] Dengan hanya menjadi bidang sisipan dari pelajaran bahasa Indonesia, pelajaran sastra dianggap kurang begitu penting dengan alokasi waktu yang sanagat terbatas.[14] Namun, ada juga yang beranggapan bahwa penggabungan sastra dan bahasa tidaklah menjadi persoalan, sebab “porsi pengajaran sastra dalam kurikulum, secara tersurat sesungguhnya seimbang dengan pengajaran bahasa. Melalui membaca wacana dan berdiskusi, guru dapat memasukkan unsur pelajaran sastra seperti berdiskusi tentang sebuah karya sastra”.[15]
Bagaimana guru melakukan pengolahan materi pelajaran sastra? Pengolahan materi pelajaran sastra agaknya tidak menjadi persoalan bagi guru. Dinyatakan bahwa untuk meningkatkan kemampuan apresiasi sastra, maka guru semestinya memperkenalkan karya sastra kepada anak didik, bukan pelajaran tentang sastra.[16] Dalam hal pemilihan sumber, tampaknya guru tidak memandang “buku paket” sebagai satu-satunya sumber pelajaran, mereka bisa menggunakan sumber lain yang tersedia, termasuk surat kabar.[17]
Hal yang banyak dibicarakan para guru adalah persoalan yang berhubungan dengan kegiatan belajar. Tampak bahwa para guru telah melaksanakan kegiatan pembelajaran sastra yang beragam: diskusi sastra, bedah puisi, panggung puisi, seminar, pementasan drama, pembacaan puisi dan cerpen, musikalisasi puisi, lomba bidang sastra, atau mengundang sastrawan.[18] Kegiatan tersebut didukung pula dengan berbagai media penunjang: majalah dinding, majalah sekolah, penerbitan antologi puisi, bahkan hadiah dan pemanfaatan bidang seni lain seperti musik atau film.[19] Dalam hal kegiatan belajar-mengajar ini kita mendapa kesan bahwa para guru telah berupaya melaksanakan kegiatan pengajaran sastra dengan teknik yang dianggap bisa mengantar siswa pada tujuan yang diharapkan.[20] Sayangnya, kegiatan belajar sastra masih saja tidak ditunjang dengan tersedianya perpustakaan yang memadai.[21]
Mengenai peran guru dalam pengajaran sastra di sekolah, banyak guru yang menyatakan bahwa mereka punya fungsi sebagai motivator bagi para siswanya. Persoalannya, bagaimanakah usaha memotivasi siswa itu dilakukan? Beberapa guru melakukannya dengan cara meyakinkan siswa bahwa apa yang mereka pelajari adalah sesuatu yang bermanfaat, sehingga perlu dipelajari.[22] Selain itu, ada juga guru yang berpendapat bahwa fungsi guru sebagai motivator baru bisa berhasil jika mampu memberikan keteladanan, memiliki ilmu dan pengalaman sastra yang luas, dibarengi dengan keaktifan membimbing siswa dalam berbagai kegiatan bersastra.[23] Keberhasilan pengajaran sastra, kata seorang guru, sangat bergantung kepada guru dan pemahamannya terhadap kurikulum.[24] Minat siswa pun sangat dipengaruhi oleh faktor kemampuan guru, di samping faktor lain seperti lingkungan.[25]
Pandangan guru tentang minat dan kemampuan apresiasi siswa beragam: ada yang beranggapan mengecewakan, ada yang beranggapan sebaliknya. Nadir La Djamudi dari Baubau, Sulawesi Tenggara, menuturkan pengalaman bahwa siswa yang meminati sastra cukup banyak. Ia berani mengatakan bahwa “ … dapatlah diibaratkan satu dalam seribu kalau ada peserta yang tidak berminat dengan pelajaran sastra. Setiap siswa menampakkan daya antusiasnya saat menerima pelajaran”.[26] Seorang guru di Surakarta membandingkan minat siswa terhadap pelajaran bahasa dan pelajaran sastra. Menurut pengalaman, katanya, “para siswa lebih menyukai pelajaran sastra daripada pelajaran bahasa Indonesia”.[27]
Berbeda dengan pengalaman dua guru di atas, pengalaman guru lain lebih banyak kesamaannya dengan anggapan yang selama ini terdengar: betapa mengecewakan kondisi pengajaran sastra di sekolah. Seorang guru SMU di Bandung memandang bahwa apresiasi di kalangan siswanya masih sangat mengecewakan.[28] Anggapan bahwa pengajaran sastra dirasakan membosankan oleh siswa juga merupakan anggapan yang tidak salah. Seorang guru SMU di Jakarta menulis, “Mempelajari sastra di sekolah bukan saja membosankan tetapi juga sia-sia, tidak berguna”.[29] Dengan anggapan siswa seperti itu, wajarlah jika kemampuan berekspresi sastra pun, menulis misalnya, juga memprihatinkan.[30]
III
Demikianlah suara para guru yang terlibat langsung dalam mengantarkan sastra ke hadapan para siswa. Berkaitan dengan pengalaman guru di atas, ada dua hal yang menarik untuk dibahas di sini, yakni perbedaan persepsi di antara para guru dan kalangan pakar/sastrawan, serta bagaimana guru sastra dididik dan disiapkan.
Para guru pada umumnya berbicara mengenai berbagai hal yang sudah sering dikemukakan para pakar dan pengamat pendidikan serta kalangan sastrawan bahwa kondisi pengajaran sastra (lebih kurang) mengecewakan. Namun, tidak semua guru berpandangan seperti itu. Seorang guru di Bandar Lampung menyatakan bahwa dia “selama ini tidak merasakan bahwa pengajaran sastra di sekolah menengah memprihatinkan” seperti yang dirasakan para pengamat.[31] Pandangan tersebut boleh jadi benar-benar menggambarkan apa yang dialaminya di sekolah. Namun, yang paling penting adalah bahwa pandangan ini masih menunjukkan adanya persepsi yang berbeda di antara para guru dan kalangan pakar/sastrawan.
Persepsi yang berbeda juga muncul mengenai kurikulum. Bagi kalangan pengamat dan sastrawan, penggabung pelajaran sastra ke dalam pelajaran bahasa dipandang sebagai hal yang tidak menguntungkan, bahkan sangat merugikan. Namun, di mata guru penggabungan sastra dan bahasa rupanya tidak menjadi persoalan yang serius, malahan dianggap menunjukkan keterpaduan yang dipandang sebagai ciri keunggulan kurikulum yang digunakan. Perbedaan-perbedaan persepsi semacam ini, bila merebak luas di kalangan para guru, bisa menjadi kendala tersendiri dalam membenahi pengajaran sastra.
Sorotan terhadap kondisi pengajaran sastra pada akhirnya juga menyinggung kemampuan guru yang mengecewakan. Hasil survey Taufiq Ismail tentang pengajaran sastra dan mengarang yang pernah dimuat bersambung pada Republika dua tahun lalu antara lain menggambarkan bahwa ada negara yang memisahkan pengajaran bahasa dan sastra, ada negara yang menggabungkan keduanya.[32] Namun, karena tak ada persoalan dengan kualitas guru-gurunya, di samping kurikulum dan komponen penunjangnya, maka bisa dikatakan bahwa pemisahan atau penggabungan pengajaran bahasa dan sastra tidaklah menjadi masalah.
Pembicaraan tentang kondisi pengajaran sastra, pada umumnya selalu terfokus dan terkesan mengambinghitamkan guru, tetapi tidak pernah sampai menelusuri bagaimana “sistem produksi” guru bahasa dan sastra Indonesia. Kurikulum sudah banyak berubah, tetapi pengajaran sastra bukannya lebih baik. Usaha-usaha meningkatkan kemampuan para guru telah banyak dilakukan, antara lain melalui penataran-penataran dan program penyetaraan. Barangkali perlu waktu untuk melihat hasilnya.
Beberapa bulan lalu, Taufiq Ismail, seorang sastrawan yang sangat besar perhatiannya terhadap pengajaran sastra, aktif terlibat dalam penataran bagi para guru bahasa dan sastra SMU di Indonesia – sebuah kerepotan dalam “memadamkan api kecil-kecilan” dan kesibukan “menulis resep simptomatis”. Program penataran (yang meliputi keterampilan membaca, keterampilan menulis, dan apresiasi sastra) ini bertujuan menumbuhkan kesenangan dan kegemaran berapresiasi sastra, menulis, dan membaca bagi guru bahasa dan sastra di SMU.[33] Kita berharap, melalui kegiatan yang melibatkan berbagai pihak itu – sastrawan, dosen Fakultas Sastra dan IKIP – kemampuan para guru benar-benar meningkat.
Dalam “Catatan Kebudayaan” yang ditulis Taufiq Ismail dalam Horison tentang kegiatan di atas, ada komentar yang menarik untuk dibicarakan. Taufiq Ismail mengutip komentar salah seorang peserta kegiatan tersebut, sebagai berikut. “Pak, saya jadi guru bahasa sudah 10 tahun lebih. Saya selama itu mengajarkan mengarang. Sebenarnya, saya tidak tahu apa yang saya mesti ajarkan pada siswa. Nah, sekarang baru dua sesi saya ikut bimbingan menulis ini, kok sudah begitu jelasnya dan begitu mudahnya. Sekarang tidak ada lagi rasa takut dalam menulis”[34]
Komentar di atas menggugah saya untuk membayangkan apa yang terjadi pada lembaga pendidikan yang memproduksi guru sastra. Kiranya cukup wajar bila dugaan yang muncul adalah, semenjak para guru itu masih menjadi mahasiswa perguruan tinggi kependidikan tidak terlatih untuk memahami, menelaah, menginterpretasi, serta menilai karya sastra secara langsung. Dugaan lain yang bisa muncul: jangan-jangan, para dosen perguruan tinggi kependidikan bidang sastra itu pun tidaklah mempunyai kemampuan yang memadai pula.[35]
Sewaktu menempuh pendidikan di perguruan tinggi kependidikan kita mengandaikan para calon guru telah memperoleh pengetahuan dan pengalaman sastra serta pengetahuan dan pengalaman mengajarkan sastra yang memadai. Andaian ini mengandaikan pula bahwa para dosen dan pengajar sastra di lembaga tersebut punya pengetahuan dan pengalaman sastra serta pengetahuan dan pengalaman mengajarkan sastra yang juga memadai. Pengajaran sastra bisa tidak memenuhi harapan bila andaian-andaian di atas ternyata keliru.
Dalam sebuah hasil penelitian Yus Rusyana (1991), dikemukakan bahwa sekitar 41% guru kurang mengetahui bagaimana cara mengajarkan sastra.[36] Banyak pula alasan lain yang dikemukakan para guru sehingga harus “dimaklumi” jika mereka belum berhasil mengajarkan sastra, misalnya saja soal langkanya hasil sastra yang dapat dibaca siswa, terbatasnya waktu, juga perkara pengetahuan sastra yang diajarkan terlepas dari kegiatan apresiasi. Bila ketidaktahuan guru tentang cara mengajarkan sastra bisa dikatakan sebagai ketidakmampuan guru berhadapan dengan siswa yang akan diajarnya, ketiga alasan yang disebut terakhir pada hakikatnya adalah sisi lain itu, ketidakmampuan guru berhadapan dengan karya sastra yang akan diajarkannya. Bila kendala pertama berkenaan dengan cara mengajarkan, kendala terakhir justru mengenai bahan ajar itu sendiri.
Selama ini, asumsi yang rupanya diyakini terutama oleh kalangan ahli pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, para guru sastra kurang menguasai cara mengajarkan sastra. Padahal, persoalan yang sesungguhnya – seperti tecermin dalam komentar di atas – boleh jadi terletak pada hal yang lebih substansial, yakni kekurangmampuan para guru menghadapi karya sastra atau cara memahami, menelaah, menafsir dan menilai karya sastra. Harus diakui, barangkali, lembaga yang memproduksi guru bahasa dan sastra telah berhasil mendidik calon guru yang menguasai tentang bagaimana mengajarkan sesuatu dengan baik kepada para siswanya kelak. Namun, apakah lembaga yang sama juga telah membekali para calon guru itu dengan penguasaan tentang apa yang akan diajarkan kepada para siswanya? Bila dalam dua hal ini terdapat ketimpangan, maka gagasan Taufiq Ismail untuk segera menyelenggarakan penyediaan dosen yang akan melatih calon guru sastra Indonesia di IKIP semestinya kita dukung.
Salah satu keputusan Kongres Bahasa Indonesia V (1988) adalah pernyataan yang berisi imbauan “hendaknya diadakan pembagian yang tegas antara para guru, yakni ada yang secara khusus menjadi pengajar sastra dan ada yang secara khusus menjadi pengajar bahasa”.[37] Pada kenyataannya, hingga saat ini, imbauan di atas rupanya tidak sampai menggugah lembaga pendidikan yang memproduksi guru untuk berinisiatif menyiapkan tenaga yang memungkinkan pada suatu waktu nanti keputusan itu bisa dilaksanakan. Untuk mewujudkan harapan agar pelajaran sastra dapat dipisahkan dari pelajaran bahasa, sudah saatnya lembaga pendidikan memulai produksi guru sastra dengan lebih sungguh-sungguh.
[1] “Pengantar Redaksi” pada Kakilangit 1 (November 1996), hlm.2
[2] Ruang “Apresiasi Sastra” mulai hadir dalam Horison No. 9 Th. XX (September 1985). Ruangan ini hadir berkesinambungan dalam 21 terbitan hingga No. 12 Th. XXII (Desember 1987). Setelah itu, “Apresiasi Sastra” sering menghilang dan hadir secara “insidental” dalam Horison No. 10 Th. XXIII (Oktober 1988), yakni tanggapan Taufiq Ismail terhadap dua surat yang bertanya tentang dua sajak tentang tinju; dan Horison No. 3 Th. XXIII (Maret 1989) berupa bahan siaran apresiasi sastra TVRI dua bulan sebelumnya. Sapardi Djoko Damono rupanya menjadi pengelola tetap ruangan ini, selain pengisi tidak tetap lainnya, seperti Wieranta, Rayani Sriwidodo, dan Taufiq Ismail.
[3] Dalam “Apresiasi Sastra” yang pertama, redaksi majalah ini mengemukakan bahwa ruangan ini terutama ditujukan bagi pengajar kesusastraan, siswa sekolah menengah, mahasiswa dan umum yang menaruh minat terhadap pelbagai masalah dasar sastra”. Dikatakan pula bahwa dalam ruangan Apresiasi Sastra ini redaksi juga membuka tanya jawab, dan mengundang para peminat untuk bertanya. Pada dua terbitan awalnya (edisi Oktober dan November 1985), rubrik ini melayani pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru (bahasa dan) sastra. Pada terbitan selanjutnya, entah karena tidak ada surat yang masuk atau berdasarkan pertimbangan lain, ruangan ini memfokuskan perhatiannya pada masalah penulisan puisi.
[4] Horison No. 9 Th. XX (September 1985). dalam pengantar Redaksi dikatakan bahwa “Rencana ruangan ini (Apresiasi Sastra) akan memuat karangan yang lebih erat sangkut pautnya dengan apresiasi dan pengajaran sastra; pengajar, mahasiswa, dan siapa pun diharapkan mengisi ruangan tersebut.”
[5] Herman J. Waluyo, dalam Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia (1985) pernah mengemukakan bahwa banyak guru mengeluh karena tidak adanya bahasan karya sastra dan sinopsis drama.
[6] Nadir La Djamudi dalam Kakilangit 10 (Agustus 1997). Pernyataan senada dikemukakan pula oleh beberapa guru lain seperti Edi Sutarto dalam Kakilangit 11 (September 1997); Rusyidi Rasid falam Kakilangit 18 (April 1998); dan Agus Suyuti dalam Kakilangit 16 (Februari 1998).
[7] “Surat-Surat Masuk ke Meja Redaksi” dalam Horison No. 6 Th. XXXI (Juni 1997). Selain surat Rosianto, dimuat pula dua surat dengan isi yang senada dari guru dan kepala SMUN 2 Sampang dan SMUN 4 Bengkulu.
[8] Pada Pilnas V Hiski 1992, Kholid A. Harras dalam makalah berjudul “Guru Bahasa versus Guru Sastra”, mengemukakan bahwa antara pakar dan guru sastra terjadi semacam “serang-menyerang”. Para pakar dan sastrawan telah membuat tuduhan bahwa salah satu faktor kegagalan pengajaran sastra adaah guru yang kurang bersungguh-sunguh mengajarkan sastra. Guru menangkis serangan itu dengan tameng orientasi kurikulum yang tidak jelas.
[9] Tidak semua guru yang mengisi rubrik ini adalah guru bahasa dan sastra Indonesia; dua di antaranya adalah guru olah raga dan fisika. Dari 22 guru yang menuliskan latar belakang pendidikannya, 18 orang berpendidikan sarjana (14 lulusan IKIP/FKIP, 2 lulusan Fakultas Sastra, 2 lulusan IAIN/STAI), 3 tamatan B1, dan 1 orang jebolan pondok pesanten. Guru-guru yang menuturkan pengalamannya berasal dari berbagai kota/provinsi: Jakarta (DKI Jakarta), Kayutanam, Bukittinggi, Sijunjung (Sumatera Barat), Palembang (Sumatera Selatan), Bandar Lampung (Lampung), Bandung, Purwakarta (Jawa Barat), Tegal, Magelang, Semarang, Surakarta (Jawa Tengah), Kediri, Sumenep (Jawa Timur), dan Baubau (Sulawesi Tenggara).
[10] Aziza dalam Kakilangit 26 (Maret 1999).
[11] Irman Syah dalam Kakilangit 5 (Maret 1997); Hanum Safnas dalam Kakilangit 7 (Mei 1997); Edi Sutarto, loc.cit.; Piek Ardijanto dalam Kakilangit 11 (September 1997); Abdul Hadi Esha dalam Kakilangit 17 (Maret 1998); Nurhayati dalam Kakilangit 28 (Mei 1999).
[12] Orsida dalam Kakilangit 13 (November 1997).
[13] Junaidi dalam Kakilangit 15 (Januari 1998); Edi Sutarto, loc.cit.; La Ode Boa dalam Kakilangit 31 (Agustus 1999).
[14] Abdul Hadi Esha, loc.cit.; Budi Wahyono dalam Kakilangit 14 (Desember 1997);
[15] Yurneli dalam Kakilangit 25 (Februari 1999).
[16] Adam Arsad dalam Kakilangit 1 (November 1996).
[17] Hanum Safnas, loc.cit.; Juhrodin dalam Kakilangit 26 (Maret 1999); Nurhadi Sulhan dalam Kakilangit 4 (Februari 1997). Walaupun buku paket tidak dianggap sebagai satu-satunya sumber yang sah, para guru agaknya tidak secara kritis menimbang apakah buku yang disediakan pemerintah itu layak digunakan sebagai sumber pelajaran atau tidak.
[18] Piek Ardijanto S. dalam Kakilangit 7 (Mei 1997); Abdul Hadi Esha, loc.cit.; Rusyidi Rasid, loc.cit.; Nurhayati, loc.cit.; Aziza, loc.cit.
[19] Abdul Latief Anwar dalam Kakilangit 12 (Oktober 1997).
[20] Lili Puspa dalam Kakilangit 24 (Januari 1999); Sutjipto dalam Kakilangit 19 (Mei 1998) dan Kakilangit 27 (April 1999); Yurneli, loc.cit.; Zainal dalam Kakilagit 22 (November 1998).
[21] Euis Amalia Ashar dalam Kakilangit 3 (Januari 1997); Juhrodin, loc.cit.; Junaidi, loc.cit.; Nadir La Djamudi, loc.cit.
[22] Abdul Latief Anwar, loc.cit.; Budi Wahyono, loc.cit.; Hanum Safnas, loc.cit.; Agus Suyuti, loc.cit.
[23] Aziza, loc.cit.; Edi Sutarto, loc.cit.; Piek Ardijanto S. dalam Kakilangit 34 (September 1999); Rusyidi Rasid, loc.cit.; Yusril dalam Kakilangit 9 (Juli 1997); Purhendi dalam Kakilangit 23 (Desember 1998).
[24] Orsida, loc.cit.
[25] Piek Ardijanto S. dalam Kakilangit 7 (Mei 1997); Rusyidi Rasid, loc.cit.
[26] Nadir La Djamudi, loc.cit.
[27] Junaidi, loc.cit. Hal senada dikemukakan Maryanah, seorang guru yang mengajar di SMK (Kakilangit 8, Juni 1997). Ia menduga para siswanya, yang memfokuskan belajar pada mata pelajaran eksakta, kurang begitu tertarik pada mata pelajaran sastra. Namun, dia kemudian mengatakan, “dugaan saya rupanya meleset”.
[28] Euis Amalia Ashar, loc.cit. Nurdin, seorang kepala sekolah berlatar pendidikan olah raga – yang sering masuk kelas menggantikan guru bahasa dan sastra yang berhalangan mengajar – punya pandangan serupa. Katanya, “keberadaan sastra di sekolah sungguh menyedihkan. Sastra belum mendapat sambutan siswa yang memuaskan” (Kakilangit 29, Juni 1999)
[29] Yurneli, loc.cit.; Rusyidi Rasid, loc.cit.; Abdul Latief Anwar, loc.cit.
[30] Purhendi, loc.cit.; Lili Puspa, loc.cit.
[31] Sutjipto, loc.cit. Dikatakan bahwa pandangannya itu “berdasar pada data otentik, yaitu kurikulum 1994 yang saat ini dalam perjalanan pelaksanaannya. Sedangkan para pengamat, menurut penulis masih terkesan pada pengalaman dan pengamatannya yang maya, menurut perasaan, atau tanpa data otentik”.
[32] Taufiq Ismail, “Tentang Cara Menjadi Bangsa Rabun Membaca dan Lumpuh Menulis Pula, Sehingga Jelas di Dunia Kita Pakar Terkemuka” makalah Kongres Bahasa Indonesia VII, 26-30 Oktober 1998.
[33] Taufiq Ismail, “Repot Memadamkan Api Kecil-Kecilan, Sibuk Menulis Resep Simptomatis”, Catatan Kebudayaan Horison No. 6 Tahun XXXIII (Juni 1999).
[34] ibid.
[35] Taufiq Ismail, Sastra yang Tidak Sampai pada Siswa-Siswa Kita” Catatan Kebudayaan Horison No. 8-11 Th. XXXI, November 1996.
[36] Yus Rusyana, Horison No. 7 Th. XXXIII (Juli 1999).
[37] Keputusan Kongres Bahasa Indonesia V, 1988, hlm. 15.
Catatan
Makalah ini disajikan pada Pertemuan Ilmiah Nasional Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia XII di Jakarta, 1999.