DALAM pelajaran paling dasar tentang sastra, puisi adalah sebuah bentuk ekspresi. Bentuk ekspresi yang sejatinya merupakan ruang yang riang ini, sayangnya, segera saja menjadi agak menciutkan nyali ketika puisi dibatasi sebagai sebuah karangan yang “terikat oleh sejumlah aturan”; demikian definisi yang saya terima ketika masa kanak dulu. Tidak salah memang, sebab yang segera muncul sebagai contoh dari definisi di atas adalah karya sastra dari zaman lampau semacam syair dan pantun. Barulah kemudian saya diperkenalkan dengan sebutan “puisi bebas”, sebuah bentuk puisi yang tidak lagi “terikat oleh sejumlah aturan”. Aturan, dalam pemahaman masa kanak dulu, tentu saja hadir sebagaimana rumusan artinya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (2008), yaitu sebagai “cara (ketentuan, patokan, petunjuk, perintah) yang telah ditetapkan supaya diturut …; tindakan atau perbuatan yang harus dijalankan”.
Belasan tahun kemudian barulah saya berjumpa dengan Teeuw (1988) yang memperkenalkan saya pada gagasan Levin, bahwa sastra sejatinya berada dalam tegangan antara aturan dan kebebasan, antara convention dan invention. Saya bertemu dengan Sutardji yang berdiri di salah satu puncak gunung perpuisian Indonesia modern sebagai penyair yang membuktikan kebenaran pendapat Levin itu. Di jalan akademis yang saya lalui, saya menyinggahi dunia kreativitas Putu Wijaya (sastrawan Indonesia yang sangat menonjol) dan Godi Suwarna (seorang sastrawan Sunda termuka). Keduanya memiliki kesamaan, yakni dikenal sebagai “pemberontak” terhadap tradisi yang ada dalam dunia sastra masing-masing.
Kata “pemberontak” pertama-tama masuk ke dalam kepala saya lewat pelajaran sejarah. Berada dalam terminologi politik, kata itu memunculkan pengertian yang berkonotasi tidak baik, yakni seseorang yang “melawan, tidak mau menurut perintah” atau “melawan pemerintah (kekuasaan dan sebagainya)”. Dari pelajaran sejarah, kita semua tahu bagaimana nasib para pemberontak yang terlibat dalam G30S/PKI terutama di masa Orde Baru dulu. Sastra kemudian memperkenalkan saya kepada makna terhormat dari pemberontak, orang yang melawan, orang yang mengoposisi. Dalam sastra, justru para “pemberontak yang baiklah” yang membuktikan diri mampu membawa dunia sastra ke arah kemajuan. Tonggak-tonggak sastra ditancapkan oleh para pemberontak, mereka yang tidak hanyut dalam arus kreativitas yang ada. Tonggak-tonggak sastra dan kebudayaan umumnya ditegakkan oleh orang-orang yang menciptakan arus sendiri, yang boleh jadi harus melawan arus yang sudah ada. Sastrawan yang hanya bisa hanyut dalam arus dipersilakan berpuas diri menjadi sekadar epigon. Penghargaan terhadap pemberontakan ini bahkan menjadi pembeda antara masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Masyarakat tradisional tidak mampu melepaskan diri dari ikatan, sementara masyarakat modern memandang penting pembaruan.
***
Dunia seni rupanya menjadi rumah yang nyaman buat Achmad Zain, semenjak ia menetapkan pilihannya kuliah di Institut Kesenian Jakarta. Tak setitik pun dia tertarik pada politik. Saya menduga, ia merasa puas bergelut di wilayah seni karena menawarkan dan menghargai keberagaman, bukan menanamkan dan meniscayakan keseragaman sebagaimana politik. Seni memang memperkenalkan kita kepada ketidaktunggalan, memberi tempat yang layak bagi sang liyan – demikian istilah yang lazim saya dengar untuk menyebut the others. Seni memberi ruang kepada “yang melawan”, bagi “oposisi” yang dengan bebas melontarkan suara-suara lain. Bahkan, individu dan karya dalam seni dihargai justru karena ia mampu menjelma elang yang sendirian terbang, bukan pipit tak sanggup lepas dari gerombolan. Maka, bila ada pipit yang bernyali terbang sendirian, dalam horison kebudayaan, tentu saja akan menjadi fenomena yang mengagumkan – dalam cakrawala politik, pipit malang itu barangkali akan secara dicap sebagai “pengkhianat”, “tidak setia kawan”, atau setidaknya “mau dibilang” (Ah, kadang saya tidak tahan untuk segera menyimpulkan bahwa seni-budaya ternyata beroposisi dengan politik, sebagaimana disinyalir Acep Zamzam Noor).
Kumpulan sajak Merobek Malam karya Achmad Zain ini juga saya maknai sebagai “ruang oposisi”; ruang bagi pengalaman, gagasan, keinginan, renungan, atau perasaan yang menyatakan atau mempertanyakan sesuatu yang dialami penulisnya menanggapi kenyataan di sekitarnya. Bagi penulisnya sendiri, kumpulan sajak ini boleh jadi pula menjadi sebuah “ruang oposisi”, kalau-kalau ada yang memandang bahwa kelompok Teater Sendiri yang didirikannya tujuh belas tahun silam telah “tamat”. Dengan memilih moto “berbuat adalah yang terbaik”, Achmad Zain tentu sudah menghapus kata itu dari kamus Teater Sendiri. Semoga terbitnya kumpulan puisi ini menginspirasi dan mendorong kita untuk menghargai sang liyan, merayakan keberagaman.