Cerpen Wa Ode Rizki Adi Putri
HUJAN YANG TURUN subuh ini membuatku tak dapat lagi memejamkan mata. Ada sepi-sepi yang terusir dari atap rumah, embun yang lelah terhimpit rinai air, dan sebuah rindu yang buncah di dadaku. Rindu pada Gadis, Mama, Papa, dan rindu pada-Nya. Kubuka jendela kamar. Kubiarkan angin dan tempias hujan menerobos masuk, sesekali mereka menampar-nampar atau mengeluskan jemari tuanya di wajahku. Sebenarnya, rindu ini telah meretakkan ulu hati. Kemudian ingin segera tumpah, mengalirkan cairan bening paling bisu dari sepasang mata yang tak berani kusebut sebagai mataku. Aku berusaha menguat-nguatkan perasaan, seolah pahit rindu ini akan tawar oleh waktu atau padam dan menetap di mimpiku saja. Tapi itu semua tak mungkin terjadi, karena aku tahu pasti ia akan segera kembali menjejali pikiran mudaku sepasti matahari yang membeliakkan makna hidup di timur.
Ah, aku benar-benar tak tahan lagi untuk segera menumpahkan tangisku dalam hujan, agar tak perlu ada yang mendengar, tak perlu ada yang bertanya ada apa. Sebagaimana yang dahulu dilakukan oleh Gadis, ketika segala usahanya untuk membuatku mengerti akan keindahan alam dan kehidupan selalu saja gagal. Ia akan terisak di antara deru angin basah, dan aku akan pura-pura tak mendengar semua yang dikeluhkannya pada hujan. Tapi aku juga telah terlanjur berjanji pada Gadis untuk tidak mengurai air mata dari mata ini. Mata yang ia berikan untukku agar aku dapat melihat indahnya dunia. Melihat pepohonan hijau, bening cakrawala, juga pagi yang jingga. Sesuatu yang dahulu tak dapat kulihat. Namun telah kutahu adanya dari cerita- cerita Gadis. Membayangkannya saja aku merasa sangat sulit, karena sama sekali aku tak punya bayangan apa-apa tentang semua itu. Dalam duniaku hanya ada gelap meski akupun tak tahu bagaimana itu terang. Dari cerita Gadis aku tahu bahwa dunia gelap yang aku miliki itu terdapat sebuah warna, warna hitam. Warna yang hampir sama ketika langit malam menumpahkan bintang-bintang, hampir sama dengan aspal jalan raya yang kami lalui, juga warna awan-awan gendut penanda badai.
Gadis tak pernah tahu bahwa keputusannya menghadiahkan sepasang mata kepadaku adalah hal paling menyakitkan. Dalam doa-doa yang tak pernah kuceritakan padanya, aku selalu memohon pada Tuhan agar memberiku kesempatan sedetik saja untuk melihat wajah Gadis. Wajah sepupu yang sangat kusayang, tak ada duanya di dunia. Seseorang yang selama ini menjadi “mataku”, membacakan buku, mengajakku jalan-jalan, bercerita tentang semua hal, dan membuatku mensyukuri hidup. Keberadaan Gadis membuat aku tak pernah merasa bahwa aku terlahir buta. Aku hanya merasa bahwa Tuhan itu Maha Adil dengan tidak menakdirkan aku untuk melihat semuanya dengan mataku sendiri, melainkan dengan mata Gadis saja. Tapi doa itu ternyata takkan pernah dikabulkan oleh Tuhan di dunia fana ini.
Hampir setahun yang lalu, aku selesai melakukan operasi pencangkokan mata. Harapan besar memenuhi hatiku bukan untuk melihat keindahan alam, wajah sahaja Papa dan Mama, tidak juga untuk mengetahui apa itu terang. Yang aku inginkan hanya Gadis, melihat wajah Gadis, wajah “mataku”. Aku meminta agar perbanku dibuka di hadapan Gadis. Sungguh hanya ia yang ingin kulihat di dunia ini. Aku bahkan tak peduli pada rupaku sendiri yang menurut setiap orang yang kutemui, aku sangat tampan. Aku bahagia bukan kepalang sepanjang perjalanan menuju dia. Begitu sampai di hadapannya ada perasaan lain yang hinggap di rambutku, aku begitu kaget ketika keheningan justru menyergap lebih dulu. Sama sekali tak ada sapaan dari Gadis sebagaimana ia lakukan biasanya. Aku bertanya apakah benar Gadis sudah di hadapanku pada dokter dan perawat. Mereka hanya menjawab, iya. Perlahan perban mataku dicopot. Ada hawa dingin menyentuh kelopak dan bulu mata. Perlahan kubuka mataku, aku hampir tidak tahu caranya. Karena ini adalah sesuatu yang tak pernah kulakukan sepanjang delapan belas tahun usiaku. Buram dan silau menyerbu, namun perlahan semuanya jadi sejelas kehidupan.
Aku layangkan pandangan, setiap orang di sekelilingku tersenyum, oh… begitukah yang namanya tersenyum? Tapi aku tak melihat senyum Gadis bersemayam di wajah salah seorang dari mereka. Kuperhatikan lingkungan sekitar, aku berada di sebuah taman aneh yang sama sekali asing bagiku. Aku yakin Gadis tak pernah mengajakku kemari. Perasaan lain yang tadinya hinggap di rambutku, tiba-tiba merembesi kulit kepala, seolah akan menetap di otakku. Aku beranikan diri bertanya, di mana Gadis. Mereka menunjukkan jarinya ke utara, tepat di hadapanku. Sebuah gundukan tanah coklat yang turut mencoklatkan cuaca hari itu, menyelesaikan semua tanya. Ada papan putih bertuliskan lima huruf yang tertata rapi. Aku segera tahu yang kuhadapi ini adalah makam Gadis. Harapanku untuk melihat wajahnya telah terhalang tanah makam kedalaman satu meter.
Menurut cerita Mama, Gadis meninggal karena kanker darah dua minggu yang lalu. Penyakit yang dahulu juga memaksa ia berpisah dengan ibunya. Penyakit itu memang merontokkan rambutnya, tapi sama sekali tak merontokkan senyum juga keindahan binar mata yang ia miliki bahkan saat bersitegang dengan maut. Jauh-jauh hari sebelum almarhumah, ia telah berpesan agar matanya dihadiahkan saja untukku. Tanda cinta dan sayang padaku, pelannya pada mama. Harapan yang ia titik cuma satu, agar aku dapat melihat langsung apa yang dahulu ia hanya hadir dalam ceritanya. Sungguh aku yakin ia pun masih punya keinginan untuk hidup seribu tahun lagi, sebagaimana larik puisi Chairil Anwar, penyair kesayangannya. Tapi takdir meneriakkan nasib lain untuk perempuanku. Sepeninggalnya, gadis tak pernah tahu bahwa keindahan binar matanya tak pernah ada lagi semenjak mata ini ia hadiahkan kepadaku. Keindahan binar matanya telah mati bersamaan ketika Izrail menyelesaikan tugas dengannya tepat tanggal 3 April 2008 pukul 06.00. Ia tak pernah tahu, impiannya agar aku dapat melihat keindahan dunia yang hadir dalam cerita-ceritanya, sama sekali tak pernah terwujud.
Tanpa bermaksud tidak mensyukuri karunia Tuhan, jujur, aku sangat menyesal mendapat penglihatan ini. Hari-hariku dalam dunia yang kini benderang, aku rasakan lebih gelap dari kebutaan. Bagaimana tidak, hari pertama saat aku dapat melihat yang kutemui adalah nisan membisu milik Gadis. Bukan senyumnya yang rekah karena bahagia. Bukan hal yang paling aku tunggu. Waktu berlalu, aku pun mengambil kesimpulan bahwa dalam dunia terang ini aku hanya ditakdirkan melihat duka dan kesedihan. Tidak seperti duniaku yang dahulu begitu gelap, tapi aku selalu merasakan bahagia di samping Gadis. Duka terakhir aku saksikan sebulan yang lalu, saat berita di televisi menyiarkan kabar jatuhnya sebuah pesawat. Nomor penerbangannya aku kenali sebagai nomor penerbangan pesawat yang ditumpangi dua orang yang aku cintai.
Ya, Papa dan Mama meninggal dalam kecelakaan tragis itu. Berbeda dengan kematian Gadis yang jasadnya bahkan tak sempat kulihat. Jasad Papa dan Mamaku yang menghitam karena terbakar, masih sempat aku peluk meski sebentar saja. Oh, betapa aku merasa bahwa Tuhan menakdirkan mata ini untuk melihat kematian orang-orang yang kusayangi. Mengapa ini terjadi Tuhan? Pertanyaan itu takkan pernah terjawab. Karena di kamar yang sepi ini tidak ada siapapun kecuali aku. Lelaki muda dengan rindu membuncah dalam dada. Rindu pada Gadis, Mama, Papa, dan rindu pada-Nya. Aku menoleh ke luar jendela, ada fajar menyingsing namun tak tampak karena hujan menjadi raja pagi ini. Aku harap hujan akan turut menyamarkan sebuah rahasia yang akan ia saksikan. Rahasia tentang janji yang patah. Janji pada Gadis untuk tidak menangis dengan matanya. Dia harus tahu aku benar-benar tidak sengaja melanggar semua ini. Cairan paling bisu itu rontok dari sepasang mata yang tak berani kusebut sebagai mataku. Rontok dengan sederhana. Sesederhana harapan Gadis tentangku.
Aku membuat satu janji lagi, janji untuk tidak menangisi apa pun yang terjadi setelah ini. Aku akan menyelesaikan semuanya sekarang. Pukul 06.00, tepat setahun setelah kematian Gadis. Aku yakinkan diriku, ini akan lebih baik dari hidup sendirian sebagaimana kini. Takkan ada yang menyalahkan aku karena tak berhasil menemukan satu pun obat rindu. Rindu pada Gadis, Mama, Papa, dan rindu pada-Nya. Meski setelah ini Gadis akan marah padaku karena menggunakan matanya untuk menangis, tapi aku yakin kebersamaan kami kelak akan menghapus kemarahan itu. Aku melempar pandangan keluar kamar. Ada pagi yang jingga melompati jendela dan langit meluas hening tanpa hujan yang seolah memanggil aku memeluk punggungnya yang damai. Aku menjadi tahu indahnya alam yang dahulu di ceritakan Gadis. Tapi rindu ini terlanjur meretakkan ulu hati, lebih ngilu dari belati yang kini bersarang di jantungku. Gadis, tunggu aku menyelesaikan semua ini. Termasuk rindu yang menjahit malam dan siangku. Rindu padamu, Mama, Papa, dan rindu pada-Nya.
Hening subuh kotaku, 7 April 2009
Wa Ode Rizki Adi Putri lahir di Kendari, 4 Desember 1989. Kini tengah menempuh studi pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo. Selain dimuat di Kendari Pos, karya-karya puisinya telah terhimpun pula dalam buku kumpulan puisi Pagi yang Mendaki Langit (Penerbit FKIP Unhalu, 2009). Pernah menjadi juara II dalam lomba cipta puisi Pekan Sastra 2009.