Pelajaran mengarang sudah dimulai.
“Kalian punya waktu 60 menit,”ujar Ibu Guru Tati. Anak-anak kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja. Ibu Guru Tati menawarkan tiga judul yang ditulisnya di papan putih. Judul pertama Keluarga Kami yang Berbahagia. Judul kedua Liburan ke Rumah Nenek. Judul ketiga Ibu.
Ibu Guru Tati memandang anak-anak manis yang menulis dengan kening berkerut. Terdengar gesekan halus pena pada kertas. Anak-anak itu sedang tenggelam ke dalam dunianya, pikir Ibu Guru Tati….
Peristiwa di atas, mudah-mudahan saja, hanya terdapat dalam cerpen Seno Gumira Ajidarma, “Pelajaran Mengarang”, cerpen terbaik pilihan Kompas tahun 1993. Pelajaran mengarang seperti itu, dalam pandangan Mary Leonhardt – penulis buku 99 Cara Menjadikan Anak Anda Bergairah Menulis (2001), pastilah tergolong ke dalam cara mengajarkan menulis dengan cara lama yang membosankan. Para siswa “dipaksa” menulis suatu topik yang bukan pilihannya sendiri, dan entah untuk apa tulisan itu.
Dengan kondisi pembelajaran menulis yang pada umumnya dilaksanakan mirip dengan apa yang digambarkan dalam cerpen Seno Gumira Ajidarma di atas, maka wajarlah jika banyak muncul pandangan yang tidak menggembirakan ihwal menulis ini. Taufiq Ismail, misalnya, menganggap para siswa kita pincang mengarang. Erizal Gani (2004) berpendapat bahwa kemahiran menulis peserta didik tetap lemah, sekalipun aneka perbaikan dan perubahan telah dilakukan.
Di perguruan tinggi pun, demikian pula, kondisi pembelajaran menulis relatif sama gagalnya; seperti yang tecermin pada pendapat Sabarti Akhadiah dkk. (1990) dan Novita Dewi (2005). Akhadiah dkk. (1990:v) berpendapat bahwa persoalan yang sering terlontar dalam pengajaran mengarang adalah kurang mampunya mahasiswa dan siswa menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Adapun Novita Dewi (2005) memberikan bukti kegagalan pembelajaran menulis berupa banyaknya mahasiswa yang menyelesaikan studi setelah lima atau bahkan batas maksimal tujuh tahun dengan dalih menemui kesulitan dalam menulis skripsi.
Tulisan ini akan mencoba menyoroti ihwal penyebab ketidakberhasilan pembelajaran menulis di sekolah dalam memahirkan siswanya mengungkapkan gagasan atau imajinasi melalui tulisan. Pembahasan mengenai penyebab ketidakberhasilan pembelajaran menulis ini hanya akan difokuskan pada dua aspek psikologis yang sering terabaikan, yakni (a) menumbuhkan rasa suka terhadap menulis, dan (b) membantu siswa mengaktualisasikan diri melalui menulis. Kedua hal di atas berhubungan erat dengan dua peran guru di sekolah, yakni (a) sebagai motivator, dan (b) sebagai fasilitator.
Sukakah Siswa Anda Menulis?
Setiap kali tiba saatnya pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa kesulitan yang besar, karena ia harus betul-betul mengarang. Ia tidak bisa bercerita apa adanya seperti anak-anak yang lain. Untuk judul apa pun yang ditawarkan Ibu Guru Tati, anak-anak sekelasnya tinggal menuliskan kenyataan yang mereka alami. Tapi Sandra tidak, Sandra harus mengarang. Dan kini Sandra mendapat pilihan yang semuanya tidak menyenangkan….
(Seno Gumira Ajidarma, “Pelajaran Mengarang”)
Ilustrasi pada cerpen yang dikutip pada awal makalah ini menggambarkan bagaimana pembelajaran menulis dilakukan dengan dorongan eksternal semata: karena guru menugasi siswa untuk menulis. Artinya, jika guru tidak menugasi siswa menulis, maka siswa tak akan menulis. Akibatnya, pelajaran mengarang terasa oleh siswa sebagai beban, seperti dirasakan Sandra. Di sini, guru agaknya mengabaikan pentingnya dorongan internal dari dalam diri siswa: rasa suka dan gemar menulis. Padahal, bagi Leonhardt (2001), rasa suka menjadi pintu utama bagi keberhasilan siswa belajar menulis. “Sekali anak jatuh cinta dengan menulis,” Leonhardt menjamin, “tulisan mereka akan melejit.”
Mengapa gemar menulis itu penting? Leonhardt (2001) menjawabnya dengan sepuluh alasan berikut.
1. Rasa suka terhadap suatu kegiatan merupakan prasyarat untuk keberhasilan di bidang apa pun, demikian pula halnya dengan menulis.
2. Hanya anak-anak yang suka menulis saja yang akan menulis dengan sering dan teliti.
3. Hanya siswa-siswa yang gemar menulis dan banyak menulis secara mandiri, yang akan mengembangkan irama dan gaya pribadi mereka.
4. Hanya anak-anak yang terbiasa menulis mandiri sajalah yang akan belajar cara menulis dengan fokus yang tajam dan jelas.
5. Anak-anak harus sering dan bebas menulis (dan membaca) supaya terampil menggunakan struktur kalimat yang kompleks dengan benar.
6. Anak-anak yang menikmati tulis-menulis jarang menunda-nunda menyerahkan makalah dan laporan yang ditugaskan.
7. Anak-anak yang suka menulis lebih memahami hal-hal yang dibacanya.
8. Anak-anak yang gemar menulis (dan membaca) menjadi murid yang unggul dalam hampir semua mata pelajaran.
9. Anak-anak dengan kebiasaan menulis mandiri mempunyai cara yang mudah untuk mengatasi trauma emosional.
10. Penulis yang terampil dan fasih punya keuntungan luar biasa dalam sebagian besar bidang pekerjaan.
Berbeda dari cara lama dalam pembelajaran menulis yang terasa membosankan (siswa), “paradigma baru” pembelajaran menulis yang ditawarkan Taufiq Ismail (2003) adalah bahwa kelas mengarang harus diselenggarakan secara menyenangkan, sehingga tidak terasa jadi beban, baik bagi siswa, maupun untuk guru. Maka, pekerjaan pertama seorang guru adalah menumbuhkan rasa suka terhadap menulis.
Pada taraf membaca-menulis permulaan, ketika “menulis” diartikan sebagai menuliskan lambang-lambang grafis, harus kita akui, para guru di sekolah dasar telah berhasil memperkenalkan kita pada huruf: membaca dan menuliskannya. Para siswa yang sebelumnya pada umumnya tidak mengenal huruf satu pun, pada akhir tahun pertama mereka telah mampu mengenal huruf-huruf, merangkai-rangkai huruf menjadi kata-kata, kalimat-kalimat sederhana, serta mampu menuliskannya. Akan tetapi, setelah berhasil mengenalkan siswa kepada huruf-huruf, kata, dan kalimat-kalimat sederhana serta mampu menuliskan lambang-lambang grafis itu, mengapa para guru gagal membuat para siswa terampil merangkai kalimat-kalimat menjadi karangan yang menarik?
Salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan itu, pada hemat saya, adalah kurangnya upaya guru membangkitkan motivasi internal pada diri siswa sehingga mereka memiliki rasa suka terhadap menulis. Pada taraf membaca-menulis permulaan, para guru telah berhasil merangsang keinginan siswa untuk mampu membaca dan menuliskan huruf-huruf karena para siswa menyadari pentingnya memiliki kemampuan membaca huruf, kata dan kalimat. Siswa yang gagal mengenali huruf, kata dan kalimat sederhana akan segera tergolong sebagai si buta huruf. Yang mendapat julukan “anak pintar” di kelas awal sekolah dasar adalah, antara lain, anak yang mampu membaca huruf, kata, dan kalimat sederhana dengan benar, sementara siswa yang tidak mampu tergolong “anak bodoh”. Di sini, dorongan dari dalam diri siswa demikian tinggi karena menyangkut bisa tidaknya membaca dan menuliskan huruf, kata dan kalimat, berkaitan dengan bisa tidaknya siswa mencapai aktualisasi diri.
Ketika menulis dimaknai “keterampilan menyampaikan pesan dengan menggunakan media bahasa tulis”, perbedaan antara siswa yang mampu menulis dan tidak mampu menulis mulai tidak tampak dengan jelas seperti pada taraf membaca-menulis permulaan. Penghargaan yang diterima oleh siswa yang mampu menulis dan tidak mampu menulis relatif tidak beroposisi biner seperti pintar vs bodoh atau naik kelas vs tertinggal. Perbedaan antara anak yang mampu menulis karangan yang bagus dan anak yang kurang mampu mengarang, barangkali hanya perbedaan angka dalam buku laporan pendidikan belaka. Maka dorongan dari dalam diri siswa untuk terampil mengungkapkan gagasan dan perasaan melalui bahasa tulis pun perlahan-lahan mengendor.
Agar dorongan untuk menulis tetap terpelihara dan rasa suka terhadap menulis bertumbuhkembang dalam diri siswa, Leonhardt antara lain memberikan sepuluh kiat utama berikut: (1) tumbuhkan kecintaan dan kebiasaan membaca pada diri siswa; (2) dukunglah selalu tulisan siswa Anda; dalam setiap tulisan, pasti ada yang dapat dipuji; (3) tawarkan saran dan kritik hanya kalau siswa sudah menjadi penulis yang terampil dan percaya diri; (4) hargai privasi siswa; janganlah membaca tulisannya tanpa seizinnya; (5) hargai pendapat siswa; (6) jangan menuntut kesempurnaan; (7) jangan menyensor tulisan siswa; (8) sadarilah bahwa siswa mempunyai selera menulis yang berbeda-beda, doronglah mereka untuk menulis apa yang mereka senangi; (9) tak perlu mengajarkan tata bahasa kepada siswa ketika mereka baru mulai menulis, sebagian besar pengetahuan ketatabahasaan berkembang sehingga lebih baik dikuasai siswa sedikit demi sedikit; dan (10) Anda sendiri, menulislah untuk kesenangan.
Hal lain yang perlu diketahui siswa adalah bagaimana dunia menghargai tulisan. Penghargaan Nobel (diberikan sejak 1901) misalnya, menetapkan karya sastra sebagai salah satu dari lima bidang yang diberi penghargaan, yakni: fisika, kimia, sastra, kedokteran, perdamaian – bandingkan dengan ilmu ekonomi yang baru diberi penghargaan Nobel mulai tahun 1969.
Bagaimana “Nasib” Tulisan yang Dibuat Siswa?
Di rumahnya, sambil nonton RCTI, Ibu Guru Tati yang belum berkeluarga memeriksa pekerjaan murid-muridnya. Setelah membaca separo dari tumpukan karangan itu, Ibu Guru Tati berkesimpulan, murid-muridnya mengalami masa kanak-kanak yang indah.
Ia memang belum sampai pada karangan Sandra….
(Seno Gumira Ajidarma, “Pelajaran Mengarang”)
Ketika para siswa ditugasi menulis, para siswa kemudian menyerahkan tulisan itu, lalu bagaimanakah nasib tulisan tersebut di tangan guru? Karena belum berkeluarga(?), Ibu Guru Tati, guru Sandra, punya waktu untuk memeriksa (memberi nilai?) pekerjaan murid-muridnya – walau sambil nonton televisi (acara sinetron atau gosip selebritas, ya?). Tidak begitu jelas apa yang diperiksa Ibu Guru Tati, sehingga sampai pada kesimpulan bahwa murid-muridnya mengalami masa kanak-kanak yang indah. Tidak begitu jelas juga, apakah karangan yang telah diperiksa itu dikembalikan kepada penulis masing-masing, dipajang di majalah dinding sekolah, ataukah ditumpuk di laci meja ruang guru.
Guru yang baik tentu akan membaca karangan yang diserahkan siswa, dan pada kelas-kelas tinggi guru akan mengoreksinya. Memang, di samping pendekatan frekuensi, pendekatan yang kerap digunakan dalam pembelajaran menulis adalah pendekatan koreksi (Suparno dan Yunus, 2002). Guru yang baik akan memberi kesempatan kepada siswa untuk banyak berlatih menulis, termasuk mendorong siswa untuk menulis catatan harian. Ketika para siswanya telah menjadi penulis yang terampil dan percaya diri, sang guru akan memberikan saran dan kritik atas tulisan yang dibuat siswa. Sayang sekali, tidak banyak guru yang memiliki waktu untuk mengoreksi, dalam arti memberikan catatan, tanggapan, serta saran-saran untuk perbaikan tulisan para siswanya. Yang banyak dilakukan guru adalah sebatas memberikan skor atau nilai atas tulisan tersebut. Siswa yang memperoleh skor tinggi pastilah merasa senang, sementara siswa yang memperoleh skor rendah tentu tidak puas. Namun, baik siswa yang memperoleh skor tinggi maupun siswa yang mendapat nilai rendah tidak pernah tahu mengapa karangan yang ditulisnya dinilai bagus atau kurang bagus.
Guru yang kreatif barangkali akan menyediakan papan tempel yang biasa dikenal dengan sebutan majalah dinding, sebagai ruang bagi siswa untuk berekspresi. Pada Rencana Pembelajaran yang di dalamnya terkandung “alternatif strategi pembelajaran menulis puisi dengan pendekatan kontekstual berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi di sekolah dasar dan menengah” yang disusun oleh Marliana (2005), misalnya, kegiatan inti terakhir pada skenario pembelajaran adalah “kelompok terbaik mendapat penghargaan dari guru. Puisi karya kelompok akan dipublikasikan dalam Puisi Dinding di sekolah tersebut, sedangkan puisi terbaik akan diperlombakan di tingkat kelas”.
Pemublikasian karya tulis siswa memang dapat dipandang sebagai penghargaan terhadap kreativitas siswa. Di sini peran guru sebagai fasilitator diperlukan untuk membantu siswa mencapai aktualisasi diri melalui keterampilan menulis. Seandainya Ibu Guru Tati bisa membantu siswa-siswanya memperbaiki karangan mereka, maka karangan para siswa itu mungkin saja bisa dikirim (secara kolektif, mengapa tidak?) ke sebuah majalah remaja ataupun majalah sastra. Seandainya lagi satu atau beberapa karangan yang dikirim itu menarik hati redaktur, tentu akan dimuat. Pemuatan tulisan siswa pada majalah berskala nasional akan membuat penulisnya dikenal dan bukan tidak mungkin memperoleh imbalan finansial.
Penutup
Pembelajaran menulis di sekolah hingga saat ini dipandang belum sepenuhnya berhasil memahirkan para siswa untuk mengungkapkan gagasan atau imajinasi melalui tulisan. Dari aspek psikologis, ketidakberhasilan pembelajaran menulis ini antara lain disebabkan oleh kurangnya upaya guru dalam memberikan motivasi/dorongan agar pada diri siswa tumbuh rasa suka terhadap menulis. Penyebab lain belum berhasilnya pembelajaran menulis adalah kurangnya kesempatan guru memberikan koreksi atas karangan siswa serta memfasilitasi siswa mempublikasikan tulisannya di media yang relevan.
Daftar Pustaka
Ajidarma, Seno Gumira. “Pelajaran Mengarang” dalam Pelajaran Mengarang, Cerpen Pilihan Kompas 1993. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2002.
Akhadiah, Sabarti dkk. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. 1990.
Dewi, Novita. “Membaca, Menulis, dan Membaca untuk Menulis: Diagnosis Dini Penulisan Karya Tulis di Fakultas Sastra”, makalah Konferensi Internasional Kesusastraan HISKI di Palembang , 18-21 Agustus 2005.
Gani, Erizal. “Menuju Pemberdayaan Pembelajaran Menulis: Upaya Memahirkan Menulis Sejak Dini”, makalah Seminar Nasional HPBI di Kendari, 11-13 Oktober 2004.
Ismail, Taufiq. Agar Anak Bangsa Tak Rabun Membaca Tak Pincang Mengarang. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta . 2003.
Leonhardt, Mary. 99 Cara Menjadikan Anak Anda Bergairah Menulis, terj. Eva Y. Nukman. Bandung : Kaifa. 2001.
N. Lia Marliana. “Alternatif Strategi Pembelajaran Menulis Puisi dengan Pendekatan Kontekstual Berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Sekolah Dasar dan Menengah”, makalah Konferensi Internasional Kesusastraan HISKI di Palembang, 18-21 Agustus 2005.
Suparno dan Mohammad Yunus. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas Terbuka. 2002.
kembali ke kajian