Cerpen La Ode Gusman Nasiru
MALAM INI bulan sedang cerah bersinar. Hanya tipis awan di antara bintang-bintang yang menari mengikuti irama angin. Orang-orang kampung pasti sedang berkumpul di ruang keluarga pada saat-saat seperti ini. Satu dua laki-laki dewasa ada pula yang betah berlama-lama menikmati malam di beranda.
Lampu tembok di dalam rumah tidak lebih terang dari cahaya bulan. Bahkan cenderung lebih temaram dengan sinar kuning yang kecil, sesekali meredup diterpa angin. Dengan agak tergesa, aku mendapati anakku sedang tidur di ayunan dalam kamar. Ayahnya tidur dengan Katarina, adik tiriku, di bilik lain. Kasihan, anakku sendirian. Ia nampak terlelap. Lama ia kupandangi. Kunyanyikan syair-syair kabanti di telinganya. Pelan. Lama. Sampai aku lelah, capai, dan berpeluh. Barangkali karena naluri yang ia rasakan bahwa ibunya hadir di sampingnya sehingga ia mulai gelisah dan sedikit merengek. Seperti biasa, aku menyusuinya pada malam-malam aku turun ke bumi. Kuusap ubun-ubunnya dan kucium pipinya berkali-kali. Ia tentu tidak mendapat kasih sayang dari ibu tirinya, Katarina, yang telah merebut suamiku tanpa sepengetahuannya. Sampai-sampai tujuh bidadari tak sabar lagi dan memanggil namaku dalam dendang yang merdu:
Putri Satarina,
Putri Satarina,
Putri Satarina,
Marilah kita pulang,
Hari hampir siang.
Tanpa menunggu lama, segera kusahut dengan suara yang parau dan pelan:
Putri tujuh-tujuh,
Putri tujuh-tujuh,
Putri tujuh-tujuh,
Tunggulah dahulu,
Anakku masih menyusu.
Para bidadari kembali berdendang. Angin mulai berembus keras. Sinar bulan tertahan oleh dedaunan pohon yang bergeletar. Suasana menjadi gelap. Hujan mulai turun. Tidak berapa lama air langit itu makin deras menimpa bumi. Ini pertanda aku harus segera pulang ke kayangan, tempat yang sangat indah. Lebih indah dari mimpi siapa pun. Namun, apalah arti keindahan itu, jika aku tidak bersama anakku. Aku terpaksa tinggal di sana sebagai ungkapan terima kasihku kepada tujuh bidadari yang telah menyelematkanku dari kematian. Ya, kematian yang telah direncanakan oleh ibu dan saudara tiriku. Tidak ada cara lain selain menemani mereka bersenda gurau setiap saat.
Cepat-cepat kutempatkan kembali anakku dalam ayunan. Ya Tuhan, aku tidak mampu berpisah dengan anakku. Tetapi inilah jalan terbaik untuk membalas budi baik para bidadari. Apalagi, ibu dan adik tiriku pasti kembali menyiksaku seperti semula. Aku memandangi anakku dengan perasaan gundah. Tanpa kusadari air mataku jatuh dipipinya yang mungil. Selamat tinggal, sayang.
SEBENARNYA, aku tidak diizinkan oleh penghuni kayangan untuk kembali ke bumi, mereka khawatir ibu tiriku dan Katarina akan menyiksaku setelah mereka tahu bahwa aku hidup kembali. Hal ini sudah kuceritakan kepada mereka, saat mereka menyelamatkanku dari bencana dan memercikkan air kehidupan di sekujur tubuhku. Bencana datang ketika perempuan yang menjadi ibu tiriku itu mengajakku mandi di sungai.
Ya, aku mempunyai ibu dan adik tiri. Mereka sangat jahat kepadaku. Ayahku menikahinya saat aku masih kecil, katanya agar ada yang merawatku saat ia pergi mencari nafkah. Berselang beberapa waktu, anak mereka lahir dan diberi nama Katarina. Tidak jauh beda dengan ibunya, adikku itu sangat jahat kepadaku. Entah apa alasan mereka berbuat demikian. Ayahku meninggal tidak lama setelah Katarina lahir.
Saat dewasa dan mempunyai anak pun mereka masih membenciku. Suatu ketika kudapati kulit bayiku putih kemerah-merahan seperti terkelupas. Belakangan kuketahui ternyata ibu tiriku yang melakukan hal itu. Ia memandikan anakku dengan air panas. Sungguh perih hati ini ketika mengetahui berita itu.
“Satarina, temani ibu mandi di sungai!”
Permintaan ibu bernada perintah. Ia sungguh tidak memandangku sebagai seorang manusia yang memiliki perasaan dan harga diri. Aku menolak sehalus mungkin. Kukatakan padanya bahwa aku tidak pandai berenang. Lagi pula tidak ada yang menjaga anakku. Bapaknya sedang tidak di rumah. Ia malah memaksaku dan memerintahkan agar meletakkan anakku di dalam ayunan saat ia sedang tidur. Aku tak punya kuasa untuk menolak permintaannya.
Kami tiba di sungai setelah beberapa waktu berjalan. Tempat ini terletak jauh dari desa dan membutuhkan satu jam jarak tempuh. Sunyi. Hanya bunyi burung dan beberapa jangkrik yang turut mempersenyap suasana. Airnya hijau dan tenang. Hal ini menandakan bahwa sungai yang tepat di depanku ini tidak dangkal. Sementara menoleh kepada ibu ingin memintanya mengurungkan niat mengajakku mandi, tiba-tiba kurasakan tubuhku terdorong, terperosok masuk ke sungai. Kulihat ibu mendorongku sekuat tenaga dengan kedua tangannya. Matanya seperti iblis. Tersenyum sinis menyaksikan aku berteriak minta tolong sambil berusaha menjaga agar tubuhku tetap di permukaan. Karena hatinya telah dikuasai kebusukan, dibiarkannya aku meregang nyawa sambil meminum air.
“Kasihan kamu, tadi kamu tak sadarkan diri. Atas izin Allah, setelah kami memercikkan air kehidupan, kamu tersadar kembali”, ujar seorang putri cantik yang belakangan kuketahui ialah Putri Kamba, satu dari tujuh bidadari yang menolongku.
HARI INI bulan baik. Cahayanya bulat penuh bersinar. Putih. Sekarang saat yang tepat untuk para bidadari turun ke bumi dan berenang di sungai. Kumanfaatkan kesempatan ini dengan baik. Aku meminta izin menyusui anakku. Mereka kelihatan khawatir keberadaanku diketahui oleh orang lain. Kuyakinkan mereka bahwa aku mampu menjaga diri.
“Baiklah. Tapi kamu harus berhati-hati, Satarina.”
Dengan sayap yang dihadiahi oleh para bidadari, aku meninggalkan sungai. Malam makin dingin. Kukepakkan sayapku kuat-kuat agar cepat sampai di rumah.
SUASANA SEPI. Penghuni rumah pastilah sedang tertidur lelap. Inilah saat yang baik bagi aku dan anakku. Malang benar nasibku. Di kayangan tidak boleh ada bayi. Sedang aku harus membalas budi. Dilematis.
Ruangan ini tidak berbeda seperti sejak pertama kali aku datang setelah tinggal di kayangan. Lampu tembok masih tetap di tempatnya. Cahayanya begitu redup, tak mampu menyinari seluruh ruang kamar. Sebelum sempat kudapati anakku, kurasakan sesuatu memeluk tubuhku. Aku tercekat hendak teriak. Mulutku dibekap. Pelukan makin erat. Aku meronta namun sia-sia. Tubuhku diputar menghadap si pemeluk. Ya Allah, dia suamiku. Mataku panas dan aku menangis dalam pelukannya. Pelukan yang lama kunantikan. Bau badan yang amat kurindukan. Kami berpelukan melepas rindu begitu lama. Setelah perasaan tenang kembali dan kami mampu menguasai diri, suamiku mengajakku bercerita di sudur ruang, di bawah temaram lampu tembok. Pelan-pelan sayapku ia lepaskan dari punggungku.
Begitu lama kami bercerita. Bertukar kisah dengan berbisik, takut membangunkan anakku dan orang rumah. Katanya, ia mengetahui berita kedatanganku beberapa hari lalu dari seorang tetangga yang mendengarku berbalas pantun dengan para bidadari. Ia juga mulai curiga kepada perempuan yang selama ini bersamanya dalam kamar yang tidak pernah mau dibuka jendelanya. Dan ternyata dialah Katarina. Kalau keluar kamar, wajahnya selalu ditutup dengan kain hitam. Aku lantas memberitahunya bahwa ibu telah bermaksud membunuhku, hingga aku diselamatkan oleh tujuh bidadari dari kayangan. Sekarang aku harus membalas budi baik mereka dengan menemani bersenda gurau di sana. Suamiku mahfum.
Setelah bersepakat, kami pergi ke sungai meminta izin pada para bidadari agar aku bisa kembali bersama suami dan anakku di bumi. Mereka justru senang karena mendapat jaminan dari suamiku bahwa aku tidak akan lagi dijahati oleh ibu dan adik tiriku.
Aku begitu senang bisa kembali bersama anak dan suamiku. Keesokan paginya, aku bersembunyi di kamar tempat bayiku tidur, sedang suamiku mengajak Katarina dan ibunya pergi ke gua. Ia berkata pada dua anak-beranak itu bahwa di sana banyak harta para jin yang tersimpan. Kedua perempuan itu agak ketakutan. Namun, karena ketamakan yang telah hidup dalam sanubari mereka, akhirnya dituruti juga suamiku menuju hutan tempat gua itu berada.
Dua kali matahari terbenam. Suamiku berpesan, jika dalam waktu itu ia tidak kembali berarti ia tidak berhasil membalas dendam kepada ibu dan adikku. Tetapi kenyataannya ia kembali. Syukurlah. Sebenarnya aku kasihan kepada dua orang itu. Namun, sebagai manusia biasa, aku juga tentu punya dendam. Mereka telah menyiksa anakku, bermaksud membunuhku, dan membohongi suamiku. Semuanya terlalu berat untuk kumaafkan.
“Mereka telah terkubur dalam gua bersama ular-ular yang ganas. Setelah kutuntun mereka masuk ke gua, aku cepat-cepat berpaling dan berlari sekuat tenaga. Sayup-sayup kudengar desis ular. Katarina dan ibunya masih sibuk mencari harta di dalam. Sesaat setelah berada di luar, kudorong batu besar di depan pintu gua yang menutupi seluruh mulut gua. Biarlah mereka merasakan akibat dari ketamakan dan kejahatan mereka pada kita.”
MATAHARI memerah di ufuk barat. Aku menggendong anakku di samping ayahnya di depan jendela. Memandang ke langit, sepotong bulan di atas kepala mulai mengintip. Sebentar malam para bidadari akan mandi di sungai. Aku ingin berbagi kisah ini kepada mereka. Pasti.
La Ode Gusman Nasiru lahir di Bau-bau, 18 Juni 1989. Sementara menempuh kuliah di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Haluoleo. Cerpennya berjudul “Merah Hujan Senja” menjadi Juara I Sayembara Cerpen Antinarkoba. Selain menulis cerpen, ia juga menulis puisi dan menjuarai sejumlah lomba cipta puisi. Karya puisinya dimuat dalam kumpulan puisi Pagi yang Mendaki Langit (Penerbit FKIP Unhalu, 2009) serta di Kendari Pos, Timur Merdeka (Kendari), Dinamika (Bandar Lampung).