Cerpen Arna Natalia Ikatanty
Izinkan hari ini bulan bersolek pada senja, karena aku belum tahu jelas apa yang membuatku takut dengan malam. Mungkin karena fajar adalah pagi, atau gelap adalah sepi. Hari ini aku juga cemas dengan waktu, ada kenangan yang rancu melukis malam-malamku. Bulan tak bernyala, dingin melipat kesenyapan hati. Ada pilihan keraguan.
Genderang malam memecah, mempertemukan dengan kenangan lamaku. Cahaya lembab itu menertawakan kesendirianku. Semilir cinta yang kaku menggelinding, menjelujur lalu menyobek lagi kerapuhanku. Dia sudah berlayar pada biduk yang baru. Dan aku masih melihat senyum lesungnya malam itu. Hatiku berbisik pada cahaya, ada sobek di hatinya karena ingkar.
“Maaf, waktu tak mengizinkanku menanti lebih lama!”
Bila saja aku diam, bila saja aku tak melihat bulan, bila saja aku tidak mengitari malam. Tidak akan kudengar curahan angin kemuning. Tidakkah ia tahu, aku juga berjanji pada fajar, esok pesta lajangku berakhir. Tidakkah ia mengerti usahaku menaklukkan gemuruh rindu. Belumkah cukup jejak-jejak cinta yang kutegaskan di bait hidupnya. Aku tahu, sangat tahu, dia masih menyimpan rasaku. Dari goresan raut saat ia menuangkan garam pada piluku. Dia masih seperti yang aku kenal dulu, hanya kini hatinya jingga, tidak seperti binar pelangi. Dia menenun sesal, aku bisa meraba ada kepekatan dari sorot matanya. Meski semua tidak akan bernuansa, namun aura, perawakan dan sepenggal keelokkan masih terpahat jelas dibingkai dalam cerita cinta semuku.
Di ketegasan kelopak matanya, pipinya yang ranum, rambutnya menjuntaikan seribu janji, garis biru kecil yang terbias pada jemarinya, lekuk keanggunan yang ia miliki, masih nampak jelas gurau-gurau tawa kecil sederhanya. Masih adakah perih untukku darinya? mungkin ia hanya mampu meninggalkan luka, tapi tidak mampu menghampakan kehadiranku. Esok ada kata lagi untuk menatap kembali lebih dalam parasnya. Ungkapnya, ada cerita untukku tentang kepergiannya.
“Kau akan menemukan serpihan hatimu kembali”, candanya.
Adakah jalan pulang untuknya kepadaku, kini ia mendayung pada perahu yang lebih cepat lajunya. Aku takut tidak mampu membuatnya kagum pada syair-syair pesonaku, untuk menoleh pada perahuku yang terbenamkan oleh buih-buih awan mendung, atau sekadar melemparkan keceriaan menemaniku di perahu rapuh itu.
Oh… aku tidak mampu, aku tidak mampu menerima semua ini! Aku mau ini cuma cerita malam yang memudar terbawa embun yang menguap. Aku ingin ini hanya kegilaan bunga-bunga tidur yang berlalu tersengat panas mentari.
Oh… aku ingin melupakan ini, aku mau jalan tak membaur, tak ada persimpangan, tak ada lampu merah untuk berhenti lagi. Hanya saja ternyata cinta bukan cerita malam, bukan bunga tidur, bukan persimpangan jalan, dan bukannya hanya untuk menunggu lampu hijau. Cinta akan mengalir mengarus bersama waktu, cinta akan tidak akan menguap bersama embun tidak akan kering tersengat panas. Cinta akan tetap ada untukku dan untuknya, meski cerita ini adalah milikku.
Tapi itu cerita lama, hanya separuh dari kekecewaanku tentang cinta, karena kini ada lesung lain yang beda dan telah menyatu pada bagian dari diriku. Tidak akan lagi kuceritakan padanya, mengungkit kenangan ini. Tapi ketakutanku pada malam hampir menutupi kegemaranku pada senja. Bersyukur ada kelopak mata baru, ada ranum pipi yang lebih cerah, juntaian janji yang nyata meski goresan garis biru tak begitu nampak namun keberadaannya mengubah kehampaan dan keterikatanku pada malam. Senja lebih panjang bersama kehangatan dan ketulusannya. Sungguh tidak pernah kubayangkan, bahagia menghampiri kerapuhan perahu yang kudayung. Tidak ada yang membuatku ragu karena kini syair-syair pesona yang kugaungkan terdengar olehnya lalu membuatnya menoleh dan membalas nyanyian rinduku.
Oh… aku mampu melaluinya kini, aku bisa melangkah lagi, bahkan lebih ringan dari yang lalu. Dan aku tidak pernah berharap ini cuma cerita malam atau bunga tidur.
Oh… aku menemukan jalan baru. Biarkan cerita terhayut arus tapi dapat menepi ke tepi seperti keinginanku dan tak akan memudar karena ia akan kusimpan di tempat teduh hatiku.
Akan tetapi merpati membawa kabar lain tentang malam. Ternyata perahunya telah menepi sebelum sempat berlabuh. Kini malam tanpa bintang dan cahaya buram.
Aku goyah, maaf aku tidak mampu bersembunyi terlalu lama pada senja.
Aku cukup tegar menghadapi kesepian tapi aku tidak tega membiarkan bulan terbesit dalam awan mendung. Aku tahu ia tidak akan menjauh jika aku tak banyak mengulur waktu perihal janji. Aku juga mengerti ia tidak akan mengecewakan orang yang telah merawat dan membesarkannya. Aku juga tahu ia menyimpan banyak harapan untuk pagi. Banyak mimpi untuk esoknya. Hanya saja mungkin malam terlalu singkat untuk mejelajahi asanya.
Senjaku, aku lelaki bodoh yang tertidur, melewatkan saat merahnya cakrawala, aku lelaki tolol yang tidak tahu berterima kasih pada senja yang menjadikan malam sempurna. Bila saja dulu aku tidak tertarik pada kesempunaan terang bulan, dan tidak terperanjat akan mimpi-mimpi malam yang terangkai dalam orasi bintang, mungkin aku akan selalu menyanjung kesetiaanmu. Aku lelaki yang terlalu takut akan gelap malam, namun selalu terjebak dalam gelapnya. Terjerat dengan kengiluan desis angin lembabnya. Aku baru terjaga, bahwa sebenarnya aku tidak takut akan malam tapi takut kehilangan gelapnya, aku merindukan dinginnya.
Lalu kusampaikan gemuruh rindu pada buih-buih ombak yang menepi padamu. Kutegaskan kembali jejak-jejak cinta pada orasi bintang, orasi bintang pari agar ia bisa berenang menghampiri lautmu dan membuat bulan kembali berpayung pelangi.
Aku tidak membenci senja, hanya saja senja memang tidak panjang menemani hari, dan aku tidak akan membenci senja, melainkan akan kembali menjadikannya kenangan.
Tunggu aku malam, tunggu aku menyapa gelap, dingin dan sepimu. Biarlah aku menjemputmu di tepian dengan aku apa adanya. Aku akan melupakan ketakutanku pada malam dan kembali menyambut bulan meski tanpa cahaya dan taburan bintang harapan.