Pesengkongan dahulunya nama sebuah dukuh (RW 12) di Kelurahan Tegal Sari, Kecamatan Tegal Barat. Pesengkongan merupakan tempat bertemunya merbagai macam etnis karena lokasinya dekat dengan pelabuhan Tegal. Menurut Daryono et al (2008), pada awalnya Pesengkongan merupakan persinggahan sementara bagi mereka yang mereka yang melakukan perniagaan di Tegal, namun seiring perjalanan waktu etns Madura, Bugis, Sumatra, Koja (Gujarat) dan Tionghoa tidak hanya singgah, bahkan ada dari mereka yang menetap dan membawa serta keluarga. Mereka kemudian membentuk kampung-kampung berdasar etnis, salah satunya orang-orang Sumatra dan Koja (Gujarat) yang menempati daerah Pesengkongan. Oleh karena itu, Pesengkongan dikenal dengan kampung Melayu (Encik).
Jejak-jejak perkampungan Pesekongan masih dapat dilihat dari sisa sisa bangunan rumah tua yang ada, perpaduan corak rumah Jawa, Maduranan, Makasaran, dan Pecinan. Sementara bagian luar dikelilingi tembok dengan tinggi 1,5 meter dengan pintu-pintu gapura yang berundak pada bagian atasnya. Masyarakat keturunan muslim pesengkongan yang multi etnis (jawa,melayu, bugis, koja, Gujarat) masih banyak tinggal dikampung Pesengkongan ini.
Kawasan Pesengkongan menyimpan sejarah awal perkembangan Islam terutama di pesisir utara Jawa Tengah bagian barat khusunya Tegal. Islam menyebar di daerah pelabuhan sebelum akhirnya menyebar ke daerah pedalaman. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya Masjid Al Hikmah yang diperkirakan telah berdiri pada 15 Ramadhan 1241 H/ 1821 M. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya prasasti ukiran kayu jati dengan motif bunga melati dan mawar. Konstruksi bangunan masjid terbuat dari batu bata berukuran 15 m x 15 m berbentuk bujur sangkar. Atap terdiri dari dua undakan. Ornamen masjid nyaris tidak ada, hanya ada motif di mihrab dan ventilasi pintu masuk masjid bermotif flora (Daryono et al 2008).
Disebelah utara kawasan Pesengkongan di dekat pelabuhan juga terdapat Langgar Duwur atau yang saat ini dikenal dengan nama Musholla Istiqomah, terletak di RT.01 RW.12 Pesengkongan Kel. Tegalsari. Musholla tersebut merupakan musholla tertua di Kota Tegal. yang dibangun sekitar pergantian abad ke-19 sebelum masjid Al-Hikmah. Dalam tulisannya, Helmi Saleh (tokoh masyarakat setempat) menyebutkan bahwa mushola tersebut awalnya difungsikan untuk:
1) Penyelenggaraan sholat Jum’at (sebelum masjid difungsikan).
2) Tempat para calon jama’ah haji dari daerah kota-kabupaten Tegal dan Brebes berkumpul, sebelum diberangkatkan lewat jalur laut dengan dipandu (Syeh) rombongan dan pengordiniran dari kaum Gujarat/ koja dari Semarang dibantu penduduk setempat (Encik-encik Pesengkongan) sebagai masyarakat muslim pendatang dari melayu, sumatera, Sulawesi.
3) tempat wadah/ majlis T’lim bagi pendalaman Dienul Islam yang dibina dari mereka yang telah menunaikan ibadah haji maupun ulama setempat
4) Tempat singgah untuk memantau aktivitas kapal-kapal yang datang dan ada di pelabuhan Tegal, khususnya kapal yang akan mengangkut jamaah jamaah haji, maupun para pelaut muslim yang akan singgah di Tegal (saat itu belum banyak bagunan penghalang kearah dermaga pelabuhan.
Konstruksi bangunan terbuat dari kayu jati bekas kapal dengan corak bangunan perpaduan rumah panggung Sumatera dengan satu atap mustaka berbentuk stupa. Bentuk bangunan bujur, sangkar 10 meter x 10 meter terdiri dari dua lantai, dinding terbuat dari kayu dengan motif sangat sederhana, hanya berbentuk jeruji kayu pada lantai atas (Daryono et al 2008). Lantai bawah terbuat dari tembok satu bata berfungsi sebagai aktivitas sehari-hari, pada bagian atas untuk peribadatan dan kegiatan keagaamaan lainnya.
Saat ini, musholla tersebut sedang direnovasi dikarenakan konstruksi penyangga atap yang mulai lapuk, genting dan pondasinya pun mulai rapuh. Menurut Helmi Saleh, pengurus musholla, bangunan tidak akan mengalami perubahan bentuk, dan material awal masih akan tetap dipertahankan.