Tata ruang yang umumnya terdapat di sebagian besar daerah Jawa adalah alun-alun. Alun-alun dikenal sebagai penciri konsep tata ruang khas Jawa. Alun-alun merupakan landmark suatu kota sehingga identitas tempat menjadi hal yang penting untuk diperhatikan keberlangsungannya. Alun-alun difungsikan sebagai pusat aktivitas masyarakat. Kota Tegal adalah salah satu kota yang memiliki alun-alun sebagai pusat kota, landmark, public space, dan ruang terbuka hijau. Alun-Alun di Tegal bergaya Mataraman sebagai peninggalan kekuasaan Mataram yang mengadopsi konsep sadulur papat klamia pancer (Daryono et al 2008).
Konsep alun-alun di Tegal memiliki kesamaan dengan alun-alun di Yogyakarta dan Surakarta meskipun terdapat sedikit perbedaan. Kesamaan tersebut dapat dilihat berdasarkan konsep tata ruang Jawa yang diwakilkan dengan adanya bangunan-bangunan penting di sekitar alun-alun. sebelah barat berdiri masjid Agung Tegal. Sebelah selatan berdiri kompleks bangunan pemerintahan. sebelah timur dihubungkan akses menuju Taman Pancasila dan Stasiun Tegal. sebelah utara berdiri bangunan pelayanan masyarakat.
Kawasan ini merupakan kawasan yang kaya akan makna dan sejarah. kawasan alun-alun mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Namun yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai perubahan tersebut menghilangkan filosofi dan makna sejarah.
Masjid Agung terletak di sebelah barat alun-alun. Masjid ini di bangun antara tahun 1825-1830, saat terjadinya Perang Diponegoro melawan penjajah Belanda. Karena dibangun pada saat terjadinya perang maka keberadaan masjid ini seakan menjadi saksi bisu perlawanan yang dilakukan Pangeran Diponegoro bersama pengikutnya yang setia dalam membela kebenaran. Masjid ini di bangun oleh K.H. Abdul Aziz.
K.H. Abdul Aziz, pendiri masjid ini, adalah seorang ulama dan penghulu pertama di kota Tegal. Ia juga masih mempunyai hubungan kerabat dengan Raden Reksonegoro, Bupati Tegal waktu itu. Dan, karena adanya hubungan kekerabatan itulah di samping tentunya karena ikatan ukhuwah islamiyah, sehingga pembangunan Masjid Agung Tegal itu berjalan mulus dan lancar tanpa hambatan.
Untuk memenuhi kebutuhan jamaah akan air wudhu maka pada tahun 1970 tempat wudhu sebelah kanan masjid diperbaiki. Kemudian, agar bangunan masjid terlihat modern maka pada tahun 1985 bagian atap masjid dirombak dan diganti dengan atap tumpang, seperti yang tampak sekarang ini.
Meskipun atapnya telah dirombak, namun bila masjid ini kita lihat dari arah belakang maka gaya arsitektur yang modern tersebut tidak akan terlihat karena bagian belakang masjid ini masih tampak kekunoannya.
Bagian depan Masjid Agung Tegal ini berlantai dua dan mampu menampung lebih dari 4000 jamaah. Lantai bawah digunakan sebagai ruang utama masjid. Sedangkan, lantai atasnya sebagai tempat untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan keislaman (situsbudaya.id).
Bangunan Pendopo masih menyatu dengan komplek Balaikota yang sebelumnya merupakan rumah dinas Bupati Tegal. Pendopo dibangun bersamaan dengan pembangunan kediaman Bupati Tegal yang dibangun pada tahun 1825 dengan luas bangunan ± 3.600 meter, panjang bangunan ± 60 meter, lebar bangunan ± 60 meter dan tinggi bangunan ± 9 meter, merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Tegal. Sejak tanggal 12 Juni 1987 manjadi pusat pemerintahan Kota Tegal sedangkan pusat pemerintahan kabupaten Tegal pindah ke Slawi (Disporabudpar 2013).
Rumah dinas Walikota Tegal menyatu dalam kompleks Pendapa Ki Gede Sebayu Tegal. Sebelumnya bangunan ini merupakan kediaman Bupati Tegal sekaligus kantor Bupati Tegal. Dalam kediaman Bupati inilah keluarga Bupati berada. Mereka dipisahkan dengan masyarakat luar. Pendapa dan rumah dinas Bupati merupakan keraton kecil bagi trah keluarga Bupati tempo dulu. Pemisahan antara ruang kerja Bupati dan rumah kediaman adalah beranda yang dikenal sebagai peringgitan.
Pemerintah kolonial memberikan hak istimewa pada Bupati dan keluarga. Mereka dianggap bagian dari volkshoofd bagi rakyatnya. Dalam melaksanakan tugas Bupati dibantu oleh Patih dan pegawai lainnya hingga ke tingkat juru tulis. Pada era kolonial, khususnya ketika Tegal ditetapkan sebagai gementee (kotapraja) karakter pemerintahan terbagi dua yakni pemerintahan pribumi (regentschap) dan pemerintahan Eropa (gementeraad) yang dipimpin oleh seorang burgermesteer yang dibantu oleh Dewan Kota (gementeraad) yang berjumlah 13 orang. Pusat pemerintahan pribumi ada di Pendapa Tegal sedangkan pemerintah kotapraja ada di wilayah yang sekarang menjadi kompleks DPRD Kota Tegal.
Dibangun pada tahun 1825 masa pemerintahan Reksonegoro VI (1821-1857), rumah dinas Walikota ini memiliki luas bangunan 1.440 meter dengan panjang bangunan mencapai 40 meter dan lebar 36 meter. Lokasi bangunan berada di jalan Ki Gede Sebayu kelurahan Mangkukusuman. Menjadi rumah dinas Walikota Tegal pada 12 Juni 1987, saat pemerintah Kabupaten Tegal boyongan pindah ke Slawi (Disporabudpar 2013).
Dari dua foto tersebut, terlihat adanya jembatan Pancasila/Jembatan BRI. Menurut Sisdiono (dalam radartegal.com), Jembatan BRI mempunyai ciri khas bangunan tahun 1910-an. Oleh karenanya, keberadaan jembatan tersebut penting untuk dipertahankan.
Saat ini area tersebut sudah bayak berubah. Gardu listrik sudah tidak ada dan bangunan bank dengan nama Afdeelings Bank disisi Timur alun-alun berubah menjadi bangunan modern (Bank BRI).
Tidak jauh dari alun-alun Kota Tegal, terdapat bangunan menara layaknya menara Pisa di Italia. Menara tersebut dikenal dengan Water Leideng atau Water Torent. Bangunan ini dirancang pada 1917 dan pada 1931 dibangun oleh Tower Waterleideng Beedrif of Province Midden Java sebagai implementasi pelaksanaan Politik Etis. Hal tersebut dapat dilihat pada bagian atas pintu masuk menara bertuliskan "Anno 1931".
Struktur menara memiliki tinggi 30 meter, diamater 11 meter, dengan luas bangunan 95 meter persegi serta luas tanah mencapai 4.058 meter persegi.
Bangunan ini menjadi bukti infrastruktur kotapraja Tegal yang dikenal sebagai gementee Tegal dalam menyediakan suplai air bersih bagi masyarakat kota Tegal saat itu. Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) fungsinya sebagai menara air bersih tetap dengan nama Suwido yang artinya pipa air.
Pasca kemerdekaan bangunan water toren ini menjadi bagian dari perusahaan Saluran Air Minum (SAM) hingga tahun 1975 berganti menjadi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Pada tahun 1960-an, sirine water toren Tegal dijadikan sebagai tetenger (tanda) berbuka puasa dan tanda imsak pada bulan Ramadhan. Masyarakat pun mengenalinya sebagai lenger waterleideng (Disporabudpar 2013).