Kota Tegal memiliki sejarah dan keragaman sosial budaya yang tinggi, hal ini tercermin dari etnis masyarakat dan adat istiadatnya yang berbeda-beda. Bentuk khas bangunan juga semakin menonjolkan keunikan budayanya, seperti Kampung Pecinan di kota ini. Kampung Pecinan tidak hanya dimanfaatkan sebagai wadah aktifitas sehari-hari namun juga sebagai wadah aktivitas perniagaan/perdagangan.
Pecinan adalah sebutan untuk permukiman orang-orang Tionghoa. Pecinan banyak terdapat di kota-kota besar di berbagai negara dimana orang Tionghoa merantau dan menetap. Mereka paling banyak berhijrah ke Asia Tenggara, dan Indonesia merupakan salah satu tujuan dari persinggahan Cina Daratan.
Pada dasarnya Pecinan terbentuk karena 2 (dua) faktor yaitu faktor politik dan faktor sosial:
1. Faktor politik berupa peraturan pemerintah lokal yang mengharuskan masyarakat Tionghoa dikonsentrasikan di wilayah-wilayah tertentu supaya lebih mudah diatur (Wijkenstelsel). Ini lumrah dijumpai di Indonesia pada zaman Hindia Belanda karena pemerintah kolonial melakukan segregasi berdasarkan latar belakang rasial.
2. Faktor sosial berupa keinginan sendiri masyarakat Tionghoa untuk hidup berkelompok karena adanya perasaan aman dan dapat saling membantu karena memiliki latar belakang yang sama, kebiasaan, dan bahasa yang sama (https://www.tionghoa.info/asal-usul-kampung-cina-kawasan-pecinan-di-indonesia/)
Diperkirakan mereka mendatangi nusantara pada abad ke 9 Masehi dan sekitar abad 15 Masehi terjadi perpindahan secara besar-besaran. Salah satu bahariwan dan pendakwah yang terkenal adalah Cheng Ho. Pada tahun 1415 armada Cheng Ho melakukan kunjungan muhibah ke Aceh yaitu Samudra Pasai (Yuanzhi 2000 dalam Usman 2009).
Pada tahun 1740-1743 terjadi peristiwa pembantaian etnis Tionghoa oleh pemerintah Belanda, peristiwa tersebut dikenal dengan Geger Pecinan. Sekitar 10 ribu orang Tionghoa di Batavia tewas, 500 lainnya mengalami luka berat, dan lebih dari 600 bangunan milik Tionghoa dijarah dan dibakar. Saat itu, orang Tionghoa yang selamat mengungsi ke Jawa Tengah dan sepanjang pantai utara. Dari pergeseran orang Tionghoa akulturasi budaya peranakan mengental di kawasan Pantura.
Menurut Handinoto (2009), pada umumnya terdapat 3 jenis bangunan arsitektur Tionghoa yang ada di Indonesia khususnya pecinan sebelum tahun 1900, yaitu:
1. Klenteng
2. Ruko
3. Rumah tinggal
Salah satu landmark kawasan pecinan di Kota Tegal adalah adanya Klenteng Tek Hay Kiong. Klenteng ini berdiri pada tahun 1690 dengan tuan rumahnya Ze Hai Zhen Ren/ Tek Hay Cin Jien yang nama aslinya Konco Guo Liuk Kwan (Kwee Lak Kwa) klenteng tersebut berada di jalan Gurame No. 4 Tegal di bawah Yayasan Tri Dharma. Para peneliti sejarah beranggapan bahwa Kwee Lak Kwa merupakan seorang tokoh dalam Perang Kuning, sehingga untuk mengenang jasa dan kebaikannya dibuatlah klenteng tersebut. Menurut Chen Li Wei (rohaniawan Klenteng Tek Hay Kiong), bangunan klenteng telah mengalami renovasi pada tahun 1873. Selain sebagai pusat ibadah, klenteng juga berfungsi sebagai pusat kegiatan sosial masyarakat Pecinan. Bangunan ini merupakan salah satu unsur budaya yang dapat menjadi identitas dan menguatkan eksistensi masyarakat Tionghoa di kawasan Pecinan Kota Tegal.
Bangunan klenteng ini memiliki arsitektur yang unik dan menarik, dengan warna dominan merah dan kuning keemasan serta ornamen bergaya Tionghoa. Jenis atap yang dipakai merupakan bentuk atap lengkung yang dalam arsitektur Cina disebut atap pelana sejajar gavel. Pada bumbungannya juga terdapat unsur tambahan dekorasi dengan ukiran atau lukisan binatang atau bunga. Komponen tersebut memberikan ciri khas tersendiri.
Selain bangunan klenteng, keunikan lain dari kawasan ini adalah tampilan ruko (rumah toko). David G. Kohl (1984) meyebutkan bahwa istilah ruko berkonotasi pada fungsi ganda akan aktivitas komersial di bagian depan lantai dasar dari bangunan dua lantai dan aktivitas berumah tinggal di bagian belakang lantai dasar dan lantai atas. Denah rumahnya sangat panjang dengan tampak depan yang sempit. Ruko dibangun bersebelahan dengan tembok bersama antara rumah yang satu dengan rumah yang lain. Tipe bangunan seperti ini telah digunakan orang Tionghoa sejak lama dan bentuk dasarya ditemukan di kota-kota perairan di Tiongkok Selatan.
Handinoto (2009) menjelaskan bahwa bentuk dasar dari ruko didaerah pecinan dindingnya terbuat dari bata dan atapnya berbentuk perisai dari genting. Bentuk atap yang paling banyak dipakai adalah jenis atap pelana dengan ujung yang melengkung ke atas yang disebut sebagai model Ngang Shan. Setiap unit dasar mempunyai lebar 3 sampai 6 meter, dan panjangnya kurang lebih 5 sampai 8 kali lebarnya. Di setiap unit ruko terdapat 1 atau 2 meter teras sebagai transisi antara bagian ruko dan jalan umum. Bentuk ruko yang sempit dan memanjang tersebut menyulitkan pencahayaan dan udara bersih masuk ke bagian tengah dan belakang sehingga untuk mengatasi hal tersebut maka dipecahkan dengan pembukaan di bagian tengahnya yang bisa langsung berhubungan dengan langit (courtyard).
Untuk rumah tinggal, Pratiwo (2010) menyebutkan bahwa pada mulanya tapak rumah dibagi kedalam beberapa bangunan, yaitu pintu gerbang, rumah utama, satu atau dua rumah samping, dan rumah belakang. Di antara bangunan-bangunan ini terdapat halaman depan dan tengah. Tapak rumah ini dikelilingi oleh tembok.