Kota Tegal merupakan salah satu kota di Jawa Tengah yang memiliki kekayaan jejak sejarah. Kesadaran untuk menjaga keberadaan aset pusaka tersebut mendorong pemerintah kota berpartisipasi dalam Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP) yang dirintis sejak tahun 2012 oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang berkolaborasi dengan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dan Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI). P3KP merupakan salah satu aksi nyata dalam mengamalkan undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang menyebutkan bahwa cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain itu, P3KP merupakan bentuk pengamalan undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyiratkan pentingnya memperhatikan nilai budaya yang berkembang di masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang. Kota Tegal sendiri aktif dalam P3KP sejak tahun 2016 silam dan saat ini masuk dalam kelompok B yang merupakan kelompok kabupaten/kota yang sudah memiliki identifikasi kawasan pusaka namun pengelolaannya masih terbatas. Pada kelompok ini akan diberikan pendampingan capacity building tingkat lanjut agar pada tahun berikutnya siap menerima fasilitasi penyusunan Rencana Manajemen Kota Pusaka (Heritage City Management Plan). Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi bagi pemerintah kota dalam melestarikan aset sejarah sebagai langkah mendukung program kota pusaka. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi lanskap sejarah di Kota Tegal dan mengkaji persepsi masyarakat terhadap lanskap sejarah tersebut serta menyusun rekomendasi tindakan pelestariannya. Tahapan dalam penelitian ini meliputi inventarisasi lanskap/elemen sejarah di Kota Tegal, analisis data, dan sintesis yang menghasilkan rekomendasi tindakan pelestarian. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis deskriptif, analisis spasial, dan metode skoring untuk penilaian lanskap sejarah.
Kata kunci: Kota Tegal, lanskap sejarah, pelestarian lanskap sejarah
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kota Tegal mulai aktif dalam program penataan dan pelestarian kota pusaka (P3KP) sejak tahun 2016. Partisipasi dalam P3KP merupakan komitmen pemerintah dalam melestarikan aset-aset pusaka. Keikutsertaan tersebut didasarkan pada kekayaan jejak sejarah yang menandakan Kota Tegal sudah berkembang sejak zaman dahulu.
Secara historis eksistensi dari Kota Tegal tidak lepas dari peran Ki Gede Sebayu. Bangsawan tersebut merupakan saudara dari Raden Benowo yang pergi ke arah barat dan sampai di tepian sungai Gung. Melihat kesuburan tanahnya, Ki Gede Sebayu tergugah dan berniat bersama-sama penduduk meningkatkan hasil pertanian dengan memperluas lahan serta membuat saluran pengairan. Daerah yang sebagian merupakan tanah ladang tersebut dinamakan Tegal. Ki Gede Sebayu diangkat menjadi pemimpin Tegal pada 12 April 1580. Tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari jadi Kota Tegal menurut Peraturan Daerah No. 5 Tahun 1988 tanggal 28 Juli 1988 (Pemerintah Kota Tegal 2014).
Masuknya Mataram di Tegal memicu berkembangnya tradisi dan kebudayaan masyarakat Tegal. Pada masa kejayaan Mataram, Tegal dijadikan sebagai bandar penting bagi politik Mataram. Tegal dijadikan sebagai pelabuhan besar untuk berlabuhnya kapal Mataram dan kapal asing. Mataram dipimpin oleh Sultan Agung melakukan langkah menjadikan Tegal sebagai pintu barat Mataram dan pemasok suplai makanan saat penyerangan ke Batavia (De Graff 1990).
Pada tahun 1680, VOC menguasai daerah pesisir termasuk Kota Tegal sebagai imbalan dari Amangkurat II yang meminta bantuan kepada VOC untuk melakukan perlawanan terhadap Trunajaya (Kartodirdjo 1992). Penguasaan pemerintah Belanda meninggalkan jejak bangunan Indis. Kantor residen Belanda berada didekat benteng Belanda yaitu di sekitar pusat kota. Pusat Kota ditandai dengan kediaman pejabat dan gedung pemerintahan. Segala infrastruktur Belanda diposisikan di wilayah bagian timur kota dekat dengan pelabuhan Tegal (Soekiman 2000).
Melihat kekayaan nilai-nilai sejarah di Kota Tegal, diperlukan suatu upaya pelestarian untuk memperkuat keunikan kota. Menurut Nurisjah dan Parmukanto (2001), pelestarian lanskap sangat diperlukan untuk: (1) mempertahankan warisan budaya atau sejarah yang memiliki karakter spesifik suatu kawasan; (2) menjamin terwujudnya ragam dan kontras yang menarik dari suatu kawasan; (3) kebutuhan psikis manusia; (4) motivasi ekonomi; dan (5) menciptakan simbolisme sebagai manifestasi fisik dari identitas suatu kelompok masyarakat tertentu.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini yaitu:
Kerangka Pikir Penelitian
Kota Tegal memiliki kekayaan lanskap sejarah yang harus dilestarikan. Atas dasar tersebut Kota Tegal berpartisipasi dalam Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP) agar kondisi lanskap sejarah tersebut tetap terjaga. Saat ini Kota Tegal sudah termasuk kelompok B dalam P3KP. Kelompok B merupakan kelompok kabupaten/kota yang sudah memiliki identifikasi kawasan pusaka namun pengelolaannya masih terbatas. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi mengenai pelestarian lanskap sejarah untuk memperoleh strategi pelestarian yang tepat.
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah dalam Quran
Al Qaththan (2013) menjelaskan bahwa para ulama menyebutkan definisi Quran dengan khusus, yaitu firman Allah Swt. yang diturunkan kepada Muhammad Saw., yang pembacaannya menjadi suatu ibadah. Kata ‘kalam’ yang dimaksud dalam definisi ini merupakan kelompok jenis yang mencangkup seluruh jenis kalam, dan penyandarannya kepada Allah Swt. yang menjadikannya kalamullah menunjukkan secara khusus sebagai firman-Nya, bukan kalam manusia, jin, atau malaikat.
Quran menjadi pedoman utama bagi umat islam, di dalamnya terdapat setidaknya 159 ayat yang menceritakan tentang sejarah dan kisah-kisah perjalanan umat terdahulu serta pelajaran dari sejarah bangsa-bangsa. Hal ini menandakan Islam menaruh perhatian yang besar dalam aspek kesejarahan. Hal ini pula menunjukkan betapa pentingnya belajar sejarah sebagai cerminan bagi kehidupan dimasa yang akan datang. Quran mendorong manusia agar memperhatikan perjalanan umat masa lalu agar diambil pelajaran dan hikmahnya untuk kehidupan selanjutnya.
Firman Allah Swt. yang berkaitan dengan pentingnya belajar sejarah terdapat dalam Surat Al-Hasyr yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (59:18). Ayat tersebut mengingatkan kepada manusia untuk senantiasa mau memperhatikan sesuatu yang menimbulkan kekuatan dan faktor-faktor terhadap adanya gerak sejarah di alam raya ini. Baik gerak sejarah manusia pada masa lampau, masa kini yang mempunyai pengaruh besar terhadap peristiwa mendatang (Majid 2013).
Allah Swt. menyebutkan dalam Surat Hud bahwa terdapat empat fungsi sejarah. Arti dari ayat tersebut adalah “Dan semua kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman.” (11:120). Berdasarkan ayat tersebut Arviani (-) menjabarkan fungsi sejarah sebagai berikut:
Allah Swt. telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal sholeh bahwa Allah Swt. akan menjadikan mereka sebagai penguasa di muka bumi, Allah Swt. akan meneguhkan agama yang diridhoinya, dan mengganti rasa takut dengan rasa aman. Semuanya tercantum dalam Surat An-Nur yang artinya, “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Tetapi barang siapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (24:55).
Melalui sejarah umat islam dituntut untuk berfikir dalam arti menjadikan sejarah sebagai pelajaran dan peringatan untuk menentukan langkah berikutnya dari suatu kesinambungan risalah dalam menggapai tujuan li’ila kalimatillah. Hal tersebut terdapat dalam Surat Al-A’raf yang artinya. “Dan sekiranya Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan (derajat)nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti keinginannya (yang rendah), maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya ia menjulurkan lidahnya (juga). Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” (7:176).
Quran juga menegaskan tentang akhir dari perjalanan sejarah. Menurut Quran, nasib akhir sejarah adalah kemenangan keimanan atas kekafiran, kebajikan atas kemungkaran, kenyatana ini merupakan janji dari Allah Swt. yang pasti terjadi.
Manusia selalu bertanya tentang siapa sebenarnya dirinya sendiri itu, berasal dari mana, harus menjalankan apa, dan akan kemana arah kehidupan ini. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu telah terjawab secara jelas melalui kitab suci Al-Qur’an.
Lanskap Sejarah
Lanskap merupakan bentang alam dengan karakteristik tertentu dan keberadaannya dapat dinikmati oleh panca indra manusia (Simonds dan Starke 2006). Lanskap digolongkan sebagai keindahan apabila memiliki kesatuan antar seluruh komponen pembentuknya dan digolongkan sebagai ugliness apabila tidak memiliki kesatuan diantara komponen pembentuknya (Simonds 1983). Lanskap dapat juga diartikan sebagai ruang di sekeliling manusia yang mencakup segala sesuatu yang dapat dilihat, dirasakan, dan merupakan pengalaman terus menerus di sepanjang waktu dan seluruh ruang kehidupan manusia (Eckbo 1964).
Secara sederhana lanskap sejarah dapat dinyatakan sebagai bentukan lanskap tempo dulu yang merupakan bagian dari bentukan lanskap budaya yang memiliki dimensi waktu didalamnya (Nurisjah dan Pramukanto 2001). Sedangkan menurut Lennon dan Mathews (1996), lanskap sejarah adalah bagian dari peninggalan kebudayaan dalam periode waktu tertentu. Manusia menciptakan pola fisik yang merupakan hasil kebudayaan yang diekspresikan melalui nilai dan sikap dalam bentuk peninggalan atau artefak yang menjadi suatu bukti untuk memahami motif kesejarahan. Attoe (1988) menyatakan nilai sejarah suatu kota selain terdapat pada penampakan bangunan juga terdapat pada lingkungan sekitarnya yang mencangkup kawasan alamiah yang berhubungan dengan kota tersebut seperti wajah jalan, lokasi-lokasi bersejarah, taman-taman, serta muka bangunan yang merupakan unsur penting dari bentuk dan sifat kota tersebut.
Menurut Goodchild (1990) suatu lanskap dikatakan bernilai sejarah apabila mengandung satu atau beberapa kondisi lanskap berikut:
Lebih spesifik Nurisjah dan Pramukanto (2001) menyebutkan beberapa kriteria suatu bentukan lanskap dikatakan memiliki nilai sejarah yaitu apabila memiliki minimal satu kriteria berikut:
Cagar Budaya
Pengertian cagar budaya disebutkan dalam UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, Bab 1 Pasal 1, diantaranya sebagai berikut:
Kriteria cagar budaya dijelaskan dalam Bab 3 Pasal 5, yaitu sebagai berikut:
Pelestarian Lanskap Sejarah
Pelestarian menurut UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Bab 1 Pasal 1 adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Lebih spesifik Nurisjah dan Pramukanto (2001) menyatakan bahwa pelestarian merupakan usaha manusia untuk memproteksi atau melindungi peninggalan atau sisa-sisa sejarah terdahulu yang bernilai dari berbagai perubahan yang merusak keberadaannya atau nilai yang dimilikinya.
Selanjutnya dalam Bab 2 Pasal 3 UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya disebutkan bahwa pelestarian cagar budaya bertujuan untuk:
Nurisjah dan Pramukanto (2001) juga menyatakan bahwa pelestarian lanskap sejarah maupun budaya penting untuk:
Adapun menurut Goodchild (1990) lanskap sejarah penting untuk dilestarikan dikarenakan beberapa alasan berikut:
Melihat betapa pentingnya melestarikan lanskap sejarah, maka tindakan pelestarian yang dapat dilakukan menurut Nurisjah dan Pramukanto (2001) adalah sebagai berikut:
Tindakan rekonstruksi tersebut dapat diterapkan apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
1.
Preservasi
Mempertahankan tapak seperti kondisi awal tanpa melakukan penambahan maupun merusaknya
2.
Konservasi
Mencegah bertambahnya kerusakan pada tapak atau elemen tapak
3.
Rehabilitasi
Meningkatkan standar modern dengan tetap memperkenalkan dan mempertahankan karakter sejarah
4.
Restorasi
Mengembalikan seperti kondisi awal apabila terjadi sedikit kerusakan
5.
Rekonstruksi
Menciptakan kembali seperti kondisi awal karena tapak (eksisting) sudah tidak bertahan lagi
6.
Rekonstitusi
Menempatkan atau mengembalikan suatu kawasan sejarah yang sesuai dengan kondisi saat ini
Kota Pusaka
Aset pusaka merupakan rekam jejak bangsa Indonesia dari masa kerajaan nusantara hingga pasca kemerdekaan. Aset-aset tersebut memiliki kedudukan yang sangat penting dan harus dijaga keberadaannya karena memiliki nilai kearifan lokal yang otentik (Kota Pusaka 2016). Sebagaimana termaktub dalam Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia Tahun 2013, pusaka Indonesia meliputi pusaka alam, pusaka budaya, dan pusaka saujana. Pusaka alam merupakan bentukan alam yang istimewa. Pusaka budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa dari lebih dari 500 (lima ratus) suku bangsa di tanah air Indonesia, secara sendiri-sendiri, sebagai kesatuan bangsa Indonesia, dan dalam interaksinya dengan budaya lain sepanjang sejarah keberadannya. Pusaka saujana adalah gabungan pusaka alam dan pusaka budaya dalam kesatuan ruang dan waktu.
Adapun Kota Pusaka merupakan kota yang di dalamnya terdapat kawasan cagar budaya dan atau bangunan cagar budaya yang memiliki nilai-nilai penting bagi kota, menempatkan penerapan kegiatan penataan dan pelestarian pusaka sebagai strategi utama pengembangan kotanya (Kota Pusaka 2015). Selanjutnya dalam buku Panduan Pelaksanaan Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP) 2016 disebutkan bahwa Kota Pusaka merupakan kota yang memiliki kekentalan sejarah yang bernilai dan memiliki pusaka alam, budaya, baik ragawi dan tak ragawi secara berkelanjutan, serta rajutan berbagai pusaka tersebut secara utuh sebagai aset pusaka dalam wilayah/kota atau bagian dari wilayah/kota, yang hidup, berkembang, dan dikelola secara efektif. Lingkup Kota Pusaka meliputi:
Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP) telah dirintis sejak tahun 2012 oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang bekerjasama dengan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dan Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI). Program tersebut ditujukan untuk mewujudkan ruang kota yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan, berbasis tata ruang, bercirikan nilai pusaka melalui sustainable urban (heritage) development dengan sinergitas antara pemerintah, masyarakat, swasta, dan perguruan tinggi dalam pengelolaan yang handal menuju Kota Pusaka Dunia.
Menurut Ramadhani (2017), dalam melaksanakan program P3KP kabupaten/kota anggota JKPI yang sudah berkomitmen mendukung program tersebut dan terpilih dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu kelompok A, B, dan C. Pengelompokkan tersebut disesuaikan dengan tingkat pemahaman pusaka, kelengkapan dan kedalaman substansi proposal, kesiapan dan keseriusan daerah dalam melaksanakan program, dan kompetensi SDM daerah terkait. Penjabaran ketiga kelompok tersebut adalah:
Kota pusaka perlu dilestarikan karena memiliki nilai-nilai penting, antara lain: nilai jati diri/identitas bangsa, kesejarahan, lingkungan, sosial, politik, ideologi, ekonomi, dan budaya apabila dikelola secara optimal dalam pembangunan berkelanjutan akan mampu memberikan manfaat bagi peningkatan kualitas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Kota pusaka dengan nilai yang dimilikinya merupakan kesatuan ruang dengan masyarakat yang hidup di dalamnya dan segala perilakunya yang dapat mempengaruhi keberlanjutan kota pusaka.
Dalam Piagam Pelestarian Kota Pusaka Indonesia (2013), disebutkan beberapa instrumen penataan dan pelestarian kota pusaka, antara lain:
Selanjutnya beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam pelestarian kota pusaka antara lain:
Program Kota Pusaka Kota Tegal
Kota Tegal bukanlah kota yang baru, tetapi kota yang telah menyaksikan sejarah panjang dari masa kerajaaan nusantara hingga pasca kemerdekaan Indonesia. Tegal pada awal perkembangannya merupakan desa kecil yang terletak di muara kali Gung dan diberi nama Desa Tetegal yang kemudian berkembang menjadi besar berkat Ki Gede Sebayu yang berasal dari Kerajaan Pajang. Ki Gede Sebayu melakukan perjalanan dari kerajaan Pajang ke arah barat dan menetap di Desa Tetegal kemudian membangun daerah tersebut dan beliau beri nama Tegal. Ki Gede Sebayu mulai melakukan pembangunan di berbagai bidang terutama dalam bidang pertanian sekaligus mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat. Oleh karena itu, Bupati Pemalang mengukuhkan Ki Gede Sebayu sebagai sesepuh dengan pangkat Juru Demung pada 12 April 1580 (Pemerintah Kota Tegal 2014).
Pada era Mataram Islam dipimpin oleh Sultan Agung, Tegal dijadikan sebagai pintu barat Mataram dan pemasok suplai makanan saat penyerangan Mataram ke Batavia (De Graff 1990). Sultan Agung mengangkat Tumenggung sebagai Adipati Tegal untuk mempertahankan wilayah pesisir barat yang meliputi Tegal, Brebes, dan Losari. Tegal sebagai pintu gerbang Mataram di sebelah barat dan memilki pelabuhan besar yang menguntungkan bagi Mataram (Rochani 2005). Tegal adalah daerah yang dipercaya Mataram Islam pada masa Sultan Agung dan Amangkurat I sebagai daerah pengamanan Mataram. Saat Mataram menyerang Batavia, Tegal dijadikan sebagai gudang logistik. Siasat ini kemudian diketahui oleh mata-mata VOC, sehingga gudang makanan tersebut dibakar (Alamsyah 2008).
Menurut Poesponegoro et.al (1993), pada masa perang Trunajaya tahun 1677, Adipati Martalaya menjabat sebagai Wedana Bupati Pesisiran Kilen yang bertempat di Tegal. Rochani (2005) menyatakan bahwa pada masa kepemimpinan Adipati Martalaya pusat pemerintahan Tegal yang berada di Kalisoka kemudian berpindah ke Kraton untuk memperkuat pertahanan Mataram dan untuk membendung masuknya tentara-tentara VOC dari Laut Jawa. Selain itu Daryono et.al (2008) menjelaskan bahwa perubahan dari pedalaman ke wilayah pesisir memberi dampak perubahan corak pemerintahan, dari pemerintahan agraris menjadi pemerintahan maritim. Terutama dengan dibentuknya prajurit laut di Tegal untuk mengamankan wilayah laut Tegal dari ancaman kapal-kapal VOC.
Pusat pemerintahan Tegal kemudian berpindah lagi menuju Pendapa Kaloran. Wilayah pendapa Kaloran sebagai pusat pemerintahan Tegal dan tempat tinggal pejabat kabupaten terletak di dalam Benteng Kembar yang keberadaannya masih terlihat depan Pasar Pagi Kota Tegal. Benteng Kembar merupakan bentuk pertahanan dari pusat pemerintahan Tegal dari VOC. Adipati Martalaya kembali melakukan pemindahan pusat pemerintahan menuju Istana Kabupaten. Istana Kabupaten didirikan pada tahun 1825 dengan pola pembangunan kota tradisional Jawa. Pola tersebut menempatkan pendapa kabupaten, tempat kediaman bupati, masjid, serta pasar dalam satu tempat. Pembangunan pendapa dibarengi dengan pembangunan Masjid Agung Tegal yang terletak disebelah barat pendapa. Alun-alun terletak di depan Pendapa dan Masjid Agung. Menurut Soemarna (1984) setelah periode liberal Belanda berakhir, pemerintahan Belanda melakukan politik etis dengan masyarakat pribumi. Desentralisasi kekuasaan dilakukan oleh pemerintahan Belanda atas Tegal. Kemudian pada tahun 1901 Tegal dijadikan 2 wilayah yaitu kota dan kabupaten.
Rekam jejak sejarah yang panjang, menjadikan Kota Tegal kaya akan elemen/lanskap sejarah. Hal tersebut mendorong Kota Tegal untuk berpartisipasi dalam program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP) sejak tahun 2016. Sebagaimana dilansir dari situs web Pemerintah Kota Tegal, terdapat 37 bangunan yang terindikasi sebagai cagar budaya, antara lain: Gedung Lanal Tegal atau NV Handelsbank Matschappij, Gedung DPRD Kota Tegal, Kantor Pos Tegal, Stasiun Kereta Api Tegal, Gedung Birao SCS (Semarang Cheriboon Stroomtram Matschappij), SMP Negeri 1 Tegal, SMP Negeri 8, HIS Tegal atau SMP Negeri 10 Tegal, Gedung Kong Kwan atau SMP Negeri 5 Tegal, SMK Negeri 3 Tegal, SMA Negeri 1 Tegal, SUBDEN POM IV/I-3 Tegal, Rumah Sakit Kardinah, Menara Air PDAM atau Water Toren Tegal, Benteng Kaloran Pasar Pagi, Masjid Pesengkongan, Masjid Agung Tegal, Masjid An Nur, Musholla Istiqomah, Gereja Hati Kudus, Gereja GPIB Ayalon, Klenteng Tek Hay Kiong, Pendopo Balikota Tegal, Rumah Dinas Walikota Tegal, gedung pengadilan Tegal atau Landraad Tegal, gedung PT Barata Indonesia, gedung panti asuhan Sukomulyo, Hotel Stroork, Gedung Rakyat, Percetakan Arum, gudang barang, Rumah Dinas KODIM, gedung Tebek, rumah tinggal, makam Mbah Panggung, dan makam Kercove.
Tantangan yang terjadi di era globalisasi menggeser nilai budaya yang berdampak pada penyeragaman berbagai aspek kehidupan, seperti wajah arsitektur kota yang cenderung sama dan mengabaikan lokalitas budaya setempat. Oleh karena itu, penting untuk melestarikan aset pusaka di Kota Tegal karena kekayaan dan keragaman warisan sejarah/budaya mampu membentuk karakter, keunikan, dan citra budaya yang khas serta memberikan peran signifikan dalam pembentukan citra kota. Selain itu, kekayaan aset pusaka dapat menjadi potensi pengembangan ekonomi kreatif yang mampu bersaing di era global yang salah satu caranya adalah dengan melakukan pelestarian kota pusaka yang tidak hanya memberikan keuntungan ekonomi, tetapi juga lingkungan, sosial dan budaya.