Asal usul Kota Tegal
Sejak abad ke 10, Tegal telah didiami oleh masyarakat beragama Hindu dan etnis Tionghoa yang menjalankan usaha di bidang perdagangan. Pada tahun 1530, kota Tegal mulai mengalami kemajuan dan menjadi bagian dari wilayah kabupaten Pemalang yang mengakui kerajaan Pajang. Kota Tegal merupakan perkembangan dari sebuah desa yang bernama “Tetegual”. Kota “Tetegual” diberikan oleh seorang pedagang dan cendikiawan asal Portugis yaitu Tome Pieres yang pernah singgah di Pelabuhan Tegal pada tahun 1500 an. “Tetegual” diambil dari Bahasa Portugis yang artinya tanah ladang subur yang mampu menghasilkan tanaman pertanian.
Secara historisnya, sejarah Kota Tegal tidak lepas dari ketokohan Ki Gede Sebayu, yang merupakan tokoh yang memimpin dan mengembangkan Kota Tegal. Beliau masih keturunan dari Majapahit yaitu anak dari Ki Gede Tepus Rumput. Pada saat adanya perang saudara di wilayahnya beliau memilih meninggalkan wilayah dan melepaskan atribut kebangsawanannya lalu pergi ke arah barat dan sampai tepian sungai Gung (sungai Muara Tua). Dalam perjalanannya tersebut, beliau melihat hamparan luas hampir tak berpenghuni dan beberapa bangunan semi permanen yang dihuni oleh beberapa santri dan sebuah makam keramat, yaitu makan Mbah Panggung. Mbah Panggung atau Sunan Panggung 2, merupakan salah satu tokoh islam yang mengembangkan agama Islam di Kota Tegal. Melihat hamparan tanah padang yang luas dengan kesuburan tanah yang membuatnya tergugah dan berniat untuk meningkatkan pertanian dengan penduduk sekitar dengan memperluas lahan serta membuat bendungan di hulu sungai daerah Danawarih untuk dijadikan sumber air irigasi.
Keberhasilannya dalam mengembangkan hasil pertanian dan membimbing masyarakat, Ki Gede Sebayu diangkat menjadi pemimpin Kota Tegal. Selain berhasil dalam memajukan pertanian di Kota Tegal, Ki Gede Sebayu juga merupakan ahli agama yang telah membimbing masyarakatnya dalam menanamkan rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Beliau diangkat oleh Pangeran Benowo menjadi Juru Demang atau sesepuh Tegal pada malam Jumat Kliwon, 15 Sapar Tahun 998 Hijriah, atau tahun 558 EHE, yang mana waktu itu bertepatan dengan tanggal 12 April 1580 Masehi. Pada hari pengangkatannya ini, dibarengi dengan perayaan hasil panen di wilayah tersebut. Hari tanggal dan tahun Ki Gede Sebayu diangkat menjadi Juru Demung itu ditetapkan sebagai hari jadi Kota Tegal yang berdasarkan dengan Peraturan Daerah Kotamadia Daerah Tingkat II Tegal Nomor 5 Tahun 1998 pada tanggal 12 April 1580.
Perkembangan Morfologi Kota Tegal
Kota Tegal merupakan Kota yang syarat akan sejarah, dimana sejarah tersebut mempengaruhi perkembangan morfologi kota. Kota Tegal sebagai kota pelabuhan berkembang secara periodik dari abad ke abad. Perkembangan tersebut mempengaruhi banyaknya aset pusaka bersejarah yang merupakan cerminan dari kejayaan masa lalu. Aset pusaka bersejarah yang menjadi kejayaan masa lalu tersebut sekaligus menjadi cerminan jati diri budaya Kota Tegal yang perlu dilestarikan hingga saat ini. Oleh karena itu penting untuk memahami latar belakang sejarah dan perkembangan morfologi Kota Tegal dari masa ke masa. Pada deskripsi ini akan dibahas latar belakang sejarah dan perkembangan morfologi Kota Tegal dari abad ke X hingga pada abad ke XIX. Menurut beberapa sumber, Kota Tegal sudah mulai sejak abad ke X, dimana pada abad tersebut Tegal sudah ada penghuninya yang sebagian besar adalah pribumi dan pedagang Tionghoa. Kemudian Tegal mulai berkembang dan Agama Islam mulai menyebar pada abad ke XIV. Pada abad ke XV Tegal mulai berkembang dan ramai sebagai kota pelabuhan, sehingga banyak masuknya etnis Tionghoa, Arab, dan sebagainya. Kemudian pada abad ke XVI, XVII, XVIII, dan IX Kota Tegal telah mulai berkembang dan bertransformasi dari mulai pemerintahannya hingga perkembangan fisik kotanya. Berikut penjelasan morfologi Kota Tegal.
Abad ke X “Tegal sebagai Kota Dagang”
Sejak abad ke-10, Tegal merupakan sebuah kota dagang yang sudah dihuni para pedagang Tionghoa dan masyarakat Hindu yang menjalankan usaha di bidang perdagangan. Diperkirakan pada abad ini, mulai munculnya perkembangan kegiatan perdagangan di Tegal. Menurut beberapa sumber, sistem pemerintahan Tegal saat itu berupa kerajaan – kerajaan kecil yang dipimpin oleh raja kecil atau pangeran. Berdasarkan hasil analisis Prima (2005), Kota Tegal mengalami perkembangan secara linier pada masa sistem pemerintahan kerajaan hingga masuknya agama Islam di Kota Tegal.
Abad XIV “Peran Serta Mbah Panggung”
Pada beberapa abad kemudian, Tegal mulai dimasuki ajaran Islam melalui ajaran Walisongo sekitar abad ke-14. Mbah Panggung, merupakan salah satu tokoh dalam perkembangan agama Islam di Tegal. Selain mengajarkan dan menyebarkan agama Islam di Kota Tegal, Mbah Panggung melakukan pendekatan sosial dan mengajak para penduduk di sekitar pesisir yang sebagian besar orang – orang Cina yang bermata pencaharian sebagai nelayan ini untuk membuat sebuah pelabuhan. Dengan pelabuhan ini, beliau berharap akan banyak kapal yang bersinggah dan membuat daerah ini menjadi ramai. Selain itu, kemurahan hatinya inilah yang membantu warga meningkatkan perekonomian penduduk di Kota Tegal pada saat itu.
Abad XV “Perkembangan Kota Tegal”
Pada tahun 1500-an Tegal mulai mengalami perkembangan dan kemajuan sebagai Kota Pelabuhan yang ramai dan dikunjungi oleh beberapa pedagang baik dari warga luar Jawa maupun warga negara asing yang berasal dari etnis Cina, Arab dan Portugis. Salah satu pedagang yang singgah di Pelabuhan Tegal adalah Tome Pieres, yang menurut beberapa literatur adalah orang pertama kali yang menjuluki Tegal dengan sebutan “Tetegual”, yang artinya tanah ladang. Secara historisnya, sejarah perkembangan Kota Tegal tidak terlepas dari seorang tokoh bernama Ki Gede Sebayu. Menurut beberapa literatur, beliau merupakan seorang keturunan Kerajaan Majapahit yang melepaskan status kebangsawanannya dan mulai melakukan perjalanan ke arah Barat hingga sampai di Sungai Kaligung dan melihat ladang dan tanah kosong yang luas. Dengan keahliannya, beliau mengajak para penduduk sekitar untuk mengembangkan bidang pertanian dan membangun sebuah sistem irigasi dengan membendung Kali Gung dari hulu sungai daerah Danawarih. Usaha beliau dalam meningkatkan pertanian Kota Tegal, membuat beliau diangkat menjadi Juru Demang atau sesepuh Tegal pada tahun 1580. Mulai sejak itu, perkembangan di bidang pertanian menjadi pesat dan membentuk suatu pusat perdagangan di Kota Tegal. Muara Kali Gung, digunakan masyarakat sebagai pelabuhan yang mendukung aktivitas perdagangan pada masa itu. Dalam perkembangannya, pelabuhan di Muara Kali Gung dipindahkan ke Muara Kali Gung sebelah timur. Perkembangan pada kegiatan perdagangan ini membuat banyaknya pedagang asing yang menetap dan mulai menyebarkan agaman dan kebudayaannya. Mulai banyaknya pendatang yang berdatangan di Kota Tegal ini, menciptakan pertumbuhan pusat – pusat kegiatan dan pemukiman baru di sepanjang kawasan pelabuhan dan pusat – pusat kegiatan perdagangan dan pertanian di Kota Tegal. Selain bertani dan berdagang, masyarakat di sekitar Tegal juga mulai meningkatkan bidang perikanan dan pelayaran. Perkembangan Kota Tegal yang semakin pesat dan ramai mulai terdengar di telinga Sultan Agung, Raja Mataram. Semenjak itulah Kota Tegal mulai dikuasai oleh Kerajaan Mataram, dengan Ki Gede Sebayu sebagai Demangnya. Beliau mulai membangun bendungan atau waduk di wilayah selatan dan membangun pelabuhan yang lebih baik. Pada masa Kerajaan Mataram ini, Kota Tegal mulai berkembang organis, dengan perkembangan kawasan yang mulai melebar ke wilayah selatan.
Abad ke XVI “Belanda mulai masuk menduduki Tegal”
Abad ke XVI merupakan permulaan perkembangan dan transformasi pemerintahan di Tegal. Pada tanggal 18 Mei 1601 Ki Gede Sebayu diangkat menjadi Tumenggung/Adipati Tegal yang dipercaya memimpin Tegal pada tahun 1620. Setelah itu pemerintahan Tegal dipimpin oleh tumenggung dan adipati yang menurut beberapa sumber dahulunya pusat pemerintahannya berada di Kerajaan Kaloran, Tegal. Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1677 keberadaan kolonial Belanda mulai masuk dan terlihat di Tegal seiring dengan rapuhnya Kerajaan Mataram ( Yono Daryono, 2010). Keberadaan Belanda di Tegal ada pada pemerintahan Adipati Anom (Amangkurat II) yang saat itu menjadi Raja Tegal. Pada saat itu Adipati Anom juga sengaja mengundang Belanda ke Alun – alun Kota Tegal. Pada saat itu terjadi akulturasi budaya yang mulai disebarkan oleh kolonial Belanda. Pada abad ke XVI pusat pemerintahan Tegal ada di Kerajaan Kaloran, sehingga awal dibangunnya Benteng Kaloran adalah sekitar tahun 1690. Pada tahun 1690 juga dibangun Kelenteng Tek Hay Kiong yang menjadi bukti perkembangan Tionghoa di Tegal.
Abad ke XVII “Transformasi Pemerintahan Tegal”
Setelah Mataram terbagi menjadi dua kerajaan yaitu Surakarta dan Yogyakarta, Belanda menerapkan politik lama Belanda “devide et impera” atau politik adu domba yang bertujuan memecah belah kerajaan, Belanda juga telah menguasai Cirebon (1705) dan daerah pesisir lainnya termasuk Tegal (1743) (Daryono, 2010). Sepanjang Pantai Utara Jawa diserahkan kepada VOC sebagai ganti rugi pembiayaan perang yang dikeluarkan VOC. Dengan hak yang didapatkan, Pantai Tegal dijadikan kubu pertahanan (benteng) VOC tahun 1743. Pada tahun 1743 penting bagi Belanda mulai menguasai Tegal, dan Tegal dikuasai karena Tegal sangat penting bagi Belanda dalam mensuplai kebutuhan beras. Belanda mulai melancarkan aksinya menguasai Tegal semenjak wafatnya Amangkurat dan petinggi – petinggi kerajaan. Belanda memberikan keputusan tentang pembagian bawahan kepada pejabat dan pajak. Semua pejabat pada prinsipnya akan digantikan oleh putra tertua atau kerabat yang paling dekat. Hal ini seringkali menimbulkan perselisihan diantara kerabat keraton, sehingga beberapa Tumenggung dan Adipati tidak puas dengan tindakan tersebut, salah satunya adalah Tumenggung Tegal Reksanegara I yang melakukan perlawanan namun Belanda tidak peduli.
Kemudian pada tahun 1729, Belanda melakukan transformasi pemerintahan Tegal, dimana pada tahun 1729 hingga tahun 1898 Tegal dinyatakan sebagai gewest (daerah) yang harus dipimpin oleh seorang Belanda dan Tegal sebagai ibukotanya meliputi daerah Tegal, Brebes, dan Pemalang (Daryono, 2010). Mulailah transformasi pemerintahan Tegal yang semula kerajaan kecil, menjadi gewest yang dipimpin kolonial Belanda. Dampak dari transformasi ini adalah pembangunan kantor residen yang sekarang menjadi Gedung DPRD. Jadi gedung DPRD ini sudah dibangun semenjak tahun 1750 sebagai kantor residen dan pusat pemerintahan Gewest Tegal. Tentunya ini merupakan pemindahan pusat pemerintahan yang semula berada di Kaloran.
Abad ke XVIII “Mulai berkembangnya Tegal”
Pada awal abad ke XVIII, Tegal masih menjadi Gewest atau daerah yang dipimpin Belanda. Pada tahun 1824 Gedung DPRD yang saat ini, dahulunya dipakai menjadi kediaman Residen Tegal. Pada awal abad ini, Belanda mulai membangun Kota Tegal sesuai dengan kebutuhannya. Awal abad ke XVIII juga telah dibangun Masjid Pesengkongan sebagai masjid pertama yang didirikan di Kota Tegal, yang didirikan pada tahun 1821. Bangunan masjid ini didirikan oleh para pedagang dari beberapa negara yang sedang berdagang serta menyiarkan agama Islam di Kota Tegal. Islam semakin berkembang pada abad tersebut. Kemudian terjadi Perang Diponegoro yang dilaksanakan pada tahun 1825 hingga tahun 1830. Pada tahun 1825 tersebut dibangun Masjid Agung Kota Tegal yang menjadi saksi Perang Diponegoro. Ini juga merupakan bukti semakin berkembangnya agama Islam sebagai agama yang mendominasi di Kota Tegal. Kemudian seiring dengan perkembangan Tegal sebagai gewest yang dipimpin Belanda, dibangun beberapa fasilitas pemerintahan seperti Pendopo dan Rumah Dinas Residen Tegal. Pendopo dan rumah dinas residen ini dibangun pada tahun 1825 bersamaan dengan dibangunnya masjid agung. Seiring dengan perkembangan Kota Tegal sebagai kota perdagangan, dibutuhkan pula sarana transportasi darat yang mendukung distribusi barang serta memudahkan akomodasi penumpang, maka dibangunlah stasiun kereta api yang melayani trayek Semarang – Cirebon. Stasiun ini dibangun pada tahun 1885 oleh Perusahaan Java Spoorweg Maatschaappij (JSM). Kemudian pada akhir abad ke XVIII, pada tahun 1898 merupakan akhir masa pemerintahan gewest, dimana residen terakhirnya adalah G.J.P Vallete. Pada masa ini Tegal mulai berkembang seiring dengan transformasi pemerintahannya.
Abad ke XIX “Perkembangan morfologi Kota Tegal pada masa kolonial”
Abad ke XIX merupakan abad yang menjadi saksi semakin banyaknya transformasi perkembangan perkotaan Tegal. Pada awal abad ke IX, yaitu pada tanggal 1 Januari 1901, gewest dan bagian Tegal dihapuskan. Pemalang dan Brebes digabungkan dengan Karesidenan Pekalongan (Suputro (1959) dalam Daryono (2010)). Setelah gewest dihapuskan selanjutnya Belanda melancarkan politik etis, dimana pemerintah Belanda mengirimkan tenaga – tenaga ahli di berbagai bidang. Diantaranya adalah arsitek yang ditugaskan mengembangkan konsep perencanaan kota – kota di Indonesia. Dari sinilah mulainya perkembangan morfologi Kota Tegal, dimana Kota Tegal semakin berkembang sesuai aktivitasnya. Pada awal abad ke X hingga ke XV Kota Tegal bermula dari aktivitas perdagangan dan pertanian, kemudian pada abad ke XVI, XVII, dan XVIII Kota Tegal seiring dengan perkembangan politik dan sosial budayanya mempengaruhi perkembangan fisik dan struktur Kota. Pada abad ke IX ini, Belanda mulai berperan dalam perkembangan struktur Kota Tegal. Awalnya, setelah gewest dihapuskan, dan Tegal mulai berkembang sebagai kota perdagangan, dibentuklah Dewan Kota (Gemeenteraad) (Daryono, 2010). Pada tanggal 1 April 1906 merupakan pelantikan Dewan Kota Tegal yang pertama, pada saat itu yang menjadi Ketua Dewan Kota adalah Resident Assistant (Asisten Residen) yang membawahi Tegal (kota kecil Tegal). Anggota Dewan Kota berjumlah 13 orang yaitu 8 orang warga negara Belanda, 4 orang warga negara pribumi bukan Belanda, dan 1 warga negara bukan bumiputera bukan Belanda dan dilantik oleh Dewan Kota.
Pelestarian cagar budaya merupakan sebuah usaha dinamis yang bertujuan untuk memelihara dan mempertahankan nilai serta keberadaan cagar budaya melalui cara pemanfaatan, pengembangan dan perlindungan terhadap cagar budaya tersebut. Pelestarian cagar budaya bertujuan untuk melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia; meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya; memperkuat kepribadian bangsa; meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan mempromosikan warisan budaya kepada masyarakat Internasional.
Pembangunan seni, budaya dan olahraga merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari pembinaan dan pembangunan bangsa dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya insani, terutama diarahkan pada peningkatan kesehatan jasmani dan rohani, serta untuk membentuk watak dan kepribadian yang memiliki disiplin dan sportivitas yang tinggi. Di samping itu, pembangunan seni, budaya dan olahraga juga dijadikan sebagai alat untuk memperlihatkan eksistensi bangsa melalui pembinaan prestasi yang setinggi-tingginya.
Pembangunan kebudayaan di Kota Tegal ditujukan untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah serta mempertahankan jati diri dan nilai-nilai budaya daerah di tengah-tengah semakin derasnya arus informasi dan pengaruh negatif budaya global. Namun, disisi lain upaya peningkatan jati diri masyarakat Kota Tegal seperti solidaritas sosial, kekeluargaan, penghargaan terhadap nilai budaya dan bahasa masih perlu terus ditingkatkan. Kebudayaan juga akan menjadi potensi ekonomi kreatif yang apabila dikelola dengan baik dapat menciptakan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi serta mengentaskan kemiskinan. Kebudayaan juga menjadi media diplomasi yang akan mengangkat harkat dan martabat suatu bangsa dalam pergaulan internasional, karena memiliki kekuatan citra positif bangsa yang berperadaban. Bukti dari kekayaan budaya tersebut adalah Kota Tegal memiliki keragaman budaya yang berciri khas budaya pesisir, baik budaya tangible (kasat mata) maupun intangible (tidak kasat mata).
Perhatian pemerintah dalam rangka pelestarian cagar budaya di Kota Tegal semakin meningkat. Kondisi ini terlihat dari meningkatnya jumlah benda, situs maupun kawasan yang telah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB) di Kota Tegal. Cagar budaya yang terdapat di Kota Tegal sebagian besar berbentuk bangunan dengan gaya arsitektur Belanda. Beberapa bangunan yang masih terpelihara hingga saat ini antara lain: Stasiun Kereta Api Tegal, Gedung DPRD, Pendopo dan Rumah Dinas Walikota, Kantor Pos Besar Tegal, Mako Lanal, Pasar Pagi, Waterleiden, Gedung Birao, Gereja Katolik Paroki Hati Kudus, Gedung Universitas Pancasakti, Pasar Pagi, Menara Air Pancasila, Klenteng Tek Hay Kiong, dan sebagian rumah tinggal yang terletak di Jalan Veteran A. Yani dan Jalan Sudirman beserta beberapa kawasan lainnya.
Kota Tegal memiliki jenis kebudayaan yang sangat beragam. Keberadaan beberapa etnis yang tinggal di Kota Tegal menjadi penyebab berkembangnya kebudayaan tersebut. Terdapat tiga etnis besar yang tinggal di Kota Tegal yaitu etnis Pribumi, Tionghoa serta etnis Arab. Masing-masing etnis memiliki beberapa bentuk kesenian dan tradisi yang hingga saat ini masih banyak digelar dan dilaksanakan pada pegelaran maupun event tertentu. Etnis pribumi memiliki beberapa jenis kebudayaan, antara lain seni tari topeng yaitu topeng endel, seni tarik suara yaitu balo-balo, dan seni mistis sintren serta jaran kepang. Adapun kebudayaan etnis Tionghoa dan Arab lebih banyak berbentuk tradisi, seperti Gotong Toa Pe Kong, Haul Habaib, dan Pawai Rolasan. Berkembangnya kesenian di Kota Tegal tidak terlepas dari keberadaan kelompok kesenian yang ada.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa kewenangan pemerintah daerah pada urusan kebudayaan meliputi (1) Pengelolaan kebudayaan yang masyarakat pelakunya dalam Daerah kabupaten/kota; (2) Pelestarian tradisi yang masyarakat penganutnya dalam Daerah kabupaten/kota; (3) Pembinaan lembaga adat yang penganutnya dalam Daerah kabupaten/kota, (4) Pembinaan kesenian yang masyarakat pelakunya dalam Daerah kabupaten/kota, (5) Pembinaan sejarah lokal kabupaten/kota, (6) Penetapan cagar budaya peringkat kabupaten/kota, (7) Pengelolaan cagar budaya peringkat kabupaten/kota, (8) Penerbitan izin membawa, (9) cagar budaya ke luar Daerah kabupaten/ kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi, dan (10) Pengelolaan museum kabupaten/ kota.
Kota Tegal merupakan salah satu daerah di Jawa Tengah dimana letaknya dianggap strategis, karena berada di jalur pantura dan terletak diantara jalur Jakarta-Tegal maupun Jakarta-Solo. Letaknya yang strategis membuat Kota Tegal memiliki beraneka ragam budaya, baik budaya asli maupun budaya serapan yang dibawa oleh para musafir. Pembangunan kebudayaan di Kota Tegal tidak hanya bertujuan untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan untuk mencapai standar tertentu namun, juga untuk memanfaatkan budaya yang merupakan salah satu kekayaan Kota Tegal dalam bidang ekonomi.
Kekayaan budaya Kota Tegal merupakan potensi ekonomi kreatif yang apabila dikelola dengan baik dapat menciptakan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi serta mengentaskan kemiskinan. Gelombang ekonomi keempat (fourth wave economic) yang kini tengah memasuki peradaban dunia di mana kesejahteraan manusia tidak lagi ditopang oleh sektor pertanian ataupun manufaktur, tetapi lebih ditopang dari karya kreativitas, keahlian, dan bakat individu yang berakar dari karya budaya.
Banyaknya penyelenggaraan festival seni dan budaya bertujuan untuk mendukung peningkatan kunjungan wisatawan serta memberi kesempatan pada seniman-seniman Kota Tegal untuk menampilkan karyanya. Disisi lain, banyaknya penyelenggaran festival seni dan budaya dapat memberikan nilai tambah secara ekonomi bagi kelompok seni di Kota Tegal, Oleh karena itu diperlukan kerja sama dengan stakeholder untuk meningkatkan jumlah penyelenggaraan seni dan budaya.
Pemerintah Kota Tegal dalam mendukung perkembangan kesenian menyediakan sarana berupa gedung/ tempat yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk menyelenggarakan kegiatan kesenian/ berekspresi antara lain di Taman Budaya Tegal, Gedung Wanita, Panggung Hiburan di PAI, Alun-alun dan Pendopo Kota Tegal.
Dalam rangka perlindungan dan pelestarian terhadap cagar budaya yang ada di kota Tegal, pemerintah kota melakukan upaya perlindungan dan pelestarian dalam bentuk pemberian penetapan terhadap benda, situs dan kawasan sebagai cagar budaya dan pengawasan agar jika ada proses renovasi tidak sampai merubah bentuk aslinya.