DISKOTIK  Bersama LDKS 2025

HMPS IKS - Bersama LDKS Bahas Kesenjangan Sosial dan Hak Pekerja dalam Gerakan 17+8 

Diskusi Kolaborasi Terkait Isu Terkini (DISKOTIK) yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bersama Lingkar Diskusi Kesejahteraan Sosial (LDKS) sukses diadakan pada hari Jumat, 26 September 2025 di Sekretariat Serbuk. 

Diskusi ini mengangkat tema "Kesenjangan Sosial dan Hak Pekerja dalam Gerakan 17+8" dengan fokus menggali secara mendalam mengenai kondisi kesenjangan sosial yang masih terjadi di masyarakat serta pentingnya memperjuangkan hak-hak pekerja, khususnya dalam konteks gerakan 17+8 dan juga pembahasan pada isu-isu ketenagakerjaan, mulai dari upah yang tidak layak, PHK massal, hingga penghapusan outsourcing. Menghadirkan narasumber hebat Rifki Almunawar, selaku alumni Ilmu Kesejahteraan Sosial tahun 2021 dan Donny Pradana WR, selaku Tim Organizer SERBUK, serta dimoderatori oleh Wahab Amrullah.

Dalam diskusi, narasumber menyoroti gambaran antara pekerja dengan pengusaha, khususnya terkait perbedaan bayaran atau gaji. Data BPS menunjukkan bahwa rata-rata upah buruh laki-laki mencapai Rp3,3 juta, sementara buruh perempuan hanya berada pada kisaran Rp2,5–3 juta. Fakta ini menegaskan masih adanya kesenjangan gender dalam upah. Selain itu, dibahas juga fenomena perkariat, yaitu angkatan kerja yang dimana mereka berada pada kondisi rentan karena situasi pekerjaan mereka tidak stabil dan mempengaruhi kesejahteraan.

Isu terkait PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) berdasarkan UU No. 6 Tahun 2003 juga menjadi perhatian. Sesuai aturan, pekerja yang sudah bekerja selama 5 tahun seharusnya diangkat menjadi pekerja tetap. Namun pada praktiknya, banyak pekerja saat ini sebelum 5 tahun sudah diangkat menjadi pekerja tetap.

Narasumber juga menekankan bahwa kesejahteraan pekerja sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi eksternal seperti inflasi, kebutuhan hidup sehari-hari yang terus meningkat, beban hidup yang semakin berat. Alternatif penyelesaian masalah untuk kesejahteraan pekerja sosial, di antaranya peningkatan peran pekerja sosial dalam mengawal isu-isu ketenagakerjaan dan perubahan kebijakan ketenagakerjaan agar lebih berpihak pada buruh. Beberapa problem ketenagakerjaan saat ini yaitu kebijakan negara yang membuat bertambahnya PHK, sementara lapangan kerja baru masih terbatas, dan serikat pekerja menghadapi banyak tantangan. Adapun tuntutan utama serikat pekerja adalah revisi UU ketenagakerjaan serta rencana serikat pekerja yaitu pengawalan secara ketat dan dialog yang berkelanjutan.

Serbuk sendiri memiliki anggota di tiga sektor utama yaitu kelistrikan, konstruksi, dan perkayuan. Pekerja informal banyak yang belum memiliki kontrak kerja resmi, berbeda dengan pekerja di BUMN yang memiliki kontrak kerja tertulis. Situasi sosial di negara saat ini juga sedang memanas, terutama kasus MBG di Sleman yang di mana 6000 anak mengalami keracunan tetapi beberapa sekolah juga tidak boleh melaporkan apabila terjadi keracunan. 

Diskusi dilanjutkan dengan dialog interaktif yaitu tanya jawab dan diskusi bersama. Para peserta sangat antusias bertanya. Pertanyaan pertama datang dari salah satu peserta "apakah gerakan sosial hanya dilakukan melalui demo, atau ada cara lain?", narasumber menjawab gerakan sosial tidak haya dilakukan melalui demo tetapi dapat melalui cara lain, misalnya melalui partai politik (bekerja sama dengan pemerintah/parlemen), melalui serikat buruh dengan mengadakan pendidikan, advokasi, membentuk serikat pekerja, maupun berdialog dengan dinas tenaga kerja. Gerakan sosial perlu kreatif dan terorganisir serta memerlukan tak tik.  Pertanyaan selanjutnya, "apa gerakan pada saat ini berbeda dengan gerakan aktivis pada tahun 1998?", beliau menjelaskan pada tahun 1998, gerakan jelas dipimpin oleh organisasi/leader. Sekarang gerakan sosial cenderung leaderless, bahkan beberapa tokoh justru ditawari jabatan. Namun situasi ketidakadilan masih sama, hanya bentuk gerakannya yang berbeda. Efektivitasnya tergantung situasi. 

Sesi terakhir yaitu penutup dan tidak lupa sesi foto bersama. Dengan suksesnya pelaksanaan forum diskusi kali ini, berharap dapat meningkatkan pemahaman tentang isu-isu krusial terkait hak pekerja dan kebijakan publik yang relevan. 

Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial (HMPS-IKS)

Fakultas Dakwah dan Komunikasi

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

HMPS IKS - Together with LDKS, Discussing Social Inequality and Workers' Rights in the 17+8 Movement

The Collaborative Discussion on Current Issues (DISKOTIK), organized by the Student Association of the Social Welfare Studies Program at UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta in collaboration with the Social Welfare Discussion Circle (LDKS), was successfully held on Friday, September 26, 2025, at the Serbuk Secretariat.

This discussion raised the theme “Social Inequality and Workers' Rights in the 17+8 Movement” with a focus on exploring in depth the conditions of social inequality that still exist in society and the importance of fighting for workers' rights, especially in the context of the 17+8 movement and also discussions on labor issues, ranging from unfair wages, mass layoffs, to the elimination of outsourcing. The discussion featured distinguished speakers Rifki Almunawar, a 2021 graduate of Social Welfare Studies, and Donny Pradana WR, a member of the SERBUK Organizing Team, and was moderated by Wahab Amrullah.

During the discussion, the speakers highlighted the disparity between workers and employers, particularly in terms of pay or wages. BPS data shows that the average wage for male workers is Rp3,3 million, while female workers only earn between Rp2,5–3 million. This fact confirms that there is still a gender gap in wages. Additionally, the phenomenon of precarious work was discussed, where workers are in a vulnerable position due to unstable employment conditions that affect their welfare.

Issues related to fixed-term employment contracts (PKWT) based on Law No. 6 of 2003 are also a concern. According to the regulations, workers who have been employed for 5 years should be appointed as permanent employees. However, in practice, many workers are currently appointed as permanent employees before reaching 5 years of service.

The source also emphasized that worker welfare is greatly influenced by external economic conditions such as inflation, the increasing cost of living, and the growing burden of life. Alternative solutions to the problem of social worker welfare include increasing the role of social workers in overseeing labor issues and changing labor policies to be more favorable to workers. Some of the current labor problems include government policies that have led to an increase in layoffs, while new job opportunities are still limited, and labor unions face many challenges. The main demands of labor unions are the revision of labor laws and the union's plan for strict monitoring and ongoing dialogue.

Serbuk itself has members in three main sectors, namely electricity, construction, and woodworking. Many informal workers do not have official employment contracts, unlike workers in state-owned enterprises who have written employment contracts. The social situation in the country is also heating up, especially the MBG case in Sleman, where 6,000 children were poisoned, but some schools were not allowed to report cases of poisoning.

The discussion continued with an interactive dialogue consisting of questions and answers and group discussions. The participants were very enthusiastic in asking questions. The first question came from one of the participants: “Are social movements only carried out through demonstrations, or are there other ways?” The speaker replied that social movements are not only carried out through demonstrations but can also be carried out in other ways, such as through political parties (in collaboration with the government/parliament), through labor unions by providing education, advocacy, forming labor unions, and engaging in dialogue with the labor office. Social movements need to be creative and organized and require tactics. The next question was, “How are the current movements different from the activist movements in 1998?” He explained that in 1998, the movements were clearly led by organizations/leaders. Nowadays, social movements tend to be leaderless, and some figures are even offered positions. However, the situation of injustice remains the same, only the form of the movement is different. Its effectiveness depends on the situation.

The last session was the closing session, and of course, a group photo session. With the success of this discussion forum, we hope to increase understanding of crucial issues related to workers' rights and relevant public policies.

Student Association of Social Welfare Science Study Program (HMPS-IKS)

Faculty of Da'wah and Communication

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta