Selamat pagi. Nama saya Aurelio Arrazi Shasta Nugraha dari 12C.
Delapan puluh tahun yang lalu, di rumah seorang perwira angkatan laut Jepang yang bersimpati terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, para tokoh Bangsa Indonesia memproklamirkan Kemerdekaan Indone
sia dari penjajahan bangsa lain. Rakyat Indonesia sudah cukup menderita dan cukup diperintahkan untuk diam. Dengan proklamasi itu dan perjuangan mempertahankannya, yang terjadi hanya dua generasi lalu, mereka membangun kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan kini, kita berada di sini, menikmati kemerdekaan yang mereka perjuangkan tanpa harus berperang seperti mereka.
Bagi kita yang lahir dua generasi setelahnya, sulit membayangkan makna sebenarnya dari kemerdekaan. Kita tidak pernah berperang, tidak melihat langsung kekejaman penjajahan Belanda dan Jepang, dan tidak merasakan penindasan yang dialami sebagai bangsa terjajah. Kita hidup di tanah yang sama dengan leluhur kita, tetapi dengan kenyataan berbeda: bukan bekerja di sawah atau ladang, melainkan bersekolah, duduk di ruang ber-AC, berdiskusi dan mengerjakan tugas di laptop, bahkan bercanda dengan teman saat guru tidak melihat. Lalu, apakah perjuangan kemerdekaan masih relevan hari ini? Apa hubungannya kemerdekaan dengan ujian saya tiga minggu lagi?
Jawabannya adalah, semuanya.
Tanpa kemerdekaan, masa depan kita sudah ditentukan, tidak ada kesempatan memilih jalan hidup sendiri. Cara terbaik menghormati kebebasan itu adalah dengan memanfaatkannya secara bertanggung-jawab. Soekarno pernah berkata, “Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia” Kitalah pemuda yang beliau maksud. Kita, generasi muda bangsa, adalah masa depan, dan suara, ide, serta tindakan kita penting.
IB telah mengajarkan kita untuk menjadi lebih dari sekadar siswa; kita diajarkan menjadi pribadi yang berprinsip, peduli, dan berpikir kritis. Bukan hanya bertanya “nilai berapa yang akan saya dapat,” tetapi juga “dampak apa yang bisa saya berikan?”
Kita bisa mulai dari hal kecil. Jika peduli lingkungan, bergabunglah dengan Green School Committee. Jika pandai berkomunikasi, bantu sebarkan kesadaran akan isu-isu seperti kesehatan mental. Jika suka berefleksi, tanyakan pada diri sendiri: “Indonesia seperti apa yang ingin aku bangun? Indonesia seperti apa yang ingin aku jalani?”
Tidak harus sebesar perjuangan 80 tahun lalu, hal kecil pun bisa berarti. Hal tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk membantu teman yang kesulitan dalam belajar, memimpin kegiatan sekolah, atau berani bersuara saat melihat sesuatu yang salah.
Dan ketika ragu apakah usaha kita berarti, ingatlah kata Presiden ketiga kita, B.J. Habibie: “Kalau bukan anak bangsa ini yang membangun bangsanya, siapa lagi? Jangan saudara mengharapkan orang lain yang datang membangun bangsa kita.” Jika bukan kita, lalu siapa? Jika bukan sekarang, lalu kapan?
Kemerdekaan bukan hanya tentang apa yang diperjuangkan di tahun 1945, tetapi tentang apa yang kita lakukan di 2025, delapan puluh tahun kemudian. Kita mungkin tidak mengangkat senjata atau menulis proklamasi, tetapi kita memegang masa depan: ide, pemikiran, pilihan, dan tindakan.
Jangan hanya merayakan hari ini; hiduplah dan penuhi dengan maknanya. Isi kemerdekaan ini dengan makna, aksi, dan mimpi untuk masa depan yang lebih baik. Kita harus berterima kasih atas 80 tahun kemerdekaan, tetapi kita adalah alasan 80 tahun berikutnya harus lebih baik.
Terima kasih.
Eighty years ago, in the home of a sympathetic Japanese naval officer, our forefathers declared Indonesia’s Independence against the Dutch. They had had enough. Enough of being told who we are, and enough of being told to stay silent. With that proclamation and the ensuing struggle defending it, which was only one human lifespan ago, they brought freedom for all people of the Indonesian archipelago. And now here we are, having fought no such battles, in the freedom they fought so hard to create.
For us, having been born two generations afterwards, it can be hard to grasp and understand what this really means for us. We didn’t fight in any wars; we never truly saw the brutality that was the Dutch and Japanese rule, and we never experienced the oppression inherent to being colonized. Despite living on the same land our ancestors lived on, we don’t experience any of that. Instead of doing field work, we get to go to school. We sit in air-conditioned rooms, comfortably talk and type on our laptops, and maybe make some jokes with our friends when our teachers aren’t looking. Is the struggle for independence even still relevant today? What does independence have to do with the exams I have in three weeks?
Well, actually, everything.
Without independence, our future is completely set; there is no chance to choose our own path. The best way for us to honor that freedom is by using it.
Soekarno once said, “Give me 1,000 old men, and I will undoubtedly be able to pull Mount Semeru from its roots. But give me 10 youth, and I will undoubtedly shake the world.” We are the youth he spoke of. We are the future, and our voices, ideas, and actions matter.
The IB has taught us to be more than just students and just to be good at school; we are taught to be principled, caring inquirers, thinkers! Not people who just ask “what grade can I get,” but people who also ask “what impact can I make?” And independence gives us the platform to show that.
You can start simple. If you care about the environment, you could join the Green School Committee. If you’re more of a communicator, you could help create awareness about many different issues, like mental health. If you’re reflective, ask yourself: “What kind of Indonesia do I want to build? What Indonesia do I want to be a part of?”
It doesn’t have to be big, like the fight that was fought 80 years ago; the small scale matters just as much. Maybe it's helping someone who’s left behind in class, or using your self-management and organization skills to take the lead of a team project, or having the courage to speak up when you see something wrong, however uncomfortable it may be.
And when we wonder whether our efforts matter or not, I want you to remember a quote from our third president, B.J. Habibie, “If it is not the children of this country who will build it, then who else? Do you expect others to come and build this country?” If not us, then who? If not now, then when?
Independence is not just about what our country gained and fought for all the way back in 1945, but it is about what we do with it in 2025, 80 years later. We may not be the ones who carry weapons, start wars, or write manifestos and declarations, but we are the ones who carry the future: Ideas, thoughts, choices, and actions. More powerful than the metal sword that our ancestors carried is the pen of hope that we hold in our hands. The one we must use to write the future we wish to see.
We shouldn’t just celebrate this day; we should live for what it stands for, and not waste the freedom we have been given. We should fill it with meaning, action, and with dreams of a better future.
We may thank the people before us for the eighty years of freedom, but we are the reason the next eighty must be even better.
My name is Aurelio Arrazi Shasta Nugraha from 12C. Thank you for listening
Back To Secondary School