Sub-CPMK 4 :
Melakukan monitoring ekosistem mangrove
4.1. Kelompok dan jenis ekosistem mangrove
4.2. Monitoring mangrove dengan aplikasi MonMang
4.3. Monitoring spasial ekosistem mangrove dengan penginderaan jauh
4.4. Analisis keruangan, ekonomi & ekologi ekosistem non mangrove
Mangrove, salah satu kelompok tumbuhan pantai yang tumbuh pada kawasan intertidal, memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kesehatan komponen biotik (biota terrestrial-laut), abiotik (substrat dan perairan) serta sosial ekonomi masyarakat. Produktivitas ekosistem dan keberlangsungan jejaring makanan biota yang ada di dalamnya sangat tergantung pada kesehatan tegakan mangrove sebagai produsen utama (Nagelkernen et al., 2008). Serasah dan bagian biomassa mangrove yang telah mati menjadi sumber bahan organik utama yang mendukung keberlanjutan sistem ekologi pada hutan mangrove (Chen et al., 2019). Sistem ekologi yang lebih baik akan meningkatkan kelimpahan dan keanekaragaman jenis biota yang memanfaatkan hutan mangrove sebagai habitat, dan tempat berkembang biak (Bosire et al., 2008). Hal ini dapat meningkatkan peran mangrove dalam memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Secara fisik, komunitas mangrove yang sehat dapat meningkatkan kemampuan proteksi wilayah pesisir terhadap ancaman abrasi, badai dan tsunami (Marois & Mitsch, 2015; Del Valle et al., 2020; Xiao et al., 2020). Hal ini mampu mempertahankan bentuk geomorfologi wilayah pesisir dan habitat biota yang hidup di dalamnya. Observasi yang dilakukan Horstman et al. (2014) menemukan bahwa mangrove maksimal mampu menurunkan 79% kekuatan dan 49% tinggi gelombang pada lebar 141 meter. Walaupun, kerapatan dan jenis mangrove dominan memberikan perlindungan yang bervariasi. Mangrove berkontribusi dalam menurunkan dampak banjir rob yang sering banyak terjadi di wilayah pesisir (Menendez et al., 2020). Keberadaan mangrove mampu menurunkan laju intrusi air laut di Jakarta dimana pada wilayah yang memiliki mangrove intrusinya mencapai 0.2 km/tahun, sedangkan pada daerah non-mangrove intrusi air laut mencapai 0.4 km/tahun (Hilmi et al., 2017). Mangrove, salah satu ekosistem blue carbon, berperan dalam upaya mitigasi perubahan iklim global. Estimasi serapan karbon mangrove global diperkirakan sebesar 174 gr C/m2/tahun dengan kontribusi 14% dari total serapan di kawasan pesisir (Alongi 2012). Karbon yang diserap akan disimpan dalam bentuk biomassa melalui proses fotosintesis. Mangrove dapat menyimpan biomassa karbon total 934 tonC/ha dimana sekitar tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan hutan tropis daratan (Donato et al., 2011).
Secara ekonomi, mangrove memberikan dampak langsung dan tidak langsung terhadap masyarakat sekitar. Penelitian Rizal et al. (2018). Menghasilkan valuasi mangrove di Indonesia berkisar US $3,624.98 - US $26,734.61 per ha per tahun. Malik et al (2015) menemukan total valuasi ekonomi konservasi mangrove lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas pertambakan. Produksi sektor perikanan pesisir sangat dipengaruhi oleh keberadaan ekosistem mangrove (Anneboina & Kumar, 2017). Potensi biota kepiting, ikan dan kerang-kerangan bernilai US$750 to 11 280 per ha per tahun (Ronnback, 1999).
Fungsi dan jasa yang diberikan oleh ekosistem mangrove optimal jika komunitas mangrove terjaga dengan baik. Namun, dalam dua dekade terakhir terjadi peningkatan alih guna lahan dan aktivitas pengembangan kawasan pesisir lainnya yang menurunkan luasan hutan mangrove di Indonesia (Ilman et al., 2017). Saat ini, Indonesia memiliki 22.6% dari keseluruhan mangrove global dimana yang merupakan terluas di dunia (Giri et al., 2011). Deforestasi mangrove juga dianggap sebagai penyumbang emisi karbon terbesar di dunia. Romanach et al. (2018) menyebutkan bahwa peningkatan populasi manusia menjadi ancaman serius bagi mangrove di masa depan dimana aktivitasnya dapat memberikan pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap kelestarian ekosistem.
Secara mikro, aktivitas penebangan pohon mangrove yang terus menerus dapat mengubah sistem ekologi mangrove dan mengganggu keseimbangan jejaring makanan. Granek & Rutterberg (2008) menemukan bahwa penebangan mangrove yang masif menyebabkan perubahan pada proses biotik dan abiotik yang dapat berpengaruh juga pada ekosistem di sekitarnya. Habitat yang ditebangakan menjadi lebih terbuka yang menyebabkan peningkatan suhu substrat akibat dari peningkatan intensitas sinar matahari. Carugati et al (2018) menunjukkan bahwa mangrove yang terganggu akan menurunkan kelimpahan dan diversitas dari biota yang disebabkan oleh perubahan komponen abiotik sehingga dapat mengganggu keseimbangan jejaring makanan dalam ekosistem.
Oleh karena itu, komunitas tumbuhan mangrove merupakan bagian terpenting dari kesehatan ekosistem. Hilangnya mangrove akan mengganggu sistem ekologi mangrove yang terdiri dari komponen biotik/biota dan abiotik/substrat. Ekosistem mangrove yang rusak dan luasannya yang berkurang akan memberikan fungsi dan jasa ekosistem yang lebih rendah dibandingan dengan mangrove yang sehat. Nelayan akan lebih sulit menemukan kepiting, udang dan sumber pangan alternatif lainnya pada ekosistem mangrove yang telah rusak. Degradasi mangrove sebesar 191.000 ha di Myanmar menyebabkan kehilangan nilai ekonomi sebesar US$2,397 per tahun (Estoque et al., 2018). Alih guna lahan akan menyebabkan penurunan cadangan karbon secara signifikan baik pada substrat maupun biomass, dimana akan membutuhkan 15-40 tahun untuk mengembalikan kehilangan tersebut (Sasmito et al., 2019).