Forum telah melakukan kegiatan yang pertama yaitu Kegiatan Temu Bisnis Perikanan Tangkap, dengan Tema ”Membangun Keberlanjutan Usaha Perikanan Melalui Sinergi antara Akademisi, Industri dan Pemerintah”. Kegiatan ini dilakukan pada Kamis, 29 November 2007, bertempat di Gedung IPB International Convention Center, Botani Square Lt.3, Jln. Pajajaran Bogor. Kegiatan menghadirkan narasumber yaitu 1) Dr. Ir. Bustami Mahyudin, MM dari PPN Palabuhanratu, 2) PT Harini Asri Bahari, dan 3) Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, MSc. dari FPIK-IPB. Kegiatan Temu Bisnis dihadiri oleh 48 peserta berasal dari kalangan akademisi, pemerintah dan industri.
Forum Komunikasi Kemitraan Perikanan Tangkap bekerjasama dengan Departemen PSP-FPIK-IPB telah secara reguler setiap 2 tahun sekali menyelenggarakan kegiatan Seminar Nasional Perikanan Tangkap. Penetapan melakukan kegiatan seminar secara reguler setiap 2 tahun sekali dimulai sejak tahun 2009. Pada tahun 2009, Direktorat Pendidikan Tinggi memberikan Hibah Pendanaan kepada Himpunan Profesi untuk menyelenggarakan seminar dalam rangka peningkatan publikasi ilmiah, khususnya untuk publikasi internasional. Bekerjasama dengan Dep.PSP-FPIK-IPB, FK2PT berhasil mendapatkan pendanaan tersebut. Seminar ini diberi nama Seminar Nasional Perikanan Tangkap 3, dan menjadi awal mula penyelenggaraan seminar nasional secara reguler yang diselenggarakan oleh Dep. PSP-FPIK-IPB dan FK2PT.
Seminar Nasional Perikanan Tangkap 4 terselenggara bekerja sama dengan Deputi Bidang Koordinasi Pertanian dan Kelautan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Bidang Perekonomian) dan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Tema seminar yaitu “Pengembangan Ekonomi Berbasis Kelautan dan Perikanan pada Kawasan Minapolitan”. Seminar diselenggarakan Selasa 18 Oktober 2011, bertempat di IPB International Convention Centre – Bogor. Seminar menghadirkan empat pembicara utama yaitu Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dr. Ir. Dedy H. Sutisna, MS; Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Dr. Ir. Victor P. H. Nikijuluw; Direktur Jenderal Industri Argo, Kementerian Perindustrian, disampaikan oleh Direktur Industri Makanan Hasil Laut dan Perikanan, Ir. Faiz Achmad, MB; Deputi Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, disampaikan oleh Asisten Deputi Urusan Produktivitas dan Mutu, Ir. Emilia Suhaimi, MM. Diskusi menghadirkan tiga pembahas yaitu Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup BAPPENAS, Dr. Ir. Endah Murniningtyas, MSc; Kepala Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah/P4W IPB, Dr. Ir. Setia Hadi; dan Ketua Asosiasi Perikanan Terpadu, Alwi Hadad. Berperan sebagai moderator yaitu Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Kemasyarakatan dan Hubungan Antar Lembaga, Dr. Sunoto, MES. Seminar dihadiri oleh sekitar 250 peserta yang berasal dari kalangan pemerintah pusat yaitu dari staf Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kemenko Bidang Perekonomian, Kementerian Perindustrian serta Kementerian lain, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi/kabupaten, para pelaku usaha, para peneliti dari Badan/Balai Riset Perikanan dan Kelautan, dosen dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang ada di Indonesia.
Seminar Nasional Perikanan Tangkap 5 dihadiri oleh sekitar 117 peserta dan 30 panitia. Peserta berasal dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, lembaga penelitian, instansi pemerintah, swasta, pengusaha dan mahasiswa. Seminar secara resmi dibuka oleh Rektor IPB, Prof. Dr. Herry Suhardiyanto, M.Sc. Keynote speech sebagai acara pembuka seminar disampaikan oleh Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Dr. Ir. Gelwyn Yusuf, M.Sc. Beliau berhalangan hadir pada jadwal yang telah ditetapkan, namun tetap menyampaikannya dalam ”Sambutan Penutupan”. Diskusi Panel dengan tema “Pengembangan Industri Kelautan Berbasis Blue Economy" menghadirkan pembicara Dr. Ir. Sunoto, MES staf ahli Menteri Kelautan dan Perikanan RI. Beliau membawakan makalah dengan judul” Industrialisasi Kelautan dan Perikanan: Kerangka Kebijakan Penataan Sistem Pengelolaan Perikanan Tangkap”. Makalah selanjutnya dibahas oleh para pembahas yang mewakili akademisi: Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc (Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan), pemerintah: Prof. Dr. Alex Retraubun (Wakil Menteri Perindustrian RI), Ir. Bambang Suboko (Wakil Ketua FK2PT) dan perwakilan pengusaha: Ir. Slamet Hernowo, MBA (Executif Commisioner PT Sinar Abadi Cemerlang). Pada diskusi ini bertindak sebagai moderator yaitu Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc.
Pada seminar ini telah terkumpul 75 abstrak naskah untuk dipresentasikan, namun tidak semua naskah dipresentasikan. Pengirim abstrak berasal dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga penelitian yang ada di Indonesia. Naskah yang masuk ke panitia direview untuk selanjutnya akan diterbitkan di jurnal ilmiah. Naskah-naskah yang dijaring dalam seminar ini dipersiapkan untuk dipublikasikan di jurnal ilmiah “Jurnal Marine Fisheris” dan ”Buletin PSP”. Naskah yang diseminarkan berjumlah 57 judul, berasal dari 16 perguruan tinggi (IPB, UNDIP, UNLAM, UNHAS, UNSRI, UNPAD, UNRI, Universitas Brawijaya, Universitas Bung Hatta, Universitas Sam Ratulangi, Universitas Sriwijaya, Universitas Jambi, Universitas Negeri Papua, Universitas Negeri Menado, Universitas Empu Tantular, Universitas Persada) dan 6 lembaga penelitian (BBPPI Semarang, Loka Penelitian Perikanan Tuna, Forum Komunikasi Ekonomi Kerakyatan Indonesia, Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh dan WCS). Presentasi dikelompokkan ke dalam 4 kelompok berdasarkan tema dari judul yang akan diseminarkan, berada dalam 3 ruangan berbeda. Masing-masing ruangan terdiri atas 18-20 pemakalah, terbagi ke dalam 2 sesi yang masing-masing dipandu oleh seorang moderator.
Seminar Nasional Perikanan Tangkap 5 terselenggara berkat dukungan pendanaan dari berbagai pihak. Pelaksana seminar merupakan kerjasama antara, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK-IPB dan Forum Komunikasi Kemitraan Perikanan Tangkap (FK2PT). Seminar mendapatkan dukungan pendanaan dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP RI; Dewan Kelautan Indonesia; Perum Perikanan Indonesia; Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta; Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB; PT. Pertamina (Pesero); PT. Bank Negara Indonesia (Pesero) Tbk; PT Sekar Bumi Tbk; PT EOS Konsultan, PT Pusaka Benjina Resources, dan PT Yummy Food Utama.
Seminar Nasional Perikanan Tangkap 6 diselenggarakan pada tanggal 22 Agustus 2015. Seminar menghadirkan narasumber 1) Ir. Saut P. Hutagalung, M.Sc. Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2) Dr. Ir. I Nyoman Suyasa, MS
(Ketua Sekolah Tinggi Perikanan, Jakarta), Ir. Ady Surya (Wapres Asosiasi Pengusaha Kapal Pengangkut Ikan Indonesia/APKPII, Ketua Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia/APIKI), dan Dr Ir M. Fedi A. Sondita, MSc (Dosen Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor).
Merespon berbagai tantangan pembangunan perikanan tangkap terkini, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK IPB bekerjasama dengan Forum Komunikasi Kemitraan Perikanan Tangkap menyelenggarakan Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-7 dan International Mini Workshop on Sustainable Capture Fisheries. Tema yang diangkat pada seminar kali ini adalah “Pembangunan Perikanan Laut yang Berkelanjutan dan Berkeadilan”. Pada kesempatan ini dilakukan diseminasi hasil-hasil kajian di bidang perikanan tangkap yang meliputi teknologi, manajemen dan sosial ekonomi. Sebanyak 77 makalah dipresentasikan oleh para peneliti bidang perikanan laut dari perguruan tinggi maupun lembaga penelitian, pengambil kebijakan dari kalangan pemerintah, non goverenment organization (NGO) dan mahasiswa. Peserta seminar ini berasal dari 22 perguruan tinggi, dan 2 lembaga penelitian pemerintah dan 1 dari non government organization (NGO). Kegiatan seminar menghadirkan narasumber yaitu Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan, Dr. Tri Wiji Nurani (akademisi dari Departemen PSP FPIK IPB) dan Ir. Budi Wibowo (praktisi bisnis di bidang perikanan tangkap dan pengolahan ikan). Pembicara pada International Mini Workshop adalah Prof. Dr. Ir. Ari purbayanto, M.Sc (Indonesian Education and culture Attache in Malaysia), Prof. Dr. Neil Loneragan (Director of Environmental and Conservation in Murdoch University), Dr.Ir. Budy Wiryawan,M.Sc (Researcher of PSP Department-FPIK IPB), dan Dr. Christopher D. Elvidge (Senior researcher in NOAA).
Publikasi Jurnal Ilmiah merupakan kegiatan yang sudah berjalan dengan baik, kerjasama Departemen PSP-FPIK-IPB dengan FK2PT. Pada awalnya jurnal yang diterbitkan yaitu Jurnal Ilmiah Buletin PSP. Keberadaan jurnal ilmiah juga merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan pendanaan Hibah Pendanaan kepada Himpunan Profesi seperti disebutkan sebelumnya.
Dalam rangka mendapatkan akreditasi jurnal ilmiah, penerbitan jurnal selanjutnya berganti nama menjadi ”Marine Fisheries, Jurnal Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap”. Kegiatan penerbitan jurnal ilmiah telah menjadi kegiatan yang berkembang dengan sangat baik, dikelola oleh Tim Pengelola yang profesional dan berhasil mendapat akreditasi jurnal ilmiah dari Direktorat Jenderal Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI (SK 1/E/KPT/2015).
Menyikapi kondisi saat ini, dimana wabah pandemi masih terjadi namun ekonomi harus bangkit. Forum Komunikasi Kemitraan Perikanan Tangkap (FK2PT) yang didukung oleh akademisi dari berbagai perguruan tinggi, unsur pemerintah, dunia usaha dan industri serta masyarakat berencana untuk berdiskusi, mengurai permasalahan dunia usaha dan industri perikanan dan kelautan di Indonesia yang turut mengalami dampak dari wabah pandemi dan juga akumulasi dari berbagai permasalahan sebelum pandemi terjadi.
Bagaimana dunia usaha dan industri perikanan dan kelautan di masa pandemi dan memasuki era adaptasi norma baru? Situasi masa pandemi telah menjadikan hambatan-hambatan bagi para pelaku usaha di bidang perikanan dan kelautan. Walaupun banyak juga yang menjadikan situasi masa pandemi sebagai tantangan dan peluang untuk mengembangkan usahanya. Pemikiran-pemikiran baru, kreatifitas dan penggunaan teknologi informasi menjadi suatu keniscayaan untuk kebangkitan dunia usaha dan industri perikanan dan kelautan di masa pandemi dan masa depan.
Wabah pandemi telah memberikan pembelajaran pentingnya keseimbangan. Ada praktek-praktek baik yang diterapkan di masa pandemi ini, dan diharapkan menjadi kebiasaan baru, norma baru yang diterapkan di dunia usaha dan industri perikanan dan kelautan nasional ke depan. Untuk itu Temu FK2PT mengambil tema besar “Era Adaptasi Norma Baru Dunia Usaha dan Industri Perikanan dan Kelautan: Peluang, Tantangan dan Arah ke Depan. Tema besar ini akan didukung oleh sub-sub tema dalam 6 serial yang akan dilaksanakan selama bulan Juli-Agustus 2020. Masing-masing topik di setiap seri bisa dilihat pada flyer.
The negative impact of the COVID-19 outbreak was felt by fisheries and marine businesses in recent months. The main problem lies in distribution and marketing. The market demand for fishery product exports has decreased due to regional quarantine in several European Union, United States and Asian countries. Domestic marketing has also been hampered because many areas have become the red zone of COVID-19 distribution. As a result, there is an excess supply of fish in several fishing ports and the price of fish is low.
Entering June 2020 the government made a policy to relax the Large-Scale Social Restrictions (PSBB). This was done as an effort to address the estimates that the COVID-19 pandemic could not be stopped in a short time, while the economy had to be carried out.
Responding to these conditions, the Fisheries Partnership Communication Forum (FK2PT) opened a discussion room through the FK2PT Gathering Webinar Series with the theme "Adaptation Era of the New Norms of the Fisheries and Maritime Industry and Business: Opportunities, Challenges and Future Directions", (2/7).
This webinar presented speakers Machmud, SPi, MSc, Marketing Director, Directorate General of Strengthening Competitiveness of Fisheries and Marine Products PDSPKP who in his presentation conveyed requirements related to quality and safety, sustainability, third party certification and tracing access barriers to export destination countries. There are several strategies implemented to increase exports. For example, participation in international exhibitions, trade negotiations and cross-sectoral support.
Meanwhile James Then, SE, MM, Chairperson of the Purse Seine Nusantara Fishermen Association (HNPN), revealed that the pandemic caused various problems for fishermen in addition to the problem of decreasing public purchasing power, distribution and markets. "The solution needs to be done immediately so that businesses don’t get worse, including the need for cold storage development, finding new markets, accompanied by tightening financing. The hope of industry players is the government's alignments through various pro-business policies, and concrete steps," he explained.
As the final speaker, Prof. Dr. Indra Jaya, a lecturer at IPB University who is a Professor in the Faculty of Fisheries and Marine Sciences, presented various opportunities for the revival of large-scale fisheries. This is due to the fact that fish as a global commodity and the development of the world fish price index are increasing. "Large-scale fishing industry has the opportunity to be developed, considering that almost 90 percent of fisheries in the world use vessels smaller than 12 meters. Meanwhile, fisheries in IOTC (Indian Ocean Waters), about 67 percent are artisanal fisheries," he said.
In the 2013-2017 period, types of big eye tuna, yellowfin tuna, albacore and skipjack tuna still dominated the catch with the main gillnet, purse seine and longline fishing gear. Fish resources in Indonesian waters in the Western Central Pacific, Eastern Indian Ocean and Western Indian Ocean regions have great opportunities for sustainable fishing.
"For this reason, opportunities for the revival of large-scale fisheries in Indonesia are very much open, through increased involvement in the Regional Fisheries Management Organization (RMFO)," he said. (IAAS/FAP)
The Capture Fisheries Partnership Communication Forum (FK2PT) held a FK2PT Gathering webinar series with the theme "The New Normal Adaptation Era of the Fisheries and Maritime Industry and Industry: Opportunities, Challenges and Future Directions", (14/7). This webinar was held to unravel the problems, challenges and opportunities for the revival of the national business and fishing and marine industry during the COVID-19 pandemic. The FK2PT webinar initiator is the Department of Fisheries Resource Utilization (PSP), the Faculty of Fisheries and Marine Sciences (FPIK) IPB University and as chair of the Webinar is Prof. Dr. Tri Wiji Nurani, Professor of IPB University from the PSP Department.
According to Prof. Tri Wiji, the PSP Department has a mandate to develop the capture fisheries sector. Specifically in the management and utilization of Indonesian marine and fishery biological resources. Capture fisheries technology is an applied science and technology sourced from various disciplines. Among them are textile technology, hydrodynamics, mechanical engineering, shipping architecture, electronics and electricity, fisheries biology, oceanography, hydroacoustic, meteorology, fish handling and processing technology, and fisheries marketing and economics. Capture fisheries technology consists of fishing equipment and material technology, fishing vessels and fishing technology, fish behavior, fishing grounds and fishing methods, as well as identification and development of capture fisheries.
In this webinar, the resource persons present discussed the important role of fisheries in the eastern region for Indonesian fisheries. There are around 60 percent of fish resources in Eastern Indonesian waters. In addition, small-scale fisheries dominate fisheries in this region, where cooperatives have played an important role in empowering small-scale fisheries. For this reason, Eastern Indonesia has a strategic position for the development of small-scale fisheries, with socio-economic strengthening an important focus.
Dr. Agus Suherman as the Chair of FK2PT in his remarks revealed that the Fisheries Management Area (WPP) especially 714 Banda Sea to 718 Pacific Ocean has been known as tuna granary especially tuna and yellowfin tuna (yellowfin). In fact, during the period 1968-1978 Indonesia and Japan agreed on the Banda Sea Agreement I-III as a form of cooperation for Japanese ships carrying out capture operations around the Banda Sea. Small-scale fisheries, especially in the East, are also strongly supported by the existence of fisheries cooperatives as a manifestation of an economy that is in favor of the community. "In the Lembeh Strait in Bitung we used to know the profit sharing among fishermen who capture anchovies for live bait on the Skipjack Pole line (SPL). Chart fishermen receive 20 percent of the selling price of SPL's catches. Indonesian fishing cooperatives have also triumphed in the 1980-1990 era. For that reason, the momentum of the 73rd National Cooperative Day commemoration on July 12, 2020, we can make a spirit in order to realize a people's economy, "he said.
He also hopes that the FK2PT Gathering in the second series will be able to revive the people's economy, where 43 percent of the contribution of gross domestic product (GDP) in 2017 is supported by micro and small businesses, including from the fisheries sector. Therefore, traditional (artisanal) fisheries need to get attention and empowerment efforts, lest the number of our artisanal fishing vessels decrease day by day. But on the other hand, Agus said there was one weakness in the competitiveness of Indonesian fishery products from the eastern region, namely the problem of high logistics costs. "Efforts to synergize BUMN and fisheries cooperatives need to find a solution. It could be that the government can assign for example SOE Food Clusters such as Perum Perindo, PT Perikanan Nusantara, PT BGR Logistik (Bhanda Ghara Reksa) to open the nodes of the fishery product distribution lane through the sea fishing highway, "Agus suggested.
Meanwhile, providing reefer containers (refrigerated containers) and competitive logistics prices will benefit fishermen. Assuming a minimum of 3000 refer containers a year from the East to Jakarta and Surabaya. With a capacity of 18 tons per container and an efficiency level of 1000 per kilogram, there will be Rp 54 billion / year which can be enjoyed by cooperatives and fishermen through better selling prices. Moreover, if the government provides special transport vessels for fishery products, the price will be better for fishermen.
The Head of the South Sulawesi Maritime and Fisheries Service, Ir Sulkaf S Latief, MM, in his presentation expected that acceleration in the implementation of capture fisheries policy through accelerating licensing, bureaucratic trimming, economic transformation and overcoming overlaps between sectors. This effort is accompanied by increased supervision, use of technology for supervision and increased observer's role.
Meanwhile, the Chairperson of the Santo Alvin Pratama Fisheries Cooperative in Ternate City of North Maluku, said the COVID-19 pandemic had significant impacts and problems for the cooperative. The reduced market demand has caused fish stocks in cold storage to increase. Meanwhile there was an increase in production costs due to obstruction of supply of fuel and foodstuffs to ships, including electricity costs. Increased costs also occur for cargo logistics service costs for fish marketing.
Hermanto stated that optimistic efforts could rise again through the role of the government to be able to reduce production costs and reopen market opportunities. Among them through reducing licensing costs, accelerating warehouse receipts, adding cold storage facilities and ABF, reducing electricity costs, decreasing cargo costs and opening transportation routes. (IAAS / NAS)
Bogor (Samudranesia) – Pandemi wabah Covid-19 telah memicu dampak negatif bagi semua sektor, termasuk sektor kelautan dan perikanan. Namun demikian, ekonomi kelautan dan perikanan harus bangkit menatap ke depan menuju era baru.
Menyikapi hal tersebut, Forum Kominikasi Kemitraan Perikanan Tangkap (FK2PT) menggelar serial webinar Temu FK2PT untuk mengurai permasalahan, tantangan dan peluang bagi kebangkitan dunia usaha dan industri perikanan dan kelautan nasional dengan tema utama “Era Adaptasi Norma Baru Dunia Usaha dan Industri Perikanan dan Keluatan: Peluang, Tantangan dan Arah ke Depan“, beberapa waktu lalu.
Webinar Temu FK2PT kali ini merupakan webinar Serial 2 yang mengangkat tema “Era Adaptasi Norma Baru untuk Pelaku Usaha Perikanan di Indonesia Timur”. Perikanan di Indonesia Timur memegang peran penting bagi perikanan Indonesia, dengan sekitar 60 persen sumberdaya ikan ada di perairan Indonesia Timur. Selain itu, perikanan skala kecil mendominasi usaha perikanan di wilayah ini, di mana koperasi telah memberikan peran penting bagi pemberdayaan perikanan skala kecil.
Maka dari itu, wilayah Indonesia Timur memiliki posisi strategis untuk pengembangan perikanan skala kecil, dengan penguatan sosial ekonomi menjadi fokus penting. Hal-hal tersebut menjadi bahasan utama para narasumber pada Temu FK2PT Serial 2 ini.
Dr. Agus Suherman, S.Pi., M.Si, selaku Ketua FK2PT dalam sambutannya mengungkapkan Wilayah pengelolaan Perikanan (WPP) khususnya 714 Laut Banda sampai 718 Samudera Pasifik telah dikenal sebagai lumbung tuna khususnya cakalang dan tuna sirip kuning (yellowfin). Bahkan, kurun waktu 1968-1978 bangsa kita bersama Jepang menyepakati Banda Sea Agreement I-III sebagai bentuk kerjasama atas kapal-kapal Jepang yang melakukan operasi penangkapan di sekitar Laut Banda, tambah Agus Suherman.
Perikanan skala kecil khususnya di wilayah timur juga sangat didukung adanya keberadaan koperasi perikanan sebagai wujud dari ekonomi yang berpihak kepada masyarakat.
“Dulu di Selat Lembeh Bitung kita mengenal bagi hasil antara nelayan bagan penangkap ikan teri untuk umpan hidup kapal Skipjack Pole line (SPL), dimana nelayan bagan menerima 20 persen dari harga jual hasil tangkapan kapal SPL. Koperasi perikanan Indonesia juga pernah berjaya di era 1980-1990 an,” lanjut Agus Suherman.
Untuk itu, momentum peringatan Hari Koperasi Nasional ke-73 pada tanggal 12 Juli 2020 lalu, dapat kita jadikan spirit dalam rangka mewujudkan ekonomi kerakyatan.
Sementara itu, Agus Suherman juga mengharapkan agar Temu FK2PT pada serial 2 diharapkan mampu kembali membangkitkan ekonomi kerakyatan, dimana 43 persen kontribusi PDB tahun 2017 ditopang oleh usaha mikro dan kecil, termasuk dari sektor perikanan.
Oleh karena itu, perikanan tradisional (artisanal) perlu mendapatkan perhatian dan upaya pemberdayaan, jangan sampai jumlah kapal perikanan artisanal kita semakin hari semakin menurun jumlahnya. Namun di sisi lain, Agus mengutarakan terdapat salah satu kelemahan daya saing dari produk perikanan Indonesia dari wilayah timur, yaitu masalah biaya logistik yang masih tinggi.
“Upaya-upaya sinergitas BUMN dan koperasi perikanan perlu dicarikan solusi. Bisa jadi, pemerintah dapat menugaskan, misalnya BUMN Cluster Pangan seperti Perum Perindo, PT Perikanan Nusantara, PT BGR Logistik (Bhanda Ghara Reksa) membuka simpul-simpul jalur distribusi produk perikanan melalui tol laut perikanan,” usul Agus Suherman.
Sementara, penyediaan reefer container (kontainer berpendingin) dan harga logistik yang kompetitif akan memberikan keuntungan bagi nelayan. Dengan asumsi minimal 3000 refer container setahun dari wilayah timur ke Jakarta dan Surabaya, dengan kapasitas 18 ton/ per kontainer dan tingkat efisiensi 1000/kg saja maka akan ada Rp 54 milyar/setahun yang dapat dinikmati oleh koperasi maupun nelayan melalui harga jual yang lebih baik. Apalagi, kalau pemerintah menyediakan kapal pengangkut khusus produk perikanan, akan semakin baik harga yang diterima para nelayan.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan, Ir Sulkaf S. Latief, MM, dalam paparannya mengharapkan agar dilakukan akselerasi dalam pelaksanaan kebijakan perikanan tangkap melalui percepatan perijinan, pemangkasan birokrasi, transformasi ekonomi dan mengatasi tumpang tindih antar sektor. Upaya ini disertai dengan peningkatan pengawasan, penggunaan teknologi untuk pengawasan dan peningkatan peran observer.
Sementara itu, Ketua Koperasi Nelayan Santo Alvin Pratama Kota Ternate Maluku Utara, mengutarakan pandemi covid-19 telah memberikan dampak dan permasalahan yang cukup berarti bagi koperasi ini. Berkurangnya permintaan pasar telah menyebabkan stok ikan di cold storage meningkat, sementara itu terjadi peningkatan biaya produksi akibat terhambatnya suplai BBM dan bahan makanan ke kapal termasuk biaya listrik.
Peningkatan biaya juga terjadi pada biaya jasa logistik cargo untuk pemasaran ikan. Hermanto menyatakan bahwa, usaha optimis dapat kembali bangkit melalui peran pemerintah untuk dapat menekan biaya produksi dan membuka kembali peluang pasar, diantaranya melalui penurunan biaya perijinan, percepatan resi gudang, penambahan sarana cold storage dan ABF, penurunan biaya listrik, penurunan biaya kargo dan pembukaan jalur transportasi.
Nelayan skala kecil mendominasi pelaku utama perikanan Indonesia, yaitu sekitar 96 persen. Nelayan skala kecil memiliki karakteristik umum yaitu melakukan penangkapan ikan di sekitar pantai, tidak memiliki kemampuan mengelola keuangan, banyak yang tidak memahami keberlanjutan sumberdaya dan rawan konflik.
Program Coordinator Rare, Provinsi Sulawesi Tenggara, Tarlan Subarno, MSi memaparkan pembelajaran dari program Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP), khususnya dalam meningkatkan kemampuan nelayan skala kecil dalam pengelolaan bisnis dan keberlanjutan sumberdaya. Program ini memiliki relevansi tinggi untuk menjadikan nelayan skala kecil lebih tangguh ketika menghadapi masa sulit, tidak terkecuali masa sulit seperti kondisi masa pandemi saat ini.
Narasumber lainnya Prof La Sara, Dekan Universitas Halu Oleo Kendari, mengutarakan bahwa Sulawesi Tenggara memiliki posisi strategis bagi pengembangan perikanan skala kecil di Indonesia Timur. Dirinya menawarkan pendekatan sistem dinamis dan model klasterisasi untuk mewujudkan kekuatan ekonomi dan sosial sektor perikanan daerah.
Ia juga menyatakan bahwa, peluang ekonomi pasca Covid-19 terbuka lebar bagi kebangkitan perikanan skala kecil, dengan adanya prediksi terjadi peningkatan permintaan akan produk perikanan yang signifikan, mengingat bahwa sektor terkait seperti pasar lokal, pariwisata, perhotelan, restoran, maupun permintaan internasional kembali meningkat (bounce back).
“kontribusi Ekonomi yang di peroleh oleh nelayan dengan ukuran kapal kurang dari 10 GT untuk total kapal 40 ribu dengan waktu operasi 8 bulan/tahun, asumsi harga ikan Rp. 30.000. Maka penerimaannya mencapai 14.4 T itu untuk Sulawesi Tengah saja,” pungkasnya. (Tyo)
Jakarta - Bisnis di sektor kelautan dan perikanan diharapkan mampu meningkatkan kontribusinya terhadap pembangunan nasional, khususnya sektor perikanan tangkap. Namun itu memerlukan langkah yang luar biasa dan strategis terutama di saat dan pasca merebaknya virus Corona.
"Pengembangan sektor perikanan tangkap nasional perlu pendekatan-pendekatan yang extra ordinary, sebagai respon atas prediksi banyak lembaga-lembaga internasional akan terjadinya kelesuan ekonomi yang mengarah pada resesi global," kata Dr. Agus Suherman, Ketua Forum Komunikasi Kemitraan Perikanan Tangkap (FK2PT) dalam Webinar Temu FK2PT yang dikutip Selasa (7/7/2020).
Selain itu, Agus menilai UMKM sebagai penyangga ekonomi nasional perlu mendapatkan perhatian, terlebih sektor perikanan tangkap.
Menurutnya ada kecenderungan pergerakan kaum urban kembali ke desa akibat PHK karena pabrik tutup atau mengurangi produksi. Tenaga mereka dapat disalurkan ke kegiatan usaha penangkapan ikan. Namun diperlukan koordinasi antar lembaga dan kementerian guna membuka akses lapangan kerja bagi masyarakat yang terkena PHK.
Perlu dilakukan relaksasi izin penangkapan dari pemerintah agar sektor perikanan tangkap bisa membuka lapangan kerja serta meningkatkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Misalnya saja memberikan izin kapal untuk menangkap di dua Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), serta peningkatan armada tol laut untuk mengangkut reefer container dari sentra-sentra perikanan ke sentra pengolahan maupun konsumsi.
Di sisi lain, lanjut dia, upaya perluasan pasar domestik dan internasional atas produk perikanan juga harus didorong secara masif. Dari sisi PNBP saja, relaksasi izin akan menambah potensi kenaikan 2 kali lipat dari Rp 521 miliar menjadi Rp 1 triliun. Itu belum ditambah kontribusinya terhadap pembukaan lapangan kerja baru. Sementara itu, produktivitas nelayan bisa meningkat 1,5 kali.
Webinar FK2PT Serial I yang mengangkat topik "Era Adaptasi Norma Baru untuk Pelaku Usaha Perikanan Skala Besar (Longline dan Purse seine)", juga menghadirkan pembicara Machmud, SPi, MSc, Direktur Pemasaran KKP; James Then, SE, MM, Ketua Himpunan Nelayan Purse Seine Nusantara (HNPN); Dwi Agus Siswa Putra,SE, Ketua II Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI); Prof Dr Ir Indra Jaya, MSc.
Turut serta dalam acara tersebut Guru Besar IPB University dengan dimoderatori oleh Prof. Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si, Guru Besar IPB University.
Dalam paparannya, pembicara Dwi Agus Siswa Putra berpendapat perlu adanya adaptasi strategi produksi dan adaptasi strategi bisnis baru di masa pandemi COVID-19. Pihaknya mengapresiasi kemudahan yang diberikan pemerintah baik KKP maupun Kemenhub, antara lain dalam perpanjangan SIPI, kapal angkut bisa membawa ikan ke pelabuhan, serta kemudahan rekrutmen Anak Buah Kapal (ABK).
Hal itu memberikan kontribusi positif atas produksi perikanan longline dari Februari-Juni 2020 yang naik 37% dibandingkan tahun 2019. Dari sisi ekspor terdapat peningkatan ekspor ikan tuna segar dengan total 300 ton pada Februari-Maret 2020, dan 1190 ton pada Juni 2020.
Untuk menjaga capain ini, pihaknya meminta kolaborasi yang lebih baik antara akademisi, pelaku bisnis, pemerintah, dan masyarakat sipil dalam menghadapi adaptasi era norma baru untuk pelaku usaha perikanan skala besar.
Sedangkan narasumber dari KKP, Machmud memaparkan profil ekspor-impor-neraca masa pandemi (Januari-Mei 2020) yang tidak jauh berbeda dengan kondisi tahun 2019. Hal ini bisa dilihat dari nilai ekspor sekitar US$ 400 juta per bulan, impor sekitar US$ 40 juta, dengan neraca positif.
Namun demikian, ekspor pada Mei 2020 terlihat indikasi penurunan sebagai dampak pandemi. Dari sisi pasar, ekspor USA masih merupakan tujuan utama dengan pangsa pasar 37,05%, dilanjutkan Japan (13,48%), Asean (11,09%), China (16,78%) dan EU (7,69%).
Sementara itu, produk tuna-cakalang-tongkol (TCT) menempati urutan kedua baik dalam volume maupun nilai ekspor, yaitu pada periode Januari-Mei 2020 sekitar 77,90 ribu ton (US$ 284,79 juta).
Persyaratan terkait quality and safety, sustainability, third party certification dan traceability masih menjadi hambatan akses masuk ke negara tujuan ekspor. Beberapa strategi telah dilakukan untuk peningkatan ekspor antara lain melalui keikutsertaan pada pameran internasional, perundingan perdagangan, dan dukungan lintas sektor.
Sementara itu James Then, mengutarakan wabah pandemi COVID-19 menyebabkan berbagai permasalahan bagi pelaku perikanan tangkap, disamping permasalahan penurunan daya beli masyarakat, distribusi dan pasar.
Dia mengusulkan solusi yang perlu segera dilakukan agar usaha tidak semakin terpuruk, diantaranya perlunya pembangunan cold storage, mencari pasar-pasar baru, disertai pengetatan pembiayaan. Harapan para pelaku industri adalah keberpihakan pemerintah melalui berbagai kebijakan yang pro-usaha, serta langkah-langkah nyata sehingga terjadi perputaran bisnis dan ekonomi.
Sebagai pembicara terakhir, Prof. Indra Jaya memberikan pandangan terkait berbagai peluang bagi kebangkitan perikanan skala besar. Hal ini didasari atas kondisi bahwa ikan adalah komoditas global dengan kebutuhan untuk peningkatan konsumsi ikan penduduk dunia yang secara umum masih rendah yaitu dibawah 30 kg per tahun, serta perkembangan indeks harga ikan dunia yang terus meningkat.
Industri perikanan skala besar memiliki peluang untuk dikembangkan, mengingat hampir 90% perikanan di dunia menggunakan kapal berukuran < 12 m. Untuk itu, terbuka peluang bagi kebangkitan perikanan skala besar di Indonesia, melalui peningkatan peran dan posisi dalam Regional Fisheries Management Organization (RMFO).
FK2PT merupakan forum yang terdiri dari kalangan akademisi, industri, dan pemerintah yang berkaitan dengan perikanan tangkap di Indonesia. FK2PT bertujuan memberikan sumbangan pemikiran kepada lembaga legislatif, eksekutif, perguruan tinggi, industri, dan lembaga formal lainnya serta perorangan yang peduli terhadap kemajuan perikanan tangkap untuk mewujudkan perikanan tangkap yang berkelanjutan dan terciptanya industri perikanan nasional yang berdaya saing.
Webinar Serial I ini merupakan webinar FK2PT yang akan dilakukan secara berkelanjutan (6 Seri) dengan mengambil tema utama "Era Adaptasi Norma Baru Dunia Usaha dan Industri Perikanan dan Keluatan: Peluang, Tantangan dan Arah Ke depan".
IPB University in collaboration with the Capture Fisheries Partnership Communication Forum (FK2PT) again held a series of FK2PT Gathering webinars. This time, with the theme "New Normal Adaptation Era for Fishery Business Actors on the North Coast of Java", (28/7). This webinar was held to parse the problems, challenges and opportunities for the revival of the business world and the national fishery and marine industry during the COVID-19 pandemic. -19.
Present representing the Chairperson of FK2PT, a lecturer from IPB University in the Department of Fisheries Resources Utilization who is also the Deputy Dean of the Faculty of Fisheries and Marine Sciences IPB University, Dr. Budhi Hascaryo Iskandar. In his remarks, he conveyed that the norms applied by the community were a manifestation of the benchmarks used by the community as a guide, especially during a pandemic that challenged us to be more creative so that the wheels of business kept spinning. In addition, fisheries in the Java North Coast region are also known as a busy zone with fishery activities and there is a possibility of overfishing indicated so efforts are needed to encourage fisheries to remain sustainable.
The speakers who attended the event included Ono Surono, ST, a member of Commission IV DPR RI. On this occasion, he explained financial policies and budget reallocation for handling COVID-19. This effort, he said, could have implications for the use of predetermined programs, such as fish quarantine activities and fish feeding activities. Another effort is to absorb local fresh and processed fish products, such as the sardine industry.
"The policies of the Ministry of Marine Affairs and Fisheries (KKP) regarding how we can survive the COVID-19 pandemic atmosphere, we have not fully felt, what is the special policy or stimulus which directly constitutes assistance from the Ministry of Marine Affairs and Fisheries," he said. He added, with the technology created and managed by young people today, it can help the government in terms of campaigns related to programs organized by the KKP.
In addition, the KKP's Director of Licensing and Services, Dr Ridwan Mulyana said that efforts to tackle COVID-19 for fisheries activities still refer to the marine development policy for 2020-2024. The policy contains concessions on permits as well as operational assistance, and other social assistance such as fishing service and fish eating movements.
In addition, Ir Fendiawan, MSi, Head of the Maritime Affairs and Fisheries Office of Central Java Province, said that fisheries development policies and programs on the North Coast of Java are listed in the 2018-2023 Medium-Term Development Plan, one of which concerns the protection of the interests of fishermen for the welfare of fishermen, for example through premium financing .
Assistance of subsidized fuel oil (BBM) as a form of social and economic safety net to assist fishermen in financing fishing operations has also been attempted. It was noted that the assistance had been given to stakeholders in the Semarang, Pati and Pemalang areas. Furthermore, social assistance, one of which is in the form of Kusuka fisherman card ownership, which has only reached 53%, is still a "homework" for the government.
Diponegoro University Professor, Prof. Dr. Suradi Wijaya Saputra also said that the dynamics of the Javanese Pantura fishery should be the basis of the post-COVID-19 fisheries development strategy. He also mentioned that the reason for over exploitation is because exploitation has exceeded the capacity of nature to provide new biomass, because what fishermen know is only the amount produced. This is even more so if the productivity of the equipment increases and there is no selectivity for fishing, plus the recording is not good. So that management action is needed through controlling input and output, the point of which is to strengthen coordination of fisheries management stakeholders in the 712 Fisheries Management Area (WPP) and reactivate the Mitra Bahari program along with data that needs to be increased availability and validation.
"Whereas the most important thing for us is to find out whether the utilization rate is excessive or there is no data yet. (IAAS / NAS)
JAKARTA (Suara Karya): Pandemi wabah covid-19 telah memicu dampak negatif bagi semua sektor, termasuk sektor kelautan dan perikanan. Namun demikian, ekonomi kelautan dan perikanan harus bangkit menatap ke depan menuju era baru. Menyikapi hal tersebut FK2PT menggelar serial webinar Temu FK2PT untuk mengurai permasalahan, tantangan dan peluang bagi kebangkitan dunia usaha dan industri perikanan dan kelautan nasional dengan tema utama “Era Adaptasi Norma Baru Dunia Usaha dan Industri Perikanan dan Keluatan: Peluang, Tantangan dan Arah ke Depan“.
Webinar Temu FK2PT kali ini merupakan webinar Serial 2 yang mengangkat tema “Era Adaptasi Norma Baru untuk Pelaku Usaha Perikanan di Indonesia Timur”. Perikanan di Indonesia Timur memegang peran penting bagi perikanan Indonesia, dengan sekitar 60% sumberdaya ikan ada di perairan Indonesia Timur. Selain itu, perikanan skala kecil mendominasi usaha perikanan di wilayah ini, dimana koperasi telah memberikan peran penting bagi pemberdayaan perikanan skala kecil. Untuk itu, wilayah Indonesia Timur memiliki posisi strategis untuk pengembangan perikanan skala kecil, dengan penguatan sosial ekonomi menjadi fokus penting. Hal-hal tersebut menjadi bahasan utama para narasumber pada Temu FK2PT Serial 2 ini.
Ketua FK2PT Agus Suherman, dalam sambutannya mengungkapkan Wilayah pengelolaan Perikanan (WPP) khususnya 714 Laut Banda sampai 718 Samudera Pasifik telah dikenal sebagai lumbung tuna khususnya cakalang dan tuna sirip kuning (yellowfin). Bahkan, kurun waktu 1968-1978 bangsa kita bersama Jepang menyepakati Banda Sea Agreement I-III sebagai bentuk kerjasama atas kapal-kapal Jepang yang melakukan operasi penangkapan di sekitar Laut Banda.
Perikanan skala kecil khususnya di wilayah timur juga sangat didukung adanya keberadaan koperasi perikanan sebagai wujud dari ekonomi yang berpihak kepada masyarakat.
“Dulu di Selat Lembeh Bitung kita mengenal bagi hasil antara nelayan bagan penangkap ikan teri untuk umpan hidup kapal Skipjack Pole line (SPL), dimana nelayan bagan menerima 20% dari harga jual hasil tangkapan kapal SPL. Koperasi perikanan Indonesia juga pernah berjaya di era 1980-1990 an,” kata Agus Jumat (17/7/2020).
Agus berharap, temu FK2PT pada serial 2 diharapkan mampu kembali membangkitkan ekonomi kerakyatan, dimana 43% kontribusi PDB tahun 2017 ditopang oleh usaha mikro dan kecil, termasuk dari sektor perikanan. Oleh karena itu, perikanan tradisional (artisanal) perlu mendapatkan perhatian dan upaya pemberdayaan, jangan sampai jumlah kapal perikanan artisanal kita semakin hari semakin menurun jumlahnya.
Namun disisi lain, Agus mengutarakan terdapat salah satu kelemahan daya saing dari produk perikanan Indonesia dari wilayah timur, yaitu masalah biaya logistik yang masih tinggi.
“Upaya-upaya sinergitas BUMN dan koperasi perikanan perlu dicarikan solusi. Bisa jadi, pemerintah dapat menugaskan, misalnya BUMN Cluster Pangan seperti Perum Perindo, PT Perikanan Nusantara, PT BGR Logistik (Bhanda Ghara Reksa) membuka simpul-simpul jalur distribusi produk perikanan melalui tol laut perikanan”, usul Agus.
Sementara, penyediaan reefer container (kontainer berpendingin) dan harga logistik yang kompetitif akan memberikan keuntungan bagi nelayan. Dengan asumsi minimal 3000 refer container setahun dari wilayah timur ke Jakarta dan Surabaya, dengan kapasitas 18 ton/ per kontainer dan tingkat efisiensi 1000/kg saja maka akan ada Rp 54 milyar/setahun yang dapat dinikmati oleh koperasi maupun nelayan melalui harga jual yang lebih baik. Apalagi, kalau pemerintah menyediakan kapal pengangkut khusus produk perikanan, akan semakin baik harga yang diterima para nelayan.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan, Sulkaf S. Latief dalam paparannya mengharapkan agar dilakukan akselerasi dalam pelaksanaan kebijakan perikanan tangkap melalui percepatan perijinan, pemangkasan birokrasi, transformasi ekonomi dan mengatasi tumpang tindih antar sektor. Upaya ini disertai dengan peningkatan pengawasan, penggunaan teknologi untuk pengawasan dan peningkatan peran observer.
Sementara itu, Ketua Koperasi Nelayan Santo Alvin Pratama Kota Ternate Maluku Utara, mengutarakan pandemi covid-19 telah memberikan dampak dan permasalahan yang cukup berarti bagi koperasi ini. Berkurangnya permintaan pasar telah menyebabkan stok ikan di cold storage meningkat, sementara itu terjadi peningkatan biaya produksi akibat terhambatnya suplai BBM dan bahan makanan ke kapal termasuk biaya listrik. Peningkatan biaya juga terjadi pada biaya jasa logistik cargo untuk pemasaran ikan. Hermanto menyatakan bahwa, usaha optimis dapat kembali bangkit melalui peran pemerintah untuk dapat menekan biaya produksi dan membuka kembali peluang pasar, diantaranya melalui penurunan biaya perijinan, percepatan resi gudang, penambahan sarana cold storage dan ABF, penurunan biaya listrik, penurunan biaya cargo dan pembukaan jalur transportasi.
Nelayan skala kecil mendominasi pelaku utama perikanan Indonesia, yaitu sekitar 96%. Nelayan skala kecil memiliki karakteristik umum yaitu melakukan penangkapan ikan di sekitar pantai, tidak memiliki kemampuan mengelola keuangan, banyak yang tidak memahami keberlanjutan sumberdaya dan rawan konflik. Tarlan Subarno program Coordinator Rare, Provinsi Sulawesi Tenggara memaparkan pembelajaran dari program Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP), khususnya dalam meningkatkan kemampuan nelayan skala kecil dalam pengelolaan bisnis dan keberlanjutan sumberdaya. Program ini memiliki relevansi tinggi untuk menjadikan nelayan skala kecil lebih tangguh ketika menghadapi masa sulit, tidak terkecuali masa sulit seperti kondisi masa pandemi saat ini.
Pada kesempatan yang sama, Dekan Universitas Halu Oleo Kendari, Prof La Sara mengutarakan bahwa Sulawesi Tenggara memiliki posisi strategis bagi pengembangan perikanan skala kecil di Indonesia Timur. Dirinya menawarkan pendekatan sistem dinamis dan model klasterisasi untuk mewujudkan kekuatan ekonomi dan sosial sektor perikanan daerah.
La Sara juga menyatakan bahwa, peluang ekonomi pasca covid-19 terbuka lebar bagi kebangkitan perikanan skala kecil, dengan adanya prediksi terjadi peningkatan permintaan akan produk perikanan yang signifikan, mengingat bahwa sektor terkait seperti pasar lokal, pariwisata, perhotelan, restoran, maupun permintaan internasional kembali meningkat (bounce back).
“kontribusi Ekonomi yang di peroleh oleh nelayan dengan ukuran kapal kurang dari 10 GT untuk total kapal 40 ribu dengan waktu operasi 8 bulan/tahun, asumsi harga ikan Rp. 30.000. Maka penerimaannya mencapai 14.4 T itu untuk Sulawesi Tengah saja” pungkasnya. (Pramuji)
Jakarta - Ketua Forum Komunikasi Kemitraan Perikanan Tangkap (FK2PT) Agus Suherman bicara soal keunggulan perikanan tangkap di wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Menurutnya perlu dukungan pemerintah agar perikanan tangkap di Indonesia bisa terus berkembang.
Agus menyampaikan, Laut Selatan Jawa Timur, Bali, NTB dan bahkan sampai NTT atau di WPP-573 merupakan tempat memijah (spawning ground) ikan tuna sirip biru selatan atau Southern Bluefin Tuna (SBT). Ikan ini menurutnya termasuk mahal.
"Ikan SBT termasuk ikan mahal untuk sashimi, yang hanya ada 2 jenis di dunia yaitu Notherm Blue fin dan Southern Blue Fin," kata Agus Suherman dalam Webinar FKP2PT, Selasa (4/8/2020).
Untuk itu, Agus mengatakan kuota penangkapan SBT dari organisasi perikanan regional CCSBT bagi Indonesia yang mencapai 1.000 ton/tahun perlu dioptimalkan dengan cara-cara yang berkelanjutan.
Sejalan dengan itu, Dr Yahyah mewakili Universitas Nusa Cendana sebagai penyelenggara webinar Serial 4 Temu FK2PT mengatakan NTT dikenal sebagai daerah dengan keunggulan perikanan skala kecil. Wilayah ini didominasi perikanan pole and line dengan ikan cakalang sebagai komoditi utama, di samping jenis ikan demersal kerapu dan kakap.
"Potensi pengembangan perikanan skala kecil NTT cukup besar, nilai tambah produk menjadi satu fokus penting untuk meningkatkan nilai ekonomisnya," ungkapnya.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTT Ganef Wurgiyanto menyampaikan target produksi perikanan tangkap 288.758 ton pada tahun 2023 sebagai arah untuk NTT bangkit menuju sejahtera. Ia mengatakan NTT masih memiliki peluang besar untuk pengembangan yaitu sekitar 60% dari JTB 393.360 ton per tahun, dengan komoditi utama tuna, tongkol, cakalang (TCT), ikan demersal kerapu, kakap, kurisi dan ikan pelagis kecil tembang dan layang.
Sementara itu, Wahid W Nurdin pengusaha perikanan pole and line menyampaikan adanya kendala perizinan, konflik dengan nelayan purse seine, dan kesulitan mendapatkan umpan hidup.
Namun, lanjut Wini, dengan adanya pandemi COVID-19 terjadi penurunan permintaan karena lockdown di berbagai negara dan penutupan wilayah. Sementara itu produksi masih tetap tinggi sehingga ada produksi ikan di beberapa pelabuhan yang terbuang. Diperlukan inovasi pemberian nilai tambah, baik untuk pangan konvensional, pangan fungsional, maupun nutaceutical, untuk menyediakan pangan yang sehat, aman dan mendukung ketahanan pangan nasional.
Wini menambahkan, perkembangan bahan pangan ke depan tidak saja produk yang siap untuk dimasak juga diperlukan kecekatan penyajian, produk yang awet, bergizi, dan aman. Pengembangan produk bernilai tambah harus disesuaikan dengan keinginan konsumen atau permintaan pasar.
Berbagai jenis diversifikasi olahan produk perikanan menurut Wini perlu disesuaikan dengan kebutuhan kelompok umur untuk pemenuhan gizinya. Para pelaku usaha pengolahan ikan UMKM perlu melakukan inovasi terhadap produk-produk olahan, tidak saja belajar dari produk yang ada di pasar dalam negeri melainkan juga yang ada di luar negeri.
Jakarta - Ketua Forum Komunikasi Kemitraan Perikanan Tangkap (FK2PT) Agus Suherman berpandangan, pandemi COVID-19 telah berdampak negatif terhadap semua sektor industri, tidak terkecuali industri hulu perikanan tangkap. Industri jaring, industri galangan kapal dan industri kepelabuhanan sebagai motor pendukung penangkapan ikan, nyaris terhenti imbas dari tertutupnya pasar produk perikanan.
"Untuk itu upaya pelaksanaan program padat karya dan penggunaan bahan baku lokal di industri hulu perikanan tangkap di era adaptasi kebiasaan baru harus tingkatkan," kata Agus dalam webinar FK2PT yang digelar pada Kamis (13/8/2020).
"program ini sejalan dengan imbauan Presiden Joko Widodo agar penggunaan produk dalam negeri perlu terus dijalankan dan ditingkatkan semaksimal mungkin melalui inovasi atau strategi yang terukur dan implementatif," sambungnya.
KBRN, Jakarta: Pandemi Covid-19 telah berdampak negatif terhadap semua sektor industri, tidak terkecuali industri hulu perikanan tangkap. Industri jaring, industri galangan kapal dan industri kepelabuhanan sebagai motor pendukung penangkapan ikan, nyaris terhenti sebagai imbas dari tertutupnya pasar produk perikanan.
“Untuk itu upaya pelaksanaan program padat karya dan penggunaan bahan baku lokal di industri hulu perikanan tangkap di era adaptasi kebiasaan baru harus tingkatkan”, ungkap Ketua Forum Komunikasi Kemitraan Perikanan Tangkap (FK2PT) Agus Suherman, Jumat (14/8/2020) malam.
Agus menjelaskan, program ini sejalan dengan imbauan presiden agar penggunaan produk dalam negeri perlu terus dijalankan dan ditingkatkan semaksimal mungkin melalui inovasi atau strategi yang terukur dan implementatif.
“Saat ini, dengan pertumbuhan ekonomi yang minus tentu akan menggerus juga ekonomi perikanan. Program padat karya dan penggunaan produk berbahan baku lokal saya kira dapat menjadi upaya dalam rangka menggerakkan ekonomi mikro," kata Agus.
Selain itu, Ia juga menambahkan program padat karya bantuan perikanan perlu diperluas jenis dan ragamnya. Misalnya, alat tangkap usaha bubu lipat yang dikerjakan secara handmade oleh masyarakat. Kalau bantuan ini membeli produk lokal yang dikerjakan secara manual oleh banyak tenaga manusia, tentunya dampaknya akan luar biasa menciptakan perputaran ekonomi mikro di desa. Tentu dengan terus menjaga protokol Kesehatan.
Sementara itu, Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK IPB University Sugeng Hari Wisudo, memberikan satu ulasan perlunya strategi adaptif, strategi cerdas bagi para pelaku usaha industri hulu perikanan tangkap untuk menghadapi era new norma.
“Dampak pandemi telah menyebabkan pertumbuhan negatif pada semua sektor, kecuali sektor pertanian, infokom dan pengadaan air. Sektor yang paling terpengaruh adalah transportasi, pergudangan, serta akomodasi dan makan minum. Lapangan usaha perikanan yang termasuk dalam sektor pertanian, ternyata juga mengalami pertumbuhan yang negatif”, ungkap Sugeng.
Namun demikian menurut Sugeng, selain dampak negatif, pandemi telah mendorong lompatan transformasi teknologi. Perusahaan-perusahaan harus dapat menerapkan smart adaptive strategy, strategi adaptif yang lincah untuk menghadapi turbulensi kompetisi lingkungan bisnis. Strategi adaptasi cerdas dalam cara pemasaran, cara menghasilkan produk atau jasa layanan, strategi adaptasi cerdas pada sistem basis data dan informasi, sistem logistik, bisnis terintegrasi dan bisnis berkelanjutan.
Sugeng menambahkan, perkembangan teknologi yang melejit selama pandemi Covid-19 akan berlanjut hingga masa depan. Era baru teknologi sudah mewarnai belanja dalam jaringan, pembayaran digital, teleworking, pelayanan medis jarak jauh, pendidikan dan pelatihan jarak jauh, hiburan daring, rantai pasokan 4,0, 3D printing, Robot dan drone, dan teknologi 5D.
Arief Yudhi Susanto General Manager PT Arteri Daya Mulia, Cirebon salah satu perusahaan alat penangkapan ikan terkemuka di Indonesia menyatakan pandemi Covid-19 telah menurunkan order perusahaan mencapai 50% sebagai dampak dari menurunnya aktivitas penangkapan ikan. Disamping itu operasional perusahaan juga terhambat dengan berbagai permasalahan peningkatan biaya non produksi dan operasional seperti penyediaan hand sanitizer, masker dan disinfektan rutin untuk 2.200 karyawan yang saat itu harga barang-barang tersebut melonjak drastis, demikian menurut Yudhi.
Permasalahan perusahaan tidak berhenti disini, pemberlakuan PSBB di beberapa kota telah membatasi operasional agen-agen pemasaran di kota-kota tersebut, distribusi barang menjadi terhambat dan biaya ekspedisipun meningkat. Sementara itu kewajiban perusahaan tetap harus dibayarkan tanpa ada terobosan kebijakan pemerintah yang membantu. Apalagi pandemi ini bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri dimana perusahaan harus membayar THR dan insentif karyawan, ujarnya.
La Anadi Dosen UHO sekaligus juga pemilik perusahaan galangan dan reparasi kapal fiberglass CV Wahana juga mengungkapkan hal yang sama. “Aktivitas perusahaan nyaris terhenti, permintaan pembuatan kapal baru maupun reparasi hampir tidak ada. Perusahaanpun melakukan transformasi untuk mempertahankan usaha dengan mengubah fungsi galangan dengan membuat produk baru yaitu pembuatan tepung ikan, tepung udang, dan tepung rajungan untuk pakan ikan dan ungags”, ungka La Anadi.