Oleh Ike Wardhana Efroza, S.Pd.
Masa kuliah adalah pertemuan saya dengan ide bahwa manusia itu diciptakan dengan fitur unik, salah satunya adalah bakat dan sifat yang unik. Adalah buku Keajaiban Belajar yang ditulis oleh Mr. Yunsirno yang membuat saya mengingat kembali masa-masa saya menjadi pelajar, mengingat kembali bagaimana perlakuan sebagian besar guru terhadap murid. Dari situ saya mulai mengetahui 4 temperamen atau watak: phlegmatis, sanguinis, koleris, dan melankolis. Saya mulai mengetahui bahwa setiap anak butuh perlakuan yang unik, ada yang bisa diseragamkan dan ada yang perlu kita maklumi. Anak yang melankolis yang cenderung pendiam tidak serta merta kita tuduh sebagai orang yang tak percaya diri. Orang yang sanguinis tidak serta merta kita tuduh sebagai orang yang tak tahu malu. Pemahaman ini membuat saya lebih bijak dalam menangani permasalah murid.
Setelah perjumpaan tentang ide 4 temperamen, masih di masa kuliah, saya menemukan ide kecerdasan majemuk (multiple intellegence). Bahwa setiap manusia setidaknya ada satu atau beberapa kecerdasan yang menonjol dari delapan kecerdasan.
Ide-ide tersebut mempengaruhi saya dalam berpikir dan bertindak sebagai seorang calon guru saat menjalani PPL. Tuntutan kurikulum bukanlah menjadi target besar yang ada di pikiran saya. Apalagi saat itu praktik-praktik curang murid terlihat jelas di depan mata saya. Ternyata ada hal yang lebih penting yang harus dipikirkan selain target pencapaian KKM bagi seluruh siswa. Apalah artinya sebuah nilai jika proses belajar dan proses pengolahan/pelaporannya saja sudah tidak ideal.
Semakin lama berada di dunia persekolah, tentunya saya semakin mengetahui prakik-praktik pendidikan yang tidak ideal. Saya pun harus bersikap realistis. Melawan atau ikut arus? Saya memilih berpura-pura ikut arus. Melawan dalam diam. Dimulai dari kelas-kelas yang saya ampuh. Barangkali tulisan berikut dapat menggambarkan bagaimana tindakan konkret saya dalam menjalani tugas sebagai guru: https://iwaza.wordpress.com/2020/03/23/aku-guru-nakal/.
Setelah menjalani kurang lebih 6 tahun masa mengajar. Saya mulai berkenalan ide Pendidikan Berbasis Fitrah. Saya melihat konsepnya holistik. Tidak hanya bicara potensi bakat (setiap manusia memiliki bakat/sifat/potensi unik dan fitrah belajar dan bernalar (setiap manusia adalah pembelajar tangguh), namun lebih dari itu juga bicara seluruh fitrah, baik fitrah keimanan, fitrah estetika, dan lain sebagainya. Dari situ saya mulai menyadari bahwa sebagai bangsa tidak harus minder dengan pendidikan Finlandia dan Jepang. Karena setiap negara/tempat memiliki potensinya masing-masing yang harus dikembangkan. Dan sebagai manusia, kita tidak perlu minder/rendah diri melebihan kelebihan orang lain. Seringkali kita pun sebagai orang dewasa masih terbawa semangat kompetisi sehingga dalam setiap kesempatan sering menempatkan proses belajar/pembinaan/pelatihan sebagai kegiatan yang kompetitif. Barangkali, di antara Calon Guru Penggerak masih ada yang berpikir begitu. Semoga saja tidak. Kita semua berdaya dengan setiap kelebihan kita masing-masing.
Terakhir, di program pendidikan guru penggerak ini saya diajak kembali untuk mendalami pemikiran Ki Hajar Dewantara. Saya rasa, apa yang disampaikan Ki Hajar Dewantara tidak bertentangan dengan apa yang pernah saya pahami selama ini tentang pendidikan. Intinya adalah kita berupaya agar manusia Indonesia menjadi manusia berbudi pekerti luhur yang dapat beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan jati diri sebagai insan yang beriman kepada Tuhan yang Maha Esa.
Jujur saja, saya agak terkejut (senang) ketika mengetahui program pendidikan penggerak ini diawali dengan usaha merubah mindset (WHY) setiap guru. Karena selama ini, yang saya rasakan, pelatihan/pembinaan yang saya ikuti hampir selalu bicara tentang aturan dan prosedur (HOW TO). Semoga program guru penggerak ini dapat berjalan berkelanjutan sesuai dengan target Mas Menteri.