Books
"Books are a uniquely portable magic." ―Stephen King
Books
"Books are a uniquely portable magic." ―Stephen King
Filsafat Politik menjadi pembahasan yang menggelitik keingintahuan para tokoh yang mempelajari ilmu hukum atau filsafat hukum. Buku ‘Political Philosophy, A Very Short Introduction‘ karya David Miller, terbitan Oxford University Press, NY, USA seolah membuktikan hal ini.
Miller mengawali pembahasannya dengan pertanyaan mengapa kita membutuhkan filsafat politik, dengan menyandarkannya pada ilustrasi fresco (lukisan dinding) di Palazzo Pubblico, Sienna. Fresco ini amat populer di kalangan pecinta seni budaya, serta mahasiswa dan sarjana filsafat politik, yang pada permukaannya terukir kata-kata ‘The Allegory of Good and Bad Government’.
Miller menggunakan mahakarya Ambrogio Lorenzetti untuk menjelaskan gambaran sifat dari pemerintahan yang baik dan buruk. Ia menggambarkannya melalui tokoh-tokoh yang mewakili kualitas penguasa yang seharusnya, tentang apa yang tidak seharusnya dimiliki oleh penguasa. Lukisannya juga menunjukkan dampak pemerintahan yang baik maupun buruk, terhadap kehidupan orang biasa.
Filsafat Politik
Saat berdiskusi dengan rekan-rekan dari salah satu perguruan tinggi swasta Islam terbaik di Jakarta, Universitas Al-Azhar Indonesia, pembahasan tentang Lorenzetti kian menarik. Terutama karena terlihat bahwa Lorenzetti menggambarkan dampak pemerintahan yang baik yang hidup di kota maupun di pedesaa di mana kehidupan masyarakat dengan pemerintah nampak baik tampak teratur dan sejahtera.
Para pengrajin dalam lukisan tersebut melakukan transaksi, pedagang membeli dan menjual barang. Terlihat pula para bangsawan menunggang kuda dengan hiasan yang meraih. Di sekitarnya nampak sekelompok penari yang bergandengan tangan membentuk lingkaran.
Terdapat pesan pada spanduk yang diangkat tinggi-tinggi oleh sosok bersayap yang merpresentasikan ‘Keamanan’, yang bertuliskan “Without fear every man may travel freely and each may till and sow, so long as this commune still maintains this lady sovereign, for she has stripped the wicked of all power.”
Sementara pada sisi lain, merepresentasikan pemerintahan jahat, dengan pesan yang nampak sama jelasnya, yakni ‘Penguasa Jahat’ yang sekelilinya menggambarkan sifat buruk antara lain ‘Keserakahan, Kekejaman, dan Kebanggaan’. Gambaran ini lengkap dengan ilustrasi kota di bawah pendudukan militer, dan pedesaan tandus hancur oleh tentara hantu.
Tampak sosok ‘Ketakutan’ yang memegang prasasti yang bertuliskan “Because each seeks only his own good, in this city Justice is subjected to tyranny; wherefore along this road nobody passes without fearing for his life, since there are robberies outside and inside the city gates“.
‘Allegory of Good and Bad Goverment’
Kita dapat mendefinisikan filsafat politik sebagai penelitian tentang sifat, sebab, dan akibat dari pemerintahan yang baik dan buruk. Lorenzetti menggambarkan filsafat politik tidak hanya dengan cara merangkum makna pencariannya. Ia juga mengungkapkan dengan cara-cara yang menonjolkan berbagai sisi baik atau buruknya.
Penulis buku ini menyampaikan bahwa fresco karya Lorenzetti menganduk makna bahwa pemerintahan yang baik ataupun yang buruk sangat mempengaruhi kualitas hidup manusia. Aturan tentang keadilan dan kebajikan memungkinkan setiap orang biasa untuk bekerja, berdagang, berburu, menari, dan melakukan semua hal guna memperkaya eksistensi manusia. Sementara di sisi lain terlihat bentuk kejahatan, yang mengilustrasikan tirani yang berkembang hingga menyebabkan munculnya kemiskinan dan kematian.
Miller menegaskan, bahwa inilah gambaran tentang apa yang membuat perbedaan dalam hidup, terlepas dari apakah kita diatur secara baik atau buruk. Namun kita tidak dapat berpaling dari politik. Kita juga tidak dapat beringsut mundur untuk memikirkan kehidupan pribadi saja, hanya karena membayangkan cara kita diatur berdampak mendalam bagi kebahagiaan pribadi.
Pada fresco ini juga tergambar Sala dei Nove (Kamar Sembilan) yakni dewan yang terdiri dari 9 pedagang kaya yang memerintah kota di awal abad ke-14. Tujuan ilustrasi ini adalah untuk mengingatkan tanggung jawab penguasa terhadap orang-orang Siena. Demikian juga sebagai perayaan pemerintahan republik yang terbentuk saat terjadi kekacauan politik yang cukup besar di banyak kota di wilayah Italia.
Penggambaran dampak buruk pemerintahan yang jahat ini merupakan pengingat tentang apa yang mungkin terjadi. Yakni apabila penguasa kota lalai dalam menjalankan tugasnya terhadap rakyat. Atau bisa juga sebaliknya, apabila rakyat gagal dalam menjalankan tugasnya untuk mengawasi wakil rakyat.
Makna Ilustrasi Filsafat Politik
Fresco ini menyampaikan pelajaran yang berharga, bahwa kita semua dapat mengetahui yang membedakan antara kebaikan pemerintah jika membandingkannya dengan yang buruk. Kita dapat melakukan hal itu dengan cara memperhatikan dampak dari masing-masing bentuk pemerintahan.
Dengan demikian kita dapat mempelajari kualitas seperti apa yang ingin kita pertahankan, dan dengan demikian kita pun dapat menentukan bentuk pemerintahan yang terbaik.
Sehingga artinya, pengetahuan politik itu sangat perlu. Miller menegaskan lagi bahwa fresco karya Lorenzetti menyimpan makna mengenai semua itu. Sang seniman menggambarkan penguasa yang bijaksana sebagai sosok dengan tokoh-tokoh yang mengelilinginya. Mereka merepresentasikan kualitas, sebagaimana filosofi politik masa itu yang mencirikan bentuk pemerintahan yang baik.
Pada prologue, Miller menyampaikan keinginannya agar siapa saja bisa membaca buku ini, meski mereka tidak pernah mengenal apa itu filsafat politik. Oleh sebab itu ia berusaha keras untuk menulis dengan penjelasan sesederhana mungkin dengan contoh-contoh dan membatasi penggunaan jargon.
Fakultas Hukum merupakan salah satu dari 5 fakultas yang tersedia di Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) menjadi pengalaman yang menyenangkan karena mahasiswa dapat saling bertukar pikiran baik dengan sesama rekan mahasiswa maupun dengan para dosen, dan mereka yang menyenangi pembahasan dengan pemikiran yang mendalam umumnya menyukai filsafat.
_
#Posted Filsafat Politik David Miller, ‘Allegory of Good and Bad Government’
Buku yang ditulis oleh Dr. Fokky sebagai seorang doktor di bidang ilmu hukum ini sangat penting dalam menggambarkan hubungan ideologi Pancasila dengan agama, khususnya agama Islam.
Menyelami Hakikat Manusia dengan Rasa yang Abstrak
Siang yang cerah membawa langkah saya menuju salah satu kampus swasta terbaik di Jakarta, Universitas Al-Azhar Indonesia. Suasana terasa sejuk saat semilir angin berhembus dari sela-sela dedaunan dan pepohonan hijau yang segar karena tersiram rintik hujan yang baru saja berhenti.
Saya langsung naik ke lantai 3 untuk menemui Dr. Fokky Fuad Wasitaatmadja, Senin (26/02). Saya tertarik untuk membahas buku berjudul “Falsafah Pancasila, Epistemologi Keislaman Kebangsaan” karya Dr. Fokky, terbitan tahun 2018.
Pada bagian prologue, Kepala Pusat Studi Pancasila Universitas Pancasila, Dr. H. Hendra Nurtjahjo, S.H., M.Hum menyampaikan bahwa “Pancasila tidak hanya diyakini sebagai dasar filsafat kenegaraan bangsa Indonesia (philosopische grondslag), tetapi juga sebagai suatu falsafah hidup (weltanschauung) yang merupakan puncak-puncak pandangan kearifan lokal yang ada di seluruh Tanah Air Indonesia. Kesesuaian relationship antara Pancasila dan nilai-nilai agama serta nilai-nilai luhur kearifan lokal merupakan suatu deskripsi yang harus mendapatkan prioritas penting dalam menjelaskan Pancasila sebagai ideologi negara dan klaim sebagai pandangan hidup bangsa.”
Sebelum ‘menjelajah’ lebih dalam, Dr. Fokky memulai penjelasan dengan contoh-contoh sederhana yang banyak kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian masuk kepada pemahaman Pancasila dalam kajian filsafat yang terbagi menjadi ontologi, epistemologi dan aksiologi, yang kesemuanya saling berkaitan.
Filsafat sendiri memiliki pengertian pengetahuan dan penyelidikan dengan menggunakan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal dan hukumnya. Sedangkan pembahasan Pancasila secara filsafat berkaitan dengan makna dan pengertian yang sedalam-dalamnya. Bahkan memahami apa yang ada di balik makna Pancasila, dan pengetahuan terhadap Pancasila sebagai suatu kesatuan yang memiliki sistem pemikiran rasional dan sistematis yang mendalam secara menyeluruh.
Ontologi adalah ilmu tentang ‘ada’ yang mempelajari tentang adanya Pancasila atau hakikat keberadaannya yang memberikan jawaban atas pertanyaan ‘apa’. Jadi, kajian ontologi Pancasila sebagai filsafat merupakan upaya untuk memahami hakikat dasar dari sila-sila Pancasila.
Hakikat dasar ontologis Pancasila adalah manusia sebagai subyek hukum pokok dalam sila-sila Pancasila. Dalam hal ini, nilai-nilai Pancasila ada, hidup dan berkembang dalam sosio budaya dan kehidupan beragama dan kepercayaan bangsa Indonesia yang pluralis.
Nilai-nilai Pancasila juga diangkat ke permukaan secara nasional, dengan merumuskannya secara sistematis dan memasukannya ke dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai dasar negara.
Ontologi Pancasila adalah sesuatu yang ‘ada’. Manusia yang ada sesungguhnya merupakan proyeksi dari kekuatan yang ada di belakangnya. Pancasila ada dan lahir dari berbagai pengalaman hidup manusia. Eksistensi Pancasila bergantung dari kehidupan manusia yang selaras. Jadi, Pancasila ada dan nyata jika manusia memahami maknanya dalam menjalani kehidupan.
Epistemologi adalah ilmu tentang ‘cara berada’ yang terkait dengan bagaimana cara Pancasila berada, yang memberikan jawaban terhadap pertanyaan ‘bagaimana’.
Kajian epistemologi Pancasila sebagai filsafat merupakan upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai sistem pengetahuan. Karena epistemologi adalah bidang filsafat yang membahas hakikat ilmu pengetahuan. Kajian epistemologi Pancasila tidak dapat dipisahkan dari ontologisnya. Sehingga saling berkaitan erat dengan konsep dasarnya, yakni hakikat manusia.
Epistemologi sendiri berhubungan erat dengan sumber pengetahuan manusia, teori kebenaran pengetahuan manusia, dan watak pengetahuan manusia. Sehingga Pancasila akan dipahami maknanya melalui akal dan pengalaman yang dilalui oleh manusia. Pengetahuan tentang Pancasila diperoleh melalui indera rasa secara empiris. Sehingga untuk menemukan Pancasila dalam ilmu pengetahuan harus berdasarkan kesimpulan dengan cara berpikir yang berawal dari hal yang bersifat umum, kemudian merunutkannya kepada hal yang bersifat khusus hingga mencapai suatu pernyataan kesimpulan.
Aksiologi merupakan teori nilai, yaitu sesuatu yang kita kehendaki, kita sukai, atau yang baik dan berguna. Jadi, aksiologi Pancasila adalah ilmu yang berhubungan dengan implementasi, manfaat, kegunaan, yang terkait dengan penerapan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Aksiologi Pancasila memberikan jawaban atas pertanyaan ‘untuk apa’.
Kajian aksiologi filsafat Pancasila pada hakikatnya membahas tentang nilai praktis atau manfaat suatu pengetahuan tentang Pancasila. Karena sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan.
Aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila. Implementasi pemahaman tentang nilai dalam kajian filsafat berguna untuk merujuk pada ungkapan abstrak yang dapat dimaknai sebagai keberhargaan dan kebaikan, atau tindakan yang didasari oleh jiwa tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian.
Pancasila sebagai falsafah memiliki kekuatan untuk memadukan kehidupan bangsa Indonesia yang multikultual. Ini tercermin dalam kehidupan bangsa Indonesia, antara lain budaya toleransi dan sikap gotong-royong. Demikian pula dengan agama dan keyakinan masyarakat yang berbeda-beda tapi dapat hidup berdampingan dan saling menghormati.
Dialog yang menarik siang itu mengantarkan saya pada pemahaman yang dalam. Namun masih perlu waktu yang lebih panjang untuk lebih menyelam lebih dalam lagi tentang Pancasila. Baiklah, dialog terkait pembahasan ini kami pastikan berlanjut! Thank you, Dr. Fokky for your enlightenment!
_
#posted @suaranusantara Filsafat Pancasila: Menyelami Hakikat Manusia dengan Rasa yang Abstrak
Dengan gaya bahasa yang crunchy, penulis ‘Sebelum Filsafat’ mengalir bertutur dengan pilihan kosa kata yang ringan, sederhana dan mudah dipahami. Suguhan ini berbeda dengan kebanyakan materi ‘berat’ di literasi lainnya yang membahas Filsafat Hukum.
“Tidak semua orang suka teh atau kopi, begitupun terhadap filsafat. Pekatnya kopi yang telah diseduh atau mengeluarkan aroma teh tidak berarti mencirikan kenikmatannya. Layaknya pula mendalami filsafat, seseorang tidak serta-merta langsung paham, apalagi berubah seperti pecinta kebijaksanaan sebagai arti kata “philo” dan sophia” membutuhkan proses, dan proses menapaki dunia filsafat setidaknya tercermin dalam buku ini” (Prolog buku Sebelum Filsafat)
Saya ingat ketika baru ‘berkenalan’ dengan mata kuliah Filsafat Hukum.
Ketika mendengar kata ‘filsafat’ saja, sesaat memori saya kembali ke bangku kuliah di Universitas Indonesia, saat saya berteman dengan beberapa mahasiswa Jurusan Filsafat, yang berambut gondrong, tidak peduli dengan penampilan, hanya ikut tersenyum dan bicaranya irit, kalau sedang bersama kumpul-kumpul di sela istirahat jam kuliah.
Namun ‘mindset‘ saya berubah, saat menemukan buku berjudul Sebelum Filsafat (2013) karya Fahruddin Faiz, diantara deretan buku-buku di sebuah perpustakaan.
Buku yang bermula dari catatan kuliah pengasuh ‘Ngaji Filsafat’ di Masjid Jenderal Sudirman Yogyakarta ini pada awal pembahasan menuturkan bahwa “Filsafat adalah kisah pergumulan dan perjuangan manusia dalam memahami dunia dan eksistensi, serta esensi hidupnya.”
Menurut Faiz, filsafat menjadi stimulasi rasa keingintahuan dan pertanyaan mendasar, agar kita tidak mudah percaya begitu saja. Segala sesuatu yang kita lihat atau kita dengar mesti dipertanyakan kembali, bukan ‘asal telan’. Jadi. filsafat menantang manusia untuk tidak hidup secara mekanis, sekedar mengekor, taklid, atau mengalir tanpa arah.
Tantangan filsafat untuk menguji kehidupan yang kita jalani ini, kian menemukan relevansinya di era digital, dengan derasnya arus teknologi informasi. Sang guru ngaji memberikan contoh misalnya kita tidak langsung percaya begitu saja setelah membaca posting di media sosial, tapi harus menguji dulu kebenaran, kebaikan juga kemanfaatan ulasan tersebut.
Filsafat dapat memperjelas konsep dan menyusun argumen. Terlebih karena di sekitar kita banyak perdebatan yang terjadi karena konsep definisi dasarnya berbeda. Argumen yang dibuat dengan pemahaman dasar tentang filsafat berguna untuk menjawab pertanyaan ‘mengapa?’. Sementara dalam perjalanan hidup setiap manusia banyak sekali sisa-sisa pertanyaan yang belum terjawab.
Faiz dengan ringan menuturkan bahwa pada akhirnya, filsafat membentuk pribadi bijaksana. Sebab apabila sudah kritis, manusia akan sampai pada kebijaksanaan. Kebijaksanaan itu berada di atas kebenaran. Tidak jarang, kebenaran yang tidak disertai kebijaksanaan itu justru hasilnya kontra produktif. Filsafat itu ‘cinta kebijaksanaan’ sehingga dapat mengetahui timing, posisi, dan proporsi.
So, guys, ‘Sebelum Filsafat’ adalah buku yang wajib bagi mereka yang ingin mengenal lebih dekat dunia filsafat dari perspektif yang sederhana. Buku ini cocok untuk dipelajari oleh para pemula yang memiliki ketertarikan terhadap filsafat!
Let’s go reading it!
_
Literasi Filsafat #posted @suaranusantara.co Book Review: Sebelum Filsafat
Manusia adalah makhluk sosial, sehingga saling berinteraksi dalam berbagai kegiatan, tidak terkecuali keterlibatannya dengan berbagai institusi politik dan sosial.
The Blackwell Guide to Social and Political Philosophy
Editor(s):Robert L. Simon. First published:1 January 2002. Print ISBN:9780631221265 |Online ISBN:9780470756621 | DOI:10.1002/9780470756621
Copyright © 2002 Blackwell Publishers Ltd
_
Isu tentang praktik sosial dan politik, demikian pula dengan institusinya, sering dibahas, termasuk bagaimana suatu organisasi benar-benar bekerja, apa yang dimaksud terkait dengan itu, bagaimana pengaruhnya terhadap warga negara, dan membandingkannya dengan institusi sosial dan politk lintas batas negara dan budaya.
Kajian normatif pada dasarnya membahas tentang perselisihan prinsip sosial dan politik, terkait apakah baik atau buruk, adil atau tidak adil, berimbang atau tidak, disamping untuk mencari jawaban atas pertanyaan tentang "kewajaran", "keadilan", dan kriteria lainnya yang digunakan untuk menilai tatanan sosial dan politik itu sendiri.
Buku 'Panduan Blackwell: Filsafat Politik dan Sosial' berisi kumpulan esai, yang disusun dengan tujuan untuk memberikan panduan komprehensif terhadap berbagai pertanyaan penting yang muncul dalam dunia filsafat sosial dan politik.
Masing-masing essai memberikan kontribusi berisi pembahasan masalah utama atau rangkaian masalah di bidang tersebut, serta memberikan panduan konseptual atau historis terhadap argumen dan posisi utama terkait topik yang dibahas.
Tiap-tiap kontributor menawarkan pembelaan atas pendekatan atau kesimpulan tertentu terkait masalah yang dibahas, untuk memberikan panduan terhadap posisi utama pembahasan yang telah dikembangkan, guna menanggapi isu-isu yang diangkat. Kemudian mereka mengarahkan essai sebagai bahan diskusi.
Kumpulan essai dalam buku ini tidak hanya menjadi panduan filsafat sosial dan politik, tapi juga memberikan dukungan untuk bahan kelanjutan diskusi yang berhubungan dengan isu-isu yang menjadi perbincangan.
Sumbangsih mereka bertujuan tidak semata-mata menawarkan latar belakang yang luas tentang masalah yang dibahas, namun membahas bagaimana cara menyelesaikannya, atau palin todak, bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman tentang isu-isu yang mereka bahas.
Filsafat sosial dan politik berhubungan dengan evaluasi tentang moral institusi sosial dan politik, termasuk pengembangan, klarifikasi, dan penilaian prinsip-prinsip yang mereka usulkan dalam rangka mengevaluasi tatanan politik dan sosial.
Ahli filsafat yang berbeda akan menentukan batasan antara politik dan sosial berdasarkan sudut pandang yang berbeda. Akan tetapi, walau bagaimanapun juga, garis batas itu kemungkinan besar bisa saja kabur atau bahkan bergeser.
Hal ini sebagaimana yang pernah disampaikan oleh para filsuf feminis dalam diskusi mereka terkait privat vs publik, ini merupakan karakterisasi general yang terkadang bisa menyesatkan.
Meski banyak yang menganggap masalah isu tentang peran yang tepat dari pemerintah nasional adalah isu politik, sementara isu pengasuhan anak sebagai masalah sosial (bukan isu politik) tapi kebijakan nasional yang jelas, atau kegagalan dalam membuat kebijakan, dapat berdampak signifikan terhadap sifat dan kualitas dalam pengurusan anak.
Jadi perbedaan antara sosial dan politik itu sebagian dapat dipertahankan, tapi mungkin akan lebih baik untuk tidak memberikan perhatian berlebih pada perbedaannya. Sebab, walau sebagaimanapun seseorang berusaha menarik batas, tetap saja banyak masalah yang hampir pasti akan dilintasi.
_
UAI Writers Group #posted @kompasiana (nominated)
Kini ruang diskusi tidak lagi terbatas di ruang-ruang kelas kampus saja, tapi juga bisa di ruang publik, dimana civitas akademika bersama masyarakat umum dapat belajar bersama dan memperoleh kesempatan berinteraksi langsung dengan para pakar hukum di Indonesia.
Pandangan dan Langkah Reformasi B.J. Habibie ini adalah buku karya 3 penulis, yang salah satunya adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddique, yang menekankan bahwa sumbangsihnya bukan hanya untuk Tata Negara saja tapi juga Tata Bangsa, karena problematika yang dihadapi di Indonesia bukan hanya teknis penegakan hukum tetapi juga mental kebangsaan.
Diskusi buku Pandangan dan Langkah Reformasi B.J. Habibie yang diadakan oleh Jimly School of Law and Government (JSLG) dan Universitas Sumatera Utara (USU) secara luring dan daring dibuka oleh Dekan FH USU, Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum. Kegatan akademik ini membedah bukan hanya buku tetapi juga pemikiran salah seorang tokoh nasional yang dikenal jenius, Prof. Dr.Ing. Dr. Sc.h.c. Bacharuddin Jusuf Habibie, atau B.J.Habibie, pada Jumat (04/08).
Prof. Jimly merekam jejaknya bersama para tokoh ketatanegaraan yang bersejarah dan penting terkait reformasi transisi menuju masyarakat madani melalui perubahan kebijakan di bidang politik dan hukum sejak 1998. Salah satu diantaranya, ketentuan pemilihan Presiden secara langsung dan periode masa jabatan Presiden.
Setelah 25 tahun reformasi, Prof. Jimly memandang perlunya evaluasi perubahan konstitusi dan implementasinya. Terutama di era pasca kebenaran dan pasca Covid-19, dimana peperangan tidak lagi hanya menggunakan kapal perang dan nuklir, tetapi juga kecanggihan teknologi informasi.
Bahkan lebih dari itu, dibutuhkan reformasi kedua di bidang hukum untuk menjawab tantangan perubahan dalam kehidupan masyarakat, seiring kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.
Guru Besar FH Universitas Pancasila, Prof. Dr. Agus Surono, S.H.,M.H., dalam sesi diskusi menyampaikan kembali perihal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), serta Iman dan Taqwa (IMTAQ) yang selalu ditekankan oleh Prof. B.J. Habibie. Kepandaian harus selalu diimbangi dengan keimanan dan ketaqwaan sehingga menjadi manusia yang selalu istiqomah.
Kecerdasan Prof. Habibie yang cemerlang di bidang teknologi, hingga bisa membuat pesawat terbang sendiri memang diakui oleh bangsa di negara maju seperti Jerman. Namun demikian, tanah air Indonesia dan keyakinan berlandaskan agama yang diyakini tidak luntur.
Dengan bercermin dari keteladanan Prof. Habibie ini, Prof. Agus menanggapi pandangan Prof. Jimly terkait mental kebangsaan. Jadi untuk menuju Indonesia Emas 2045 diperlukan keseimbangan antara teknologi dengan iman dan taqwa.
Reformasi sistem hukum yang dilakukan oleh Prof. Habibie bahkan melampaui legal structure, legal substance dan legal culture, karena terdapat juga penekanan terhadap karakter moral manusia yang merupakan landasan yang sangat penting dalam upaya mengubah segala sesuatu ke arah yang lebih baik.
Sehingga bukan hanya sistem hukum yang bagus saja yang dibangun, tetapi peran iman dan taqwa juga diperlukan dari orang-orang yang menerima amanah, yakni adab dan akhlak. Jadi jika menggunakan teknologi, misalnya dalam bermedsos orang memperhatikan keselarasan antara IPTEK dan IMTAQ maka hasilnya akan berdampak baik, terutama dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi terwujudnya keadilan dan demi kepentingan orang banyak.
Pertanyaan yang diajukan oleh beberapa peserta diskusi juga secara umum mengkritisi pihak-pihak yang menduduki jabatan tertentu namun menyalahgunakan kekuasaan yang diamanatkan.
Diskusi ditutup dengan kesimpulan yang disampaikan oleh Prof. Jumly yang secara garis besar menekankan evaluasi lewat kajian reformasi di bidang hukum dengan tetap berpegang kepada dasar negara, Pancasila, dan berpegang pada etika dan kualitas adab dalam bernegara, dimana keputusan ditetapkan secara musyawarah untuk mencapai kata mufakat sebagaimana tercermin dalam sila ke-4 yang terkait dengan permusyawatan, demi tercapainya Demokrasi Pancasila.
_
Penulis: Anna Saraswati, FH Universitas Al-Azhar Indonesia
#posted @suaranusantara RJ #046 | Pandangan dan Langkah Reformasi B.J. Habibie, Bedah Buku Bersama Pakar Hukum
Berawal saat saya bertanya sambil menunjuk kata ‘epistemologi’ pada cover buku karya Dr. Fokky, yang menggambarkan hubungan antara Pancasila dengan agama. Siang itu dialog pemahaman falsafah Pancasila dalam kajian filsafat ontologi, eksiologis dan epistemologi pun berlanjut.
Kajian sila-sila bernilai universal dan pendampingan teroris Dr.Fokky
Dosen FH UAI ini menjelaskan terlebih dulu, bahwa epistemologi merupakan bidang filsafat yang membahas hakikat ilmu pengetahuan. Dengan demikian, kajian epistemologi Pancasila dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai sistem pengetahuan.
Kajian epistemologi Pancasila dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai sistem pengetahuan.
“Namun kajian filsafat timur agak berbeda dengan filsafat barat. Karena filsafat timur lebih menggunakan pendekatan metafisika. Artinya, filsafat timur menyandarkan pada kesadaran bahwa yang ‘ada’ merupakan proyeksi dari eksistensi di belakangnya. Eksistensi ini ada, tapi wujudnya hanya bisa ditangkap dengan rasa. Sehingga pendekatan filsafat timur sifatnya lebih abstrak,” jelas Dr. Fokky.
“Sementara filsafat barat mengandalkan logika rasional, bahwa sesuatu itu ada apabila wujudnya ada. Ini karena pikiran manusia yang bersandar pada logika meyakini hal-hal bendawi untuk wujud yang diyakini ada” lanjutnya.
Berangkat dari sini, pembahasan kemudian ‘mengupas’ satu-persatu kedalaman makna sila-sila Pancasila yang merupakan suatu susunan yang sistemik yang saling terkait.
“Pancasila itu bukan agama. Pancasila itu digali dari keyakinan manusia itu sendiri yang meyakini eksistensi Tuhan menurut agama dan kepercayaan mereka masing-masing. Itulah rasa. Itulah ada,” tegas Dr. Fokky.
Menggali Falsafah Pancasila
Dr. Fokky menjelaskan bahwa masih banyak orang yang mispersepsi terhadap sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Padahal kata ‘Ketuhanan’ pada sila ini sesungguhnya justru mencerminkan sifat manusia yang bertuhan itu yang ‘bagaimana’. Bukan tentang Tuhan, sebagaimana pengertian dalam ajaran agama.
“Kemudian manusia yang berketuhanan itu yang bagaimana? Ini terkait dengan sila kedua, ‘Kemanusiaan Yang Beradil dan Beradab’. Jadi manusia yang memiliki keyakinan berketuhanan akan memperlakukan manusia lain sebagai selayaknya manusia yang berketuhanan,” tambahnya.
Sampai disini saya mengerti, bahwa jika kita memahami filsafat Pancasila, maka hubungan antara Pancasila dengan ajaran agama sesungguhnya serasi dan selaras. Karena agama mengajarkan bagaimana sepatutnya manusia menjalani kehidupan sebagaimana yang tercermin pada sila pertama dan sila kedua Pancasila.
“Untuk mencapai tujuannya yang sama itulah maka manusia hidup bersama, hal sebagaimana tercermin dalam sila ketiga ‘Persatuan Indonesia’. Hidup bersama, rukun, guyub, bersatu.
Dalam kebersamaan itu, manusia dapat duduk bersama jika ada masalah dan bermusyawarah untuk menyelesaikan. Inilah sila keempat ‘Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan’ yang menjadi cerminannya, sehingga tercapailah “Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’ yang menjadi cita-cita bangsa Indonesia,” lanjutnya.
Pendampingan Pelaku Teroris
Dialog semakin seru ketika Dr. Fokky membahas tentang teroris yang memiliki tendensi destruktif terhadap diri mereka sendiri dan manusia lain di sekitarnya. Dalam upaya memberikan pencerahan kepada teroris di lapas, Dr. Fokky berdialog dengan mereka dengan pendekatan filsafat timur terhadap nilai-nilai Pancasila.
“Mereka belum memahami filsafat Pancasila yang bicara tentang rasa dan kesadaran. Bahwa manusia yang berketuhanan itulah yang berperikemanusiaan dan berkeadilan. Lingkungan merekalah yang membentuk mereka sehingga memandang Pancasila dari perspektif ideologi. Pancasila sebagai sebuah ideologi memang sarat kepentingan dan dogma sehingga ‘menakutkan’. Namun demikian, kita tetap membutuhkan ideologi sebagai benteng pertahanan bangsa dan negara,” ungkap Dr. Fokky.
Pendekatan terhadap pelaku terorisme dengan menggunakan filsafat Pancasila lebih efektif, karena setiap manusia memiliki rasa. Mereka lebih mudah mencerna pemahaman mengenai sila-sila Pancasila secara lebih mendalam karena menggunakan kesadaran dalam penyampaiannya.
Wah! Sampai pada titik ini kami pun sepemikiran bahwasanya sila-sila Pancasila itu sesungguhnya bersifat universal. Bagaimana tidak, karena di belahan bumi manapun, tanpa memandang perbedaan suku, agama dan ras, pada hakikatnya sama, bahwa setiap manusia di alam bawah sadarnya membutuhkan rasa aman sehingga membutuhkan sandaran filosofis. Thanks a bunch, Dr. Fokky!
_
'Flash Blogging' UAI #posted @suaranusantara.co Falsafah Pancasila: Memaknai Eksistensi dengan Kesadaran - Kajian sila-sila bernilai universal dan pendampingan teroris Dr.Fokky Fuad, Prodi Hukum UAI
Buku ini memuat tulisan dari blog pribadi Mark, markmanson.net, yang merupakan kumpulan gagasan dan argumentasinya yang disampaikan secara lugas dan terstruktur.
'The Subtle Art of Not Giving A F*ck' (2018), adalah buku pertama karya blogger asal New York, Mark Manson, yang menjadi best seller di The New York Times dan Washington Post. Buku 247 halaman ini membahas tentang pemikiran Mark yang menarik dan sangat mengesankan bagi para pembacanya.
Buku ini juga memuat cerita tentang pengalaman pribadi serta beberapa tokoh, yakni Charles Bukowski, Dave Mustaine, dan William James.
Bab 1 menuturkan kisah Charles Bukowski, yang terkenal sebagai penulis novel dan puisi yang sukses. Penjualan hasil karya Bukowski mencapai lebih dari 2 juta kopi. Bahkan popularitas yang ia raih melampaui ekspektasinya sendiri.
Tidak ada yang menduga bahwa seorang pecundang, pecandu alkohol, dan penjudi kronis sepertinya bisa meraih sukses.
Pada batu nisan Bukowski, tertulis "Jangan Berusaha”.
Well, walau telah menjadi sosok yang sangat terkenal, ternyata kesuksesan tidak membuatnya berubah. Bukowski masih sama saja seperti dulu, sebelum ia populer.
Mark ingin menyampaikan pesan, agar kita jujur terhadap diri sendiri dan menerima siapa kita. Jangan sampai kesuksesan mengubah kita.
Bukowski adalah tokoh yang paling tepat untuk mengantar pembaca dalam memahami jalan pikir Mark. Penulis mengupas tentang hal sebenarnya dari kisah sukses orang terkenal dan mengajak para pembaca untuk memandangnya dari persepektif yang berbeda.
Bab lainnya mengisahkan tentang tokoh musisi Dave Mustaine dan Pete Best. Mereka bernasib sama karena dipecat dari band masing-masing. Mustaine setelahnya memiliki karir yang lebih baik, sedangkan Best mengalami depresi. Namun selanjutnya Pete Best meraih kehidupan yang lebih bahagia dengan menekuni genre musik heavy-metal dan berhasil mencapai kesuksesan.
Mengapa demikian? Hal tersebut karena nilai-nilai hidup yang mereka pegang. Dave Mustaine ternyata hanya terfokus pada tujuan untuk mengalahkan band yang telah 'mengeluarkannya, dan upayanya ini gagal.
Sementara Pete Best berhasil mengubah nilai yang ia pegang dengan mengukur kembali hidupnya dengan cara pandang yang berbeda.
Best menyadari bahwa apa yang terjadi padanya pada masa lalu telah mengantarnya kepada sang kekasih hati. Ia menikah, dan menjadi seorang ayah. Best memandang bahwa apa yang ia miliki jauh lebih berharga daripada ketenaran dan nama besar.
Lewat bukunya, Mark Manson memberi pelajaran agar kita dapat memahami batasan-batasan dan menerimanya, dan tentang bagaimana batasan-batasan itu justru dapat menjadi sumber kekuatan.
Salah satu seni bersikap masa bodoh yang Mark maksudkan adalah bahwa, entah disadari atau tidak, setiap orang selalu memilih suatu hal untuk mereka perhatikan.
Dari buku ini, siapapun dapat belajar bahwa masa bodoh sebenarnya bukan acuh (cuek), tapi 'nyaman saat jadi orang yang berbeda'. Jad pada prinsipnya, saat menghadapi hal-hal sulit, kita mesti dapat menikmatinya.
Masa bodoh atau cuek adalah cara paling praktis untuk mengarahkan kembali semua harapan, dengan memilih antara yang penting dan tidak penting, yang kemudian menjadi fokus perhatian.
Buku ini berbeda dengan buku motivasi pop, karena tidak ada teori mencapai sesuatu, tapi lebih menekankan pada bagaimana kita bisa belajar dari tokoh-tokoh dalam rangkaian cerita.
Mereka memilih fokus ke hal-hal penting saja. Sementara hal-hal yang tidak penting, yang tidak membawa nilai, dibiarkan berlalu.
_
#published @suaranusantara.co Mark Manson: ‘Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat’
#reposted @kompasiana