Nenek Minah mengakui perbuatannya mengambil 3 biji buah kako untuk ditanam di lahannya, karena tidak punya uang untuk membeli bibit. Terdakwa juga mengakui perbuatan tersebut adalah pertama kali ia lakukan dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.
Persidangan berlanjut pada tahap tuntutan dari jaksa penuntut umum, yang mendakwanya dengan perbuatan tindak pidana pencurian pasal 362 KUHP, yakni:
“Barang siapa mengambil sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimilikinya sendiri secara melawan hukum,diancam karena pencurian dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”
Ketua Majelis Hakim, Muslih Bambang Luqmono SH, menunjukkan sisi kemanusiaan dengan memberikan keringanan putusan atas sanksi terhadap Nenk Minah. Hal ini hakim menunjukkan kapasitas hakim untuk memenuhi Pasal 5 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman. Dalam hal ini, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dalam perkara Nenek Minah, hakim menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) bulan 15 (lima belas) hari dengan ketentuan pidana tersebut tidak perlu dijalani. Putusan ini telah mencerminkan prinsip kemanusiaan. hakim saat memutuskan perkara. Dari putusan ini juga terlihat jiwa hakim, yang bahkan meneteskan air mata tanpa menyembunyikan perasaannya saat membacakan putusan.
Positivisme – Pemisahan Antara Aturan Hukum dan Moral
Hukum pidana di Indonesia masih menganut aliran Positivisme. Hal ini secara eksplisit tertuang dalam pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa tidak dapat memidanakan seseorang sebelum ada undang-undang yang mengaturnya (asas legalitas). Pasal 1 ayat (1) KUHP menentukan bahwa, dapat dipidana atau tidaknya suatu perbuatan tergantung pada Undang-Undang yang mengaturnya.
Jadi ketika kasus serupa terjadi tapi ada perbedaan yang besar antara putusan pengadilan yang satu dengan lainnya, dalam kurun waktu yang tidak terlalu berbeda, tapi yang satu telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Maka kemungkinan inilah yang harus menjadi pertimbangan, guna mempertahankan kepastian hukum.
Jadi perbuatan pidana yang dapat dipertanggungjawabkan ialah yang tertuang dalam hukum positif. Selama hukum positif tidak mengaturnya, maka perbuatan tersebut bukan perbuatan pidana dan tidak bisa meminta pertanggungjawaban hukum pelaku tindak pidana
Demi kepastian dan penegakan hukum Indonesia di masa kini dan mendatang, sudah selayaknya untuk menjaga konsistensi putusan hakim. Dalam hal ini antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim yang lainnya dalam kasus serupa yang telah menjadi putusan hakim.
Jadi ketika kasus serupa terjadi tapi ada perbedaan yang besar antara putusan pengadilan yang satu dengan lainnya, dalam kurun waktu yang tidak terlalu berbeda, tapi yang satu telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Maka kemungkinan inilah yang harus menjadi pertimbangan, guna mempertahankan kepastian hukum.
_
#RJ117
UAI Writers-Students Group #posted @suaranusantara.co Kasus Nenek Minah dari Perspektif Positivisme Hukum