Novelet: Can My Last Name Be Karovich?

Penulis: Bernadeta Dheswita Puspitasari

Jumlah Kata: -+ 12000

Blurb

7 tahun yang lalu, Sean yang masih berusia 17 tahun mengenal seorang gadis berusia 12 tahun bernama Ara. Gadis itu emosional dan pikirannya acak, tetapi gadis itu adalah teman Sean yang paling menyenangkan—meski kerap kali membuatnya kesal. Namun Sean terpaksa harus pergi dari desa—dan pergi ke ibu kota. Ara yang kesepian itu merasa sangat terpukul dengan kepergian Sean.

Ara pergi ke ibu kota sendiri—kabur dan tidak memberi tahu siapa pun yang ada di desa. Ara berencana mencari Sean di ibu kota. Ya—Ara berhasil bertemu Sean—yang bersama tunangannya, Zeline. Ara merasa sangat hancur, di desa dia selalu merasa menderita dikarenakan orang-orang di sekitarnya. Kini sumber kebahagiaan yang dia cari-cari selama ini berujung pada rasa sakit. 

Hingga datanglah Reiza, adik Sean, mengajaknya untuk memecahkan misteri dari Rumah Beuaregard—rumah kosong yang rumornya sudah menyebar luas di ibu kota. Akhirnya, Ara menemukan jawaban dari misteri Rumah Beauregard—sekaligus mendapatkan Sean. 

Bab 1

Desa Verte, tahun 1741.

        Aralena Abely Chevalier, gadis  emosional yang sulit ditebak. Dia masih berusia 12 tahun, anak yang ingin selalu mencintai segala hal, tetapi tidak bisa mengontrol suasana hatinya. Banyak hal yang dipikirkannya. Dia adalah anak yang kreatif, hanya saja dia sering dianggap aneh. Menjadi diri sendiri adalah hal terpenting baginya, terkadang karena prinsip itu dia menjadi seenaknya sendiri. Sedikit orang yang bisa menangani gadis ini, atau bahkan hanya satu dua orang saja yang mampu mengatasinya.

        Aralena lebih suka dipanggil Ara. Ara memiliki paras yang cantik dan cukup unik dibandingkan teman-temannya. Kulitnya putih bersih dengan iris mata berwarna abu-abu. Rambutnya panjang bergelombang berwarna pirang gelap. Kedua tangannya menggunakan gelang anyaman warna-warni yang terbuat dari benang wol, Ara membuatnya sendiri. Ara kerap kali mengenakan atasan blus tani dan rok sepanjang lutut.

Ara adalah anak yatim piatu. Ayahnya bercerai dan pergi entah ke mana, sedangkan ibunya belum lama ini meninggal karena penyakit. Kini dia tinggal bersama bibinya, di rumah peninggalan ayahnya yang kaya. Ayahnya yang telah pergi itu mempunyai kesadaran diri untuk menyerahkan rumah itu kepada anak istrinya. Tinggal dengan bibinya merupakan hal paling menyebalkan bagi Ara.

        Sore ini Ara ingin bermain biola kesayangannya yang dia beri nama Aleen. Kamarnya sangat berantakan oleh buku, kanvas, dan cat lukis. Ara sudah nyaman dengan kamarnya yang berantakan ini. Bahkan dia pernah berkata bahwa kamar yang berantakan adalah 'seni' dan kamar yang rapi itu membosankan. Mencari suatu benda di kamarnya ini menjadi tantangan, tetapi Ara menyukainya.

        Ara memposisikan biolanya dan mulai bermain. Bukan hanya bermain biola dengan asal dan merusak telinga, tetapi Ara juga bermain biola sambil berdiri di atas kasurnya. Pintu kamarnya terbuka lebar. Ara dengan percaya diri memainkan nada yang fals sambil menutup matanya. Sampai tiba-tiba ada yang mengganggu kesenangannya.

        Bibinya datang, Ara yang bermain sambil menutup matanya itu belum menyadari kedatangannya. Bibinya mendekati Ara, menarik tangannya sampai Ara turun dan hampir terjatuh. Bibinya mengambil biola beserta busurnya dengan paksa. Ara awalnya bingung kenapa biolanya tiba-tiba ditarik. Lalu mata Ara terbuka lebar ketika melihat cara bibinya memegang biola itu dengan sembrono.

        “Bibi! Jangan pegang seperti itu! Senarnya bisa putus-”

        “Jika ingin bermain, bermainlah dengan benar, anak gila! Apa kau tidak tahu permainanmu itu bisa menghancurkan telingaku, hah?!” hardik Maurel sambil menjauhkan biola itu dari Ara yang ingin menggapainya.

        Ara sempat terdiam dengan mata berkaca-kaca dan wajahnya marah. Dia ingin marah sekaligus menangis, Ara tidak akan bisa menahan emosinya itu.

        “Aku benci Bibi! Bibi selalu membuatku kesal!” teriak Ara sejadi-jadinya. Maurel syok mendengarnya.

        Ara langsung kabur, keluar dari kamarnya, menuruni anak tangga dan keluar dari rumah ini. Dia berlari menuju hutan sambil menangis. Ara hanya berlari tanpa arah dan terus masuk ke hutan. Hingga akhirnya Ara tersandung dan jatuh. Lututnya lecet, tetapi dia masih ingin berusaha bangkit berdiri dan terus berlari. Ara mulai kelelahan dan akhirnya bersandar di sebuah batang pohon besar. Ara tidak sanggup berdiri, dia mulai duduk sambil menekuk kedua lututnya dan menutupi wajahnya yang masih dibanjiri air mata. 

        Sementara itu, Maurel baru saja keluar dari rumah dan menengok kesana kemari mencari Ara. Wajahnya tidak menunjukkan kekhawatiran, hanya kemarahan. Akhirnya Maurel melihat ada pemuda lewat di depan rumahnya, Maurel mendekat dan mencegatnya.

        “Hei, Nak, bantu aku mencari gadis aneh itu!” pinta Maurel seenaknya. Dia bahkan tidak menggunakan kata tolong.

        “Maaf?” pemuda itu masih bingung dengan Maurel yang tiba-tiba meminta pertolongan dengan sedikit memaksa dan tidak sopan,

        “Gadis aneh, tentu saja Ara! Bagaimana bisa kau tidak tahu?! Cepatlah, aku mencari ke arah sana!” kata Maurel dengan nada menyebalkan, tetapi pemuda itu berusaha tenang. Akhirnya Maurel meninggalkan pemuda itu.

        Pemuda itu masih bingung. Hingga akhirnya dia melihat ke bawah dan menemukan jejak kaki di tanah yang basah. Dia mengikuti jejak kaki itu dan berakhir di tepi hutan, jejak kakinya mulai samar. Dia melihat ke depan, sepertinya dia merasa bahwa Ara pergi ke sana. Tanpa pikir lama lagi pemuda itu masuk ke wilayah pepohonan dan berjalan lurus.

        “Kenapa … apakah aku seburuk itu … apakah aku benar-benar tidak berbakat … apalagi yang bisa aku lakukan selain bermain biola ….” gumam Ara sambil mencabut-cabuti rumput-rumput yang ada di dekatnya. Dia sudah tidak menangis lagi, tetapi kemurungan menyelimuti wajahnya.

        Terdengar suara langkah kaki yang menginjak dedaunan kering. Ara masih mencabuti rumput, entah dia memang tidak mendengarnya atau memang sengaja tidak mengindahkannya. Namun Ara melirik ke depan, dia melihat seorang pemuda berusia 17 tahun mendekatinya. Ara tidak melihatnya kembali dan bodoh amat dengan pemuda itu.

        Sementara pemuda itu terlihat lega dari tatapan matanya. Akhirnya dia menemukan Ara. Dia mendekat dan duduk di samping Ara. Dia memperhatikan Ara dengan saksama, mulai dari wajahnya, lalu ke tangannya yang dihiasi gelang anyaman, hingga ke lututnya yang terluka. Pemuda itu hanya melihat sebagian lutut Ara yang lecet karena sebagiannya lagi tertutup roknya. Pemuda itu segera membuka tas kulit cangklongnya dan mengeluarkan obat untuk luka luar. Pemuda itu mendekati Ara, ingin mengobatinya. Sedangkan Ara masih terdiam menatap heran. Pemuda itu akhirnya menghela napas dan menaikkan sedikit rok Ara.

        “A-a-apa yang kau lakukan?!!” Ara langsung berteriak histeris. Dia meraih ujung roknya dan langsung menutupi kembali lututnya dengan ketakutan. Sekali lagi pemuda itu menghela napas, Ara telah salah paham kepadanya.

        “Kau tahu ini apa?” tanya pemuda itu dengan serius, menunjukkan obat oles yang masih di dalam wadahnya. Lalu dengan wajah polosnya, Ara menggelengkan kepalanya.

        “Ini obat untuk lututmu itu. Tidak usah berpikir aneh-aneh, aku tidak tertarik pada anak kecil.” cetus pemuda itu dengan tegas dan wajah yang datar.

        Akhirnya Ara pasrah dan membiarkan pemuda itu mengobati lukanya. Pemuda itu membuka wadah kaca obat itu dan mengambilnya sedikit dengan jarinya. Setelah itu pemuda itu mengoleskannya secara perlahan di bagian lutut Ara yang terluka. Ara dengan kagum memperhatikan wajah tampan pemuda itu. Rambut yang hitam, iris mata coklat, dan kulitnya yang kuning langsat.  Muncul kebingungan yang terlihat dari tatapan mata dan ekspresi Ara. Tanpa dia sadari pemuda itu sudah selesai mengobatinya.

        “Apakah kau mau menculikku?” tanya Ara dengan nada seolah-olah menawari, bukan ketakutan.

        “Untuk apa aku menculikmu.” jawabnya datar. Setelah itu dia bangkit berdiri.

        “Cepatlah kembali. Bibimu mencari.” katanya dengan nada yang tegas. Seolah dia hanya peduli Ara untuk kembali saja dan tidak mempertimbangkan perasaannya.

        Ara mencekal tangan kanan pemuda itu, “Tidak- maksudku- aku ingin kau menculikku!”

        Pemuda itu terdiam, mencerna apa yang baru saja dikatakan Ara. Setelah itu baru dia menunjukkan ekspresi heran sekaligus terkejut.

        “Maaf?” tanya pemuda itu tidak yakin dengan apa yang didengarnya.

        “Kumohon! Bawa aku bersamamu!” seru Ara dengan wajah memelasnya. Ara masih mencekal tangan pemuda itu dengan kuat. Pemuda itu justru semakin terheran-heran apa maksud Ara.

        “Kau mengenalku?” tanya pemuda itu, menatap Ara dengan serius.

        Ara dengan wajah polosnya itu menggelengkan kepalanya.

        “Kau tahu namaku?” tanya pemuda itu sekali lagi.

        Ara menggeleng lagi.

        “Kau- kau baru saja mengatakan, kau ingin diculik oleh orang asing?” pemuda itu bertanya dengan lebih serius.

        Ara akhirnya mengangguk.

        Pemuda itu sempat terdiam kembali. 

Apa yang dipikirkan anak ini?

        “Beruntung aku yang datang. Jika kau mengatakan itu pada laki-laki atau pria lain, entah apa yang sudah terjadi kepadamu.” kata pemuda itu dengan datar. Dia masih tidak memahaminya, tetapi dia beranggapan saja bahwa Ara hanya bercanda.

        “Cepatlah kembali-”

        “Jadi kau … disuruh untuk membawaku kembali?” Ara mulai menunjukkan wajah kecewa. Namun pemuda itu tidak menyadarinya.

        “Ya.” jawabnya singkat. Pemuda itu menarik tangannya dari cekalan Ara yang mulai longgar.

“Kau jahat! Kau hanya datang karena bibiku menyuruhmu! Jahat, jahat, jahat! Aku pikir kau berbeda, ternyata sama saja!” rengek Ara, air matanya mulai menetes kembali. Dia mencabut rumput dan melemparkannya pada pemuda itu, dia mengulanginya beberapa kali.

Pemuda itu mengernyitkan dahinya, mulai kesal. Hingga akhirnya Ara mencecar kakinya beberapa kali dengan tangan kosong. Pemuda itu akhirnya mencekal kedua tangan Ara dan memaksanya berdiri. Dia menatap Ara dengan tatapan penuh marah. Ara mulai ketakutan, tidak menyangka bahwa pemuda itu akan semarah ini.

“Jika aku disuruh, aku tinggal mengikat dirimu dan membawamu paksa.” tekan pemuda itu, berhasil membuat Ara bungkam.

Ara mulai gemetar. Dia perlahan menarik tangannya dan menunduk,“A-aku hanya … kesal … tidak ada yang peduli denganku … aku tidak mau dikasihani ….”

“Aku mengobati lukamu. Itu kau sebut tidak peduli?” pemuda itu menekankan suaranya kembali, masih kesal dengan Ara.

“M-maaf ….” Ara meminta maaf dengan suara yang lirih. Dia masih tidak berani menatap mata pemuda itu.

“Aku hanya … hanya ingin teman mengobrol ….” akunya. Sangat jarang ada yang mengajaknya mengobrol semenjak ibunya meninggal.

Pemuda itu menghela napas. Dia duduk kembali di rerumputan. Dia menatap Ara dan menepuk-tepuk tanah di sampingnya, mengajak Ara untuk duduk. Ara paham dan dengan ragu-ragu ikut duduk, dia cukup kesulitan untuk duduk karena lututnya masih terluka.

“Namaku Sean Karovich, 17 tahun.” ucapnya memperkenalkan diri. Dari cara bicaranya dia sudah mulai tenang, ketakutan Ara jadi berkurang.

“Aku-”

“Aku sudah tahu.” katanya memotong ucapan Ara.

“Pasti karena orang-orang membicarakan aku ini aneh ‘kan? Kau jadi tidak asing dengan namaku ….” lagi-lagi Ara mulai berpikiran yang tidak-tidak. Dari banyaknya kemungkinan, dia menduga bahwa kemungkinan buruk yang terjadi.

Sean hanya terdiam, sepertinya memang benar bahwa dia tahu Ara tahu karena orang-orang di desa membicarakannya. Sean masih memilih untuk tetap diam. Dia hanya ingin memberi tahu Ara secara tersirat bahwa dia tidak suka dengan pembicaraan itu. Sean tidak suka dengan orang yang tidak percaya diri.

“Ah, omong-omong, apakah kau bukan orang asli sini? Nama depan dan nama belakangmu terdengar asing!” tanya Ara, suasana hatinya telah berubah sangat cepat. Kini dia ceria kembali, merasa senang bisa mengobrol dengan orang lain.

“Benar.” jawab Sean dengan datar. Sean menatap Ara dengan menyilangkan kedua tangannya.

“Pantas saja aksenmu terdengar berbeda!” ujar Ara dengan antusias.

“Apakah itu baik atau buruk? Sean bertanya apakah itu sebuah pujian atau bukan.

“Tentu saja baik! Aku menyukai aksenmu itu!” serunya sambil tersenyum lebar. Sean sempat terpana dengan senyuman Ara. Namun Sean segera tersadar dan kembali berwajah datar.

“Terima kasih.” ucap Sean, dia terlihat agak senang dengan pujian Ara.

Tiba-tiba suasana menjadi hening kembali. Ara mengalihkan pandangannya dari Sean karena merasa malu, bingung apalagi yang ingin dia katakan. Tiba-tiba Ara yang ada di samping Sean itu membelakanginya. Ara mengambil posisi tidur dan menggunakan paha Sean sebagai bantal. Sean sedikit terkejut dengan tingkah Ara. Sean menunduk, melihat wajah Ara yang sedang memandangi wajahnya dari bawah.

“Hm, dari sudut pandang ini pun kau masih terlihat tampan,” gumamnya sambil meraba wajah Sean. Saat ini Sean terlihat kesal, tetapi dia berusaha memaklumi tingkah bocah berusia 12 tahun ini.

“Sepertinya aku jatuh cinta.” kata Ara dengan wajah polos yang serius. Sean terkejut, bagaimana tidak? Ara masih berusia 12 tahun sedangkan dirinya 17 tahun.

“Sebaiknya kau menjaga kata-katamu.” kata Sean memberi penekanan. Dia mencekal tangan Ara dan menjauhkannya dari wajahnya.

“Apakah kau membenciku?” tanya Ara, suasana hatinya berubah kembali. Kemurungan menghinggapi wajahnya. Matanya memelas dan berkaca-kaca kembali.

“Tidak.” jawab Sean dengan singkat.

“Kalau begitu berarti aku jelek …,” gumam Ara mulai berpikiran negatif lagi.

Sudah kesekian kalinya Sean menghela napas, “Aku tidak mengatakan itu.”

“Jangan seenaknya menebak apa yang orang lain pikirkan tentangmu.” tekan Sean. Dia berusaha bersabar mengatasi bocah yang selalu berpikir negatif ini.

Ara secara perlahan bangkit dan duduk kembali. Dia jadi ketakutan kembali. Bagaimana tidak? Saat ini Ara sedang berhadapan dengan laki-laki berusia 17 tahun. Seharusnya dia lebih berhati-hati. Laki-laki bisa sangat mengerikan ketika marah.

“Maaf-”

“Kali ini aku tidak akan memaafkanmu begitu saja.” Sean memotong Ara dengan tegas. Ara jadi takut untuk membuka mulutnya lagi.

Sean bangkit berdiri dan membelakangi Ara, “Pulang dan minta maaflah pada bibimu. Setelah itu akan kumaafkan.”

Ara sempat terdiam. Baginya, meminta maaf pada bibinya yang tak pernah mencoba memahami dirinya itu adalah hal yang sangat berat.

Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mau kehilangan Kak Sean!

“Kau tidak sanggup?” tanya Sean, menatapnya hingga mengagetkan Ara dari lamunannya.

Ara bangkit perlahan dengan lututnya yang masih sakit, “Aku sanggup!”

Langit mulai gelap. Sean mengantar Ara keluar dari hutan bersama-sama. Ara tersenyum sepanjang perjalanan, senang karena merasa bahwa mereka ini seperti berteman.

Tiba-tiba Ara terpikirkan sebuah pertanyaan: Apakah aku dan Kak Sean berteman?

“Apakah kau mau jadi temanku?” Ara bertanya sambil terus mengikuti Sean di sampingnya.

“Kita sudah jadi teman.” jawabnya tanpa melirik Ara.

“Eh? Benarkah? Sejak kapan?” Ara bertanya dengan antusias. Dia berjalan lebih dekat dengan Sean.

“Sejak aku menyebutkan namaku.” jawabnya singkat dengan wajah datar. Namun jawaban itu membuat wajah Ara berseri-seri. 

Masih perlu menempuh jarak hingga sampai ke rumahnya, Ara membombardir Sean dengan banyak pertanyaan dan komentarnya tentang sesuatu yang acak. Sebagian besar memang bukan hal yang penting untuk dilontarkan. Namun Sean hanya menjawab segala pertanyaan Ara dengan tenang.

"Kapan-kapan aku akan main ke rumahmu ya! Maukah kau memberi tahu di mana rumahmu?"

"Benarkah kau sudah tinggal di sini beberapa tahun?! Kenapa aku merasa sangat asing dengan wajahmu?! Ah, sebenarnya aku juga asing dengan wajah tetanggaku! Lagipula untuk apa aku mengingat wajah orang yang menganggap aku aneh 'kan?"

"Sepertinya kita cocok! Aku akan mengingat wajah, bentuk, dan tinggi badanmu dengan detail!"

"Hmmm, walau kau tadi hanya sedikit bicara, tetapi aku memperhatikan mulutmu dengan baik! Kau punya gigi yang rapi! Aku suka gigimu!"

"Sebenarnya aku suka semuanya, hehe!"

***


Bab 2

Ara sampai di rumahnya tepat ketika matahari tinggal setengah lagi akan terbenam. Maurel berterima kasih pada Sean. Ketika Sean pergi Ara melambaikan tangannya dengan wajah berseri. Setelah Sean sudah tidak terlihat lagi Maurel melirik kesal pada Ara yang bisa-bisanya tersenyum lebar setelah berteriak padanya sebelumnya. Akhirnya Ara teringat bahwa dia harus meminta maaf pada bibinya.

Ara mengumpulkan tekadnya untuk meminta maaf pada bibinya yang dia anggap menyebalkan ini, “Bibi, aku-”

Plak. 

Maurel menampar pipi kiri Ara. Membuyarkan Ara yang ingin meminta maaf. Ara menutup pipi kirinya lalu menatap mata bibinya. Maurel sangat murka, selain berkata tidak sopan Ara juga membuatnya kerepotan mencari di segala tempat sampai akhirnya ketemu. Ara masih terdiam dengan wajah yang akan menangis.

“Anak merepotkan! Ibumu pasti lebih memilih mati daripada harus mengurus anak aneh dan menyebalkan sepertimu!” ketus Maurel. Semarah-marahnya, dia tidak sepatutnya mengatakan itu apalagi pada anak berusia 12 tahun yang baru saja kehilangan ibunya.

“Aku muak! Memang benar orang sepertimu tidak layak menerima permintaan maaf!” teriak Ara, air mata membanjiri matanya.

Ara berlari ke dalam rumah, menaiki anak tangga, memasuki kamarnya dan mengunci pintunya. Ara langsung menuju kasurnya dalam posisi tengkurap. Dia menangis dengan menutupi wajahnya dengan bantal. Kedua tangannya menggenggam sprei dan menarik-tariknya, bentuk pelampiasan dari kekesalan Ara. Sangat mengecewakan, padahal dia sudah memantapkan niat untuk meminta maaf, tetapi bibinya justru mengatakan hal yang jahat tentang ibunya.

Aku benci! Benci, benci, benci! Bibi tidak punya hati! Bibi bukan manusia!

Ara sangat kesal dan mengatai bibinya itu dalam hatinya. Hingga akhirnya karena emosinya meluap, Ara pun lelah dan tertidur lelap. Bahkan ketika bibinya berteriak untuk memanggilnya makan malam, Ara tidak terbangun saking nyenyaknya. Ara tertidur dengan wajah yang menggemaskan.

***

Masih pukul 4 pagi, Ara dibangunkan oleh rasa lapar. Secara perlahan dia bangkit berdiri dan duduk di tepi ranjangnya. Dia diam sejenak untuk mengumpulkan kesadarannya terlebih dahulu. Setelah dirasa cukup, Ara bangkit berdiri dalam kondisi kamar yang gelap gulita. Ara menuju meja, dia sudah hafal tempatnya. Ara mencari lampu minyak dan korek api kayu yang ada didekatnya. Ara mengangkat kaca corong lampu, menyalakan korek dan menyulutnya pada sumbu lampu. Menyala dengan baik, Ara memasang kembali corong lampunya.

Ara mengambil satu gelang anyaman buatannya dan menyimpannya di dalam saku. Ara membawa lampu minyak itu bersamanya keluar kamar. Ara mengendap-endap menuruni tangga. Hingga akhirnya dia pergi ke pintu utama, membuka kuncinya, dan keluar dari rumah ini. Ara lega karena bibinya tidak terbangun. Setelah itu Ara pergi mencari sesuatu sendirian tanpa rasa takut. Wajahnya seolah sedang memikirkan sesuatu untuk dilakukan, sepertinya itu hal yang menyenangkan.

***

Sementara itu, mari beralih pada Sean Karovich. Sean sendiri juga sudah bangun. Kini dia duduk menghadap meja belajarnya yang tersedia dua lampu minyak, secangkir kopi. pensil, dan beberapa kertas bergambarkan rancangan patung. Wajah Sean sangat serius, dia sedang memikirkan patung bentuk apa yang akan dia buat. Kebanyakan patung buatan Sean termasuk aliran realisme. Sean suka mengamati hal-hal yang nyata dan dia berbakat dalam membuat patung yang bentuknya persis dengan benda aslinya. Namun saat ini ayahnya ingin Sean membuat patung abstrak yang masih sangat asing baginya.

Sean tinggal sendiri di rumahnya. Ayahnya menjual patung di ibukota, sedangkan ibunya sudah meninggal karena penyakit. Mereka merupakan keluarga yang terbilang miskin, maka dari itu Sean sudah mulai membuat patung kayu sejak umurnya 12 tahun. Sean tipe orang yang harus mengamati benda dengan baik agar bisa membuat sebuah patung. Membuat patung abstrak yang dalam dunia nyata tidak pernah ada wujudnya, sangat sulit bagi Sean.

“Hm, dari sudut pandang ini pun kau masih terlihat tampan,”

“Sepertinya aku jatuh cinta.”

Sean teringat dengan ucapan yang dikatakan Ara. Walau pikirannya percaya bahwa itu hanya ceplosan asal seorang bocah, tetapi kenapa Sean teringat dengan yang dikatakan Ara? Sean menepuk jidatnya, menyadarkan diri dari lamunannya sendiri.

Tidak tidak, apa yang aku pikirkan? Ara hanya anak kecil.

Seumur hidup belum pernah ada yang mengatakan kata ‘cinta’ atau bahkan ‘suka’ kepada Sean. Dingin, tidak ekspresif, tegas, terlalu serius, dan membosankan, itu yang orang lain lihat pada diri Sean. Namun Sean tidak mengindahkannya, memang itu kepribadianku, untuk apa aku mengubahnya demi orang lain?

Sean memang orang yang apatis, tetapi tidak ada yang tahu bahwa dia juga memiliki sedikit sisi melankolis. Sekalinya Sean kepikiran dengan sesuatu, dia akan kesulitan untuk melupakannya. Apalagi Sean ini tipe laki-laki yang tegas tetapi ‘polos’. Mungkin seorang anak kecil seperti Ara telah menyentuh hatinya? Namun Sean sepenuhnya sadar bahwa Ara masih 12 tahun dan dirinya berusia 17 tahun. Hei, bukankah itu terdengar mengerikan? Meski begitu Sean hanya menganggap Ara seperti adiknya.

Lupakan bocah itu. Urusanku di sini belum selesai.

***

Dua jam telah berlalu dan ide Sean masih buntu. Secangkir kopi di mejanya pun sudah habis. Sean membanting penanya di atas kertas kosong, lelah berpikir keras bentuk patung apa yang akan menarik orang-orang. Mata Sean berkedip beberapa kali, menunjukkan dia sudah lelah berpikir. Kenapa sesulit ini?

Sean bangkit berdiri dan membuka jendela kamarnya. Sekarang sudah pukul 6, matahari mulai terbit dan menerangi kamarnya. Sean keluar dari kamarnya, membuka jendela-jendela di berbagai ruangan yang ada. Beberapa patung kayu terpajang di rumah ini. Sebagian besar patung yang ditinggalkan di rumah ini merupakan patung yang menyimpan kenangan bagi Sean. Misalnya patung kucing yang ada di ruang tamu, itu merupakan patung yang pertama kali dibuat Sean bersama ibunya ketika berusia 12 tahun.

Sean ingin menyegarkan pikirannya, dia beranjak menuju pintu keluar utama. Begitu membuka pintu, Sean dikejutkan oleh kedatangan seseorang. Kenapa bisa ada orang di depan rumahku? Begitu batinnya. Sean mendapati Ara tertidur bersandar pada dinding. Ara tertidur dengan sebuah buket bunga aster di genggaman tangannya. Sean dengan ragu mendekat dan berlutut dengan salah satu kakinya. Sean menepuk-tepuk pundak Ara.

“Mmh? Kak Sean …? Kenapa aku ada di sini ...?” racau Ara masih berusaha membuka matanya.

Seharusnya aku yang bertanya.

“Bangunlah.” ujar Sean merasa tidak sepantasnya Ara tertidur di depan rumahnya.

Ara telah sepenuhnya sadar, “Ah aku ingat, aku yang datang sendiri ke sini!” katanya sambil tersenyum lebar tanpa rasa bersalah.

Sean bangun berdiri dan menawarkan sebuah uluran tangan untuk membantu Ara ikut berdiri. Ara menerima tawaran itu dengan tangan kanannya, tangan kirinya masih membawa buket bunga aster. Setelah bangkit berdiri, Ara menggenggam buket bunga itu dengan kedua tangannya dan menyodorkannya pada Sean.

Sean sempat terdiam sejenak karena tingkah Ara yang sangat mendadak. Awalnya Sean menatap mata Ara, dia mendapati sebuah tatapan antusias seperti kucing yang ingin menghadiahkan majikannya seekor tikus hasil buruannya. Tatapan Sean kini menuju buket bunga itu. Sebuah buket bunga yang terbilang asal-asalan dalam membuatnya. Bunga-bunga disusun panjang pendek, sehingga terlihat tidak rapi. Bunga-bunga itu diikat dengan pita berwarna putih.

“Aku merangkai buket bunga ini untukmu!” seru Ara dengan wajah berseri-seri seperti kemarin.

Bukannya senang, Sean justru menghela napas.

Itu bunga aster yang kutanam di belakang rumahku.

Sean tidak berkomentar apa pun dan menerima saja, “Terima kasih.”

“Sama-sama! Coba lihat apa yang aku sembunyikan di dalamnya!” pinta Ara dengan antusias karena buket bunga itu sudah ada di tangan Sean.

Sean menatap bunga buket itu. Salah satu tangannya meraba-raba di antara celah bunga-bunga mencari sesuatu. Sean menemukan sebuah gelang anyaman yang dibuat dari benang wol berwarna hitam dan putih. Sean tidak tahu harus menanggapi bagaimana atas gelang anyaman yang dia terima itu.

Ara menunjukkan tangan kirinya, “Lihat, aku juga memakai gelang dengan warna yang sama!”

“Aku akan menyimpannya dengan baik.” jawab Sean menghargai pemberian Ara.

Ara tiba-tiba murung, ekspresinya mendung, “Kau tidak mau memakainya?”

“Apakah gelang buatanku jelek sehingga kau malu untuk memakainya? Atau mungkin kamu tidak sudi mengenakan barang pemberian dariku? Apa kamu-”

“Iya iya, aku akan memakainya.” kata Sean menimpali Ara yang lagi-lagi berpikiran negatif. Dari kerutan dahinya Sean terlihat sedikit kesal.

“Yeay!” seru Ara dengan antusias, dia langsung menggandeng tangan Sean. Sementara itu Sean hanya pasrah membiarkannya.

“Kau menunggu apa lagi? Kau bisa pergi sekarang.” kata Sean merasa sudah tidak ada hal lain yang perlu dibicarakan. Ucapan Sean membuat Ara kesal.

“Kak Sean mengusirku?” Ara bertanya dengan tatapan memelas.

“Apakah kau ada masalah lagi dengan bibimu? Kau sudah minta maaf?” Sean bertanya, mungkin Ara bertengkar lagi sehingga tidak mau pulang.

Ara terdiam sejenak, “Aku sudah minta maaf kok! Aku hanya ingin berkunjung saja!” serunya, berbohong dengan baik.

“Masuklah ke rumahku.” Sean mempersilakan, dia tahu itu adalah pilihan terbaik.

Ara ceria kembali, sambil menggandeng Sean mereka masuk ke dalam. Ketika Sean ingin menutup pintu, Ara langsung melepas tangannya. Dia memperhatikan patung-patung kayu dengan mata berbinar-binar. Sean menghela napas, dia seperti melihat anak kecil yang baru pertama kali melihat patung. Namun Sean tetap diam dan menunggu di ruang tamu sampai Ara puas melihat-lihat.

Ara akhirnya kembali dan berdiri tepat di depan Sean, “Aku ingin kau membuat patung kucing yang memiliki ekor ikan!”

“...”

“Kapan-kapan.” jawab Sean. Dia kaget mendengar patung kucing dengan ekor ikan.

“Baiklah! Omong-omong, aku merasa sangat lapar, hehe,” kata Ara sambil menyentuh perutnya.

“Lalu?” Sean bertanya. Lagipula dia tidak membuka rumah makan atau jasa memasak.

“Aku ingin kau memasakkan sesuatu untukku! Kau mau kan? Aku kemarin malam belum makan.” seru Ara sekali lagi memperjelasnya.

“...”

“Ikut aku ke meja makan.” kata Sean pasrah. Itu jawaban terbaik untuk menghindari Ara yang bisa mengambek kapan saja.

“Yey! Yey! Yey” seru Ara sambil mengikuti Sean yang ada di depannya menuju meja makan.

Mereka sampai di meja makan. Ara menarik kursi dan duduk di salah satu sisi meja. Sean menaruh buket bunga itu dekat tepi meja. Meja makan ini tidak benar-benar kosong, ada beberapa kertas dan amplop yang berantakan, tetapi ruang yang tersedia masih luas. Sean memberi tahu bahwa dia akan membuat roti lapis dan meminta Ara duduk manis selagi dia memasak di dapur.

Ara melirik beberapa amplop yang berantakan itu. Ara mengambil salah satu amplop dan mengeluarkan surat di dalamnya, membacanya, dan menaruhnya kembali. Sepertinya itu amplop yang kurang menarik. Ara mengambil satu amplop lagi dan melakukan hal yang sama. Namun Ara tidak bosan, dia mengambil amplop lagi dan membacanya satu per satu. Ara tidak waspada, dia terlihat santai dan tidak takut ketahuan Sean. Padahal amplop-amplop itu masih tersegel lem, yang artinya Sean sendiri bahkan belum membacanya, tetapi Ara dengan santainya merobek amplop supaya bisa mengeluarkan suratnya.

Ketika Sean datang dengan membawa dua piring roti lapis, dia melihat Ara seenaknya membaca surat-surat dalam amplop tanpa seizinnya. Sean kesal, dia segera menaruh piringnya di meja dan ingin menarik surat yang saat ini sedang Ara baca. Ketika tangan Sean menghampiri, Ara berdiri dan menghindar bersama kertas itu. Bedanya sekarang Ara mengamati surat itu dengan wajah syok.

Ara tiba-tiba menyobek kertas itu menjadi empat bagian. Setelah itu menatap Sean dengan murka, "Jika kau memang ingin pergi, untuk apa berkenalan denganku?!!" teriak Ara dengan mata yang sudah meneteskan air mata. Suasana hatinya benar-benar berputar seratus delapan puluh derajat.

Sean menurunkan tangannya yang tadi ingin merebut surat dari Ara. Sean yang tadinya ingin memarahi Ara, sekarang hanya terdiam dengan wajah bingung. Sean tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi sehingga Ara semarah itu. Sepertinya surat yang baru saja Ara sobek itu memiliki jawabannya.

"Jadi kau senang mempermainkan anak kecil, hah?! Baiklah! Kau sukses melakukannya! Jangan bicara denganku lagi! Menjijikan!" teriak Ara dan melantur dengan kata-kata untuk menyerang, diakhiri dengan umpatan yang kasar.

Ara berlari dengan tangan kosong melewati ruang tamu. Spontan Sean berusaha ingin menghampiri Ara dan ikut berlari mengejarnya. Namun Ara terlanjur sudah membuka pintu dan berlari dari rumah Sean. Ketika Sean berhasil keluar, Ara sudah berlari sangat jauh. Tangan Sean hanya bisa menggapai angin. Perlahan Sean menurunkan tangannya. Sean tidak tahu, pikirannya benar-benar kosong. Dia baru saja gagal dalam menangkap gadis 12 tahun yang habis berteriak kepadanya tanpa alasan yang jelas.

Sean mengambil sobekan surat tadi dan mencoba menyatukannya dengan urutan yang tepat. Sean membaca isinya dengan saksama. Rupanya ini yang membuatnya marah. Itu adalah surat balasan dari ayah Sean. Beberapa hari yang lalu ayahnya mengirim surat bahwa Sean harus segera pergi ke ibukota untuk membantu ayahnya membuat patung. Sean membalas surat itu bahwa dia setuju dan memutuskan untuk pergi ke ibu kota besok. Ayahnya membalas surat Sean, inilah surat yang disobek oleh Ara. Ayah Sean mengatakan bahwa rumah ini akan dibeli temannya dari ibu kota yang akan meninggali rumah ini setelag Sean sudah datang di ibu kota. Ayah Sean menjual rumah ini beserta seluruh properti di dalamnya. Itu membuat Sean tidak bisa tinggal lagi di sini.

Sementara Ara masih terus berlari sambil menangis. Ara berlari dengan sedikit menunduk, sehingga tidak ada yang tahu kalau dia sedang menangis. Aku kira ini takdir baik! Ternyata bukan! Aku benci semua orang, aku benci diriku sendiri! Tidak ada hal baik datang padaku! Dunia membenciku!

***


Bab 3

7 tahun kemudian.

Amour, tahun 1748.

Tepat di hari ulang tahunnya yang ke-19, Ara akhirnya tiba di ibu kota, Amour, untuk pertama kalinya. Ara tumbuh menjadi gadis dewasa yang masih sama cantiknya seperti 7 tahun yang lalu. Kini Ara tidak seemosional dulu, tetapi masih ada kemungkinan emosinya meledak kembali. Dari tampilannya, hanya gaya rambutnya yang berubah, sekarang dia mengepang satu rambut pirang gelapnya itu dengan hiasan pita berwarna putih di bagian atas dan bawah.

Pukul 9 pagi, Ara memasuki jalanan yang mulai ramai. Punggungnya membawa tas besar berisi barang-barang kesayangannya. Melewati jalan bebatuan selebar lima meter yang di sisi kanan dan kiri dipenuhi toko dan barang dagangan yang ditata ke dalam kotak kayu. Sebagian besar pedagang menjual barang sandang atau pangan, tentunya dengan kualitas yang berbeda-beda. Beberapa menjual cenderamata khas Amour yang berupa patung kayu kecil berbentuk kelinci yang merupakan hewan keberuntungan bagi warga ibu kota.

Lalu—ada sedikit bocoran jika ingin berkunjung ke Amour untuk membeli barang yang tidak ada di wilayah lainnya. Perlu diingat orang-orang di ibu kota cukup ‘jahil’ dalam menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan. Jadi, jangan beri tahu jika dirimu bukanlah orang sini atau belum pernah kemari—mereka akan mematok harga dua kali lebih besar dari harga aslinya! 

Itu baru satu keburukan orang-orang di ibu kota. Walau memiliki banyak keburukan yang ‘tak kasatmata’, Amour selalu dipandang sebagai kota paling harmonis dan nyaman yang bisa menarik perhatian orang luar. Namun, kita tentunya tidak bisa menyembunyikan sesuatu dengan sempurna, benar? Apalagi dengan adanya ribuan orang di Kota Amour. Yah—menutup mulut manusia dengan uang seringkali berhasil. Berharap saja ada seseorang yang tak haus akan uang untuk memperbaiki kembali kota ini.

Kembali ke perjalanan Ara di ibu kota. Terdengar dengan jelas seruan pedagang menawarkan barang dagangannya pada orang-orang yang lewat. Ada pedagang yang sedang saling beradu kualitas dagangan mereka dengan suara keras, sekaligus mencari pembeli. Serta ada pembeli yang bersikeras menawar harga yang lebih murah, padahal barang yang dijual sudah dipatok dengan yang paling rendah.

Ara terus berjalan, dia melewati beberapa gang kecil dengan lebar jalan hanya satu meter. Ada beberapa gang yang sepi sekali dan minim cahaya, sebaiknya gang seperti ini harus dihindari. Namun Ara terus berjalan, walau sesungguhnya tidak punya tujuan akan singgah di mana untuk sementara. Ara tidak berpikir dengan matang, dia bahkan tidak memberi tahu bibinya dia pergi ke Amour sendirian—dengan kata lain dia kabur.

“Hei!” seru seorang laki-laki dari belakang, sepertinya yang dia panggil adalah Ara. Dia berusaha mendekati Ara, tetapi dia terus-terusan di terhalangi dan menabrak orang-orang yang lewat. Namun dia tidak menyerah, hingga akhirnya dia bisa menarik pergelangan tangan Ara.

Ara sedikit terkejut, sebab dia tidak punya kenalan di ibu kota, kecuali Sean. Laki-laki itu melepas tangan Ara yang sudah berhenti. Ara berbalik untuk melihat siapakah orang itu. Mata mereka bertemu, laki-laki itu memperhatikan wajah Ara dengan saksama. Hingga akhirnya ada orang yang mendesaknya lagi dan menghancurkan lamunan mereka berdua.

“Apakah kau mengenalku?” tanya Ara dengan wajah polosnya.

“Ah—ya, maksudku—tidak. Aku tidak mengenalmu, tetapi sepertinya kau menjatuhkan ini,” katanya sempat tidak fokus. Dia menyodorkan sebuah gelang anyaman dari benang wol berwarna hitam dan putih.

Ara langsung mengecek pergelangan tangannya yang tidak memakai gelang sama sekali. Eh? Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya?

“Ini milikmu ‘kan?” laki-laki itu bertanya lagi.

“Ya—itu milikku. Terima kasih!” seru Ara lalu mengambil gelang itu dan menyimpannya di saku roknya. Ara memberi salam dengan tersenyum dan membungkukan badannya, setelah itu dia pergi melanjutkan perjalanan tanpa arahnya.

Laki-laki tadi masih terdiam di tempat. Wajahnya yang ramah kini berubah menjadi kalem dan serius seperti sedang memikirkan sesuatu. Kemudian datanglah temannya dan merangkulnya secara tiba-tiba.

“Yo Reiza! Apakah yang tadi itu kenalanmu? Sebaiknya kau mengenalkanku padanya-”

“Bodoh. Aku bahkan tidak tahu namanya.” Reiza langsung memotong kalimat temannya dengan ketus.

“Ah kau ini, menyebalkan.” kesal temannya lalu menarik tangannya dari merangkul Reiza.

“Tetapi aku mempunyai firasat aku akan bertemu dengannya lagi.” kata Reiza tersenyum percaya diri.

Gelang itu memiliki pola anyaman yang unik. Ini kedua kalinya aku melihat gelang dengan pola anyaman seperti itu, juga dengan warna yang sama.

***

Ara tidak tahu harus pergi ke mana. Dia sudah berkeliling di ibu kota mencari penginapan yang murah tetapi tak menemukannya sekalipun. Rata-rata penginapan di ibu kota memang mahal. Sayangnya Ara tidak mau membuang-buang uangnya hanya untuk menginap. Kalau begini aku tidur di luar saja! Begitu pikirnya, tetapi cukup berisiko bagi gadis cantik seperti Ara untuk tidur di luar, apalagi banyak orang yang berlalu-lalang di daerah ibu kota.

Ara beristirahat sejenak dengan menepi dari jalan, dekat sebuah kios yang menjual patung. Berbagai jenis bentuk patung kecil dari bahan kayu terpajang dengan rapi. Seorang pria paruh baya yang memiliki kios tersebut, dia sedari tadi menawari orang yang lewat untuk melihat-lihat patungnya. Ara pun juga ditawari patung tersebut, tetapi Ara menolaknya dengan sopan sambil tersenyum canggung. Aku hanya bersedia menerima patung dari Sean.

Beberapa detik kemudian seorang gadis berusia 11 tahun berhenti di depan kios dan melihat-lihat beberapa patung. Gadis itu mengambil sebuah patung kecil berbentuk foxbit dan memperhatikannnya, sepertinya dia suka dengan patung itu. Gadis itu bertanya harganya pada penjual, tetapi begitu penjual itu menjawab gadis itu langsung kecewa. Gadis itu masih melihat patung foxbit imut itu, dia ingin sekali memiliki patung ini. Foxbit adalah jenis hewan unik yang tidak ada di ibu kota, hanya ada di beberapa desa kecil di pulau ini. Hewan ini berupa rubah tetapi memiliki telinga panjang seperti kelinci. Akhirnya gadis itu memutuskan untuk membelinya, dia mengeluarkan seluruh koin yang ada di kantong kecilnya dan akan menyerahkannya. Mata Ara langsung terbelalak, dia segera mendekati gadis itu dan menarik tangannya.

“Apakah kau ingin menipunya?!!” sergah Ara pada penjual itu sambil menatap tajam. Beberapa orang yang lalu-lalang menatap Ara.

Wajah gembira dari penjual itu langsung sirna, “Apa maksudmu, Nona?” tanyanya dengan nada kesal.

“Dari pahatannya maupun bahannya, harga itu terlalu mahal!” tampik Ara. Dia mengambil patung yang ada di tangan gadis itu dan menaruhnya kembali ke tempat semula. Ara mengambil kantong kecil milik gadis itu, kemudian memasukan semua koinnya kembali ke dalamnya dan meminta gadis itu menyimpannya kembali. Gadis itu kebingungan dan hanya menuruti permintaan Ara.

“Nona, saya sudah bertahun-tahun membuat patung. Saya sangat paham akan patung! Asal Nona tahu, ini adalah patung antik yang aku temukan di ruang bawah tanah rumah kosong bekas keluarga Beauregard!” bantah penjual itu sampai suaranya serak.

Gadis itu jadi ketakutan dan mendekat ke samping Ara dan menggandeng tangannya dengan erat. Ara mengusap-usap kepala gadis itu untuk menenangkannya. Ara sejenak mengabaikan penjual itu dan tersenyum kepada gadis itu sambil mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Beberapa pejalan kaki berhenti, penasaran dengan keributan yang disebabkan oleh Ara dan penjual patung ini. Apalagi ketika penjual ini menyebut ‘Beauregard’.

Rumah kosong bekas keluarga Beauregard, atau singkatnya mereka menyebutnya Rumah Beauregard adalah sebuah cerita yang sudah terkenal bagi orang-orang yang menetap di ibu kota. Dulu seluruh keluarga Beauregard meninggal secara mendadak di rumah itu. Alasannya tidak diketahui, padahal dalam mayat mereka tidak ditemukan racun apa pun. Riwayat penyakit pun tidak ada—lagipula jika benar, tidak mungkin mereka meninggal di waktu yang bersamaan. Beberapa puluh tahun berlalu—mungkin 70 tahun berlalu—tidak ada yang menghuni rumah itu.

Seseorang yang berkelimpahan uang memutuskan untuk membeli rumah besar itu dengan membayar pada Kerajaan, sebab tidak ada orang yang bisa berhak mewarisi rumah itu. Namun orang kaya itu justru tidak menghuni rumah itu, dia menjadikan itu rumah yang bisa dimasuki oleh siapa pun secara bebas. Mau mengambil barang peninggalan keluarga Beauregard yang sudah jadi miliknya pun boleh-boleh saja. Orang itu hanya membeli rumah itu untuk senang-senang saja—atau mungkin ingin memamerkan kekayaannya.

“Baiklah. Kalau begitu, kami permisi. Aku mau mengajak gadis ini pergi. Terima kasih!” kata Ara berusaha bersikap sopan walau pun kesalnya masih kelihatan. Ketika Ara ingin pergi sambil menggandeng tangan gadis itu, penjual itu mendekat dan mencekal tangan Ara.

“Apakah Nona punya masalah dengan saya? Lagipula Nona tidak mengenal dia ‘kan?! Apakah Nona tidak tahu sulitnya saya mencari uang?!” murka penjual itu lalu melepaskan tangannya dari Ara, menahan diri untuk tidak kasar pada perempuan.

“Oh ya? Mungkin karena kau suka menipu jadi sedikit yang membeli patungmu,” gerundel Ara dengan ekspresi meledek. Beberapa orang telah mengelilingi kios ini, sebagian tertawa kecil begitu mendengar ucapan Ara.

“Tch! Menamparmu hanya membuat buruk namaku! Pergilah!” hardik penjual itu, menyerah dengan Ara. Akhirnya Ara tersenyum puas.

“Mohon maaf, bisakah bicarakan saja baik-baik?” tanya seorang pemuda yang baru saja datang. Dia datang bersama gadis seusia Ara yang sangat cantik. Gadis itu berambut pirang cerah dengan gaun putih yang mengembang dengan hiasan renda merah.

Kemudian, mata pemuda itu bertema dengan mata Ara. Mereka berdua mematung sejenak sambil berpandangan mata. Pemuda itu adalah alasan Ara nekat kabur ke ibu kota—Sean Karovich. Hati Ara berbunga-bunga telah menemukan Sean Karovich dari sekian ribu orang yang ada di ibu kota. Namun, begitu Ara melihat lengan Sean yang digandeng oleh gadis lain yang lebih anggun darinya, hatinya tidak lagi bersemangat. Aku harus berpikir baik! Bisa saja itu sepupunya, ‘kan?

“Apakah kau yang membuat keributan ini?” tanya Sean pada Ara dengan nada yang cukup kasar, seolah-olah menuduh Ara. Mungkin saja Sean pikir Ara masih seemosional dan seceroboh 7 tahun yang lalu. Ara langsung sakit hati mendengar pertanyaan Sean yang seperti menyalahkannya.

Ara menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya perlahan, “Oh, rupanya ada Kak Sean. Tidak kok, aku hanya ingin menyelamatkan uang gadis ini.” kata Ara dengan tenang dan tersenyum kecil.

“Apa maksudmu?” tanya Sean masih kebingungan. Gadis di sampingnya itu heran seolah bertanya-tanya dalam hatinya apakah mereka berdua saling kenal, sebab Ara bisa mengetahui nama Sean.

Ara melangkah mendekati kios itu dan mengambil patung kecil yang sebelumnya dipilih gadis kecil ini sebelumnya, “Berapa harga maksimal yang akan kau pasang untuk ini?”

“Biar kulihat,” kata Sean. Dia melepaskan lengannya dari gadis di sampingnya dan mendekat pada Ara untuk memeriksa patung itu.

Sean melihat-lihat patung itu secara keseluruhan, dia juga mengetuk-ketuk patung kayu itu dengan jarinya. “Empat koin perak. Namun patung ini terlihat sudah sangat lawas dan salah satu telah patah, kurasa harga yang layak tiga koin perak.” katanya lalu mengembalikan patung itu di tempat Ara mengambilnya.

“Penjual itu menghargainya sepuluh koin perak.” ucap Ara sambil menatap sinis ke penjual patung ini. Namun entah kenapa penjual itu tiba-tiba jadi terdiam dan sedikit merasa agak ketakutan semenjak Sean datang.

“Maaf! Saya mengaku bersalah! Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi!” ujar penjual itu sambil menundukkan badannya serendah-rendahnya. Ara jadi heran kenapa penjual itu berubah dengan drastis di hadapan Sean.

“Aku memberi kesempatan. Satu kali lagi kau melakukannya aku akan melaporkan ayahku.” kata Sean dengan nada mengancam.

“Baik, baik! Saya tidak akan mengulanginya lagi!” katanya masih terus menunduk. Ara semakin heran melihatnya, apa yang sebenarnya terjadi?

Setelah itu, gadis kecil itu jadi membeli patung foxbit di kios ini. Ara dan Sean menemani gadis itu sampai transaksi selesai. Gadis itu berhasil membeli patung foxbit itu dengan harga tiga koin perak. Wajahnya sangat gembira begitu patung foxbit itu sudah menjadi miliknya. Ara sempat menanyai gadis itu, ternyata dia baru saja datang ke ibu kota. Pantas saja gadis itu masih polos untuk ditipu pedagang di Amour. Gadis itu bernama Silvy, dia berterima kasih pada Ara dan Sean, kemudian Silvy pamit untuk pergi. Ara merasa sangat senang bisa mengenal orang baru di Amour.

***


Bab 4

Ara masih terpikirkan mengenai gadis yang ada di hadapannya ini. Lagi-lagi gadis itu menggandeng lengan Sean, sementara yang digandeng pun menerimanya begitu saja. Hati Ara terasa panas, namun dia berusaha tenang dan tetap tersenyum hangat. Aku harus berpikir dengan tenang dan positif! Aku harus membuktikan kepada Kak Sean kalau aku sudah bisa mengontrol emosiku—eh? Apakah aku memang sudah bisa mengontrol emosiku? Namun selain itu … 7 tahun yang lalu aku telah mengatakan hal yang jahat dan kasar pada Kak Sean ….

“Apakah kau kenalan Sean dari Verte? Apakah kalian dekat?” tanya gadis itu dengan ramah. Ara sedikit terkejut gadis itu berbicara dengan manis dan anggun.

“Ah—ya, aku kenal Kak Sean 7 tahun yang lalu. Dekat? Kurasa tidak, aku berkenalan dengan Kak Sean tidak jauh sebelum dia pergi ke ibu kota.” kata Ara menjawab jujur. Rupanya Ara masih ingat betul kapan dia pertama kali mengenal Sean.

“Ah, baiklah. Perkenalkan, namaku Zeline Abadie.” sahut Zeline sambil memberikan tangan kanannya.

Ara menjabat tangan Zeline dan berusaha tersenyum lebih lebar lagi, “Aralena Abely Chevalier. Senang berkenalan denganmu.” kata Ara lalu perlahan melepas tangannya.

Mata Ara lagi-lagi teralihkan ke sesuatu di tangan kiri Sean dan Zeline. Di jari manis mereka terdapat sebuah cincin. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi sebaiknya aku bertanya saja.

“Ah, Kak Zeline, aku ingin menanyakan sesua—”

Seseorang menabrak Ara dan langsung pergi begitu saja. Wajar saja karena saat ini mereka berada di tengah jalan yang ramai.

“Mari kita pergi ke kedai teh saja, tidak jauh dari sini.” kata Zeline menyarankan. Ara dan Sean tidak keberatan.

Sean dan Zeline berjalan berdampingan dan selalu menempel. Sedangkan Ara berjalan di samping Zeline sambil sesekali melirik mereka. Terlihat jelas dari mata dan raut wajahnya, saat ini pikiran Ara dipenuhi banyak pertanyaan dan kemungkinan-kemungkinan buruk. Bagaimana dia bisa berpikir positif? Orang yang disukainya—Sean Karovich—saat ini sedang digandeng oleh perempuan lain—juga dengan sebuah cincin di jari mereka. Walau begitu, Ara berusaha untuk tetap tenang. Jika itu benar pun aku juga harus sadar diri. Kak Zeline lebih cantik dan anggun dariku—mungkin saja kepribadiannya lebih tenang dibandingkan diriku.

Mereka sampai di depan kedai teh dan segera masuk. Ini bukan kedai teh biasa, ini adalah kedai teh yang mewah. Pengunjung-pengunjungnya mengenakan pakaian yang terlihat anggun dan elegan. Ara merasa agak malu memasuki kedai teh ini dengan pakaiannya yang biasa, apalagi orang-orang di sekitarnya menatap Ara dengan heran. Mereka berdua duduk mengitari meja bundar yang cukup untuk tiga orang. Ara menaruh tas ranselnya di atas lantai. Seorang pelayan datang, Zeline memesan tiga cangkir teh putih. Pelayan itu pergi untuk menyiapkannya.

Mata Ara langsung terbuka lebih lebar, “Teh putih? Aku tidak membawa uang sebanyak itu-”

“Tidak apa-apa, aku yang akan membayarnya. Lagipula kau ini teman Sean, artinya kau juga temanku,” kata Zeline dengan hangat, berusaha membuat Ara tidak merasa telah merepotkannya.

“Ah … terima kasih ….” ucap Ara pasrah menerima tawaran dari Zeline.

Teh putih merupakan teh yang termasuk langka di pulau ini, itu yang membuatnya mahal. Teh putih juga memiliki banyak manfaat, bukan sekadar langka saja. Orang-orang biasa umumnya tidak meminum teh putih karena sangat mahal, jika sekadar mencicipi mungkin saja pernah. Hanya orang-orang kaya yang menikmati teh itu layaknya teh biasa.

Sambil menunggu teh datang, Ara melihat ke sekitar. Di belakang Sean ada orang yang mencurigakan, dia duduk membelakangi Sean. Dia mengenakan topi dan sedang membaca koran. Namun dia membaca koran dengan membuka korannya labar-lebar dan tinggi, seolah sedang menyembunyikan wajahnya. Ara merasa tidak asing, tetapi Ara sendiri tidak tahu kenapa dia merasa familier dengan orang itu.

Beberapa menit kemudian pelayan datang dan menyajikan tiga cangkir teh putih hangat. Ara ragu-ragu untuk menyeruput teh mahal ini, tetapi setelah melihat Zeline menyeruputnya Ara pun ikut meminumnya. Ketika menyeruput tehnya, Ara melirik pada Sean yang masih membiarkan tehnya di meja. Ara tersedak ketika matanya bertemu dengan mata Sean, Ara menaruh cangkir dan batuk.

“Kau baik-baik saja, Aralena?” tanya Zeline dengan wajah khawatir. Zeline menyerahkan sapu tangan dan Ara menerimanya.

Ara mengusap sapu tangan di sekitar mulutnya, “Em—yah—aku baik-baik saja,”

“Tidak usah terburu-buru meminumnya, kami sedang luang, tenang saja.” kata Zeline tersenyum kembali.

“Mmm, baiklah.” jawab Ara masih merasa canggung.

Sean masih duduk tenang dengan wajah datarnya. Walau begitu, dari mata Sean terlihat rasa tidak enak sepanjang jalan sampai di kedai teh ini. Ara pun jadi tidak berani melirik Sean lagi setelah ketahuan. Zeline yang tidak curigaan itu pun tetap meminum tehnya dengan tenang. Ada semacam atmosfer yang canggung di antara Ara dan Sean.

“Ah aku belum tahu, apa hubungan Kak Zeline dengan Kak Sean …?” Ara akhirnya memberanikan diri untuk menanyakannya. Mendadak tatapan Sean jadi makin tidak enak dan berusaha mengalihkan pandangannya.

“Ah benar juga, aku belum memberi tahumu ya? Aku tunangan Sean.” jawab Zeline dengan tenang.

Aku harus tenang.

Ara berusaha untuk tidak membuat ekspresi wajah yang tidak menyenangkan. Dia berusaha tersenyum sambil terus menatap mata Zeline yang lembut. Walau pun kedua tangannya yang tersembunyi di bawah meja itu terkepal kuat-kuat. Ara menarik napas dengan pelan supaya Zeline tidak menyadari bahwa Ara sedang menahan rasa sakit.

“A-ah … pantas saja kalian terlihat sangat dekat,” kata Ara dengan santai. Dia berhasil menahan emosinya agar tidak terluapkan melalui suaranya.

“Biasa saja, aku hanya menggandeng tangan Sean kok,” kata Zeline sambil tertawa kecil untuk mencairkan suasana.

“Begitu … kalian terlihat cocok ....” Ara mengatakannya sambil tersenyum. Bibirnya jadi bergetar, seolah menahan sesuatu. Namun Ara masih berusaha untuk bertahan.

Seharusnya aku sadar sejak awal ‘kan? Aku terkenal dengan gadis aneh, apalagi aku dulu pernah mengatainya …. Tentu saja dia akan membenciku ….

Ara tiba-tiba bangkit berdiri, sangat mendadak sampai-sampai Sean, Zeline, dan beberapa pengunjung lainnya ikut kaget. Ara mematung sejenak, dia bingung kenapa dia bangkit berdiri. Sepertinya dia melakukannya bukan karena keinginannya sendiri, tetapi karena emosinya yang menggerakannya. Ara jadi merasa tidak enak, tetapi perasaannya sudah enak.

“Ah! Aku baru ingat aku harus segera menemui seseorang! Sampai jumpa! Terima kasih tehnya!” kata Ara dengan suara yang keras dan canggung. Tanpa menunggu lama lagi Ara meraih tasnya dan berlari keluar kedai teh ini. Saking buru-burunya Ara sempat menabrak pengunjung yang baru saja datang.

Zeline jadi bangkit berdiri dengan wajah bingung yang bercampur rasa khawatir. Sean meraih tangan Zeline dan mengatakan padanya untuk membiarkan Ara pergi. Zeline sempat tidak terima dengan Sean yang masih saja tenang, apalagi memintanya untuk mengabaikan Ara. Namun Sean bersikeras memaksa Zeline untuk tetap diam. Zeline yang rapuh itu ketakutan ketika dibentak Sean dan dengan canggung duduk kembali di sampingnya.

Sementara orang mencurigakan yang duduk di belakang Sean pun bangkit berdiri begitu menyadari Ara telah pergi. Sambil tetap berusaha menyembunyikan wajahnya dengan topinya, dia melangkah dengan tenang ke pintu keluar. Setelah berhasil keluar dia langsung berlari sambil menengok ke segala arah. Dia membuka topinya untuk memperluas pengelihatannya. Laki-laki itu memiliki mata coklat dengan rambut hitam agak panjang, sehingga dia harus mengikat rambutnya ke belakang. Dia adalah Reiza.

Ara berlari tanpa tujuan dengan air mata yang berusaha dia sembunyikan. Jalanan sangat ramai dengan para pejalan kaki, akhirnya Ara masuk ke sebuah gang untuk bersembunyi di sana. Kebetulan di sini sepi dan tidak ada orang yang lewat. Mencoba terus berlari dengan air yang membendung di matanya, akhirnya Ara mulai lelah dan bersandar ke dinding dan duduk. Ara menekuk kedua lututnya dan menutupi air matanya dengan kedua tangannya.

Selama 19 tahun tidak ada yang mau mengobrol dengan Ara selain ibunya yang sudah meninggal dan Sean. Ara menderita hidup di lingkungan yang menganggap dirinya aneh. Meskipun Ara sudah berusaha menjadi seperti manusia pada umumnya, orang-orang di Desa Verte masih menganggap Ara gadis aneh. Apalagi bibi Ara sendiri bahkan lebih parah memperlakukan Ara dibandingkan tetangga-tetangganya. Selama 7 tahun Ara berencana untuk pergi ke ibu kota untuk menemui Sean. Ketika dia berusia 17 tahun Ara tersadar bahwa dia benar-benar mencintai Sean. Benar-benar mencintai, bukan hanya sekadar kata-kata seperti lanturannya ketika masih 12 tahun.

“Hei, ikutlah bersamaku.” Ara tiba-tiba mendengar suara laki-laki yang sepertinya tidak asing. Ara menengadahkan kepalanya dan mendapati Reiza berdiri tepat di hadapannya.  Ara menunjukkan wajah polos yang masih dipenuhi air mata.

“Kau terlihat menyedihkan dengan wajah seperti itu,” kata Reiza lalu jongkok agar dia bisa melihat Ara dengan jelas. Reiza mengeluarkan sapu tangan dan membersihkan air mata dari pipi Ara. Sementara Ara sendiri hanya pasrah membiarkan Reiza melakukannya.

“Kita bertemu lagi, maaf telah membuatmu melihatku menangis. Ah—kamu mengingatkanku pada seseorang ….” ujar Ara. Air matanya sudah berhenti mengalir. Aku harus berhenti menangis di depan orang lain. Kini dia mencoba mengalihkan perhatiannya pada Reiza. 

Reiza akhirnya ikut duduk di samping Ara, “Reiza Karovich.”

“Karovich? Bukankah Kak Sean anak tunggal?” Ara jadi bertanya-tanya, tidak tahu bahwa Sean mempunyai adik di ibu kota.

“Ya—sebenarnya saat ini nama belakangku bukan Karovich—lebih tepatnya aku tidak punya nama belakang lagi.” ucap Reiza lalu mengalihkan pandangannya dan hanya menatap kosong ke depan. Sepertinya ada sebuah peristiwa di balik kalimatnya itu.

“Aku mengerti, kau hanya ingin menjelaskan hubungan darah dengan mereka. Namun kenapa kau lepas dari keluarga Karovich?” Ara semakin penasaran. ‘Mereka’ yang Ara maksud adalah Sean dan ayahnya. Apakah Ara sudah lupa bahwa dia baru saja sakit hati? Namun bagus baginya bisa berhenti menangis lebih cepat.

“Ceritanya … panjang—juga bisa saja kamu membenciku setelah mendengarnya,” ucap Reiza berusaha tersenyum keren supaya suasananya tidak menjadi hening.

“Hmm, baiklah kalau begitu ….” ucap Ara berusaha untuk mengerti. Dia memilih untuk tidak memaksa Reiza untuk memberi tahunya.

Tiba-tiba suasana menjadi hening untuk sejenak. Hingga akhirnya Reiza bangkit berdiri dan mengulurkan tangannya pada Ara.

“Aku sepertinya tahu apa yang terjadi antara kau dan Sean,” ucap Reiza sambil menatap Ara dengan serius. Ara pun jadi terdiam.

“Lupakan itu-”

“Ya—tentu. Aku juga tidak ahli untuk menenangkan orang yang patah hati—tetapi aku bisa membantumu untuk mengalihkan kesadaranmu pada kenyataan pahit itu,” ucap Reiza dengan yakin, dia tersenyum dengan percaya diri. Tangan kanannya masih terulur untuk Ara.

Ara hanya menatap Reiza, kemudian sesekali melihat uluran tangan Reiza. Ara masih bimbang, wajahnya memang tidak terlihat ingin menolaknya, hanya saja dia merasa ragu karena belum mengenal Reiza dengan baik. Hingga akhirnya Ara menengadahkan kepalanya dan menatap Reiza dengan yakin. Ara menerima uluran tangan Reiza dan ikut bangkit berdiri.

“Kau suka memecahkan sesuatu?” tanya Reiza, entah tentang apa yang dia maksud.

“Tentu—aku suka membuat emosi bibiku pecah!” kata Ara melontarkan candaan.

“Hahaha! Kalau begitu, sekarang aku akan mengajakmu memecahkan hal lain!” seru Reiza sangat bersemangat.

“Baiklah—sebelum itu, bisakah kau memberiku makan dan waktu untuk istirahat? Aku baru sampai di ibu kota dari perjalanan yang panjang, hehe!” ujar Ara tersenyum canggung.

"Baiklah, baiklah. Dasar kau ini. Aku akan pergi ke rumah temanku. Kau temanku, tentu saja kau adalah teman dia juga. Rumahnya besar dan memiliki banyak kamar. Aku akan memintanya meminjamkan kamar untukmu juga," kata Reiza menawarkan, mungkin membuat Ara merasa tidak enak.

"Hoo, memangnya tidak apa-apa?" tanya Ara. Dia terkejut karena ada teman yang seperti itu.

"Lagipula aku juga tinggal di sana tiap hari. Aku enggan tinggal bersama kakakku dan ayahku," jelas Reiza dengan wajah bangga, dia mulai menunjukkan sifat aslinya. Selama ini Reiza menumpang di teman rumahnya yang merupakan anak dari salah satu orang kaya di ibu kota.

"Dasar kau ini, tidak tahu malu, hahaha~" ujar Ara dengan nada bercanda, Reiza pun menanggapinya dengan candaan.

"Dia tinggal sendiri di rumahnya, dia bebas sesuka hati untuk mengizinkan temannya menumpang. Orang tuanya bertugas mengelilingi desa-desa," papar Reiza. Ara sedang mengingat-ingat sesuatu.

"Mungkinkah itu … Tuan dan Nyonya Traver?" tanya Ara tidak yakin. Reiza sedikit mengangkat alisnya.

"Ya! Benar, itu mereka," jawabnya membenarkan tebakan Ara.

Setelah itu mereka mulai berjalan menuju rumah teman Reiza. Mereka mengobrol dengan asyik sambil terus berjalan. Ara berusaha untuk tidak memperlihatkan kesedihannya, memang sulit. Ara beberapa kali terlihat murung, tetapi suara Reiza yang mengajaknya mengobrol selalu menyadarkannya dari lamunannya.

Apa yang kulakukan setelah ini? Aku tidak ada alasan lagi untuk menetap di ibu kota. Mungkin aku akan bersenang-senang sebentar bersama Reiza. Setelah aku membantu Reiza, aku akan kembali ke Verte dan menerima hukumanku yang kabur ini. Lagipula aku tidak bisa hidup di ibu kota ini tanpa uang. Mungkin sudah begitu jalan takdirku.

***


Bab 5

Sean sedang menggeledah lemarinya mencari sesuatu. Sedangkan Zeline sedang duduk di tepi ranjang dengan menundukkan wajahnya. Sean masih mencari-cari sesuatu dari isi lemari, laci, dan kotak penyimpanan. Namun sepertinya Sean belum menemukannya.

“Bukankah kau yang membersihkan kamarku?!” tanya Sean dengan membentak. Sejenak Zeline tidak berani untuk menjawabnya.

“Aku tadi melihatnya di dalam lemari, tetapi aku tidak menyentuhnya!” jawab Zeline dengan yakin meski tubuhnya gemetaran.

“Uhuk—ada apa ini …?” tiba-tiba terdengar suara dari pintu kamar Sean. Rupanya itu adalah ayah Sean, Adam Karovich.

Sean tiba-tiba melupakan amarahnya dan langsung berwajah cemas, Sean segera mendekati ayahnya yang sakit-sakitan dan memapahnya. Zeline ikut berdiri dan mendekati Adam, tetapi Sean memberi kode pada Zeline untuk tidak usah membantunya. Zeline hanya menuruti dan diam di tempat dengan wajah merasa bersalah. Sean membujuk ayahnya untuk kembali ke kamarnya, akhirnya Adam mau dan membiarkan Sean menuntunnya ke kamarnya.

Sean membantu ayahnya duduk di tepi ranjang, kemudian mengambil segelas air untuknya. Kondisi Adam cukup memprihatinkan. Sean akhirnya duduk di samping ayahnya untuk menemani sejenak.

“Apakah sampai saat ini kau masih belum bisa menerima Zeline?” tanya Adam. Dia bertanya dengan serius.

Sean hanya terdiam, tidak berani menatap mata ayahnya.

“Apakah kau masih menginginkan gadis bernama ‘Aralena’ itu?” tanya Adam sekali lagi, Sean sedikit terkejut begitu mendengar nama ‘Aralena’ terlontar dari bibir ayahnya.

Sean lagi-lagi masih terdiam.

“Apa yang membuatmu menyukainya?” tanya Adam, sedikit mengintimidasi. Entah Adam kesal dengan Sean yang tidak menjawabnya atau karena dia sedang membicarakan Ara.

“Dia sudah membantuku—juga membantu ayah.” jawab Sean dengan datar dan serius seperti biasanya.

Ayahnya terdiam sejenak. Tidak paham dengan apa yang dikatakan Sean.

“Ayah tidak pernah bertemu dengannya, bagaimana dia bisa membantu?” tanya Adam semakin tidak paham, sebenarnya apa yang anaknya ini pikirkan.

“Ide untuk membuat banyak patung dengan bentuk kucing berekor ikan, itu adalah idenya, bukan ideku. Aku pun awalnya tidak percaya bahwa patung itu bisa membuat orang-orang tertarik, hingga akhirnya terbukti kita berhasil menjual ratusan patung itu dan menjadi sesukses ini.” papar Sean, selama ini dia tidak pernah mengatakannya pada ayahnya. Sean bangkit berdiri dan membelakangi ayahnya, berusaha menyembunyikan ekspresi wajahnya yang terlihat murung dan kecewa.

“Namun dengan siapa aku hidup, itu adalah pilihan ayah. Aku menghargai tradisi keluarga Karovich.” ucap Sean mengakhiri percakapan.

Sean pamit dan keluar dari kamar Adam dengan sopan. Sean menutup rapat pintunya. Sudah merupakan tradisi keluarga Karovich bahwa ayah-lah yang menentukan dengan siapa putra atau putrinya menikah. Sean sangat menghargai tradisi, sekali pun Sean merasa terbebani, dia tetap mengutamakan tradisi dibandingkan urusan pribadinya. Apa yang baru dikatakan Sean sepertinya mulai menyadarkan ayahnya.

***

Ara beristirahat selama beberapa menit dengan duduk santai sambil mengobrol, dia belum istirahat dari perjalanannya ke ibu kota, dia perlu istirahat lebih lama lagi. Ara ikut makan siang bersama Reza dan temannya, Leon Traver. Sekarang mereka bertiga sedang duduk sambil menikmati hidangan penutup di sebuah kafe milik keluarga Traver. Ara hanya diam dengan mata yang lelah dan terlihat lesu, tetapi Ara berusaha menahannya. Reiza duduk dengan tenang dengan dagu yang ditopang tangannya dan siku di meja. Sementara Leon duduk dengan kedua kaki di atas kursi lainnya—ini kafe keluarganya, dia merasa bebas untuk melakukan apa pun di sini.

“Kau tahu apa yang membuatku terkejut, Ara? Sebelumnya Reiza mengatakan bahwa dia akan bertemu denganmu lagi, dan itu benar! Hahahaha, insting asal-asalannya Reiza yang entah sudah keberapa terjadi lagi!” tawa Leon sambil menepuk punggung Reiza sangat keras sampai tersentak.

“Yah—aku bisa mengajarimu caranya!” seru Reiza hanya ingin membalasnya dan menepuk punggung Leon dengan keras sampai Leon hampir jatuh dari kursinya.

“Baiklah-baiklah, aku akan memberi tahu saja bagaimana tadi aku berkata akan bertemu dengan Ara lagi. Jawabannya adalah karena gelang anyaman milikmu,” kata Reiza sambil menatap Ara.

Lantas yang ditatap langsung bingung. Reiza melirik saku rok Ara, Ara mengerti dan akhirnya mengeluarkan gelang anyaman berwarna hitam putih, Ara menaruhnya di meja. Leon langsung meraih gelang itu dan memperhatikannya. Namun sepertinya Leon tidak menemukan sesuatu yang menarik dari gelang itu.

“Polanya berbeda dibandingkan pola anyaman gelang wol biasanya. Aku akui pola ini memang unik, tetapi yang membuatku merasa aneh adalah ini adalah kedua kalinya melihat pola yang seperti ini dengan warna yang sama,” terang Reiza, Leon masih tidak paham, Ara menunjukan sedikit keterkejutan.

“Belum lama ini aku menyelinap ke kamar kakakku, dan menemukan gelang itu di kamarnya. Polanya sama, warnanya juga sama, hitam dan putih,” Reiza langsung mengatakan yang sebenarnya, dia tahu Ara pasti tadi ingin bertanya di mana Reiza melihatnya.

Dia masih menyimpan gelangnya ….

“Ah, yah, aku memang pernah memintanya untuk menyimpannya. Namun sekarang aku sudah tidak peduli lagi.” kata Ara dengan sedikit emosi, dia meraih gelang itu kembali dan menyimpannya.

“Baiklah, apa yang bisa aku bantu? Kalian ingin ‘memecahkan’ apa?” Ara mencoba mengalihkan pembicaraan dengan nada yang ceria kembali.

Reiza dan Leon menjelaskan kepada Ara mengenai Rumah Beauregard. Ara ingat bahwa penjual patung yang tadi pagi menyebut rumah Beauregard. Perlu diingat lagi, Rumah Beauregard adalah sebuah rumor yang sudah terkenal bagi orang-orang yang menetap di ibu kota. Dulu seluruh keluarga Beauregard meninggal secara mendadak di rumah itu. Alasannya tidak diketahui, padahal dalam mayat mereka tidak ditemukan racun apa pun. Riwayat penyakit pun tidak ada lagipula jika benar, tidak mungkin mereka meninggal di waktu yang bersamaan. Beberapa puluh tahun berlalu mungkin 70 tahun berlalu tidak ada yang menghuni rumah itu.

Juga, ada seseorang yang berkelimpahan uang memutuskan untuk membeli rumah besar itu dengan membayar pada Kerajaan, sebab tidak ada orang yang bisa berhak mewarisi rumah itu. Namun orang kaya itu justru tidak menghuni rumah itu, dia menjadikan itu rumah yang bisa dimasuki oleh siapa pun secara bebas. Mau mengambil barang peninggalan keluarga Beauregard yang sudah jadi miliknya pun boleh-boleh saja. Orang itu hanya membeli rumah itu untuk senang-senang saja—atau mungkin ingin memamerkan kekayaannya.

Reiza dan Leon bukan penasaran dengan isi rumah itu, atau orang yang membeli rumah itu, bukan. Mereka ingin tahu bagaimana bisa keluarga Beauregard dengan anggota keluarga sejumlah 7 orang bisa meninggal dalam waktu bersamaan. Puluhan tahun berlalu tetapi tidak ada bukti-bukti yang membawa kepada pelakunya. Terlalu janggal untuk dikatakan bahwa itu bukanlah sebuah pembunuhan.

“Sial, hanya sedikit petunjuk yang bisa kita dapatkan, barang-barang di Rumah Beauregard sudah banyak yang hilang!” keluh Leon sambil memukul meja, menarik perhatian pengunjung lainnya.

“Namun aku masih penasaran bagaimana bisa tidak terdeteksi racun dalam mayatnya.” timpal Reiza dengan tenang sambil berpikir.

Ara mendengarkan mereka dengan mata yang mulai berkunang-kunang.

“Mungkin suatu zat beracun yang dicampur oleh satu atau beberapa tanaman tertentu ...? Ah, bagaimana menjelaskannya—anggap saja tanaman itu ditakar sedemikian rupa agar menetralkan racun tetapi setelah racun itu bekerja …. Bisa saja memang ada tanaman bersifat beracun yang sangat-sangat langka, dan hanya segelintir orang saja yang tahu-”

“Aaaarg, pelan-pelan saja, aku jadi bingung!” ujar Leon sedang berpikir keras walau tampak seperti bermain-main saja. sedangkan Reiza menyimak Ara dengan saksama.

Ara menyentuh keningnya, merasakan pusing yang begitu kuat.

Bruk. Ara tak sadarkan diri, dia jatuh dari kursinya.

***

Ara mulai membuka matanya, dia ada di sebuah kamar besar yang redup dan satu lampu minyak di meja. Ara duduk dan diam sejenak, melihat ke sekelilinginya sambil mengumpulkan kesadarannya. Jendela kaca menunjukkan langit yang gelap, hari sudah malam. Ara hanya mengira-kira, tetapi dia merasa saat ini sedang berada di rumah Leon.

Astaga! Aku lupa aku belum tidur selama 3 hari! Walau akhirnya tetap tertidur, bagaimana bisa aku sebelumnya baik-baik saja?!

Ara bangkit berdiri, membawa lampu minyak di tangannya. Melangkah menuju pintu dan membukanya. Ara langsung melihat di sana ada cahaya lampu minyak lainnya. Ara mendekat dan menyadari bahwa itu adalah Reiza dan Leon. Reiza dan Leon sedang duduk di depan meja, dengan beberapa dokumen dan dua lampu minyak sebagai penerangan. Mereka berdua pun menyadari keberadaan Ara dari suara langkah kakinya. Reiza dengan wajah khawatir pun bangkit dan mendekati Ara.

“Yo,” sapa Leon dengan santainya tetap duduk di kursi.

“Hei, apa yang terjadi denganmu? Kau tertidur selama 6 jam lebih. Kau baik-baik saja ‘kan?” tanya Reiza, menarik kursi dan membiarkan Ara duduk. Reiza juga duduk di sebelah Ara.

“Hanya kurang tidur kok! Sampai mana tadi pembicaraan kita tentang Rumah Beauregard?” tanya Ara dengan nada antusias. Dari caranya berbicara dia terlihat sehat dan bersemangat

“Leon mendapat sedikit informasi mengenai Keluarga Beauregard,” kata Reiza lalu mengambil beberapa lembar dokumen dan menyerahkannya pada Ara. Ara melihat-lihat dokumen itu di dekat lampu minyak supaya terbaca dengan jelas.

“Ayahku yang mendapatkannya. Itulah kekuatan uang,” ujar Leon sambil mengunyah cemilannya.

Ara masih membaca isi dokumen itu, “Nama pelayannya adalah Renard-Lapin Statueque, membuatku teringat dengan patung foxbit tempo hari ….” gumamnya. (*dalam Bahasa Perancis, renard artinya rubah, lapin artinya kelinci, dan statue artinya patung.)

“Ha? Patung foxbit? Apa itu foxbit? Apa hubungannya dengan nama itu?” tanya Leon dengan heran. Reiza juga terlihat tidak tahu apa itu foxbit.

“Itu binatang langka, rupanya seperti rubah tetapi memiliki telinga yang panjang seperti kelinci. Aku tadi pagi bertemu dengan seorang gadis yang ingin membeli patung foxbit-”

“Nona, saya sudah bertahun-tahun membuat patung. Saya sangat paham akan patung! Asal Nona tahu, ini adalah patung antik yang aku temukan di ruang bawah tanah rumah kosong bekas keluarga Beauregard!”

Ara mendadak berdiri, Reiza dan Leon terkejut.

“Penjual patungnya berkata—dia mendapatkan itu dari Rumah Beauregard. Nama pelayannya adalah Renard-Lapin Statueque—kemungkinan itu adalah keluarga yang sudah membuat patung turun temurun,” kata Ara sedikit tidak tenang dalam menjelaskannya. Tatapan matanya juga mengisyarakatkan Reiza dan Leon untuk berpikir.

“Kita perlu menyelidiki patung foxbit itu. Sekarang masih pukul tujuh, semakin cepat semakin bagys. Kau tahu di mana gadis itu?” tanya Reiza dan ikut bangkit berdiri dengan wajah tidak tenang.

Ara mengeluarkan selembar kertas kecil yang terlipat-lipat dari sakunya. Di sana tertulis sebuah alamat rumah. Ara dan Reiza bersiap-siap untuk pergi, mereka masing-masing membawa satu lampu minyak. Leon bersikeras tidak ikut karena waktu sudah malam dan hanya mau ikut jika perginya besok, alasannya hanyalah malas. Reiza tidak peduli, dia sama sekali tidak ada keinginan untuk mengajak Leon yang memang sulit diatur itu. Bersama Ara saja sudah cukup untuk mendapatkan patung foxbit itu.

***

Ara dan Reiza berjalan cepat sambil memegang satu lampu minyak. Jalanan sudah mulai sepi, hanya dua tiga orang yang sesekali lewat. Ara mengikuti Reiza di belakangnya karena dia tidak tahu alamatnya. Lalu tiba-tiba ada seseorang yang juga berjalan cepat berpaspasan dengan mereka dan melewati mereka. Tiba-tiba Ara terhenti dan menengok ke belakang. Ara merasa ada sesuatu dengan orang tadi, tetapi tadi Ara tidak bisa melihatnya dengan jelas dan kini orang itu sudah tidak terlihat lagi. Lantas Reiza pun jadi ikut berhenti dan menanyakannya pada Ara. Akhirnya Ara berkata tidak ada apa-apa dan mereka melanjutkan perjalanan mereka untuk bertemu Silvy, gadis 11 tahun yang waktu itu membeli patung foxbit.

Mereka akhirnya berhenti di depan sebuah rumah kecil yang terlihat sudah lawas. Reiza segera mengetuk-ketuk pintunya. Tidak ada respons. Kini giliran Ara yang mengetuk pintu sambil menyerukan nama Silvy, mungkin saja ada orang di dalam tetapi takut untuk membuka pintu. Silvy yang tadinya ragu membuka kunci pintu pun akhirnya tenang, suara Ara yang tidak asing meyakinkannya. Silvy membukakan pintunya.

“Maaf mengganggumu, bisakah kami melihat patung milikmu?” tanya Reiza, dia berlutut dengan satu kaki agar tingginya bisa sejajar dengan Silvy.

Silvy belum mengenal Reiza, dia sedikit ragu-ragu untuk menjawab, “Maksudmu patung yang aku beli bersama Kak Ara ‘kah …?”

“Iya benar. Bisakah kami memeriksanya sebentar, Silvy?” tanya Ara dengan lembut.

Silvy menunjukkan ekspresi heran, “Patungnya sudah tidak ada.”

Deg!

*** 


Bab 6

Ara dan Reiza terkejut hingga sedikit membuka bibirnya. Silvy jadi merasa tidak enak, awalnya dia tidak tahu kenapa mereka berdua datang ke rumahnya, tetapi setelah melihat wajar kecewa di wajar Ara dan Reiza, Silvy merasa bersalah. Ara dan Reiza berdua sempat saling bertatap mata seolah mengatakan: Bagaimana ini?

“Baru saja ada seseorang yang menawarkan sejumlah uang yang besar untuk membeli patung ini … nenekku menyarankanku untuk menyerahkannya karena kami kekurangan uang ….” jelas Silvy, suaranya lebih lirih dibanding sebelumnya. Silvy tidak tahu apa yang terjadi, tetapi Silvy merasa tidak enak kepada Ara.

“Ah, begitu … tidak apa-apa, tidak perlu bersedih, Silvy! Maaf kami mengganggumu malam-malam,” kata Ara berusaha menenangkan Silvy. Namun Reiza yang ada di sebelahnya itu sangat kecewa.

“Siapa yang membawa patung foxbit itu?” tanya Reiza, dia masih tidak menyerah untuk mencari petunjuk.

Silvy sempat terdiam sejenak selama lima detik.

“Aku tidak mengenalnya, dia tiba-tiba datang. Dia menutupi wajahnya sehingga tidak bisa dikenali.” kata Silvy dengan ragu, nada bicaranya sedikit mencurigakan.

“Karena malam-malam, kami pamit, ya? Terima kasih Silvy.” ucap Ara dengan tersenyum hangat, dia mengusap-usap rambut Silvy yang lembut.

Ara dan Reiza akhirnya memutuskan untuk pulang, mereka melangkah pergi dari rumah Silvy. Wajah kecewa masih menyelimuti Reiza, dia akan pulang dengan tangan kosong tanpa mendapatkan petunjuk apa pun. Sementara Silvy masih berdiri di depan pintunya yang terbuka, melihat dua minyak lampu yang dibawa Ara dan Reiza yang mulai menjauh.

“Perlu ‘kah aku memberi tahu mereka …?” gumam Silvy dengan raut wajah gelisah.

15 menit sebelumnya.

Seseorang mengetuk pintu rumah Silvy. Saat itu Silvy sedang membaca novel di dekat lampu minyak. Silvy mendengar suara ketukan pintu dan segera berdiri menuju pintu. Namun Silvy ragu-ragu untuk membukanya. Lama tidak membuka pintu, neneknya jadi bangun dan mendatangi Silvy. Akhirnya mereka berdua membuka pintunya.

Seorang perempuan dengan pakaian berwarna hitam datang. Dia membawa tas ransel berwarna hitam yang berukuran cukup besar. Dia berambut pirang cerah dengan iris mata biru—dia membuka penutup wajahnya, dia adalah Zeline. Zeline memberikan senyuman hangat. Silvy tentunya merasa tidak asing dengan Zeline, tadi pagi dia melihatnya di samping Sean.

“Mohon maaf mengganggu. Langsung ke intinya saja, bisakah kau memberikan patung foxbit itu? Aku akan memberimu tiga puluh koin perak,” kata Zeline masih tersenyum ramah. Silvy dan neneknya terkejut begitu mendengar ‘tiga puluh koin perak’.

“Kenapa Nona tiba-tiba datang kemari dan menawarkan tiga puluh koin perak untuk mendapatkan patung foxbit itu?” tanya neneknya. 

Zeline masih tersenyum, “Saya merasa tidak perlu menjawabnya. Bagaimana?”

Nenek Silvy sempat terdiam, wajahnya sangat bimbang, dirinya juga sedang kekurangan uang, hingga akhirnya dia menyetujuinya. Silvy awalnya keberatan, dia sangat menyukai patung foxbit itu, tetapi neneknya menyadarkan Silvy bahwa mereka berdua ini sedang krisis ekonomi. Silvy hanya pasrah dan menunggu di tempat bersama Zeline, sementara neneknya sendiri yang akan mengambil patung di kamar Silvy.

Sebelum neneknya kembali, Zeline membisikkan sesuatu di telinga Silvy, “Jangan beri tahu siapa pun.” bisiknya lalu kembali berdiri tegak. Tepat setelah itu nenek Silvy kembali dengan membawa patung foxbit di tangannya.

Zeline mengeluarkan kantong kecil berisi banyak uang koin. Nenek Silvy meminta cucunya itu memeriksa isinya, setelah Silvy mengangguk akhirnya Zeline menerima patung foxbit itu. Zeline langsung memasukkannya ke dalam tas. Tanpa perlu berbasa-basi lagi Zeline pamit dan pergi.

Silvy masih diam di tempat menyaksikan cahaya dari dua lampu minyak itu mulai hilang. Kedua tangannya terkepal dengan kuat di samping tubuhnya. Hingga akhirnya Silvy menegakkan kepalanya—dan mulai berlari menuju Ara dan Reiza. Silvy berlari sekencang-kencangnya dan sebebasnya karena jalanan sudah sepi. Ara dan Reiza merasa mendengar suara langkah kaki yang cepat, mereka berdua pun berhenti dan membalikkan tubuh—tepat sekali Silvy sudah sampai di depan mereka.

“Orang yang—mengambil patung—dia adalah gadis cantik bermata biru—yang tadi pagi bersama teman Kak Ara!” ujar Silvy mendeskripsikannya sambil ngos-ngosan.

Ara dan Reiza saling bertatap mata—tentu saja—mereka berdua tahu siapa yang Silvy maksud. Ara berterima kasih pada Silvy, setelah itu Ara dan Reiza segera menuju rumah Sean yang kebetulan dekat dengan rumah Silvy. Silvy sementara terdiam di tempat melihat kedua orang itu pergi. Silvy terlihat lebih lega setelah memberi tahu mereka berdua bahwa Zeline yang membawa patung foxbit itu.

***

Bersama Ara yang masih canggung untuk bertemu Sean, Reiza mengetuk-ketuk pintu rumah Sean untuk mencari Zeline. Satu bulan ini Zeline terus tinggal di rumah Sean untuk merawat Adam yang sakit-sakitan ketika Sean harus keluar rumah. Setelah beberapa kali ketukan Sean datang untuk membukakan pintu. Sean melihat siapa yang datang, Ara mengalihkan pandangannya, membiarkan Reiza saja yang menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

“Apakah Zeline ada?” tanya Reiza menatap mata kakaknya itu dengan serius.

“Ada urusan apa?” tanya Sean memastikan, dia tidak langsung menjawab pertanyaan Reiza.

Tiba-tiba Zeline sendiri datang dari belakang Sean, merasa ada yang menyebutkan namanya. Mata Reiza langsung terpaku pada gadis berambut pirang cerah itu. Tatapan polos Zeline dibalas dengan tatapan curiga Reiza. Sean masih bersikeras memahami apa yang sebenarnya terjadi, sementara Ara masih tidak berani menatap mata Sean.

“Patung foxbit. Aku tahu ada sesuatu yang membuatmu menginginkan patung itu.” ucap Reiza tanpa pikir panjang, dia langsung membeberkannya.

Zeline sempat terkejut, terlihat dari matanya yang sekilas terbuka lebih lebar. Namun Zeline berusaha tetap tenang dan tersenyum kecil. Reiza merasa muak melihat senyuman itu, dia tidak tahu apa yang Zeline pikirkan. Zeline tiba-tiba mengeluarkan secarik kertas yang terlipat dan menyerahkannya pada Reiza. Kemudian Reiza membuka kertas itu dan membacanya. Ketika Ara ikut membacanya dia mengatakan kertas itu berisi tentang resep yang komposisinya berisi berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang langka.

“Patung foxbit itu sudah tidak ada. Aku menghancurkannya—dan itulah yang aku dapatkan.” terang Zeline, membuat yang lain kebingungan, terutama Sean yang tidak tahu apa-apa. Zeline menghancurkan patung itu dan menemukan sebuah kertas lusuh yang disimpan di dalamnya.

“Tunggu, jangan-jangan ini adalah-”

“Benar—itu adalah resep yang dulu digunakan oleh kakekku untuk meracuni keluarga Beauregard.” papar Zeline, sekarang wajahnya sudah mulai serius—dia memang tidak seharusnya tersenyum ketika mengatakan itu. Zeline memberi tahu bahwa itu adalah kombinasi tumbuh-tumbuhan yang bersifat racun—tetapi racunnya bisa hilang di dalam tubuh korban setelah beberapa jam, dan memang itulah tujuan dibuatnya kombinasi itu.

“Kakekku sudah meninggal. Aku hanya perlu diam—aku juga perlu melenyapkan kertas itu. Beruntung hanya aku dan kalian yang tahu—apabila itu orang lain, ‘ayah kandung’-ku sudah terkena hukum konyol dari negara ini.” ujar Zeline dengan tersenyum lega. Di sini ada aturan apabila seseorang melakukan kejahatan besar dan tidak berhasil ditangkap—entah karena kabur atau meninggal, maka, bila ada, keturunannya-lah yang harus menanggungnya.

“Tunggu Kak Zeline—berarti … nama keluargamu adalah … Statueque?!” tanya Ara, sedari tadi dia memperhatikan dengan baik apa yang dikatakan Zeline dan berkesimpulan seperti itu.

“Itu mungkin benar, sebab Zeline adalah anak adopsi. Kedua orang tuanya bermata abu-abu.” timpa Sean, tepat ketika Zeline baru membuka bibirnya.

Reiza dan Ara hanya terdiam, mereka sudah paham apa yang sebenarnya terjadi. Intinya, Zeline mencari patung foxbit untuk melindungi ibunya dari aturan konyol negara ini—juga untuk melenyapkan resep itu supaya tidak ada orang yang menyalahgunakannya. Patung foxbit itu ditinggalkan kakeknya di Rumah Beauregard di masa lalu, entah apa tujuan neneknya menyimpan resepnya di dalam patung itu—mungkin karena merasa lebih aman menyimpannya di situ.

Setelah itu Zeline menjelaskan apa yang sebenarnya sedang mereka bicarakan pada Sean. Kemudian Zeline menceritakan bahwa di desa asalnya, ada keluarga aslinya yang menunggu kepulangannya setelah bertahun-tahun lamanya. Namun Zeline rutin mengirim surat secara diam-diam untuk keluarganya di desa. Ketika Zeline berusia 13 tahun, dia mengaku kepada keluarga Abadie bahwa dia anak yatim piatu dan tidak punya kerabat, dia melakukan itu semata-mata supaya bisa lebih lama tinggal di Amour untuk mencari patung foxbit itu. 

Menurut cerita ayahnya, kakeknya dulu merupakan pengrajin patung yang sukses, tetapi kemudian ditipu oleh keluarga Beauregard dan terpaksa mencari uang dengan menjadi pelayan keluarga Beauregard—sekaligus untuk merencanakan balas dendam. Entah bagaimana bisa kakeknya itu bisa menciptakan resep racun itu, tidak ada yang tahu.

Setelah semuanya jelas, Reiza merasa bersalah pada Zeline karena telah berprasangka buruk pada Zeline—dia pikir Zeline memiliki niat buruk. Reiza akhirnya membakar kertas itu segera—menggunakan api yang ada pada lampu minyak—sebelum tangannya ikut terbakar, dia melepaskan kertas itu ke tanah tak berumput yang basah.

Reiza mengajak Ara untuk kembali ke rumah Leon—tentu saja—Reiza belum memiliki rumah dan belum tentu Adam yang sudah tertidur itu akan mengizinkan mereka berdua tidur di rumahnya.

***

Pagi telah tiba, Ara bangun pada pukul 7 pagi—biasanya di Desa Verte dia bangun lebih pagi karena tidak mau sampai dibangunkan oleh bibinya yang menyebalkan itu. Dia keluar dari kamar sementaranya itu, ruangan yang begitu luas dipenuhi barang-barang mewah. Di sana ada Reiza dan Sean yang sedang meminum teh bersama. Tunggu—ada Sean? Benar. Ara bahkan mencubit pipinya sendiri untuk memastikan bahwa ini bukanlah mimpi—dia belum siap untuk berhadapan dengan Sean.

Sean melihat Ara yang sedang mencubit pipinya sendiri, “Apa yang sedang kau lakukan? Kemari, ada yang perlu kubicarakan padamu.”

Ara jadi malu, ternyata ini bukanlah mimpi. Akhirnya dengan ragu-ragu Ara mendekat dan ikut duduk bersama Sean dan Reiza. Apakah kakak adik ini sudah akrab kembali? Semoga saja begitu.

“Dari Zeline.” kata Sean sambil menyodorkan sebuah amplop yang agak berat.

Ara meraih kertas itu dan membukanya. Di dalam amplop itu Zeline menyisipkan sebuah surat dan cincin. Tunggu—itu adalah cincin tunangannya. Kenapa Zeline melepasnya? Ara mencoba untuk membaca apa yang ditulis Zeline di kertas itu.

Maaf ya, Aralena. Sudah waktunya aku kembali ke kampung halamanku—lebih tepatnya kabur dari Amour. Sebenarnya, aku bahkan belum mengatakan tentang keluarga asliku atau bahkan tentang kepergianku ini kepada Keluarga Abadie. Jangan bilang-bilang, ya. Sean dan Reiza juga akan merahasiakannya. Aku akan menjelaskannya sendiri pada keluarga Abadie, aku juga sudah memberi tahu Sean.

Mengenai cincin yang aku sisipkan itu, tolong buang saja. Sean tidak bisa mencintaiku, juga sebaliknya. Mengenai aku yang selalu menggandeng tangan Sean—sebenarnya waktu itu aku tahu pelayan dari keluarga Abadie selalu memperhatikanku dari kejauhan (karena keluarga Abadie mudah curiga, aku ingin tetap diizinkan tinggal di rumah Sean supaya bisa mencari kesempatan untuk mencari tahu tentang patung foxbit itu).

Aku dan Sean, kami adalah teman dekat, tetapi karena tekanan dari ayah Sean, kami jadi bertunangan. Namun tenang saja, kalau Sean memberi tahu bahwa ide patung kucing setengah ikan itu adalah hasil idemu (Sean memberi tahu segalanya tentangmu yang dia tahu kemarin malam), mungkin Tuan Adam akan menerimamu sebagai ucapan terima kasihnya. Ide patung kucing setengah ikan itulah yang membuat toko keluarga Karovich ramai. Sean juga berkata bahwa dia sudah berbicara dengan ayahnya.

Omong-omong, aku tidak sengaja menghilangkan sebuah gelang anyaman wol milik Sean. Apakah itu darimu? Sean terlihat marah ketika gelang itu hilang. Namun aku sudah menemukannya dan mengembalikannya pada Sean.

Sekian.

Ara sedikit kaget membaca surat yang ditulis Zeline ini. Dia merasa senang, juga merasa terkejut. Senang karena Zeline sudah menjauh dari Sean, dan terkejut karena tahu Sean sangat menjaga gelang anyaman buatannya. Ara melirik pada tangan Sean—dan ya, Sean mengenakan gelang anyaman wol berwarna hitam putih. Ara berdebar-debar, dia sangat senang Sean mengenakan gelang itu. Cincin pertunangan di jari kirinya juga sudah tidak ada.

“Aku akan berkemas-kemas,” kata Reiza dan bangkit berdiri.

“Bersiap-siap ke mana?” tanya Ara heran kenapa Reiza tiba-tiba bilang ingin berkemas-kemas.

“Mencari Zeline.” jawabnya dan bersiap untuk kembali ke kamarnya. 

“Apakah kau tahu dia ada di mana?” tanya Ara sekali lagi, mengira Zeline akan memberi tahu alamat rumahnya.

“Aku akan mencari petunjuk sendiri. Aku akan mulai dari Desa Bleu.” katanya mengakhiri, akhirnya Reiza kembali ke kamarnya. Desa Bleu adalah desa yang hampir semua penduduknya bermata biru.

Sekarang tersisa Ara bersama Sean yang sedang minum teh itu. Suasananya sangat canggung, tetapi Ara berusaha membuka mulutnya dan memulai percakapan untuk mencairkan suasana.

“Ah—apakah kau tahu warna kesukaan Zeline?” tanya Ara asal ceplos saja, dia bingung ingin menanyakan apa.

“Putih, mungkin merah juga.” jawab Sean datar.

“Kurasa Reiza menyukai Kak Zeline, dia kemarin sempat memintaku untuk membuat dua gelang anyaman dari benang wol berwarna putih dan merah!” kata Ara terdengar senang. Dia langsung menyimpulkan bahwa Reiza menyukai Zeline. Dia merasa senang ada orang yang mencintai Zeline, sebab Ara merasa berterima kasih dengan Zeline yang melepaskan Sean.

Namun Sean tidak merespons apa-apa, dan akhirnya suasana jadi canggung kembali. Kedua tangan Ara yang di atas pahanya itu terus meremas-remas roknya karena gugup.

“Aku ingin mengubah nama belakangku.” ucap Ara ragu-ragu, tetapi dia berusaha untuk membuat Sean penasaran.

“Mengubah nama belakangmu?” tanya Sean, jadi bingung. Untuk apa Ara ingin mengubah nama belakangnya?

“Bisakah nama belakangku menjadi Karovich?” tanya Ara, menatap Sean dengan serius.

“Ada tiga cara yang paling mudah. Menjadi adik tiriku, menjadi istri adikku—atau, menjadi istriku. Cara mana yang akan kau gunakan?” tanya Sean dengan wajah datar. Meski dalam hati dia tidak mau menawarkan cara pertama dan kedua.

“Bukankah sudah jelas?” kata Ara dan tersenyum manis.

Sean pun mencoba tersenyum untuk pertama kalinya di depan Ara, “2 atau 3 tahun lagi, kau masih perlu bersenang-senang di umur 19 tahun.”

Ara semakin senang dan antusias, “Baiklah, Kak Sean!”

***