Kumpulan Cerpen Kearifan lokal

Karya: Bernadeta Dheswita Puspitasari

Auman Si Burung Pipit (Batik Gumelem)

Ilustrasi Emak Pipit

Sumber: https://gumelem.com/batik-gumelem/ 

Ilustrasi Pipit

Dibuat dengan AI (Copilot BING)

Cerpen ini juga dipublikasi di situs resmi Puspresnas: Pameran FeLSI

“Duh …, Bu, sebaiknya tolak saja. Walau nilainya bagus, tetapi nanti bisa jadi masalah lho. Memangnya Bu Mayang ndak jijik?” bisik Bu Surti, memaparkan ekspresi jengkelnya.

Beberapa guru di ruang rapat sedang mendebatkan sesuatu. Mereka membicarakan seorang anak bernama Pipit Suwaryo yang mendaftarkan diri di sekolah ini melalui jalur prestasi. Bukannya bagus? Kenapa ditolak? Masalah terletak pada kondisi anak tersebut yang menderita penyakit kulit yang langka dan sukar disembuhkan. Sekujur kulit anak tersebut kering dan mengelupas serta diselubungi koreng.

“Sekolah kita ini menerapkan pendidikan inklusif. Selama memenuhi syarat maka tidak ada alasan untuk tidak menerima anak tersebut.” tegas Bu Mayang selaku ketua panitia PPDB.

Secara tidak sengaja Bu Mayang berhasil membuat Bu Surti tambah dongkol. Bu Mayang izin undur diri lebih awal untuk mengurus kembali berkas pendaftaran di ruang kesiswaan. Selagi beliau pergi, Bu Surti lanjut memprotes kepada guru-guru lain.

“Halah, toh nanti dia bakal sering absen.” nyinyir Bu Surti setelah Bu Mayang keluar.


###


Sudah hampir satu semester Pipit menjadi siswa SMPN 1 Gumelem Jaya. Jauh dari dugaan Bu Surti, Pipit nyaris tidak pernah absen semenjak hari pertama masuk. Pipit selalu tersenyum mengawali pagi, meski di kelas dia duduk sendirian tanpa ada yang mau sebangku dengannya. Teman-teman sekelasnya masih merasa jijik dengan kondisi Pipit, meski penyakit itu tidak menular.

“Bu Mayang sekali lagi mau menyampaikan, tolong besok ada yang duduk sebangku dengan Pipit. Di pertemuan selanjutnya Ibu tidak mau melihat Pipit duduk sendirian.” ujar Bu Mayang di kelas yang baru saja beliau ajar.

“Baik, pelajaran dengan Bu Mayang hari ini sudah selesai. Selamat belajar mata pelajaran selanjutnya.” izin Bu Mayang ingin meninggalkan kelas ini.

Semua siswa di kelas tersenyum lebar, “Terima kasih banyak, Bu ...!” ucap mereka dan Bu Mayang meninggalkan kelas untuk melanjutkan pembelajaran di kelas lain.

Tono yang paling ogah duduk dengan Pipit langsung berlari ke arah pintu dan memastikan Bu Mayang sudah jauh dari kelas.

 

“Hei, ini siapa yang mau duduk sama Pipit?!” seru Tono. Seruannya membuat teman- temannya riuh karena mulai kesal.

“Aku gak mau duduk sama Pipit! Aku mau curhat ke mamahku aja nanti!” sahut Tina menimpali Tono.

“Meski gak menular, tapi ‘kan cairannya itu bikin jijik! Iyuh!” sambung Sofi tak mau

kalah.


“Hiii, jangan aku yang duduk sama Pipit! Mending kamu aja Tono, cowok duduknya sama cowok!” paksa Tina demi cari aman.

“Aku juga ogah sama Pipit!” hardik Tono secara blak-blakan.


“Iya Ton, kamu aja! Kamu duduknya pas Bu Mayang lagi ngajar aja! Nah kalau ganti jam pelajaran, kamu gak usah lagi duduk sama Pipit, toh guru lain gak minta kita duduk sama Pipit!” Sofi seolah mencari jalan keluar, padahal dia juga seperti Tina.

Mereka mendebatkan hal itu secara blak-blakan, seolah keberadaan Pipit di kelas itu tidak dianggap. Pipit menunduk, dia tidak tahu harus mengambil tindakan apa saat ini. Pipit dalam hati bisa marah atau jengkel, tetapi sosok Pipit yang rendah hati dan penyabar itu tidak akan senekat itu. Perasaan yang paling menggambarkan Pipit saat ini adalah pilu dan sedu, benar-benar perasaan yang mengguncang emosinya.

***


“Assalamualaikum.” salam Pipit kemudian membuka pintu rumah kecilnya yang tidak dikunci itu.

“Waalaikumsalam.” ibunya membalas sembari mengalihkan pandangan dari televisi tabung jadulnya.

“Lho, kok kamu kelihatan murung begitu, Pit?” tanya ibunya, beliau sangat peka dengan perubahan ekspresi Pipit.

Pipit tersadar bahwa dia harus segera menghapus wajah murungnya itu menjadi lebih ceria, “Oh, Pipit cuman capek kok ... sama laper, hehehe ” jawabnya sembari tersenyum.

Meski ibunya masih menyimpan pertanyaan, tetapi beliau ikut tersenyum demi menjaga perasaan Pipit.

 

“Mak sudah buatkan sayur kesukaan kamu, biar Mak siapkan ya. Kamu cuci tangan dan cuci kaki dulu, Pit.” ucap ibunya dengan lemah lembut.

Pipit mengiyakan sambil mengangguk bahagia. Setelah ibunya ke dapur, Pipit masih terdiam di tempat sejenak. Pipit menatap foto tak berbingkai yang sudah mulai kusam. Foto tersebut berisi gambar Pipit bersama kedua orang tuanya. Sudah lama foto itu ditempel di dinding ruang ini.

Ya Allah aku sangat bersyukur bisa mempunyai orang tua sebaik Mak dan Bapak.

Semoga suatu hari aku bisa membanggakan dan menyenangkan hati mereka batin Pipit.


***


Selang dua hari, menjelang bel pulang Bu Mayang kedatangan beberapa orang tua dari siswa yang sekelas dengan Pipit. Mereka menyampaikan keluhan mengenai Pipit yang seharusnya tidak belajar bersama di kelas dengan putra-putri mereka. Bu Mayang sempat terdiam, beliau merasa kasihan dengan Pipit sekaligus tidak setuju jika Pipit tidak belajar di kelas. Namun jika banyak siswa tidak sekolah, lalu bagaimana? Bagi beliau selama penyakit Pipit tidak menular, Pipit masih memiliki kebolehan ikut belajar di kelas.

Bu Surti yang baru lewat pun berhenti sembari pura-pura mengecek jadwal di ponselnya, meski niat beliau adalah untuk menguping.

“Tolong, Bu. Sekiranya terpaksa, setidaknya ada ruang khusus untuk dia, jangan di kelas bersama siswa lain.” ujar salah satu ibu-ibu berdandan menor.

Bu Mayang bimbang. Baru saja kemarin beliau mengikutkan Pipit pada lomba desain batik secara daring yang diadakan oleh Puspresnas. Beliau merasa tidak ada alasan untuk mengeluarkan Pipit dari kelas atau sekolah ini. Pipit yang rajin dan pintar seharusnya tetap di kelas agar bisa mengajari dan menjadi motivasi teman-temannya. Hanya, penyakit kulit langka yang diderita Pipit membuat orang lain memandangnya sebelah mata.

Dengan berat hati, demi menjawab protes orang tua para siswa, Bu Mayang meliburkan Pipit untuk sementara. Kemudian lagi-lagi Bu Surti beserta guru-guru terdekatnya mengusulkan untuk merekomendasikan Pipit ke sekolah khusus. Bu Mayang tidak ikhlas, jujur saja beliau ingin membela Pipit, tetapi dia tidak memiliki alasan kuat untuk meyakinkan guru- guru lain.

***

 

Sudah satu minggu semenjak Pipit diliburkan. Kini Bu Mayang tengah berjalan ke ruang kesiswaan. Beliau membawa berkas guna merekomendasikan Pipit ke sekolah khusus yang diusulkan guru-guru lain. Berat sudah pasti, serta beliau belum sepenuhnya ikhlas. Padahal belum ada kasus bahwa penyakit Pipit ini menular, tetapi hanya karena jijik, teman- teman Pipit merasa risih dan tidak nyaman dalam kegiatan belajar mengajar.

Bu Mayang duduk kemudian mengambil stempel untuk dicap ke berkas surat pindah yang beliau bawa. Namun mendadak Bu Farhati masuk dengan langkah cepatnya, membuat Bu Mayang mengurungkan niat untuk mendaratkan cap ke kertas.

“Bu, Bu! Ini ada anak kita yang berhasil lolos ke final!” seru Bu Farhati dengan suara tercekat saking terharunya. Beliau menunjukkan daftar nama yang terpampang di ponselnya, menunjukkan akun Instagram Puspresnas.

Bu Mayang menyipitkan matanya dan memeriksa deretan nama yang ada. Begitu menemukan nama yang tepat, sorot mata antusias tampak dalam matanya.

“Alhamdulillah Ya Allah ..., ndak salah saya mengikutkan Pipit ke lomba tersebut.” ujar Bu Mayang, dia menutup bak stempel dan menyingkirkan surat rekomendasi tersebut. Dengan ini Bu Mayang memiliki alasan kuat guna meyakinkan guru-guru lain untuk mempertahankan Pipit.

###


SMPN 1 Gumelem Jaya terletak di Desa Gumelem, Kecamatan Susukan. Desa ini merupakan sentra batik di Kabupaten Banjarnegara. Sehingga sangat lumrah melihat orang- orang yang sedang membatik mulai dari mendesain, memberi malam, mencelup, dan menjemur kain batik dengan motif batik udan liris, pring sedapur dan rujak senthe dengan kekhasan warna sogan. Dengan lingkungan dan budaya keseharian yang mendukung serta kecintaan pada batik, dari 1747 peserta yang berasal dari berbagai SMP/MTs seluruh Indonesia, Pipit berhasil masuk 25 besar dan berhak mengikuti babak final yang dilaksanakan di Jakarta Pusat.

Pipit berkreasi membuat motif baru dan menamakannya motif prit gantil untuk mengikuti lomba batik tersebut. Motif ini tentunya tidak meninggalkan kekhasan dari Desa Gumelem. Motif prit gantil sendiri menggambarkan burung pipit yang di daerahnya merupakan lambang keuletan dan kegembiraan, dengan latar belakang Bukit Girilangan. Tak disangka- sangka motif tersebut berhasil membawa Pipit ke babak final.

 

Seminggu yang lalu panitia memberitahukan jadwal final lomba melalui surel. Kini Pipit bersama finalis lainnya sedang duduk di ruang tunggu. Sebelum lomba dilaksanakan, 25 finalis tersebut harus dites swab dan hasilnya akan dibagikan nanti malam.

Pipit bersama pendampingnya yaitu Bu Mayang sedang mendiskusikan pelaksanaan lomba besok. Beberapa sorot mata tertuju kepada mereka, lebih tepatnya pada sekujur tubuh Pipit. Ada tatapan jijik dan tidak nyaman dari peserta lain. Bu Mayang menyadari hal tersebut, sehingga beliau terus menerus mengajak Pipit mengobrol, dengan harapan Pipit tidak kepikiran mengenai hal tersebut.

Satu pria berbaju batik dengan pin nama sedari tadi memperhatikan Pipit. Tatapannya tak beda jauh seperti orang lain yang memandang jijik, tetapi pria ini juga memandang jengkel. Dia melihat satu orang keluar dari ruang swab, sebelum finalis lain dipanggil dia segera memasuki ruang tersebut.

“Lho, Pak Dodit? Ada apa?” tanya Suster Ratna yang bertugas untuk mengetes swab para finalis. Beliau spontan berdiri melihat kedatangan Pak Dodit.

“Tolong untuk peserta yang ini hasil tes swabnya dibuat positif saja. Bisa jadi masalah karena besok akan ada banyak jurnalis meliput lomba ini. Ditambah lagi beberapa peserta terganggu dengan keberadaan dia.” pinta Pak Dodit sambil menunjuk daftar nama beserta pas foto finalis di kertas milik Suster Ratna.

Wajah Suster Ratna seolah ingin menyampaikan banyak pertanyaan. Kenapa Pak? Bukankah anak tersebut juga berhak untuk ikut? Namun Pak Dodit yang super sibuk itu langsung keluar dari ruangan. Kemudian Suster Ratna membuka pintu sedikit dan mencari anak yang terpampang dalam pas foto yang ditunjuk Pak Dodit. Suster Ratna pun melihat Pipit yang sedang menceritakan sesuatu dengan wajah riang gembira kepada Bu Mayang. Pemandangan mengharukan itu membuat Suster Ratna semakin ragu dan bimbang. Beliau takut dan tidak rela menghilangkan senyuman Pipit.

***


Suster Ratna meregangkan tubuhnya, beliau baru saja menyelesaikan tes swab para finalis. Semua finalis sudah kembali ke hotel untuk beristirahat dan mempersiapkan diri. Sementara Suster Ratna masih ada satu pekerjaan lagi, yaitu merekapitulasi dan membuat print out hasil tes swab. Beliau mengerjakannya satu persatu dengan teliti, awalnya lancar, tetapi ketika Suster Ratna menemui nama Pipit, jari-jarinya berhenti sejenak. Pak Dodit meminta

 

hasil tes swab Pipit untuk dipositifkan, sementara hati Suster Ratna sendiri tidak setuju. Ada pertentangan di hatinya.

Bagaimana ini? Kalau tidak menuruti Pak Dodit nanti aku dipecat dan tidak dapat honor. Namun anak itu juga berhak untuk ikut final apa pun alasannya. batin Suster Ratna, sekilas dia terbayang Pipit yang tersenyum riang gembira tadi.

Ting!


Terdengar suara notifikasi dari ponsel Suster Ratna. Layar ponsel pun menyala bersamaan dengan bunyi notifikasi. Lantas Suster Ratna melirik ke layar ponselnya dan melihat foto wajah anaknya yang dijadikan wallpaper lockscreen.

Bagaimana andaikata anak tersebut adalah anakku?


***


Suasana tenang dengan sesekali terdengar suara jepretan kamera. Patut disyukuri tes swab Pipit menunjukkan hasil negatif, sehingga dia bisa mengikuti lomba saat ini. Pipit dengan serius dan berhati-hati menggambar desain batik prit gantil di kertas yang disediakan panitia.

Tak berbeda dengan Pipit, 24 finalis lainnya bersungguh-sungguh dan mendadak jadi perfeksionis dalam menggambar desain. Menjadi 25 besar dari 1747 peserta bukanlah hal mudah, mana mungkin mereka menyia-siakan kesempatan ini? Semua pasti menginginkan hasil yang terbaik.

Separuh waktu berlalu badan dan mata Pipit merasa lelah sehingga melihat ke sekitarnya untuk menyegarkan pikiran. Teman-teman finalis lain dijepret oleh fotografer yang berkeliling di ruangan ini. Dalam batinnya, Pipit juga ingin dipotret. Kemudian dia berhenti menggambar sejenak, merapikan kerah baju dan rambutnya sebelum fotograter mendatanginya. Lalu, dengan semangat Pipit melanjutkan desain batiknya.

Sepuluh menit, tiga puluh menit, bahkan menjelang akhir waktu lomba, belum ada fotografer yang memotret Pipit, mendekat pun tidak. Sedikit perasaan kecewa menyelinap di sanubarinya. Namun Pipit mengabaikan semua itu. Dia tetap fokus pada tujuan semula datang ke tempat ini, yaitu membawa pulang piala kejuaraan. Pipit ingin sekali mengenalkan batik Gumelem sebagai warisan budaya leluhurnya.

“Perhatian kepada para finalis, waktu lomba sudah usai. Mohon semua peserta meletakkan alat menggambar di meja. Panitia akan mengambil hasil desain lomba.

 

Pengumuman akan disampaikan pada pukul 15.00 WIB.” pengumuman dari panitia melalui pengeras suara.

Pipit pun menarik napas lega sudah berhasil menyelesaikan desainnya. Pipit sudah berusaha dengan maksimal, sisanya dia serahkan pada Yang Maha Kuasa.

***


“Ayo Pit kita istirahat dulu sambil menunggu pengumuman.” ajak Bu Mayang sembari membawa snack ke ruang tunggu yang disediakan panitia.

Pipit mengangguk dan tersenyum. Dia dan Bu Mayang bersama peserta lain memasuki ruang tunggu dan duduk di sana. Suasana cukup ramai dan riuh, 24 finalis lainnya sedang menceritakan lomba tadi ke pendamping mereka. Pikiran Pipit pun tak kalah riuh, dia mempertanyakan hasil kerjanya sendiri di dalam kepalanya.

“Tadi lancar ‘kan? Bisa selesai?” tanya Bu Mayang penasaran.


“Alhamdulillah selesai, Bu. Sekarang rasanya gemetar dan deg-degan menunggu pengumuman. Bisa menang gak ya, Bu? Saya takut mengecewakan Ibu ....” ucap Pipit, ada sedikit ketakutan di matanya.

“Tenang saja, Pit. Kalah atau menang kamu sudah jadi juara bagi Ibu.” ucap Bu Mayang seraya menepuk pundak Pipit.

Sebenarnya Pipit mengantuk. Namun karena kegelisahan hatinya dia hanya duduk diam di ruang tunggu. Muncul lagi bayangan peristiwa yang sangat mengganggu pikirannya dalam ruang lomba. Betapa dia melihat dengan jelas semua fotografer menghindarinya. Sesungguhnya Pipit ingin curhat kepada Bu Mayang, tetapi dia tidak ingin membebani perasaan Bu Mayang yang selama ini sudah sering menolongnya.

Ya sudahlah, aku tidak mau memikirkannya. batin Pipit.


Sembari menikmati snack yang disediakan, tak terasa waktu sudah berlalu. Inilah saat yang ditunggu-tunggu. Suasana langsung hening mendadak. Semuanya menyiapkan hati dan pikiran untuk mendengarkan panitia.

“Juara pertama akan diserahkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, yang jatuh kepada desain batik prit gantil karya Pipit Suwaryo dari SMPN 1 Gumelem Jaya ...!”

 

Mata Pipit pun berkaca-kaca, “Terima kasih Ya Allah ...!” seru Pipit dengan nada haru.

Akhirnya Pipit menangis sesenggukan.


“Lho? Kamu kenapa, Pit? Kok kamu nangis?!” Bu Mayang berteriak panik hingga banyak orang menoleh ke arahnya.

Pipit menyunggingkan senyum tawanya, “Hehehehe ..., saya sangat bahagia, Bu.” ucapnya sembari membersihkan airmatanya.

Pipit maju dengan perasaan bahagia. Piala diserahkan oleh Bapak Menteri. Di luar dugaan Pipit, Pak Menteri tidak jijik dengannya. Justru beliau merangkul Pipit dan fotografer pun memotret mereka beberapa kali. Pipit yang sebelumnya kecewa kini jadi riang gembira, lega rasanya kegalauan Pipit terbalaskan. Betapa senangnya Pipit bisa dipotret, apalagi bersama Bapak Menteri.

***


Menjadi juara nasional bukanlah akhir perjalanan Pipit. Hal itu justru menjadi awal kesuksesan yang lebih besar bagi Pipit. Dia dikontrak eksklusif oleh Kemendikbudristek untuk membuat desain selama 4 tahun guna seragam staf dan karyawan kementrian. Pipit juga mendapat pengobatan di rumah sakit yang direkomendasikan oleh Suster Ratna dan biaya ditanggung Bapak Menteri secara pribadi.

Setelah rentetan kegiatan yang menguras tenaga dan pikirannya, sore ini Pipit dapat bersantai sambil menonton televisi. Hari ini adalah Hari Batik Nasional dan Bapak Presiden akan meresmikan pusat museum batik Indonesia. Pipit yang bergelut di bidang ini tidak ingin melewatkannya. Dia menikmati cimplung di ruang santai sementara ibunya asyik membatik di teras samping rumah.

Mendadak mata Pipit melotot dan terpaku pada sesuatu di layar televisi. “MAAK! Cepat sini Mak!” serunya, tiba-tiba pipit berteriak memanggil ibunya. “Ada apa, Nak?!” jawab ibu Pipit tergopoh-gopoh mendekat setengah berlari.

“Lihat TV Mak ..., desain batik Pipit dipakai Bapak Presiden!” ujar Pipit seraya menunjuk layar televisi dengan antusias.

“Beneran, Pit?! Itu desain kamu?!” tanya ibu Pipit menatap kagum putra kesayangannya.

-TAMAT- 


Aku Anak Dukun Kuda Lumping

Cerpen ini juga dipublikasi di situs resmi Puspresnas: Pameran FeLSI

Ilustrasi

Dibuat dengan AI (Copilot BING)

Ilustrasi

Dibuat dengan AI (Copilot BING)

Riuh tepuk tangan menggema di auditorium Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada setelah Prof. Dr. Tarjo memberi sambutan kepada rombongan mahasiswa Inggris yang akan mempelajari seni kuda lumping di Indonesia selama 6 bulan ke depan. Kilat cahaya kamera secara beruntun menangkap potret wajah berseri dan tubuh tegap Prof. Dr. Tarjo.

Beliau merupakan salah satu orang yang aktif dalam melestarikan seni kuda lumping di Indonesia dan bahkan di luar negeri. Harum namanya hingga merebak di Negara Inggris, menarik perhatian mahasiswa jurusan seni Universitas Oxford mendalami dan mempelajari kuda lumping karena keunikannya. Prof. Dr. Tarjo mampu berdiri dengan mantap di panggung auditorium ini setelah melalui perjalanan panjang dengan berbagai rintangan kehidupan.

***

Bermula ketika Tarjo Cilik masih mengenakan seragam putih biru. Tarjo merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Ayahnya seorang dukun kuda lumping. Ibunya seorang ibu rumah tangga sekaligus penjual jajanan tradisional keliling. Mereka hidup sederhana dan penuh syukur dengan rumah kecil berlantai semen.

“Pak, Tarjo pamit berangkat sekolah.” Tarjo mencium tangan bapaknya.

“Sudah pamit ke Ibu juga tah?” tanya Pak Daroji sembari menganyam bambu untuk properti kuda lumping.

“Sudah, Pak.” jawab Tarjo sambil mengambil tas sekolahnya.

“Ibu membekali lemper sama bakwan buat Tarjo di sekolah. Uang saku kemarin juga masih, hari ini Bapak enggak perlu kasih uang saku buat Tarjo ....” ucap Tarjo sembari menunjukkan selembar uang dua ribu dari sakunya.

Pak Daroji mengambil selembar kertas berwarna ungu dari celana lusuhnya. Pak Daroji memasukannya ke dalam saku Tarjo kemudian menepuk-tepuk pundak putranya.

“Toh nanti siang kita ada pentas, jadi ndak apa-apa hari ini kamu sangu dua belas ribu!” ujar Daroji menegaskan ucapannya.

Tarjo menyunggingkan senyumnya, “Matur nuwun, Pak!”

Tarjo menggendong tas cokelatnya dengan nyaman, meski sedikit rusak dan kusam. Tarjo menempuh perjalanan ke sekolah dengan berjalan kaki. Dia melewati rumah besar mewah yang persis di samping rumahnya. Tarjo melihat Ferdi, teman sekolahnya, sedang memotret sepeda barunya.

“Waduh, ada yang iri nih!” sahut Ferdi menyadari keberadaan Tarjo.

“Hehe, ndak kok. Sepeda kamu baru ya?” Tarjo menanggapi dengan ramah, sudah gayanya begitu.

“Jelas dong! Eh, eh, kok kamu enggak berangkat sekolah naik kuda lumping sih? Siapa tahu bisa terbang kayak sapunya Harry Potter! Hahahaha!” seru Ferdi masih ingin memanasi meski Tarjo tetap sabar.

Tarjo masih menyunggingkan senyumnya. Tarjo tidak terlalu ambil pikir ucapan temannya, pikirannya teralihkan dengan kegembiraan karena hari ini uang sakunya banyak. Biasanya Tarjo diberi uang saku dua ribu atau lima ribu, kini uang dua belas ribu mendiami saku seragamnya. Tarjo hanya mengangguk kecil pada Ferdi dan melanjutkan langkah kakinya, dia tidak ingin terlambat masuk sekolah.

Di tengah perjalanan, seorang anak perempuan berwajah manis dengan rambut kepang dua berseragam putih biru melambai ke arah Tarjo.

“Tarjo! Kamu berangkat jalan kaki lagi?” tanya Rahma yang sudah rapi dengan tasnya. Rahma sedang berdiri di halaman rumah sembari menunggu ayahnya yang sedang memanasi motor.

“Iya nih.” jawab Tarjo, dia berhenti sejenak.

Rahma teman sekelas Tarjo. Mereka sering belajar bersama, di kelas pun menjadi siswa unggulan. Mereka anak yang kompetitif tetapi mampu bersaing dengan sehat. 

Rahma kemudian buru-buru mendekati ayahnya, “Pah, aku enggak jadi diantar deh. Aku mau berangkat sama Tarjo ya!” seru Rahma, kemudian mencium tangan ayahnya. Rahma kemudian menghampiri Tarjo dan jalan kaki beriringan.

Kring! Kring! Kring!

“Woi! Minggir!” seru Ferdi yang dengan sengaja hampir menyerempet Tarjo. Ferdi langsung kabur tanpa memedulikan akibat perbuatannya.

“Tarjo?! Kamu enggak apa-apa?!” tanya Rahma dengan cemas melihat Tarjo yang hampir terjungkal.

“Enggak kok, aku baik-baik saja.” jawab Tarjo walaupun sebenarnya sedikit keseleo karena gerakan refleks menghindar secara tiba-tiba.

“Ih, si Ferdi apa-apaan sih. Jalan segede gaban pakai nyerempet segala. Uh, lanjut jalan yuk, nanti terlambat!” ujar Rahma, justru dialah yang kesal, bukan Tarjo.

Mereka berlari kecil menuju sekolah sebab waktu tinggal beberapa menit lagi dan pintu gerbang SMP Suka Mulya akan segera ditutup pukul 06.50, membuat Tarjo dan Rahma harus bergegas.

***

Seusai jam literasi, jam pertama adalah pelajaran Bahasa Inggris oleh Bu Mayang. Secara mandiri sebagian besar murid menyiapkan buku paket. Bu Mayang sekilas melirik pada Ferdi yang mejanya masih bersih tanpa buku. 

“Good morning students. How are you?” sapa Bu Mayang dengan hangat kepada murid-muridnya. Beliau berdiri di depan papan tulis.

“I’m fine, thank you. And you?” sahut semua murid di kelas serentak.

“I’m fine too, thank you.” tanggap Bu Mayang.

“Today I will continue the topic about occupation. Do you know any kind of occupation?” Bu Mayang mengawali pelajaran dengan sebuah pertanyaan.

“Policeman, Ma’am!” sahut Rahma.

“Teacher!” jawab Tarjo.

Teman-teman lain pun turut menyebutkan secara bersahutan dan sekeras mungkin supaya mendapatkan jempol dari Bu Mayang.

Tiba-tiba Ferdi menyunggingkan senyum jahilnya, “Kalau Bahasa Inggrisnya dukun apa Bu? Itu lho, pekerjaan bapaknya Tarjo. Hahaha!”

“Ferdi, tolong jaga sopan santunmu” tegur Bu Mayang tetapi masih lemah lembut seperti biasanya.

“Kita tidak boleh menghina pekerjaan orang asalkan pekerjaan itu halal.” lanjut Bu Mayang, berharap Ferdi paham.

“Hobi banget sih kamu ngejek Tarjo!” ujar Rahma, makin membuat Ferdi kesal pada Tarjo.

Lagi-lagi si Tarjo yang dibela! batin Ferdi. Dia terdiam dengan rasa kesal yang terpendam. Kedua tangannya terkepal kuat-kuat di bawah meja. Sepanjang pembelajaran suasana hati Ferdi diiringi badai kemarahan, lirikan mautnya berkali-kali tersorot kepada Tarjo. Sementara Tarjo satu dua kali menengok ke arah Ferdi, sebenarnya Tarjo sakit hati, tetapi Tarjo masih tegar untuk melukiskan senyumnya.

Padahal ‘kan bapakku bukan dukun. Bapakku berlatih siang malam supaya bisa menyajikan atraksi yang menarik dan memuaskan penonton. Mau dijelaskan seperti apa pun Ferdi tetap enggak mau percaya. batin Tarjo.

***

“Rahma, kenapa ya Ferdi sering ngejek aku ...?” gerutu Tarjo murung sembari menempuh perjalanan pulang bersama Rahma.

“Itu Ferdi-nya saja yang nakal! Dia enggak terima disaingi kamu!” Rahma senantiasa membela temannya.

“Padahal bapakku ‘kan cari nafkah buat aku dan adik-adikku. Bapakku latihannya keras banget loh supaya triknya kelihatan mulus, tapi Ferdi mengira bapakku pakai sesuatu yang mistis.” nada sendu terpapar jelas dari suara Tarjo.

“Aku ngerti kok, Tarjo. Oh ya, nanti kamu ada pentas di Lapangan Suka Mulya ‘kan?” Rahma mengalihkan pembicaraan, ingin mencairkan suasana.

“Iya. Nanti tonton aku dan teman-temanku ya, ada bapakku juga.” ajak Tarjo, berharap Rahma bersedia menyaksikan penampilannya.

“Ah siap Bos ...!” jawab Rahma sambil tertawa kecil sambil bergurau.

***

Ning nong ning nung ning dung ... hae hae hae ....! 

Terdengar suara musik gamelan dimainkan menandakan pertunjukkan kuda lumping sudah dimulai. Terik matahari yang menyengat tak menjadikan orang-orang mengurungkan niatnya menonton kuda lumping. Tarjo bersama lima penari kuda lumping lainnya serempak dan seirama menghibur para penonton yang mengelilingi arena pertunjukkan. Keringat membanjiri wajah Tarjo, tetapi kakinya yang tak beralaskan itu masih mantap menghentak tanah. Tarjo sangat berkonsentrasi menari sampai tidak sadar Rahma sedang merekam sambil menyerukan nama Tarjo.

Sebagai puncak acara, Pak Daroji dan beberapa rekan lainnya membawa obor dengan api menyala. Pak Daroji bertingkah sedang mendem dan berteriak-teriak seolah-olah kesurupan. Satu rekannya menyerahkan jerigen kecil berisi minyak tanah. Pak Daroji menerimanya dan menampung minyak tanah di dalam mulutnya sampai pipinya mengembung. Kemudian disemburkannya minyak tanah tersebut ke api yang ada di depannya sehingga menimbulkan semburan api besar. Sorakan dan tepuk tangan senantiasa mengiringi sepanjang Pak Daroji menyemburkan api.

Tuhkan! Pasti ada gaib-gaibnya sampai berani begitu! batin Ferdi yang sedang mengunyah cireng yang alot dengan emosi. Kemudian Ferdi membelakangi pertunjukkan, tidak mengindahkan penampilan Pak Daroji, tetapi lanjut berkeliling mencari jajanan.

***

Hari demi hari penanggap grup kuda lumping Pak Daroji semakin banyak, karena pertunjukannya yang menarik dengan atraksi yang bervariasi. Hingga beberapa bulan kemudian grup Ebeg Waluyo Budoyo merambah kota-kota lain. Bahkan mereka diundang untuk memeriahkan Dieng Culture Festival. Semenjak tampil di sana, grup kuda lumping ini menjadi incaran berbagai acara guna menghibur penonton.

Penghasilan Pak Daroji tentunya semakin meningkat. Pak Daroji merenovasi rumahnya menjadi lebih bagus dan enak dipandang sehingga menarik perhatian beberapa tetangganya, termasuk Ferdi yang sampai saat ini memusuhi Tarjo.

Ferdi yang mengenakan kaos dan celana kolor seadanya itu menghampiri satpam pribadi rumahnya, “Pak, aku curiga sama bapaknya Tarjo! Masa yang rumahnya jelek kayak kandang ayam itu sekarang jadi bagus? Pasti bapaknya Tarjo pakai cara ‘enggak bener’!”

“Kalau itu, saya kurang paham, saya juga ndak berani asal tebak, Mas Ferdi.” ucap Pak Sunarto, satpam pribadi rumah Ferdi.

“Pak Narto gimana sih? Harusnya lapor Pak RT buat selidiki mereka!” Ferdi menjadi kesal, dia menendang pot didekatnya sampai tanahnya tumpah.

Pak Sunarto mengelus-elus dada, setelah ini beliau akan ditanyai oleh tuannya terkait bagaimana pot tersebut bisa rubuh.

“Ayo Pak! Lapor Pak RT saja!” seru Ferdi, pantang menyerah menghasut Pak Sunarto.

Bisa gawat kalau saya tolak permintaan Mas Ferdi. Bisa-bisa Mas Ferdi bilang yang memojokkan saya dengan hal-hal buruk ke Pak Gino.

“Nggih Mas Ferdi, nanti saya datangi Pak RT.” Pak Sunarto menyetujui demi menenangkan Ferdi.

“Enggak mau nanti! Pokoknya sekarang!” tak tahu diuntung, Ferdi masih memaksa Pak Sunarto.

“Iya, iya. Saya berangkat sekarang ....” Pak Sunarto sebenarnya kecewa karena gagal menenangkan Ferdi dan kini harus menuruti keinginan tuan mudanya.

Pak Sunarto berencana berpura-pura melapor kepada Pak RT, beliau tidak ingin asal menduga yang nantinya bisa mencoreng nama baik Pak Gino. Namun, Ferdi bersikeras ikut Pak Sunarto karena meragukannya. Kemudian Pak Sunarto terpaksa melapor kepada Pak RT di hadapan Ferdi langsung. Berhubung Pak Daroji dan sekeluarga sedang di luar kota karena kepentingan pentas, Pak RT mengusulkan menyelidiki besok pagi saja bersama beberapa warga.

***

Tong! Tong! Tong! 

Tong! Tong! Tong!

Tong! Tong! Tong!

Suara kentongan dibunyikan tiga kali. Jagoan merah mengamuk di rumah besar Ferdi. Langit sudah begitu gelap dan cahaya merah beserta asap membuat warga sekitar mendatangi rumah Ferdi. Satu warga mencoba menelepon pemadam kebakaran, sisanya sedang bolak-balik membawa ember air guna meredakan api.

“Tolong anak saya! Ferdi masih di dalam!” mohon Pak Gino kepada siapa pun. Istrinya menangis dan menyerukan nama Ferdi histeris berulang kali.

Sayangnya pintu masuk utama sudah dilahap api ganas, bahkan kusen pintunya hampir roboh. Di dalam kelihatannya api sudah menggelora. Kamar Ferdi cukup jauh dari ruang tamu, hingga Pak Gino selaku ayahnya sendiri pun tidak berani menerobos api.

“Pak RT! Kapan pemadamnya datang?!” tanya Bu Gino, dia mencengkram kedua lengan Pak RT sambil menggoncang-goncangkan tubuh Pak RT.

“Maaf Bu Gino, sampainya mungkin lama ....” kata Pak RT, sejujurnya takut menyampaikannya.

Cengkraman Bu Gino melemas. Sebelum mendarat di tanah, Pak Sunarto yang peka sekitarnya itu langsung menangkapnya. Pak Sunarto sementara membawa Bu Gino yang tak sadarkan diri.

Tak ada satu menit, sebuah truk kecil berhenti tepat di depan rumah Tarjo. Buru-buru dibukanya pintu mobil, keluarlah Pak Daroji yang tak kalah terkejutnya melihat pemandangan si jago merah yang melahap rumah Pak Gino. Sekeluarga pun keluar dari mobil, mereka baru pulang sehabis pentas di luar kota. Tanpa pikir panjang Pak Gino yang melihat Pak Daroji itu langsung menghampiri.

“Pak Daroji! Tolong anak saya masih di dalam!” Pak Gino memohon dengan panik, kedua tangannya gemetar.

Tanpa pikir panjang Pak Daroji membuka kaos oblongnya supaya tidak terbakar. Pak Gino mengintruksikan ke mana Pak Daroji harus masuk untuk sampai ke kamar Ferdi. Pak Gino meminta pertolongan beliau karena yakin Pak Daroji sudah akrab dan kebal api, sama halnya ketika Pak Daroji melakukan atraksi di pertunjukkan kuda lumping.

“Bismillah.” ucap Pak Daroji, kemudian langsung berlari menerobos pintu masuk utama dan terus melangkah maju.

Pak Gino hanya bisa menunggu sambil berdoa. Sementara warga lainnya masih sibuk mencari air, sayangnya api masih awet menyala dan belum segera mereda.

“Pak Gino! Itu Pak Daroji sudah kelihatan!” seru Pak RT menepuk keras pundak Pak Gino.

Pak Daroji keluar bersama Ferdi yang tak sadarkan diri di punggungnya. Tampak kaki sebelah kanan Ferdi melepuh karena terbakar. Setelah berhasil keluar salah satu tetangga membantu Pak Daroji memindahkan Ferdi. Pak Gino menyalami Pak Daroji dan berterima kasih sebesar-besarnya. Seandainya malam ini Pak Daroji tidak pulang, entah siapa lagi yang berani menghadapi api tersebut. Pak Gino tidak biasa membayangkan apa yang akan terjadi pada Ferdi jika Pak Daroji tidak pulang lebih awal.

***

“Saya minta maaf, Pak Daroji. Aku juga minta maaf, Tarjo ....” ucap Ferdi, walau suaranya agak tercekat di tenggorokannya.

Kini Ferdi duduk di ranjang rumah sakit. Di samping kanan ada orang tua Ferdi, kemudian di samping kirinya adalah Tarjo beserta Pak Daroji. Ada juga Pak Sunarto yang sedikit jauh beberapa langkah dari mereka, beliau berdiri di dekat pintu.

“Maafkan anak saya, Pak Daroji. Ferdi ternyata selama ini sering mengganggu Tarjo di sekolah, bahkan juga menghasut Pak Sunarto lapor ke Pak RT untuk menyelidiki panjenengan. Ini salah saya kurang cakap dalam mendidik Ferdi.” aku Pak Gino, beliau sangat berterima kasih dan menghormati Pak Daroji.

Pak Daroji justru merasa tidak enak mendengarnya, beliau merasa Pak Gino terlalu berlebihan sampai menyalahkan caranya dalam mendidik Ferdi.

“Sudah kewajiban saya membantu orang yang mendapat musibah, kebetulan saya sudah sering melakukan atraksi sembur api sehingga tubuh saya lebih bersahabat dengan api. Nak Ferdi juga masih remaja, belum berpikir dengan matang. Yang terpenting sudah damai toh?” ucap Pak Daroji sambil merangkul Tarjo yang tersenyum ikhlas sembari menatap Ferdi.

***

Satu ... dua ... cekrek!

Fotografer memotret Prof. Dr. Sutarjo yang berjabat tangan dengan rektor dari Universitas Oxford. Selanjutnya disusul foto bersama rombongan mahasiswa Inggris. Prof. Dr. Sutarjo mengacungkan jempol, yang lain pun mengikuti gayanya. Beliau tersenyum bangga, apalagi beliau menyadari bahwa di antara audiens ada orang tuanya yang turut tepuk tangan.

***

-SELESAI-

Penerus Tari Selendang Dewi

Penerus Tari Selendang Dewi

Karya: Bernadeta Dheswita Puspitasari

Meriahnya peringatan HUT ke-451 Kabupaten Blambang. Syukurlah hari ini dan hari-hari sebelumnya cuaca cerah, sehingga tanah di alun-alun ini tidak becek. Aku bersama Mbah Uti juga menghadiri peringatan HUT, meski harus naik angkot selama satu jam. Mbah Uti yang sudah tidak selincah dulu pun hanya duduk di bangku alun-alun yang tersedia, untungnya aku membawa payung supaya Mbah Uti tidak kepanasan. 

Mbah Uti masih merasa gerah dan gerak-geriknya menunjukkan ketidaknyamanan. Namun, panasnya udara bukan alasan utama. Mbah Uti dari awal memang tidak mau ke sini, tetapi aku bersikeras mengajaknya. Mbah Uti ini memang rajin dan aktif di desa, tapi jarang sekali menyentuh rumput di pusat kota. Aku pun menjanjikan akan membelikan Ondol Pak Tarno untuk Mbah Uti supaya beliau mau ikut ke alun-alun. Ondol itu terkenal sekali di Kabupaten Blambang, selain rasanya yang enak, ondol ini lebih ramah untuk kesehatan. Mbah Uti yang suka segala jenis jajanan jadul jelas mau jika aku mentraktirnya ondol. Sayangnya, suasanya hatinya jadi jengkel kembali.

“Lha, ndak ada anak yang mau nari lagi, kok ya menyalahkan ... astagfirullahaladzim, Gusti ...!” seru Mbah Uti, melampiaskan kekesalannya sembari menepuk dadanya sendiri.

“Sudah Mbah, bukan salah Mbah Uti ....” kataku, lemas dan merasa bersalah. 

Beberapa menit yang lalu ada seseorang yang merupakan panitia peringatan HUT datang menemui Mbah Uti yang sedang menikmati perayaan HUT ini. Beliau tiba-tiba menghampiri Mbah Uti dan memprotes mengapa pada perayaan kali ini desaku yaitu Desa Segara tidak mengirimkan personil satu pun untuk menarikan Tari Selendang Dewi. Tari ini merupakan tari kreasi yang dibuat sekitar tahun 1890-an oleh pendahuluku. Orang yang saat ini menguasai tari ini adalah nenekku alias Mbah Uti. Uniknya, tarian ini hanya ada di Desa Segara.

Tentu hal itu membuat Mbah Uti jadi jengkel. Tidak ada anak yang mau mempelajari tarian itu lagi, sehingga tidak ada personil yang bisa menampilkannya. Itulah salah satu alasan besar yang sebenarnya membuat Mbah Uti tidak mau datang kemari. Memang bukan salahnya, tetapi karena Mbah Uti pelatih yang terakhir, beliaulah yang selalu mengurusi pementasan jika terkait Tari Selendang Dewi.

Dari kejauhan sana, aku tiba-tiba melihat Pak Sasongko, Kepala Desa Segara, datang kemari. Aku pun menyipitkan mataku untuk memastikan bahwa itu benar-benar Pak Sasongko, dan memang tidak salah lagi, itu sungguhan Pak Sasongko. Aku pun melirik ke Mbah Uti, sepertinya Mbah Uti tahu apa niat Pak Sasongko menghampirinya. Pak Sasongko berhenti tepat di depan kami, lantas aku pun berdiri, dan dengan sopan membujuk nenekku untuk ikut berdiri.

“Mbah, ngapunten jika lancang, saya tidak menyalahkan njenengan. Tapi, saya mau memberi saran sebaiknya Tari Selendang Dewi ditambahi apa gitu, Mbah. Kostumnya ditambah aksesoris lagi, iringannya kalau bisa jangan hanya saron, gerakannya juga bisa divariasikan lagi-“

“Hust! Saya mana izinkan Tari Selendang Dewi yang sudah turun temurun diubah! Ndak! Mau berapa kali anda minta, tetap tidak boleh!” 

Lantas Mbah Uti menarik pergelangan tanganku dan mengajakku untuk segera menunggu angkot untuk kembali ke desa. Aku tahu perasaan Mbah Uti, mungkin aku memang salah karena sudah mengajak beliau kemari.

Dari jendela kamar, aku melihat Mbah Uti sedang menyapu di pendopo, yang merupakan paviliun yang ada di muka Rumah Joglo Mbah Uti. Sebelum pandemi, enam sampai tujuh anak perempuan biasanya berlatih tari bersama nenekku di pendopo. Namun, sekarang sudah tidak ada lagi yang bersedia berlatih di sini. Anak-anak di sekitar sini memang masih banyak, lantas mereka berhenti bukan karena Tari Selendang Dewi sulit dipelajari, tetapi karena ... ehem, mungkin karena nenekku sendiri.

Aku pernah bertanya pada salah satu anak yang pernah belajar menari bersama nenekku terkait apa yang membuat mereka tidak mau berlatih lagi, katanya:

“Mbah Esti galak, Mbak. Aku sama teman-teman takut. Sekalinya salah dimarahin, sekalinya sudah betul nggak bilang apa-apa. Jadinya kesel, rasanya yang dilihat cuman salahnya aja. Oh ya, jangan bilang-bilang ya Mbak, hehe.”

Bukan jawaban yang mengherankan. Aku sebagai cucunya sudah paham betul kepribadian Mbah Uti. Saat aku kecil aku pasti selalu menangis jika berkunjung atau dikunjungi Mbah Uti. Kesalahan yang dibuat oleh anak kecil saja dimarahi. Supaya kebal kata beliau. Meski caranya kurang tepat, tetapi itu adalah bentuk kasih sayang Mbah Uti. Untungnya, aku pun sungguhan jadi kebal sehingga sekarang aku sudah biasa saja ketika dimarahi beliau atau pun oleh orang lain.

Kulihat Mbah Uti sudah selesai menyapu pendopo dan menatapku seraya memanggil namaku untuk segera ke sana. Aku pun segera keluar kamar dan berlari menuju Mbah Uti. Aku tidak mau membuat suasana hatinya tambah buruk, aku tahu beliau sedang gundah. Tetangga mulai membicarakan Mbah Uti yang tidak mengirimkan personil saat HUT Kabupaten Blambang kemarin, mana mungkin Mbah Uti masih tenang? Mbah Uti dan tetanggaku saling salah menyalahkan. Tetangga menyalahkan cara mengajar Mbah Uti, sementara beliau sendiri menyalahkan orang tua yang tidak membujuk anaknya untuk berlatih tari.

Aku sangat paham ini bukan masalah sepele. Sejak dulu budaya yang khas dari Desa Segara hanyalah Tari Selendang Dewi. Bahkan, secara umum, budaya Kabupaten Blambang juga tidak begitu banyak. Bisa kukatakan, wajar tetangga dan panitia HUT memprotes ke Pak RT akibat tidak adanya personil yang tampil satu pun. Ah, aku lupa harus segera berlari ke pendopo!

“Dipakai selendangnya, jangan salah pakainya walau latihan.” ujar Mbah Uti. Dari nadanya memang tampak keras, tetapi Mbah Uti yang biasanya memang seperti ini.

Sebelum memakai selendang putih, aku mengambi ponsel yang ada di sakuku dan meletakkannya di meja kecil. Setelah itu aku mengenakan selendang putih itu di pinggang, aku perlu dua sampai tiga kali memeriksa apakah sudah betul mengenakannya. Kulihat Mbah Uti duduk di kursi yang ada sandaran tangan, beliau di sana ingin melihat aku menari. Aku sebelumnya pernah menarikan Tari Selendang Dewi, tetapi itu sudah lama. Aku tidak terlalu sering ada di kampung halaman karena bersekolah di luar kota, supaya dekat dengan tempat kerja orang tua.

Aku mulai menari dengan sungguh dan sadar sepenuhnya—juga ada sedikit rasa tegang, meski seharusnya aku harus menyirnakan rasa tegang itu. Tarian diawali dengan posisi berlutut, kemudian berdiri sambil memegang selendang. Keutamaan tari ini adalah keluwesannya. Tidak boleh kaku sedikit pun. Kemudian ekspresi  harus tersenyum tenang, tidak boleh cemberut atau senyum terlalu lebar. Bentuk senyumnya seperti dewi yang sedang dikagumi, malu-malu tetapi anggun. Kata Mbah Uti, tarian ini sulit karena keluwesan dan ekspresinya harus ekstra diperhatikan. Bahkan, sebelum mempelajari Tari Selendang Dewi harus menguasai setidaknya 3 tarian lain yang mengutamakan keluwesan. Kata beliau sangat sulit jika yang belum pernah menari langsung mencoba Tari Selendang Dewi, mungkin akan menyerah di tengah jalan. Aku rasa lebih tepat menyerah karena lelah dimarahi Mbah Uti, daripada lelah karena tari itu sendiri—ehem. Aku melanjutkan tarianku, meski tegang ditatap oleh mata tajam Mbah Uti. Semoga saja aku tidak dimarahi habis-habisan setelah selesai menari.

*

*

Prok prok prok!

Alhamdulillah Ya allah, aku tidak membuat kesalahan fatal yang sekiranya memancing Mbah Uti untuk mengkritikku habis-habisan. Aku langsung berdiri dari posisi berlutut, mendekati Mbah Uti yang sedang duduk di kursi, kemudian aku berlutut kembali di hadapan beliau.

“Bagus, kamu masih ingat toh.” ucap Mbah Uti. Beliau tersenyum sembari mengusap rambutku.

“Kamu sebentar lagi kuliah, Nok? Kalau ada waktu satu bulanan, Mbah minta tolong kamu melatih anak-anak—“

Tring, tring, triring.

Aku menengok ke meja, ternyata memang ponselku yang bunyi. Aku tidak langsung mengambilnya, melainkan aku menatap Mbah Uti terlebih dahulu. Kemudian Mbah Uti memberi kode dari wajahnya, memperbolehkanku menjawab telepon. Aku kemudian berdiri bergegas mengambil ponsel dan pergi agak menjauh untuk menjawab telepon.

“Assalamualaikum, ada apa, Mah?”

“Dek, udah daftar SNBT-nya?”

Aku terdiam sejenak. Ibuku mendadak meneleponku untuk mengingatkanku mendaftar SNBT. Sungguh, aku bingung menjawabnya.

“Mah,”

“Kenapa Dek?”

Aku lebih mendekatkan ponselku dan melirihkan suara.

“Adek nggak jadi daftar SNBT tahun ini.”

“Loh? Kenapa Dek? Jangan pesimis ah, Mamah yakin kamu bisa.”

“Bukan begitu, Mah. Nanti aku chat Mamah lagi ya. Maaf Mah, dadah.”

Tut.

Aku segera memasukkan ponselku ke dalam saku dan segera kembali untuk mendengarkan Mbah Uti. Aku berlutut di hadapan beliau kembali.

“Ngapunten, Mbah, tadi sampai mana ya?” tanyaku sopan.

“Kamu kuliahnya kapan, Nok? Mbah minta tolong kamu buat ajarin anak-anak menari,” ucap Mbah Uti sembari menepuk pundak kiriku.

“Kayaknya tahun depan, Mbah. Shinta bisa bantu Mbah ajarin anak-anak menari.” ucapku, sembari tersenyum. Aku harap Mbah Uti tidak menyadari sesuatu.

“Sekarang Mbah udah susah buat berdiri lama, sementara ini kamu bantuin Mbah cari anak dan ajari menari.” pinta Mbah Uti, disertai sedikit curahan hati.

Aku tersenyum hangat, “Nggih, Mbah.”

“Ayo ayo, semangat! Yang hari ini paling semangat, Mbak Shinta bakal beliin es krim lho!” seruku seraya membenarkan gerakan anak-anak.

Sudah satu bulan berlalu, sampai hari ini aku berhasil mengumpulkan delapan anak untuk berlatih Tari Selendang Dewi. Sebelumnya aku harus mengunjungi satu per satu rumah untuk menawarkan pelatihan Tari Selendang Dewi. Tentu tidak mudah, ditambah lagi adanya perbincangan mengenai cara Mbah Uti memperlakukan anak-anak yang berlatih menari. Namun aku memberitahu bahwa sementara ini hanya aku yang menjadi pelatih. Hal ini menjadi pertimbangan mereka, berhubung anak-anak banyak yang suka mengobrol dan berinteraksi denganku.

Hari ini delapan anak hadir semua, syukurlah, mereka masih semangat untuk melestarikan Tari Selendang Dewi. Namun, salah satu anak tampak tidak bersemangat menari hari ini. Rina namanya, dialah anak yang biasanya paling bersemangat untuk menari, mendadak hari ini menjadi lesu dan murung. Perbedaan suasana yang cukup jauh, kurasa bukan masalah sepele.

Aku mendekati Rina dan memintanya untuk ke pinggir pendopo bersama. Aku pun merendahkan tubuhku supaya mataku bisa sejajar dengannya. Rina pun tampak bingung di dalam kemurungannya.

“Rina ada masalah di rumah atau di sekolah? Mau cerita nggak sama Mbak Shinta?” tanyaku, sambil menepuk pundaknya.

“Rina ... Rina ngerasa kalau Rina nggak bagus-bagus narinya ... padahal ... Rina selalu semangat ....” keluhnya, sembari sedikit terisak, tetapi Rina menahan airmatanya.

Aku pun memeluknya, “Kamu sudah berusaha yang terbaik, Rina. Mbak Shinta bangga sama kamu.”

Tin, tinnnn!

Aku spontan kaget dengan suara klakson motor. Ah, sepertinya Bagas dan Widi sudah datang. Aku pun perlahan melepaskan pelukanku dari Rina dan sembari tersenyum memintanya kembali berkumpul dengan temannya. Rina menuruti perkataanku dan segera berlari. Aku pun menghampiri kedua temanku yang baru saja turun dari motor sambil membawa tas besar.

“Film dokumenternya mau berapa menit?” Bagas bertanya sembari mengeluarkan kamera dan tripod dari tasnya.

“Mungkin ... 15 menit. 5 menit menampilkan tariannya, 5 menit wawancara sama mbahku, sisanya bisa wawancara anak-anak dan Pak RT.” saranku.

Hari ini aku mengundang teman SMA-ku yang hobi mengedit video. Aku meminta mereka untuk membantuku membuatkan film dokumenter terkait Tari Selendang Dewi. Mumpung aku masih punya banyak waktu.

“Eh eh, pengumuman SNBT-nya! Bentar lagi nih!” seru Widi seraya menunjukkan layar ponselnya. Ada hitungan mundur di ponselnya, sepertinya 2 menit lagi akan selesai.

“Oh iya, gua hampir lupa.” ucap Bagas, kemudian juga membuka layar ponselnya.

Aku hanya tersenyum menanggapi mereka.

“Loh Shin, nggak buka HP?” Widi keheranan, aku pun masih tersenyum.

“Ya elah, Shinta mah nggak perlu buka HP udah jelas keterima kali,” timpal Bagas, seperti biasa dia sering menyanjungku.

Aku pun masih tersenyum dan hanya mengiyakan. Sampai 2 menit sepertinya sudah berlalu, Bagas dan Widi berteriak bersamaan karena mereka diterima di PTN yang mereka impikan selama ini.

“Kamu yakin nggak mau buka pengumumannya, Shin?” tanya Widi sekali lagi.

Aku hanya tersenyum dan menggeleng sebentar saja.

“Ya sudah, yok, dimulai bikin filmnya!” seru Bagas yang sedang mengatur kameranya.

Aku bersiap dan meminta anak-anak untuk mengenakan kostum dan properti tari. Kuharap, film ini dapat terlaksana dengan lancar.

Aku kini di belakang Bagas, menyaksikan anak-anak menari dan direkam oleh Bagas. Aku pun menyemangati anak-anak tanpa suara, hanya aku semangati dengan tersenyum dan mengangkat kepalan tanganku. Sementara Widi mengatur cahaya supaya dapat terekam dengan bagus di kamera. Aku merasa lega, setidaknya membuat film dokumenter adalah salah satu upayaku untuk mempopulerkan tari ini. Selanjutnya aku perlu melakukan usaha lebih, seperti mengadakan Tari Selendang Dewi di pusat kota, atau membuat konten media sosial tentang tari ini, melakukan sosialisasi di sekolah-sekolah sekitar, dan membuat kreasi gerakan baru untung tari ini sendiri.

Impianku ingin menjadi penari hebat, penari yang mendunia, dan aku pasti akan menarikan Tari Selendang Dewi di panggung yang megah. Aku akan menarik perhatian semua mata, entah mata yang berwarna cokelat, mata biru, atau mata hijau. Ribuan orang dari seluruh dunia akan menyaksikan tari ini, dan akan aku buktikan bahwa Tari Selendang Dewi bukanlah tarian biasa.

Mulanya, aku ingin melanjutkan pendidikanku di Universitas Negeri Surabaya, jurusan Seni Tari. Namun, jika aku bisa melakukan aksi nyata di detik ini juga, mengapa tidak? Lagipula, aku bisa mengikuti SNBT tahun depan, ‘kan?

Aku sedikit iri dengan temanku yang sudah diterima PTN duluan. Namun ... aku juga merasa bangga bisa melestarikan tari ini. Menunda kuliah adalah pilihan yang tepat menurutku, aku harus secepatnya mempopulerkan tari ini selagi Mbah Uti masih sehat.

Mbah Uti, sehat-sehat ya, sebentar lagi Tari Selendang Dewi pasti akan banyak peminatnya!

***

Banjarnegara, 7 Juli 2023.




Secercah Cahaya di Kabut Ketakutan (Keramik Klampok)

"330 juta sudah harga paling murah." Pak Yanto tak bisa menerima tawaran dari Mas Eko.

  "Kenapa harganya bisa semahal itu, Pak?" Mas Eko geleng-geleng dengan harga guci besar tersebut.

  "Keramik ini selain bagus, tapi juga antik, Mas. Kakek saya buat ini tahun 1970-an, sampai sekarang awet padahal alat zaman dulu belum sebagus sekarang." Pak Yanto menjelaskan panjang lebar alasan di balik harga guci besar yang sangat mahal tersebut.

  Pak Yanto merupakan pengusaha keramik. Usaha keramiknya diturun temurunkan dari kakeknya, ke ayahnya, kemudian sekarang Pak Yanto yang mengelola sentra keramik ini. Pak Yanto ingin sekali membuka cabang di kota sebelah, yaitu di Purbalingga. Namun Pak Yanto kekurangan modal, hingga memutuskan menjual salah satu keramik yang sudah 50 tahun disimpan baik-baik.

  Ariq berlari di antara keramik yang terpajang. Ibunya pun tampak kewalahan menyuapi anak bandel tersebut.

  "Ariq ... habisin dulu makannya ...." ibunya sudah lelah ikut berlari mengejar Ariq, akhirnya beliau pun duduk di kursi.

  KROMPYANG!!!

  Piring di tangan ibu Ariq jatuh dan tumpah. Pak Yanto syok setengah mati.

  Mas Eko berwajah panik, bingung, dan seperti orang linglung.

  Guci seharga 330 juta itu tersenggol Ariq.

  Jatuh dan pecah berpuing-puing. Mau diperbaiki seperti apa pun, tidak akan bisa kembali ke bentuk semula, sangat hancur!

  PLAKKK!!! 

  Ariq menangis sesegukan setara dengan luar biasanya amarah ayahnya yang ada di ambang batas.

  Ibu Ariq berlari dan langsung memeluk Ariq yang sekian detik lagi akan ditendang perutnya oleh Pak Yanto.

  "Sudah Pak! Sudah!" teriak ibu Ariq sembari ikut menangis. Pak Yanto berusaha memisahkan ibu Ariq dan putranya.

  Mas Eko menarik Pak Yanto yang terus mengumpat keras ke anaknya. Hingga akhirnya Pak Yanto pingsan sembari memegangi dada bagian jantungnya.

  6 tahun menjadi anak yang ceria, Ariq kini akhirnya jadi anak yang penyendiri, penakut, dan pemalu. Ayahnya pun sembuh dan menenangkan diri, tetapi Ariq menangis setiap melihat wajah ayahnya, jantungnya berdegup kencang tiap kali mendengar ayahnya bicara. 

  Teriakan Pak Yanto tak akan pernah lepas dari ingatan Ariq.

###

Selama 7 tahun Ariq tinggal bersama neneknya. Masih satu kecamatan dengan rumah orang tuanya, tetapi Ariq jarang bertemu dengan ayahnya. Ariq merasa bersalah, amat bersalah sudah membuat benda seharga 330 juta melayang.

Ariq masih belajar membuat keramik, karena itu adalah syarat bagi Ariq dari neneknya jika ingin tinggal di rumahnya. Sebenarnya nenek Ariq menerima cucunya itu apa adanya, tanpa syarat apa pun. Namun, nenek Ariq hanya ingin cucu kesayangannya itu bisa mengenal keramik dan meneruskan usaha keluarga mereka.

Kini Ariq sedang bersepeda tak terkendali di sepanjang jalan sepi yang kanan kirinya sawah. Wajah datar dan tatapan mata yang tak tertuju pada apa pun.

“Riq ... nanti ibu sama bapak datang.” terdengar suara nenek Ariq dari balik pintu.

Begitulah kata neneknya tadi pagi. Itulah yang membuat Ariq ogah buru-buru pulang. Tidak pulang pun Ariq tidak siap kena amukan neneknya. Sapu lidi neneknya siap melayang ke Ariq jika anak itu tidak pulang. Sapu lidi keramat yang mungkin usianya lebih tua dari Ariq. 

Kring-kring-kring! BRAKKK!

Ariq banyak pikiran, hingga dia tidak sadar bahwa dia telah menabrak seorang gadis SMP seumurannya. Ariq langsung turun dari sepedanya dan langsung membantu anak itu berdiri. Ariq buyar, bingung, dia menyalahkan dirinya sendiri yang tenggelam dalam lautan trauma akan ayahnya. Anak perempuan itu langsung menangis. Ya, menangis layaknya anak SD. Meski fisiknya menunjukkan bahwa dia tak sepatutnya menangis.

“Eeh ... maaf. Bagian mana yang sakit? Sini?” tanya Ariq terus bertanya sambil menunjuk tangan dan kaki anak tersebut.

Anak perempuan itu hanya geleng-geleng. Masih menangis sambil menutupi wajahnya.

“Terus yang sakit mana? Sininya?” tanya Ariq sekali lagi, dia bingung dan panik.

Anak perempuan itu masih sama responsnya. Kemudian dengan satu tangan yang menutupi wajah, salah satu tangannya menunjuk ke tepi jalan, lebih tepatnya ke sawah. Rupanya tadi dia membawa kain mori bertorehkan motif batik. Sekarang kain mori tersebut kotor karena jatuh ke tanah sawah yang becek.

Ariq segera ke sana, meskipun sepatu hitamnya berlumuran dengan tanah basah. Ariq mengambil kain mori itu. Dia memperhatikan dengan saksama bahwa motifnya ditoreh dengan sangat rapi dan indah. Motif itu merupakan motif udan liris dari Gumelem. Gumelem sendiri merupakan salah satu desa di Kecamatan Susukan, sebelah barat Kecamatan Purwareja Klampok. Ariq merasa bersalah, dicuci pun motifnya bisa rusak. Ariq benar-benar pasrah.

Tidak ada yang bisa dilakukan Ariq selain membawa kain mori tersebut dan membonceng anak perempuan itu ke rumah nenek Ariq yang sudah dekat dari sini.

***

“Duh ... Riq, Riq. Kalau naik sepeda yang hati-hati.” keluh neneknya, baru saja membersihkan lutut Sekar yang lecet karena bergesekkan dengan aspal.

“Mbah mau beli obat merah dulu di warung. Kamu bikinin Sekar teh anget Riq.” nenek Ariq berdiri dan membawa tas lusuhnya.

“Nggih Mbah.” jawab Ariq lirih, menuju dapurnya dan membuat teh.

Sekar sendirian di ruang tamu.

Ariq tidak sengaja menumpahkan teh di dapur, sehingga dia agak lama meninggalkan Sekar sendirian. Selesai membuat teh Ariq langsung kembali ke ruang tamu.

“Lho? Sekar mana?” Ariq keheranan.

Ariq menaruh tehnya di meja. Kemudian pergi ke teras untuk mencari Sekar. Namun Ariq tidak menemukan siapa pun. Ariq masih mencari, dia kepikiran untuk mencari Sekar di belakang rumah, di tempat biasa dia membuat keramik, meski Ariq belum terlalu ahli. Betapa kagetnya Ariq melihat guci buatannya yang masih polos tanpa gambar itu dicorat-coret oleh Sekar. Ya, meskipun bukan sembarang coretan, melainkan motif batik udan liris, Ariq sangat marah. Dia bersusah payah ingin membuat guci yang sama dengan yang dimiliki ayahnya.

Ariq menarik tangan Sekar sampai wajah anak itu berhadapan dengan Ariq. Tangan Ariq berancang-ancang akan menampar Sekar, persis sekali posisinya dengan ayahnya 7 tahun silam.

PLAKKK!!!

Ariq menampar pipinya sendiri. Seperkian detik Ariq menyadari bahwa apa yang dilakukannya adalah keliru. Ariq menangis sembari memegangi pipinya yang kemerahan. Akhirnya Ariq pun berlutut, kakinya lemas tak berdaya. Sekar kebingungan dengan Ariq yang menampar dirinya sendiri.

Neneknya pun datang dan lari tergopoh-gopoh memeluk Ariq. Beliau sangat khawatir Ariq meniru apa yang persis dilakukan oleh ayahnya. Neneknya pun memeluk Ariq dengan erat sambil menangis.

###

“Lelang akan ditutup sebentar lagi ya! Ada 2 guci dan yang satu sudah dibeli oleh pengelola balai budaya seharga 550 juta!” ujar Sekar di depan ponselnya yang terpasang di tripod.

Di belakang Sekar ada 2 buah guci besar mengkilap yang bergambarkan motif udan liris. Ya, entah ide dari mana, mereka mengkolaborasikan seni rupa keramik Klampok dengan motif batik Gumelem. Meski sederhana, ternyata kolaborasi tersebut menarik perhatian banyak orang. Bermula dari Sekar yang live streaming di TikTok, kemudian dia berinisiatif membuka lelang online. Satu guci sudah diklaim oleh pengelola balai budaya Banjarnegara senilai 550 juta. Kini Sekar tinggal menunggu satu guci yang tersisa mendapat tawaran tertinggi.

Di belakang tripod, ada Ariq yang dirangkul oleh ayahnya. Mereka tersenyum. Ya, ini bukan bohongan. Ariq sudah tidak trauma lagi dengan keberadaan ayahnya. Ariq merasa lega, dari idenya Sekar yaitu membuat guci motif batik udan liris, ternyata bagi orang-orang guci itu memiliki nilai seni yang tinggi. Ariq sangat bersyukur bisa bertemu Sekar yang bisa memanfaatkan kecanggihan yang terus berkembang hingga saat ini.

“Terima kasih Nak, modal sebanyak ini Bapak bisa buka cabang bukan hanya di Purbalingga saja, Bapak juga bisa buka cabang di Purwokerto.”

***