Buku "Mengurai Kisah Hujan di Warna Biru"
Sinopsis:
Buku ini berisikan kumpulan cerita sedih, perjuangan, dan perasaan menyerah yang kadang membuat kita merasa frustasi, menutup diri, dan enggan membuka hati. Warna biru dimaknai sebagai kesedihan yang mendalam, sedangkan hujan adalah waktu yang tepat untuk mengenang kisah kelam.
Penulis:
Penulis terpilih lomba menulis batch 2 Halo Penulis by Detak Pustaka
Penerbit:
Detak Pustaka
Link Pembelian Buku: Klik disini
Mengejar Asa
oleh: Dwi Ridho Aulianto
Lima belas menit sudah Tyo berdiri di peron stasiun Bogor menunggu hujan reda. Sepasang headset ia pakai untuk mengusir kebosanan. Jari-jarinya cekatan menyalakan screen lock handphone dan memilih aplikasi pemutar musik, Resso. Bibirnya bergumam dan kepalanya mengangguk seakan sedang menikmati indahnya lagu yang didengarnya.
Hujan deras dan suara geluduk kerap terdengar mengejutkan menjadikan suasana sore semakin mendebarkan. Hembusan angin di kala hujan membawa aroma petrikor menyelimuti ruang di sepanjang peron stasiun.
Raut kesal tampak kentara dari wajahnya, ia harus menunggu hujan yang tak pasti kapan akan berhenti. “Wah malah tambah deres hujannya” gumam Tyo dalam hati. Hari ini adalah kali ketiga ia terjebak hujan di stasiun Bogor. Dalam seminggu terakhir, cuaca sore di Bogor selalu turun hujan. Pulang dalam kondisi basah-basahan menjadi hal yang biasa baginya.
Tiba-tiba arah pandang Tyo teralihkan pada sesosok cewek berkacamata yang sedang duduk di depan kedai kopi. Kelamaan menunggu hujan membuat rasa semakin bosan. Tyo memberanikan diri melangkah menuju kedai kopi untuk menjawab penasarannya.
“Hot americano satu, roti sobeknya satu… nanti antar ke sana ya Kak” ucap Tyo pada pelayan kedai kopi sambil menunjuk meja di sebelah kursi cewek berkacamata.
Tyo segera melangkah menuju meja kosong persis di sebelah cewek berkacamata. Tatapan Tyo terfokus pada novel yang sedang dipegang oleh cewek itu. Desain sampul bergambar labirin dengan judul the fever code, tak asing baginya.
Beberapa saat berlalu, suasana masih hening, belum terdengar sepatah kata terucap dari mulut Tyo. Rupanya ia masih memikirkan bagaimana cara untuk memulai percakapan.
“Sendirian aja Kak” Tanya Tyo sambil menoleh ke arah cewek di sebelahnya.
“Menurutmu gimana?” Jawab cewek berkacamata, sambil melirik ke arah Tyo.
“Duh, juteknya” Gumam Tyo dalam hati. Respon yang tak disangka oleh Tyo, cewek berkacamata itu terkesan cuek seperti tidak mau diganggu apalagi diajak ngobrol. Tak patah arang, Tyo berusaha mencari topik agar bisa membuka obrolan dengan cewek itu.
“Bagus-bagus ya novel karya James Dashner, ceritanya seru sampai akhir loh” Ucap Tyo mencoba membuka percakapan.
“Ya Kak, novelnya keren banget, aku baru selesai baca seri kedua” Sambil tersenyum akhirnya dia menoleh ke arah Tyo. “Wah…ternyata pria ini tahu novel yang kubaca” Gumam dalam hatinya.
Obrolan tentang novel akhirnya membuat suasana canggung menjadi cair, tampak mereka mulai asyik membahas alur cerita novel yang pernah mereka baca.
“Silakan Kak” Ucap pelayan kedai menghampiri Tyo sambil membawa secangkir kopi dan roti sobek pesanannya. Tersirat senyum di bibir Tyo, seakan memancarkan rasa gembiranya telah berhasil melakukan pendekatan pada cewek berkacamata. Sembari menikmati sepotong roti dan panasnya americano, Ia coba memikirkan topik-topik lain sebagai bahan obrolan.
Belum juga melanjutkan obrolan, tiba-tiba terdengar suara speaker di sepanjang selasar peron stasiun. “Ting tung ting tung… Perhatian di jalur tujuh, commuterline tujuan akhir Jakarta Kota siap diberangkatkan, kereta pertama dan terakhir dikhususkan untuk penumpang wanita…”
Cewek di sebelah Tyo bergegas mengambil tas dan menggenggam novelnya. Berdiri dari kursinya, langsung berlari menuju jalur tujuh. Tanpa ada basa-basi ia meninggalkan Tyo sendirian di kedai kopi. Tyo hanya terdiam melihat cewek di sebelahnya yang tiba-tiba bergerak secepat kilat.
Hujan belum juga reda, kesempatan mendekati cewek berkacamata itu pun hilang. Tyo belum sempat menanyakan siapa nama cewek itu dan di mana rumahnya. Ia hanya bisa duduk melihat ke arah jalur tujuh. Memastikan pandangannya ke cewek itu dan berharap bisa bertemu lagi.
Hari dengan cepat berganti. Seperti biasa hujan sore menyambut Tyo saat jam pulang kerja. Biasanya ia bosan menunggu di peron stasiun Bogor, namun kali ini ia tampak lebih semangat dari biasanya. Turun dari KRL Ia bergegas menuju kedai kopi, bukan untuk menunggu hujan reda, tapi dengan harap bisa berjumpa dengan cewek cantik berkacamata yang ia temui kemarin.
Ternyata gadis yang telah mengalihkan perhatiannya sejak kemarin, telah duduk di sana sambil membaca novel miliknya.
“Biasa ya Kak” Ucap Tyo memesan kopi favoritnya.
“Siap” Jawab pelayan kedai.
Tanpa basa-basi Tyo berjalan menghampiri cewek berkacamata.
“Hai, gabung ya?” Sapa Tyo sambil melambaikan tangannya.
“Hai juga, iya boleh” Balas cewek berkacamata sambil tersenyum.
Tak mau menyiakan kesempatan yang ada, Tyo manfaatkan setiap detiknya untuk berbincang dengannya. Obrolan makin seru ketika mereka saling bergantian membahas tentang kisah-kisah novel yang baru mereka baca. Sesekali Tyo bercanda dan mereka terlihat mereka tertawa bersama.
“Drrrttt… Drrrttt… Drrrttt…” Suara getaran handphone terasa. Segera cewek berkacamata mengangkat handphonenya.
“Halo…” Terdengar suara pria dari telepon menyapa. Cewek berkacamata itu mulai menanggapi obrolan lawan bicaranya.
Tyo yang duduk di dekatnya secara tidak langsung bisa mendengar suara lirih pria yang sedang menelepon cewek di depannya. Tak mau mencampuri urusan orang lain, ia memasang headset dan memutar lagu kesukaannya sambil asyik membaca novel miliknya.
Mulai hari itu, mereka sering bertemu di kedai kopi setelah jam pulang kerja, dari sore hingga malam hari dihabiskan bersama. Rasa nyaman mulai muncul dalam diri Tyo. Respons dari cewek berkacamata membuat Tyo semakin menyukainya.
Dua minggu sudah ia lewati waktu bersama di kedai kopi dengan wanita yang menarik hatinya. Sore itu, terlihat Tyo sudah duduk dengan secangkir kopi, sepotong roti dan tumpukkan novel terlihat di atas meja. Sepertinya Tyo sudah menyiapkan bahan obrolan selanjutnya.
Menit demi menit berlalu. Hampir satu jam Tyo menunggu namun belum ada tanda-tanda kehadirannya. Sesekali Tyo menoleh kiri kanan, sejauh mata memandang ke arah selasar stasiun. Hanya terlihat calon penumpang KRL yang silih berganti melintas di depannya. Di tengah penantian yang tak pasti, akhirnya malam itu Tyo memutuskan untuk pulang ke rumah. Hujan lebat dan udara dingin membuat suasana semakin sendu.
Sore ini adalah hari ketiga sejak pertemuan terakhirnya. Hati gelisah, gundah gulana, pikirannya dipenuhi kegelisahan mengharapkan bisa berjumpa lagi dengan wanita pujaan hatinya.
Pelayan kedai kopi yang sudah kenal dengan Tyo segera berjalan menghampirinya.
“Kak ini ada titipan dari seseorang” Ucap pelayan kedai
“Buat saya?” Jawab Tyo penasaran.
“Iya Kak” Lanjut pelayan kedai sambil menyerahkan bingkisan ke Tyo.
“Makasih ya” Jawab Tyo.
Segera Tyo membuka bingkisan untuk mengusir rasa penasarannya. Tampak sebuah kipas kayu cendana berwarna merah dan selembar kertas undangan pernikahan.
“Yang berbahagia… Anastasia Sofia (Asa) & Agung Nugroho (Nunu)” sambil bergumam Tyo membaca undangan di tangannya. Di sisi belakang undangan, terdapat foto calon pengantin tampak serasi dengan busana adat Jawa Barat. Senyum getir terlihat dari wajah Tyo saat melihat sosok mempelai wanita yang ternyata cewek berkacamata, wanita pujaan hati yang ia nanti selama ini.
*****