Buku "Aku Tak Sempurna"
Sinopsis:
Sebagai makhluk sosial, kerap kali kita dituntut untuk selalu dapat memenuhi ekspektasi dan standar kesempurnaan dari orang-orang sekitar. Dikritik dan dibanding-bandingkan seolah sudah menjadi santapan sehari-hari bagi kita.
Kedua hal tersebut tak ubahnya sebuah budaya yang mengakar di masyarakat. Namun, terkadang mereka lupa bahwa manusia adalah lambang ketidaksempurnaan.
Buku “Aku Tak Sempurna” ini merupakan kumpulan curahan hati dari para penulis dalam menghadapi segala tuntutan, ekspektasi serta standar kesempurnaan dari orang-orang.
Penulis:
Penulis terpilih event menulis buku bareng batch 2 by Detak Pustaka
Penerbit:
Detak Pustaka
Link Pembelian Buku: Klik disini
Ontang-anting
oleh: Dwi Ridho Aulianto
“Keluar sana dari rumah! Malu bapak punya anak sepertimu!”, Bapak memalingkan wajah dariku dengan jari telunjuknya yang bergetar mengarah ke pintu. “Kamu itu anak tentara! Harus jadi tentara!”, ia berteriak lagi tanpa melihat wajahku. Hingga saat ini, teriakan Bapak masih terngiang dalam ingatan. Ibu yang saat itu ketakutan hanya bisa menangis di balik gorden pintu kamarnya. Lalu ibu dihadang oleh Bapak ketika ia berusaha mengejar aku ketika memutuskan untuk meninggalkan rumah.
Namaku Satria Pratama, anak laki-laki semata wayang. Orang Jawa menyebut anak tunggal dengan istilah ontang-anting, yaitu sehelai daun yang tersapu angin ke kanan, ke kiri, jatuh lepas tanpa daun lain yang menghalangi. Tanpa harus berbagi kasih sayang, kehidupan anak tunggal mendapat perhatian penuh dari orang tua, pun sebanding dengan harapan yang begitu besar.
Bapakku seorang TNI, sementara Ibu seorang dosen bahasa inggris di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Ekonomi keluarga kami tidak begitu melarat, biasa-biasa saja. Seiring kenaikan pangkat Bapak, bisa dikatakan, sangat berkecukupan.
Sejak di bangku sekolah dasar, orang tuaku mendidikku dengan ketat, banyak aturan. Mulai dari memilih teman, batas waktu keluar rumah, urusan makanan, pendidikan, hingga aktivitas bermain. Wajar sih, namun aku capek. Masa kecil yang harusnya terisi dengan kenangan bermain, hanya diisi dengan belajar, belajar dan belajar. Aku dituntut untuk selalu menjadi siswa terbaik, agar bisa mengalahkan teman-teman lain. Masa kecil hingga remaja tersita hanya untuk belajar. Aku iri mendengar cerita teman-teman yang asyik bermain bersama. Aku ingin, tapi tak berdaya. Mungkin itu sebabnya aku lebih dekat dengan pensil dan secarik kertas.
Selepas SMA, hari-hari kujalani bagai mendung kelabu. Aku sering bersitegang dengan bapakku. Hampir tiap hari bapak memintaku untuk operasi lasik mata, agar bisa memenuhi persyaratan mendaftar tentara. Mengapa bisa begitu? Ya, mataku minus, bisa ditebak dengan mudah dari kacamata tebal yang kupakai. Mungkin itu akibat kebiasaan menonton TV dan membaca buku di ruangan yang temaram. Selain itu, drama pertengkaran juga dipicu karena bapakku selalu membandingkan anak temannya yang telah sukses menjadi tentara, meneruskan jejak bapaknya.
Lelah rasanya aku mendengar serbuan kata-kata menusuk hati. Perih, lara meninggalkan luka. Bagai makan buah simalakama, hidupku dihadapkan pilihan-pilihan pahit, sama-sama tak enak untuk dipilih. Itulah yang menjadi alasan utama aku pergi meninggalkan rumah.
“Aku capek Pak!”, teriakku saat itu lantang. Tanpa pikir panjang lagi, keputusanku sudah bulat. Aku memilih jalanku sendiri, dan saat itu aku tak pernah pulang.
Hujan turun lagi, waktu tenggat sudah dekat. Sembari menunggu hujan reda, aku memilih menggambar di kedai kopi dekat kantor. Hobi corat-coret dan membuat sketsa gambar mengantarkanku hingga titik ini. Sketchbook dan pensil yang sedari dulu setia menemaniku telah mengantarkanku meraih gelar sarjana di bidang animasi. Sekarang, aku telah bekerja sebagai animator di salah satu perusahaan di Jakarta.
Hujan lebat ini tanpa henti membuat lamunan terbawa terus pada kenangan pahit itu. Semesta seperti tahu isi hatiku yang sedang gundah. Hidup sebatang kara di perantauan, mencoba bertahan menjalani pilihan hidupku namun hati rindu. Rindu dengan aroma Gudeg yang Ibu buat khusus untukku. Rindu mengaji selepas magrib dengan Bapak. Lima tahun sejak kejadian itu, aku belum pernah pulang.
Hari ini, Jumat tanggal 28 Oktober 2016. Seluruh instansi pemerintah melakukan upacara Hari Sumpah Pemuda. Peringatan resmi dari pemerintah yang bersifat nasional berlaku untuk semua wilayah di Indonesia. Tak terkecuali Kantor Markas Komando Resor Militer di Yogyakarta. Tampak pasukan berseragam loreng berbaris rapi di lapangan upacara. Mereka dengan khidmat mengikuti prosesi upacara. Berbeda dari upacara tahun sebelumnya, kali ini di akhir acara disiarkan sebuah video animasi bertema sumpah pemuda. Video animasi ini disiarkan serentak melalui berbagai kanal resmi di media sosial. Sebuah inovasi yang dilakukan untuk meningkatkan rasa nasionalisme dan cinta tanah air Indonesia.
Pria berkumis tebal dengan rambut yang mulai memutih, berdiri sempurna sambil menatap layar dengan seksama. Tatapan tajam matanya tak teralihkan dari awal hingga video berakhir. Terlihat susunan credit title berjalan dari bawah ke atas menandakan video telah usai. Sekian detik berlalu, terlintas nama Satria Pratama sebagai penulis dan animator film. Pria itu mengerutkan dahinya, mencoba membaca kembali nama yang telah bergerak ke atas. Nama yang tak asing baginya. Nama yang telah ia berikan kepada putranya. Matanya berkaca-kaca, jantungnya berdegup kencang. Seketika teringat anak semata wayangnya itu. Ya, pria itu adalah Bapakku.
Sedang di sini aku menjalani hidupku dengan segala memori masa lalu. Tabiat keras kepala dengan segala egoku. Namun jauh di lubuk hati yang terdalam, ingin rasanya bertemu dengan Ibu dan Bapak. Menyudahi segala yang telah terjadi. Terbesit pertanyaan, kapan aku bisa membahagiakan mereka? Anak satu-satunya tumpuan harapan, tidak bisa menjadi yang mereka inginkan. Sekarang aku hanya bisa membuktikan bahwa diriku bisa hidup bahagia sesuai pilihanku sendiri. Ibu, Bapak, tunggu, aku akan pulang. Aku harus pulang.
*****