Perkembangan Bimbingan dan Konseling (BK) modern memiliki akar yang kuat di Amerika Serikat, meskipun konsep membantu individu sudah ada sejak zaman kuno. Transformasinya menjadi disiplin ilmu dan profesi yang terstruktur terjadi seiring dengan perubahan sosial dan industri.
Awal Mula dan Abad ke-19: Fondasi Awal.
Meskipun konsep pemberian bantuan kepada individu telah ada sejak Zaman Yunani Kuno melalui pemikiran filsuf seperti Plato dan Aristoteles tentang pengembangan potensi manusia, cikal bakal BK sebagai gerakan yang terstruktur dimulai pada akhir abad ke-19. Revolusi Industri menyebabkan urbanisasi massal dan kompleksitas pekerjaan yang menuntut individu untuk membuat pilihan karier yang tepat dan beradaptasi dengan lingkungan baru. Situasi ini memicu kebutuhan akan bantuan orientasi dan penempatan kerja.
Abad ke-20: Kelahiran dan Pertumbuhan Profesi
Abad ke-20 menjadi periode krusial bagi perkembangan BK sebagai profesi yang terstruktur.
Frank Parsons (1908): Bapak Gerakan Bimbingan. Frank Parsons sering diakui sebagai "Bapak Gerakan Bimbingan" (Father of Guidance Movement) di Amerika Serikat. Pada tahun 1908, ia mendirikan Vocational Bureau di Boston. Parsons meyakini bahwa pemilihan karier yang tepat harus didasarkan pada pemahaman diri, pengetahuan tentang berbagai pekerjaan, dan kesesuaian antara keduanya. Model "ciri dan faktor" (trait and factor) yang dikembangkannya menjadi landasan awal bimbingan karier (Gibson & Mitchell, 2017, hlm. 7-8).
Perkembangan Konseling di Sekolah (Awal 1900-an). Tokoh seperti Jesse B. Davis juga mulai mengintegrasikan layanan bimbingan (yang lebih bersifat moral dan vokasional) di sekolah menengah di Detroit pada tahun 1907.
Perang Dunia I dan Pengujian Psikologis (1914-1934). Perang Dunia I mendorong pengembangan tes psikologis dan intelegensi skala besar, seperti Army Alpha dan Army Beta Test, untuk penempatan militer. Penggunaan tes ini meluas ke sektor sipil setelah perang, memperkuat dasar ilmiah dalam penilaian individu (Corey, 2013, hlm. 8-9).
Depresi Besar dan Konseling Klinis (1930-an). Krisis ekonomi pada Depresi Besar memunculkan kebutuhan akan konseling untuk mengatasi masalah psikologis dan sosial. Pada era ini, Carl Rogers muncul dengan pendekatan konseling berpusat pada klien (client-centered therapy), yang menekankan empati, penerimaan positif tanpa syarat, dan kongruensi. Pendekatan Rogers memberikan landasan kuat bagi praktik konseling modern (Corey, 2013, hlm. 165-168).
Perang Dunia II dan Konseling Pasca Perang (1940-an). Pasca Perang Dunia II, kebutuhan akan konseling psikologis meningkat drastis untuk membantu veteran perang mengatasi trauma dan beradaptasi kembali. Pemerintah AS memberikan dukungan signifikan untuk pengembangan layanan konseling.
Penguatan Organisasi dan Standardisasi (1950-an - Sekarang). Tahun 1950-an menjadi tonggak penting dengan didirikannya berbagai organisasi profesi seperti American Personnel and Guidance Association (APGA, sekarang American Counseling Association - ACA) pada tahun 1952. Hal ini bertujuan untuk mengatur standar praktik, etika, dan pendidikan bagi para konselor. Dekade-dekade berikutnya menyaksikan diversifikasi area konseling (keluarga, pernikahan, rehabilitasi, kesehatan mental) dan perkembangan teori-teori baru.
Perkembangan Bimbingan dan Konseling di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan di negara Barat, terutama Amerika Serikat, yang dibawa oleh para akademisi Indonesia yang menempuh pendidikan di sana.
Pra-Kemerdekaan hingga Awal Kemerdekaan (Sebelum 1960-an)
Pada masa ini, meskipun istilah "Bimbingan dan Konseling" belum dikenal secara formal, prinsip-prinsip dasar bantuan dan pendidikan yang relevan sudah diterapkan. Konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara di Taman Siswa dengan filosofi "Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani" secara implisit mengandung nilai-nilai bimbingan. Guru diharapkan menjadi teladan, pendorong, dan pendukung siswa (Tirtarahardja & Sulo, 2005, hlm. 104). Pada era ini, bantuan kepada siswa lebih bersifat insidental dan melekat pada peran guru secara umum.
Periode Perintisan dan Pelembagaan (1960-an - 1970-an)
Ini adalah periode krusial bagi pelembagaan BK di Indonesia.
Konferensi FKIP Malang (1960). Pemikiran untuk memasukkan Bimbingan dan Penyuluhan (BP) ke dalam sistem pendidikan formal muncul dan dibahas dalam konferensi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) di Malang pada Agustus 1960.
Pembentukan Jurusan BP/BK (1963-1964). Pada tahun 1963, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung (sekarang Universitas Pendidikan Indonesia - UPI) membuka jurusan Bimbingan dan Penyuluhan (BP), diikuti oleh IKIP Malang pada tahun 1964. Ini menandai dimulainya pendidikan formal bagi calon konselor di Indonesia (Nurihsan, 2007, hlm. 13-14).
Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) (1971). PPSP di delapan IKIP pada tahun 1971 menjadi tonggak penting. Melalui proyek ini, konsep Bimbingan dan Penyuluhan dikembangkan dan diujicobakan dalam setting sekolah (Juntika, 2014, hlm. 3).
Kurikulum SMA 1975. Dengan diberlakukannya Kurikulum SMA 1975, pelayanan Bimbingan dan Penyuluhan (BP) secara resmi diakui dan diwajibkan di sekolah-sekolah, meskipun pelaksanaannya masih belum seragam.
Konvensi Nasional Bimbingan I di Malang (1975). Konvensi ini menghasilkan keputusan penting, salah satunya adalah pembentukan Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI), yang kemudian pada tahun 2005 berubah nama menjadi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN).
Perkembangan dan Penguatan (1980-an - Sekarang)
Perkembangan BK terus berlanjut dengan penguatan legalitas dan profesionalisme.
Kurikulum 1984 dan 1994. Pada Kurikulum 1984, layanan BP dimasukkan lebih mantap. Kemudian, pada Kurikulum 1994, istilah "Bimbingan dan Penyuluhan" (BP) secara resmi diganti menjadi "Bimbingan dan Konseling" (BK). Perubahan nama ini merefleksikan pengakuan terhadap aspek konseling yang lebih mendalam.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003. Undang-Undang ini semakin memperkuat kedudukan BK dengan memasukkannya sebagai salah satu komponen penting dalam pendidikan nasional (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 3).
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 27 Tahun 2008. Peraturan ini secara spesifik mengatur standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor di sekolah, menegaskan peran profesional guru BK (Permendiknas No. 27 Tahun 2008).
Perkembangan Profesionalisme. Profesionalisme guru BK terus ditingkatkan melalui pendidikan berkelanjutan, sertifikasi, dan pengembangan organisasi profesi (ABKIN). Fokus BK juga semakin berkembang, tidak hanya pada aspek akademik dan karier, tetapi juga pada pengembangan pribadi, sosial, dan pencegahan masalah yang lebih komprehensif.
Corey, G. (2013). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (9th ed.). Brooks/Cole, Cengage Learning.
Gibson, R. L., & Mitchell, M. H. (2017). Introduction to Counseling and Guidance (7th ed.). Pearson Education.
Juntika, A. (2014). Konsep Dasar Bimbingan dan Konseling. Jurnal Bimbingan Konseling Islam, 5(2), 1-15. https://doi.org/10.21043/jbki.v5i2.1509
Nurihsan, A. J. (2007). Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Pustaka Setia.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.
Tirtarahardja, U., & Sulo, L. (2005). Pengantar Pendidikan. Rineka Cipta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.