Diskusi 26 September 2013

Semangat dan optimisme untuk memperkuat ketahanan nasional melalui pengembangan teknologi pertahanan hasil produksi industri pertahanan dalam negeri semakin menguat. Suasana itu tampak dalam diskusi yang dipimpin langsung oleh Direktur Industri Maritim Kedirgantaraan dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian, Hasbi Assiddiq Syamsuddin, pada Kamis, 26 September 2013, pukul 08.30 sampai dengan 15.30 WIB bertempat di Hotel Tunjungan Surabaya. Hadir dalam kegiatan diskusi tersebut sebanyak 23 orang peserta yang merupakan para pimpinan instansi, perguruan tinggi dan direktur perusahaan BUMN, meliputi: Direktorat Teknologi Industri Pertahanan Kemhan, Deputi Bidang Usaha Industri & Manufaktur Kementerian BUMN, Direktorat Industri Kimia Dasar Ditjen BIM Kemenperin, PT Pindad, PT PAL, PT Dok Perkapalan Surabaya, PT Petro Kimia Gresik, PT Boma Bisma Indra, PT Maju Mapan, PT Goeno, PT Jangkar Nusantara Megah, PT. Lundin Industri, PT Sritex, PT Sari Bahari, PT Info Global, Politeknik Manufaktur, IPNAS, Asosiasi Penyediaan Alat-Alat Pertahanan Malang, dan Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut. Materi yang dibahas dalam diskusi adalah tentang fasilitasi pengembangan industri pertahanan.

Diskusi diawali dengan sambutan Direktur Industri Maritim Kedirgantaraan dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian, Hasbi Assiddiq Syamsuddin. Dilanjutkan dengan paparan awal yang disampaikan oleh Dr. Ir. M. Nurdin, peneliti senior dari Politeknik Manufaktur Bandung. Materi yang disampaikan adalah tentang Pengelompokan Industri Pertahanan sesuai dengan UU Nomor 16 Tahun 2012 tanggal 5 Oktober 2012 tentang Industri Pertahanan. Bahwa berdasarkan undang-undang tersebut industri pertahanan dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu: industri alat utama, industri komponen utama, industri komponen dan industri bahan baku. Industri alat utama, adalah BUMN yang ditetapkan pemerintah sebagai pemadu utama (lead integrator) yang menghasilkan alat utama sistem senjata dan/atau mengintegrasikan semua komponen utama, komponen, dan bahan baku menjadi alat utama. Industri komponen utama dan/atau penunjang adalah BUMN dan/atau BUMS yg memproduksi komponen utama dan/atau mengintegrasikan komponen/suku cadang dengan bahan baku menjadi komponen utama Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dan/atau wahana (platform) sistem ALUTSISTA. Industri komponen dan/atau pendukung (perbekalan), adalah BUMN dan/atau BUMS yang memproduksi suku cadang untuk alat utama sistem senjata, suku cadang untuk komponen utama, dan/atau yang menghasilkan produk perbekalan. Industri bahan baku adalah BUMN dan BUMS yang memproduksi bahan baku akan digunakan oleh industri alat utama, industri komponen utama dan/atau penunjang, dan industri komponen dan/atau pendukung (perbekalan).

Paparan dilanjutkan oleh Kolonel Laut (T) Maman Rohman, dari Ditjen Pothan Direktorat Teknologi dan Industri Pertahanan Kementerian Pertahanan, yang menyampaikan informasi tentang ”Program dan Kegiatan Pengembangan Kegiatan Industri Pertahanan terkait dengan Implementasi UU Nomor 16 tahun 2012 tanggal 5 Oktober 2012 tentang Industri Pertahanan”. Dikemukakan bahwa saat ini Pemerintah Indonesia sedang menerapkan program-program nasional untuk pengembangan jet tempur KF-X/IF-X, penguasaan teknologi pembangunan kapal selam, pembangunan Industri Propelan, pengembangan roket/rudal nasional dan radar. Untuk itu diperlukan kesiapan sumber daya manusia dan infrastruktur dari industri pertahanan dalam negeri. Pemerintah Indonesia optimis dalam waktu dekat putra-putra bangsa akan mampu menguasai pembuatan alutsista secara mandiri dan kualitasnya tidak kalah dengan teknologi dari luar negeri. Indonesia akan menjadi bangsa yang disegani di dunia.

Paparan terakhir disampaikan oleh Mohammad Kayam, Direktur Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian yang menyampaikan tentang ”Program dan Kegiatan Pengembangan Industri Kimia untuk Industri Pertahanan”. Disampaikan bahwa seiring dengan semakin membaiknya perekonomian Indonesia, pemerintah harus menetapkan roadmap pengembangan industri bahan peledak/propelan melalui Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), membiayai program pengembangan industri bahan peledak/propelan melalui APBN, menetapkan negara lain sebagai partner pengembangan sebagai pemilik teknologi proses industri bahan peledak/propelan, menetapkan program alih teknologi dari pemilik teknologi proses industri bahan peledak/propelan, membentuk Project Management Unit (PMU) dalam melaksanakan proyek pembangunan industri bahan peledak/propelan, mengkoordinasikan perencanaan proyek pembangunan industri bahan peledak yang terintegrasi, dan membentuk “center of excellence” atau “energetic material center” pengembangan industri bahan peledak terintegrasi (pusdiklat, pusat informasi, laboratorium, perpustakaan, dan lainnya).

Kegiatan diakhiri dengan diskusi dan ramah tamah. Diskusi menghasilkan beberapa rekomendasi, sebagai berikut:

Pertama. Komite Kebijakan Industri Pertahanan yang disingkat KKIP memiliki beban tugas yang berat karena harus mengkoordinasikan kebijakan nasional dalam perencanaan, perumusan, pelaksanaan, pengendalian, sinkronisasi, dan evaluasi Industri Pertahanan, yang melibatkan stakeholder terkait, terdiri dari: pemerintah, pengguna dan industri pertahanan. Oleh karena itu tugas, peran dan fungsi KKIP harus didorong secara kolaborasi agar pengembangan teknologi industri pertahanan dapat terwujud secara efektif, efisien, terintegrasi dan inovatif yang berdampak pada semakin kuatnya TNI dalam menjaga ketahanan nasional.

Kedua. Agar produk hasil dari industri pertahanan matra laut dalam negeri mampu bersaing dengan produk hasil dari industri pertahanan matra laut luar negeri, maka perlu diusulkan kepada pemerintah tentang kebijakan insentif fiskal. Kalau perlu dimasukkan ke dalam Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana penjabaran dari UU Nomor 16 tahun 2012 tanggal 5 Oktober 2012 tentang Industri Pertahanan. Selama ini produk alutsista buatan dalam negeri yang dijual ke TNI/Polri selalu terkena biaya pajak yang berakibat pada tingginya harga jual barang, sementara alutsista yang impor dari luar negeri justru bebas dari pajak sehingga menjadi lebih murah. Ada lagi studi kasus, industri pertahanan matra laut di wilayah Jawa kalah bersaing dengan industri pertahanan matra laut yang ada di Batam. Produk industri pertahanan matra laut di wilayah Batam karena ada kebijakan free trade area, maka harganya bisa lebih murah dibanding buatan industri di wilayah Jawa. Padahal industri-industri yang berada di Batam banyak pemegang sahamnya dikuasai oleh pengusaha dari Singapura.

Ketiga. Forum diskusi semacam ini sangat penting untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada di lapangan. Di samping itu juga sangat penting untuk memberikan informasi tentang perkembangan terbaru terkait dengan kebijakan kebutuhan baik jumlah maupun mutu alutsista dari pengguna, kapabilitas yang dimiliki oleh masing-masing industri pertahanan, pelibatan lembaga akademis, dan instansi pemerintah yang terkait, sehingga dapat dikolaborasikan untuk menghasilkan pemberdayaan masing-masing lembaga secara maksimal, integratif dan berkelanjutan. Hasil diskusi tersebut diharapkan mampu memfasilitasi pengembangan industri pertahanan di dalam negeri. Semoga upaya-upaya yang telah dilakukan oleh segenap komponen bangsa dalam menguasai teknologi pertahanan mampu mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan disegani oleh dunia internasional.