Berita 5 Nov 2013

 

Berbicara mengenai konsep Negara Maritim, tidak lepas dari kepentingan pertahanan dan industri pertahanan. Sebagai Negara Kepulauan terbesar di dunia, Indonesia tidak hanya harus bisa menjaga kedaulatan, tetapi juga melindungi seluruh kekayaan alam yang dimilikinya.

Luas laut Indonesia yang mencapai 5,8 juta km2, terdiri dari 0,3 juta km2 perairan teritorial, 2,8 juta km2 perairan pedalaman dan kepulauan, 2,7 juta km2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), serta lebih dari 17.500 pulau terhampar, jika dikelola dengan maksimal dapat memberikan pemasukan lebih dari 100 miliar dolar AS per tahun. Namun, yang dikembangkan kurang dari 10 persen.

Sebagai negara besar berdasarkan luas wilayah dan jumlah penduduk, sudah seharusnya Indonesia menjadi bangsa yang makmur dan disegani. Tapi, kenyataannya dengan potensi sumber daya alam yang berlimpah Indonesia tak berdaya. Apalagi di bidang industri maritim, roda perekonomian Indonesia terpenjara oleh kepentingan politik dan asing.

Padahal, seiring dengan pergeseran perekonomian dunia dari wilayah barat ke Asia Pasifik, Indonesia memiliki posisi yang sangat strategis. Resesi ekonomi di kawasan Eropa dan Amerika membuat arus modal dan investasi beralih ke wilayah negara berkembang di Asia. Hal ini terlihat 70 persen perdagangan di dunia berlangsung di kawasan Asia-Pasifik. Tercatat pula, 75 persen produk dan komoditas yang diperdagangkan dikirim melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar 1.300 triliun dolar AS per tahun. Tah heran, banyak pihak yang berkepentingan dengan wilayah Indonesia baik secara politik maupun ekonomi.

Militer Amerika Serikat (AS) secara spesifik bahkan mencatat, setiap tahun sekitar 63 ribu kapal melintas di Selat Malaka, 3.500 di Selat Sunda, dan 3.900 di Selat Lombok. Sementara tonase kapal-kapal dagang yang melintas di Selat Malaka setiap tahun mencapai 525 juta ton dengan nilai USD390 miliar, Selat Sunda 15 juta ton senilai USD5 miliar, dan Selat Lombok 140 juta ton sebesar USD40 miliar.

Melihat potensi tersebut, posisi keamanan Indonesia sangat rentan. Dibutuhkan sistem pertahanan dan keamanan yang kuat, tidak hanya dari segi senjata, dan jumlah personel tetapi juga penguasaan dalam teknologi. Bayangkan, bagaimana negara lain bisa mengetahui jumlah kapal yang masuk, sarana geografis dan kekayaan yang dimiliki. Sementara pemerintah Indonesia tidak memiliki hitungan jelas, walau dalam bentuk angka.

 

AS awasi Indonesia

 

Posisi strategis Indonesia diakui negara-negara di dunia. Salah satunya negeri Adidaya, Amerika Serikat (AS). Panglima Komando Militer AS, Kawasan Pasifik (PACOM), Laksamana Samuel J Locklear III secara khusus menyoroti posisi Indonesia di Asia Pasifik. Itu sebabnya AS dalam beberapa tahun terakhir menitikberatkan kepentingan keamanannya di kawasan ini. 

Dalam kunjungannya ke Indonesia, Februari lalu, Locklear menyampaikan, pergeseran fokus sebagai rebalanceperan AS di Asia Pasifik. “Ini tidak hanya menyangkut militer, tapi juga kebijakan, diplomasi, dan perdagangan. Perimbangan ini adalah suatu strategi kolaborasi dan kerja sama,” kata Locklear.

Setelah mengakhiri perang di Irak dan Afganistan, AS bergeser fokus ke kepentingan di Asia Pasifik. Karena itu, lebih dari setengah kekuatan militer laut AS kini ditugaskan beroperasi di kawasan yang terdiri dari banyak negara tersebut, termasuk Indonesia. 

Kini, Laksamana Locklear memimpin PACOM, komando gabungan militer terbesar AS, meliputi Asia Pasifik, Asia Timur, dan Asia Selatan. PACOM dibekali seperlima dari total kekuatan militer AS dan akan memimpin 60 persen dari armada Angkatan Laut Amerika. Saat ini, armada militer AS di Pasifik diperkuat lima kapal induk dengan kekuatan pendukung, yaitu 180 kapal, 1.500 pesawat, dan 100.000 personel militer aktif.    

“Selama hampir setahun menjabat sebagai panglima, saya makin kagum atas beragamnya kompleksitas di kawasan ini, yang melingkupi lebih dari separuh permukaan Bumi dan lebih dari setengah jumlah populasi dunia. Kawasan ini punya keragaman yang luar biasa secara sosial, budaya, ekonomi, dan geopolitik,” kata Locklear. 

Dia memaparkan data spesifik betapa banyak dan beragamnya kekuatan Asia Pasifik yang saat ini menjadi perhatian utama AS. “Kawasan ini punya dua dari tiga ekonomi terbesar di dunia dan tujuh dari 10 negara terkecil di muka bumi. Asia Pasifik juga punya negara yang berpenduduk paling banyak di dunia, negara demokratik terpadat, negara berpenduduk mayoritas muslim terbanyak, dan republik terkecil,” lanjutnya. 

Locklear mengungkapkan, wilayah tersebut memiliki sembilan dari 10 pelabuhan terbesar di dunia, dan jalur-jalur laut paling sibuk yang menghasilkan lebih dari 8 triliun dolar AS dari arus perdagangan dua arah yang melibatkan setengah dari total kargo kontainer dunia, dan 70 persen dari kapal-kapal pengangkut bahan energi melintasi lautan Pasifik setiap hari.

Di sisi pertahanan dan keamanan, Asia Pasifik dianggap AS sebagai kawasan paling banyak dilengkapi kekuatan militer. “Kawasan ini punya tujuh dari 10 kekuatan militer terbesar. Angkatan-angkatan laut terbesar dan paling mutakhir juga berada di Asia Pasifik,” ujarnya.

Paling penting, bahwa lima dari negara-negara kekuatan nuklir dunia berada di kawasan ini. “Semua aspek tersebut bila dikumpulkan, menghasilkan kompleksitas strategis yang unik,” kata Locklear, yang selama kunjungannya ke Jakarta menemui Panglima TNI, Menteri Pertahanan, dan para pejabat tinggi Indonesia.

Dia membeberkan sebanyak hampir 350 ribu personel militer AS berdinas dan tinggal di Asia Pasifik, serta hampir 70 ribu anggota keluarga mereka ikut. “Saya tegaskan bahwa Amerika merupakan kekuatan Pasifik. Tidak hanya terletak di Pasifik, tapi kami juga punya ikatan sejarah dan ekonomi dengan para negara tetangga sehingga mereka menyadari bahwa kita punya kepentingan yang signifikan sebagai sama-sama negara Asia Pasifik,” tegas Locklear. 

 

Kekuatan China

 

Membaiknya tren perekonomian di Asia Pasifik tidak diikuti hubungan bilateral. Sengketa perbatasan antar wilayah di Asia Pasifik menjadi isu sensitif. Seperti sengketa Kepulauan Senkaku atau Diaoyu yang diperebutkan China dan Jepang, menyebabkan hubungan kedua negara tersebut sejak September 2012 tegang.

Selain itu, upaya China mematok garis batas wilayah laut teritorial secara sepihak, mengudang protes dari negara di sekitarnya, terutama Vietnam dan Filipina. Rawannya situasi di Semenanjung Korea juga menjadi persoalan. Begitu pula dengan bangkitnya China dan India sebagai kekuatan ekonomi baru. 

Tidak seperti aliansi keamanan NATO di kawasan Amerika dan Eropa, tidak ada suatu mekanisme pemerintahan tunggal di Asia Pasifik yang menyediakan kerangka bersama dalam menyelesaikan konflik. “Itu sebabnya perimbangan kembali posisi AS menjadi penting bagi Asia Pasifik. Ini menjadi dasar bagi banyaknya peluang kerjasama AS dengan para negara mitra di kawasan,” kata Panglima Komando PACOM Laksamana Locklear, berdalih.  

Dia meluruskan sikap AS atas perkembangan pengaruh China di Asia Pasifik. Menurut dia, pola hubungan kedua negara itu tidak sedramatis seperti yang digambarkan media massa. AS tidak melihat China sebagai ancaman walaupun saat ini sedang bersitegang dengan negara-negara sekutu, seperti Jepang dan Filipina, menyangkut masalah teritori. 

Locklear tidak setuju dengan anggapan yang beredar, bahwa AS tengah berupaya “mengurung China untuk membendung pengaruhnya di kawasan ini. Strategi yang diterapkan Washington, menurut Locklear, justru terus berupaya melibatkan negara komunis itu ikut bertanggung jawab menjaga stabilitas keamanan di Asia Pasifik.  

“Kami mengupayakan hubungan yang bertahan lama dengan China, termasuk hubungan militer ke militer. Kami berharap bisa mengesampingkan perbedaan pandangan yang ada dan fokus dalam hubungan yang sama-sama memberi manfaat, seperti memerangi perompakan dan terorisme, melindungi jalur komunikasi laut, kerjasama bantuan kemanusian dan penanggulangan bencana,” terang Locklear.   

Di pihak lain, Beijing terus membangun kekuatan militernya. Mereka berencana membuat lebih banyak kapal induk sebagai upaya modernisasi dan memperkuat pertahanan militer. Wakil Kepala Staf Angkatan Laut China, Song Xue menyatakan, kapal induk berikutnya harus lebih besar dan bisa membawa lebih banyak pesawat tempur.

China sudah punya satu kapal induk, The Liaoning, kapal buatan Uni Soviet yang direnovasi dan mulai beroperasi pada September 2012. Hal ini sebagai langkah simbolis peningkatan kekuatan militer negeri Tirai Bambu. Hebatnya, kapal induk terbaru mereka akan diproduksi di dalam negeri.

Peningkatan kekuatan angkatan laut China telah memicu keprihatinan negara tetangga, khususnya yang terlibat dalam sengketa dengan mereka. Namun Beijing berdalih, bahwa ekspansi pasukan angkatan lautnya sama sekali bukan ancaman bagi negara lain.

Menurut Song, Liaoning akan digunakan untuk misi penelitian ilmiah dan pelatihan. Meski demikian, China telah berhasil melakukan uji pendaratan pesawat-pesawat tempurnya di atas Liaoning. Kapal tersebut dirancang sedemikian rupa agar sanggup mengangkut 30 pesawat terbang.

Song berharap, kapal induk baru yang sedang dibangun nanti bisa mengangkut lebih dari 30 pesawat tempur milik Negeri Panda itu. Angkatan Laut China juga mulai membangun penerbangan untuk kapal Liaoning. Selanjutnya, akan dibentuk pula dua resimen jet penerbang dalam satu kapal induk. Pesawat tempur, pesawat intai, dan anti-kapal selam juga akan dimasukkan ke dalam resimen itu.

Liaoning saat ini mengangkut pesawat tempur J-15 yang dinilai masih harus menjalani uji coba secara intensif. Pembangunan dan rekonstruksi Liaoning juga melibatkan ribuan perusahaan China. Mereka berencana akan mengundang atase militer asing untuk menyaksikan kapal kebanggaannya.

 

Pertahanan Indonesia

 

Melihat kekuatan pertahanan yang dimiliki bangsa lain, pertanyaan besar muncul, di mana posisi Indonesia sekarang? Secara alutsista peralatan perang Negeri Bahari yang begitu luas ini jauh dari ideal. Demikian pula untuk tekonologi, jauh akar dari pohon. Untuk membangun pertahanan maritim yang kuat butuh komitmen dan kerja keras dari semua pihak dalam mengejar ketinggalan dari negara lain. Kini, Indonesia menjadi sasaran empuk bagi negara-negara yang memiliki kekuatan maritim besar.

Meski demikian, Indonesia bukannya tanpa kemampuan dan potensi. PT Sari Bahari, sebuah perusahaan alat pertahanan di Malang, Jawa Timur, sudah sanggup mengekspor 260 kepala roket latih (smoke warhead) kaliber 70 milimeter (mm) ke Republik Cile, Amerika Selatan. Ini merupakan ekspor pertama pabrik swasta tersebut.

Sebelumnya, seluruh produk roket hanya dijual untuk memenuhi kebutuhan Tentara Nasional Indonesia (TNI). “Kami berhasil menyisihkan 43 negara dalam tender internasional,” kata Direktur Utama PT Sari Bahari, Ricky Hendrik Egam.

PT Sari Bahari bekerja sama dengan perusahaan Fabricas Maestranzas del Ejercito (FAMAE) Chile. Roket ini akan digunakan untuk latihan perang bagi militer angkatan darat, udara, dan laut. PT Sari Bahari mengantongi izin ekspor dari Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan (Dirjen Pothan Kemenhan) pada 6 Maret 2013.

Ekspor ini, tutur Ricky, membuktikan pengakuan produk industri pertahanan Indonesia tak kalah dibanding negara lain. Dia berharap ekspor perdana ini memacu semangat perseroan untuk meningkatkan kualitas dan produksi.

Roket ini digunakan para pilot tempur untuk berlatih menembak sasaran sejauh 8 kilometer. Asap yang dikeluarkan dari roket menjadi bahan evaluasi pilot untuk menembak target sasaran tembak. Roket produksi industri pertahanan asal Malang ini telah diuji dan mendapat sertifikat dari Direktorat Jenderal Sarana Pertahanan Markas Besar TNI AU.

Sejak dibentuk Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), sebenarnya pertumbuhan industri pertahanan semakin baik. Apalagi, industri pertahanan dalam negeri dilindungi melalui Undang-Undang Nomor 16/2012 tentang Industri Pertahanan, sehingga industri pertahanan dalam negeri mendapat prioritas utama. Seluruh kebutuhan alat utama sistem pertahanan pun menggunakan produk dalam negeri.

Sari Bahari juga memproduksi roket jenis Fin Folding Aerial Rocket (FFAR) dengan hulu ledak sesuai standar Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). FFAR diproduksi kerja sama dengan PT Dahana, sebuah badan usaha milik negara yang bergerak di bidang bahan peledak. “Di sini produksi longsong, pengisian bahan peledak oleh PT Dahana di Subang Jawa Barat,” ujarnya.

Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan, Pos M Hutabarat, menyatakan ekspor ini menunjukkan produksi industri pertahanan Indonesia telah diakui dunia. Secara teknologi, pertahanan nasional tak kalah bersaing dengan negara maju. “Roket produksi PT Sari Bahari lebih unggul dari sisi aerodinamika,” katanya.

Selain itu, akurasi tembakan ke sasaran lebih baik. Kemampuan luncuran asap yang dikeluarkan setelah ledakan bertahan sampai dua menit. Sementara produk sejenis dari negara lain kurang dari satu menit.

Indonesia juga memiliki kapal perang yang sebagian besar diproduksi dalam negeri. Misalnya, dua kapal cepat rudal (KCR-60) yang sekarang sedang dikebut oleh PT PAL. Kapal dengan panjang 60 meter, lebar 8,10 meter dan berat total 457 ton itu diproyeksikan memperkuat armada perang. Kapal ini bahkan bisa dilengkapi alat antiserang kapal selam. Kontrak penyelesaian kapal cepat rudal jatuh tempo pada Maret dan Desember 2013.

Kapal perang lain yang segera dimiliki Angkatan Laut (AL), yakni PC 40. Jenis PC 40 merupakan kapal perang patroli. Jika sudah selesai, kapal-kapal PT PAL tersebut akan bergabung dengan 156 kapal yang dimiliki TNI AL. Sehingga, dengan tambahan yang baru AL memiliki kapal 162 buah kapal perang.

Indonesia juga mampu membangun pesawat tanpa awak. Para analis menyebutkan pengembangan dan produksi lokal pesawat tanpa awak merupakan bagian dari tren modernisasi militer di Asia Pasifik. Program pengembangan pesawat tanpa awak ini didanai Kementerian Pertahanan dimulai sejak 2004. Tahun ini, sebagai hasil usaha bersama beberapa agen pemerintah, Wulung, nama pesawat udara tanpa awak itu siap diproduksi besar-besaran untuk Angkatan Udara Indonesia.

Prototipe Wulung, awalnya akan digunakan untuk kepentingan non-militer, seperti pemantauan gunung-gunung berapi aktif, pengawasan penebangan kayu ilegal dan patroli kawasan maritim Indonesia yang luas. Jika dikembangkan, pesawat-pesawat tanpa awak ini akan membantu Indonesia mengawasi 17 ribu pulau dan perbatasan dengan negara-negara lain.

Namun, di tengah upaya Indonesia membangun industri pertahanan hambatan dan ganjalan terkait regulasi internasional muncul. Salah satunya ratifikasi Arms Trade Treaty (ATT) yang sedang berlangsung di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Banyak pihak khawatir, jika Indonesia menandatangani hasil Konferensi ATT, industri pertahanan dalam negeri akan terjepit dan lumpuh.

Anggota DPR RI, Muhammad Nadjib menyatakan, Indonesia sebaiknya menolak ratifikasi dan tidak terburu-buru menandatangani hasil konferensi. Dia menilai Indonesia rentan diintervensi  oleh negara lain, pasalnya apa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM ditentukan sepenuhnya oleh negara lain yang sarat kepentingan. Tidak dimasukkannya hak sebuah negara untuk melindungi teritorinya serta tidak dimasukan agresi sebagai sebuah pelanggaran hak asasi manusia.

Kekhawatiran ini tentu menjadi kajian yang menarik untuk direnungkan. Di mana Indonesia pernah diembargo dalam pengadaan alutsista oleh Amerika serikat terkait tindak kekerasan ABRI pada masa itu, di provinsi paling bontot, Timor-Timur (kini negara Timor Leste).  Akibatnya dalam kurun waktu 1999 hingga 2005 Indonesia nyaris tak pernah melakukan pembelian alutsista sebagai alat untuk mempertahankan teritorial wilayah Indonesia.

Jika Indonesia menandatangani hasil konferensi ATT, dengan alasan HAM Indonesia akan dengan mudah diintervensi negara lain, hal ini tentu akan menjadi preseden buruk bagi negara. “Kita tentu tak ingin dengan alasan apapun Indonesia diintervensi oleh negara lain,” tegasnya.

Setelah ambergo dicabut, untuk menambah kekuatan, Indonesia telah memesan 164 tank dari Jerman. Pemerintah Kanselir Angela Merkel telah memberikan lampu hijau atas pesanan tersebut. Disebutkan, total harga tank sekitar 3,3 juta euro (USD4,3 juta).

 

Hambatan Industri

 

Langkah memperkuat pertahanan dan keamanan nasional tidak lepas dari industri pendukung. Banyak faktor yang menghambat pembangunan industri di bidang maritim. Pertama, sistem finansial. Kebijakan sektor perbankan atau lembaga keuangan di Indonesia, yang sebagian besar keuntungannya diperoleh dari penempatan dana di Sertifikat Bank Indonesia (SBI), untuk pembiayaan industri maritim sangat tidak mendukung. Ini karena bunga pinjaman sangat tinggi. Berkisar antara 11-12 persen per tahun dengan 100 persen kolateral (senilai pinjaman).

Bandingkan dengan sistem perbankan Singapura yang hanya mengenakan bunga 2 persen+LIBOR 2 persen (total sekitar 4 persen) per tahun. Equity-nya hanya 25 persen sudah bisa mendapatkan pinjaman tanpa kolateral terpisah. Kapal yang dibeli pengusaha di sana bisa menjadi jaminan. Tidak heran, jika pengusaha nasional kesulitan mencari pembiayaan untuk membeli kapal, baik baru maupun bekas melalui sistem perbankan Indonesia.

Kedua, sesuai dengan Kepmenkeu No 370/KMK.03/2003 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan Atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu, bahwa sektor perkapalan mendapat pembebasan pajak. Namun, semua pembebasan pajak itu kembali harus dibayar jika melanggar pasal 16, tentang Pajak Pertambahan Nilai yang terutang pada impor atau pada saat perolehan Barang Kena Pajak Tertentu disetor kas negara apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak impor digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan.

Artinya, kebijakan tersebut banci. Jika pengusaha menjual kapalnya sebelum 5 tahun harus membayar pajak kepada negara sebesar 22,5 persen dari harga penjualan (PPn 10 persen, PPh impor 7,5 persen dan bea masuk 5 persen). Padahal, di Indonesia jarang ada kontrak penggunaan kapal lebih dari 5 tahun, paling banyak 2 tahun. Supaya pengusaha kapal tidak menanggung rugi berkepanjangan mereka harus menjual kapalnya. Namun, pengusaha harus membayar pajak terutang kepada negara sesuai Pasal 16 tersebut. Jika demikian, industri maritim negara ini terhambat oleh kebijakan fiskal yang dianut.

Sebaliknya, di Singapura pemerintah akan memberikan insentif, seperti pembebasan bea masuk pembelian kapal, pembebasan pajak bagi perusahaan pelayaran yang bertransaksi di atas 20 juta dolar AS. Mereka sadar bahwa investasi di industri pelayaran bersifat slow yielding sehingga diperlukan insentif. Kalaupun kapal harus dijual, pemerintah Singapura juga membebaskan pajaknya.

Pemerintahan di negara maju telah berpikir, meski penerimaan pajak rendah tetapi penerimaan dari sektor lain akan bertambah. Misalnya, semakin banyak tenaga kerja asing tinggal dan bekerja pada akhirnya akan banyak uang yang dibelanjakan di negara tersebut. Selain itu, transaksi perbankan biasanya akan semakin banyak, sehingga pendapatan negara meningkat. Ini adalah pola pikir dan langkah pemerintahan yang dikelola negarawan cerdas.

Ketiga, buruknya kualitas sumber daya maritim Indonesia menyebabkan biaya langsung industri maritim menjadi tinggi. Meskipun gaji tenaga Indonesia 1/3 gaji dari tenaga kerja asing, tetapi karena rendahnya disiplin dan tanggung jawab, menyebabkan biaya yang harus ditanggung pemilik kapal berbendera dan berawak 100 persen orang Indonesia (sesuai dengan UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran) sangat tinggi. Sebaliknya, jika kapal berawak 100 persen asing yang mahal, ternyata pendapatan perusahaan pelayaran bisa meningkat dua kali lipat.

Keempat, persoalan klasifikasi industri maritim di tangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan kendali Kementerian BUMN dan Kementerian Perhubungan, sistem klasifikasi Indonesia, membuat industri maritim Indonesia semakin terpuruk. Semua kapal yang diklasifikasi atau disertifikasi, diduga tidak diakui asuransi perkapalan kelas dunia. Kalaupun diakui, pemilik kapal harus membayar premi asuransi sangat mahal.

Disinyalir, kondisi ini terjadi karena dalam melakukan klasifikasi kapal, masih kurang profesional. Penilaiannya diragukan semua pihak. Patut diduga klasifikasi kapal masih sarat dengan praktik-praktik yang tidak selayaknya. Sebab itu sebagian pemilik kapal memilih tidak meregister kapalnya di Indonesia, tetapi di Hongkong, Malaysia atau Singapura. Akibatnya pelaksanaan UU No 17/2008 hanya retorika. Karena mereka menganggap klasifikasi yang dikeluarkan PT BKI ‘pepesan kosong’ yang diragukan industri maritim global.

Jika industri maritim Indonesia ingin berkembang dan bersaing dengan industri sejenis, maka pemerintah khususnya Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan harus membuka mata dan jangan mau dipengaruhi para pelobi yang mewakili pihak-pihak pencari keuntungan tanpa memikirkan nasib bangsa.

Langkah pertama, harus melakukan revitalisasi atau deregulasi di sektor fiskal sehingga Indonesia bisa kompetitif. Kecuali bangsa ini mau jadi pecundang terus. Selanjutnya, melakukan perombakan total di lingkungan lembaga pemberi klasifikasi sehingga dunia pelayaran internasional dan asuransi kerugian mengakui keberadaannya. Kemudian, susun ulang kurikulum lembaga pendidikan maritim oleh Kemendiknas supaya Indonesia memiliki SDM maritim yang berkualitas dan bertanggung jawab. Jika tidak, industri maritim Indonesia hanya tinggal nama.

 

TNI AL dan industri pertahanan

 

Definisi ketahanan nasional merupakan segala usaha untuk mempertahankan keutuhan wilayah sebuah negara dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman serta gangguan. Namun, belum ada keselarasan antara pembangunan sistem pertahanan dengan konsep Negara Maritim.

Hal ini dapat dibuktikan dari perbandingan antara luas wilayah perairan negara dengan minimnya peralatan kapal selam yang dimiliki negara Indonesia untuk menjaga wilayah maritim dari ancaman gangguan keutuhan bangsa dan Negara, serta belum ada kesadaran dari seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara yang tangguh.

Ke depan persoalan maritim atau kelautan akan semakin penting. Misal, dari sektor ekonomi, jalur-jalur perhubungan dan perdagangan lewat laut sejalan dengan proses globalisasi menuju pasar bebas akan semakin ramai. Di sisi lain, laut juga mempunyai arti ekonomi yang besar karena kandungan sumber alamnya yang dapat menguntungkan Indonesia.  

Sehingga, bila kondisi pertahanan nasional di sektor maritim tidak segera diperbaiki maka negara Indonesia akan kehilangan keuntungan di sektor ekonomi, misalnya jalur perdagangan Indonesia dengan negara lain akan terganggu dan sumber kekayaan alam terancam habis dicuri pihak asing.

Dalam cakupan luas pengawasan, TNI AL membutuhkan dukungan alat utama sistem senjata (alutsista) yang lengkap. Namun, semua itu belum terlihat hingga saat ini karena alasan keterbatasan anggaran. Terlebih industri pertahanan Indonesia masih jalan di tempat, termasuk industri dasar di bidang perkapalan.

Meski demikian, tantangan besar itu tak menyurutkan semangat TNI AL dalam melaksanakan perannya membangun kekuatan Negara Maritim. Di bawah komando Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Marsetio, konsistensi industri maritim nasional perlu ditingkatkan agar Indonesia kembali Berjaya.

“Upaya peningkatan di bidang industri perkapalan perlu didukung dengan pengembangan teknologi perkapalan yang maju. Tentu saja, membutuhkan sumber daya manusia yang handal,” kata KSAL.

Menurut dia, bila semua itu bisa dikelola dengan baik melalui kebijakan yang berbasis maritim, niscaya industri perkapalan nasional akan mandiri dan berdaya saing tinggi. Pemerintah memiliki peranan dalam mendorong pembangunan industri perkapalan nasional, di antaranya dengan terbitnya UU No 16/2012 tentang Industri Pertahanan dan PP No 42/2010 tentang Komite Kebijakan Industri Pertahanan.

“Semua kebijakan tersebut intinya mengarah pada peningkatan kerja sama antara Kemenhan dan industri strategis pertahanan nasional dalam pemenuhan kebutuhan alutsista, khususnya TNI Angkatan Laut berupa pembangunan kapal perang,” kata Marsetio.

Menurut dia, dengan adanya proses alih teknologi (transfer of technology/ToT), diharapkan turut membantu pengembangan teknologi perkapalan nasional. “Diharapkan, industri perkapalan bisa memproduksi dan memperbaiki semua jenis kapal,” ujarnya.

Marsetio menuturkan, salah satu sasaran pada 2020, klaster industri perkapalan nasional sudah mampu memproduksi kapal berkasitas 200 ribu, serta mampu membuat semua jenis kapal, mulai dari kapal barang, kapal penumpang, dan kapal tanker.

Selain itu, lanjut dia, pemerintah juga akan meningkatkan kemampuan desain dan rekayasa melalui pengembangan pusat desain dan rekayasa kapal nasional, industri bahan baku dan komponen lokal serta pengembangan pusat peningkatan keterampilan SDM perkapalan.

Pemerintah akan mengamankan dan mengoptimalkan pemanfaatan pasar dalam negeri sebagai base load untuk pengembangan industri perkapalan serta mendorong kerja sama industri perkapalan dengan negara lain. “Dengan situasi tersebut, maka Indonesia akan mampu bangkit dan kembali merajai perekonomian berbasis maritim. Diperlukan kerja sama komprehensif dan integral, serta kerja keras dari seluruh komponen bangsa agar kejayaan bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim terwujud,” tandasnya.

 

Kerjasama Pertahanan Indonesia-China

 

Guna menjaga wilayah kesatuan Indonesia, pemerintah menjalin hubungan pertahanan dan keamanan dengan sejumlah negara kuat. Salah satunya dengan China. Angkatan Laut (AL) Indonesia dan China telah sepakat melakukan latihan bersama sebagai bagian dari kerjasama militer dan pertahanan.

“Selama ini Indonesia dan China telah memiliki latihan bersama antara Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat dengan Pasukan Khusus China,” kata Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dalam pertemuannya dengan Komandan Garnisun Maritim China di Shanghai, Kapten Li Yu Jie di Shanghai, beberapa waktu lalu.

Ke depan, lanjut Sjafrie, akan dilakukan latihan bersama pasukan khusus kedua negara dari tiga angkatan, baik darat, laut maupun udara. “Selain itu, kita telah sepakat untuk melakukan latihan bersama antara angkatan laut kedua negara pada 2013. Itu yang menjadi agenda kita ke depan dalam peningkatan dan perluasan kerja sama pertahanan serta militer,” jelasnya.

Di pihak lain, Kapten Li Yu Jie menyatakan, hubungan maritim antara Indonesia dan China telah memiliki sejarah yang panjang dengan kedatangan Panglima Cheng Ho atau Zheng He ke Indonesia dalam penjelajahannya selama kurun 1405 hingga 1433. “Hal itu menunjukkan bahwa kerjasama maritim, utamanya angkatan laut kedua negara telah dimulai sejak lama. Diharapkan dapat terus ditingkatkan dari waktu ke waktu,” katanya.

Saat ini, Angkatan Laut China dan Indonesia tengah mematangkan navy to navy talk yang telah disiapkan term of reference-nya pada 26 Juli 2012 lalu. Selain itu, telah dibentuk pula kelompok kerja yang akan menjadi acuan pelaksanaan navy to navy talk.

Selanjutnya, Term of Reference for Navy Cooperation Meeting akan ditandatangani pada pertemuan navy to navy talk pertama pada Februari mendatang. Forum pembicaraan antara angkatan laut kedua negara itu, merupakan bagian kerja sama pertahanan yang dapat dikembangkan sebagai pertemuan rutin dua tahun sekali untuk membahas isu-isu keamanan maritim.

 

Indonesia-Australia

 

Sebagai negara bertetangga Indonesia dan Australia telah menyepakati penguatan kerja sama di bidang pertahanan, di antaranya dalam menjaga wilayah maritim, industri pertahanan, dan pelatihan antarpersonel. Pertemuan antara Indonesia dan Australia yang diberi nama “2+2″, merupakan tindak lanjut implementasi hasil kesepakatan dari pertemuan tahunan kedua negara pada 2012.

“Kerjasama antarpemerintah ini juga meningkatkan relasi dalam konteks people to people, untuk meningkatkan kerja sama pertahanan antarkedua negara. Kita membutuhkan koordinasi yang solid dalam penjagaan wilayah maritim di kedua negara,” kata Menteri Pertahanan, Purnomo Yusgiantoro.

Koordinasi yang solid untuk penjagaan wilayah maritim, misalnya dapat diimplementasikan dengan upaya patroli bersama untuk menutup celah berbagai tindak kejahatan yang dapat mengganggu pertahanan kedua negara.

Dalam pembicaraan itu, kata Purnomo, terdapat juga pembahasan mengenai industri pertahanan seperti model empat pesawat Hercules C130 yang diberikan Australia kepada Indonesia pada 2012. “Terima kasih atas hal tersebut, dan itu akan menjadi hal tambahan dalam pembicaraan dan kesepakatan berikutnya,” ujar Purnomo.

Pembicaraaan juga berlanjut mengenai kesepakatan untuk menggelar latihan bersama satuan personel pertahanan Indonesia dan Australia yang akan digelar di Sydney tahun ini. “Kami juga membicarakan mengenai pendidikan, pelatihan personel, dengan melibatkan beberapa satuan, seperti Kopassus, dan juga strategi misi kemanusiaan bencana alam,” ujar Purnomo.

Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa, yang juga perwakilan Indonesia dalam pertemuan itu, mengatakan, konsolidasi antarkedua negara semakin kokoh dengan banyaknya inisiatif dari kedua belah pihak untuk meningkatkan pertahanan. “Hubungan kedua negara dari pertemuan ini sangat komprehensif dan juga semakin rutin berkomunikasi. Selain pertemuan tingkat menteri, nanti juga ada pertemuan tingkat kepala negara antara Presiden dengan Perdana Menteri Australia pada pertengahan tahun,” ujar Marty.

Menteri Pertahanan Australia, Stephen Smith menyatakan, Indonesia merupakan negara yang sangat penting dan berpengaruh dalam rangka peningkatan keamanan wilayah negaranya. “Kerjasama operasional di bidang pertahanan semakin kuat dibanding sebelumnya. Indonesia adalah negara penting di regional,” ujarnya.