Istri yang Qonaah

Sore itu, beberapa bulan yang lalu, aku bertemu dengan sahabat yang sudah kuanggap saudara sendiri. Sahabat semasa kuliah, sang aktivis dakwah mulai sejak di kampus dulu hingga saat ini. Wajahnya yang biasa bersih kelihatan sedih. Hatiku pun terenyuh, ada masalah apa gerangan yang membebani saudaraku. Padahal belum lagi enam bulan dia menikah, harusnya saat ini dia masih menikmati indahnya masa-masa pengantin baru. Apalagi mereka berdua juga baru pindah dari rumah ortu ke rumah sendiri, walaupun masih ngontrak. “Akh, bagaimana menurut antum (kamu) bercerai ketika istri sedang hamil”, tanyanya mengejutkanku. Rasa terkejut membuat aku terdiam, setelah beberapa jenak barulah aku bersuara, “Memangnya ada masalah apa, kok sudah mikirin cerai?” “Entahlah, aku merasa tidak kuat melanjutkan pernikahan ini bersama dia” Aku lalu teringat dengan istrinya. Aku memang tidak begitu mengenalnya. Namun dari cerita yang kudapat, istrinya adalah seorang wanita yang juga aktif dalam dakwah, terutama waktu di kampus dulu. Sekarang pun dia masih aktif mengikuti ta’lim mingguan, bahkan kabarnya mempunyai beberapa binaan.

“Aku dan istri sering bertengkar”, lanjutnya. Aku diam saja menunggu kata-kata berikutnya.

“Antum kan tahu, istriku mengajar di sebuah sekolah dasar swasta terkenal. Bagiku jelas ini tidak masalah karena jika mengandalkan gajiku saja, jelas tidak akan cukup. Gaji dia saja bahkan lebih besar dari gajiku. Hal yang kadang membuatku minder. Namun, yang jadi masalah bukan itu. Masalahnya, dia sering pulang terlambat. Hampir selalu dia baru sampai di rumah di waktu magrib. Seharusnya jika dia bergegas pulang, maka jam 4-an sudah bisa sampai di rumah. Namun entah kenapa, sepulang kerja dia selalu ngumpul-ngumpul dulu sama teman-temannya, tidak langsung pulang. Boleh dibilang setiap dia mengajar, maka pas aku pulang kerja jam 5 sore, tak ada siapa-siapa di rumah. Aku sudah sering menasehatinya. Namun tidak pernah digubris. Bahkan tak jarang dia malah meradang ketika kunasehati. Tidak itu saja, dia sering tidak menghargai kata-kataku. Apa yang aku suruh jarang dipatuhinya. Seakan-akan sebagai suami aku tak ada artinya bagi dia. Dia juga sering mengungkit-ungkit perabotan yang tidak kami miliki. Dia sering bilang mau balik ke rumah orang tuanya, karena di sana ada televisi, komputer dan sebagainya. Sementara di kontrakan kami tidak ada apa-apa. Dia merasa bosan dan sering uring-uringan. Dia juga tidak sabar dengan kandungannya. Mengeluh terus. Kemarin kami bertengkar lagi, dan dia mulai menyinggung-nyinggung kata cerai. Makanya aku pun mulai berpikir tentang cerai ” katanya dengan mata berair. Hatiku pun pedih dibuatnya. Ingin rasanya aku menyarankan agar dia cerai saja. Namun tentu itu bukanlah solusi, paling tidak untuk saat ini. Apalagi istrinya sedang hamil. Sayangnya waktu itu, karena urusan pekerjaan yang tak bisa kutunda, aku hanya bisa menyarankan agar dia meminta seseorang yang dihormati istrinya sebagai mediator, mungkin ustadzahnya. Dan aku berjanji akan menyediakan diri untuk tempat curhatnya di lain waktu.

Dalam perjalanan pulang dari pekerjaan, aku kembali memikirkan masalah sahabatku tadi. Otomatis aku pun teringat dengan istriku. Wanita cantik dan sederhana yang hampir tujuh tahun mendampingiku. Mengingat dia, seketika rasa syukur membuncah di dadaku. Banyak kebaikan yang kudapatkan dari dirinya, namun yang paling kurasakan saat itu terkait masalah temanku adalah sikap qonaahnya*). Istriku adalah wanita paling qonaah yang aku kenal. Aku teringat masa-masa awal kami menikah dulu. Boleh dibilang perabotan rumah kami hanya kasur (tanpa ranjang), lemari plastik yang sudah usang, beberapa perlengkapan dapur dan mesin jahit lama yang dibawa istriku dari rumah orang tuanya. Bahkan kami pun hanya numpang di yayasan yang kukelola bersama teman-teman. Kerja sambil kuliah membuat penghasilanku tak seberapa. Belum lagi untuk pergi kuliah, aku juga mengeluarkan ongkos. Namun istriku, si wanita cantik itu tidak pernah mengeluh. Untuk membantu-bantu, dia mulai membuat kerupuk/keripik untuk ditaruh di warung-warung. Selain itu dia juga membikin manset dan jilbab, namun karena berbagai keterbatasan, keuntungan dari dua usaha ini tidaklah banyak. Alhamdulillah, Allah selalu menguatkan kami untuk tetap bersyukur.

Sekarang, setelah hampir tujuh tahun pernikahan kami berjalan, istriku masih tetap wanita yang qonaah. Dia selalu merasa cukup dengan apa yang dikaruniakan Allah kepada kami. Walaupun saat ini kondisi keuangan kami sudah lebih baik, namun dia tetap tak banyak meminta. Subhaanallah… betapa beruntungnya seorang suami jika memiliki istri yang qonaah. Dan aku adalah salah satu suami yang beruntung itu.

“Beruntunglah orang yang memasrahkan diri, dilimpahi rizki yang sekedar mencukupi dan diberi kepuasan oleh Allah terhadap apa yang diberikan kepadanya.” (Diriwayatkan Muslim, At-Tirmidzi, Ahmad dan Al-Baghawy)

(Sebuah kado cinta untuk istriku tersayang)

-------

*) Qonaah artinya rela menerima dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki, serta menjauhkan diri dari sifat tidak puas dan merasa kurang yang berlebihan. Qonaah adalah salah satu di antara sifat mulia yang harus dimiliki seorang yang beriman, terlebih lagi seorang istri yang mukminah.

Cerita di atas bukanlah fiktif. Dalam beberapa bulan ini, setidaknya ada tiga orang teman saya yang aktivis dakwah yang curhat kepada saya tentang istrinya (yang "akhwat") yang tidak qonaah. Bahkan hal yang memotivasi saya menulis tulisan ini adalah beberapa hari yang lalu, salah seorang teman saya dari yang tiga tersebut, meng-SMS saya bahwa dia sudah bercerai. Semoga para muslimah bisa mengambil hikmah dari kisah di atas, terutama tentu saja kalangan aktivis dakwah.