Benar Sedari Awal

September yang lalu, genap tujuh tahun saya menikah. Pernak-pernik rumah tangga yang begitu kompleks namun indah, membuat waktu berlalu tanpa terasa. Padahal, baru kemarin saja rasanya ketika saya menghadap ustadz dan menyatakan bahwa saya ingin menikah. Awalnya ustadz menganggap saya cuma bercanda, mengingat saya masih kuliah tingkat II. Usia saya juga masih muda (21 th). Tapi ketika dia melihat saya benar-benar serius, yang terlontar dari mulutnya setelah itu adalah "Luruskan dulu niatmu!" "Harus lurus bagaimana lagi Ustadz? Apakah alasan untuk menjaga kesucian diri tidak cukup?" tanya saya kebingungan. Tapi bukannya menjawab, ustadz malah menutup pembicaraan kami dengan kalimat pamungkas, "Pokoknya luruskan dulu deh niat kamu". Hari-hari pun berlalu. Beberapa proses ta'aruf (langkah awal untuk meminang, karena saya komit untuk tidak pacaran sebelum nikah) yang saya lakukan kandas di tengah jalan. Ada yang gagal di awal, karena perempuan yang saya "tembak" belum siap untuk menikah, namun ada pula yang gagal setelah melewati beberapa tahapan. Awalnya terasa sangat menyesakkan ditolak orang (sebelumnya, saya tidak pernah ngajak perempuan pacaran, jadi tidak tahu rasanya ditolak), namun lama-kelamaan, penolakan-penolakan setelahnya malah terasa mendewasakan. Saya jadi sering mengevaluasi diri. Mungkin benar kata ustadz saya dulu, niat saya untuk menikah belum benar. Saya ingat-ingat lagi, kapan keinginan menikah ini pertama kali muncul. Apakah niat ini muncul pertama kalinya karena jiwa saya sangat terobsesi oleh keutamaan menikah atau malah karena tak sanggup menahan gejolak perasaan saya pada seseorang, dan ketika seseorang itu belum siap, saya pun mencari "pelarian" kepada yang lain. Sepertinya alasan yang terakhirlah yang mendominasi hati saya.

"Astaghfirullah..." saya pun bersitighfar. Rasa syukur pun segera menyemburat di hati saya. Alhamdulillah ya Allah, Engkau masih menjaga diri yang penuh khilaf ini dari terperosok ke dalam ibadah yang sia-sia. Bukankah kesia-siaan namanya kalau saya menikah tanpa niat yang ikhlas kepada-Mu? Karena niat yang ikhlash adalah syarat utama diterimanya ibadah (syarat yang lainnya adalah sesuai dengan yang diajarkan nabi Saw).

Saya pun teringat akan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Anas bahwa Rasulullah saw bersabda,

”Apabila seorang hamba menikah maka sungguh orang itu telah menyempurnakan setengah agama maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam setengah yang lainnya.” (Hadits ini dishahihkan oleh Al Banni didalam Shahihut Targhib wat Tarhib)

Ya Allah, jika sampai niat saya salah untuk menikah sudah tentu saya tidak mendapatkan jaminan kebagusan setengah dari agama itu, padahal untuk setengahnya yang lain pun saya juga selalu keteteran. Lalu apa yang akan tersisa untuk saya dari agama ini?? Bagaimana pula nasib saya di akhirat jika agama saya tidak lengkap, bahkan walau cuma separuhnya? Nauzubillahi min Dzalik...

Alhamdulillah, akhirnya setelah mencari-cari selama 2 (dua) tahun, Allah pun mengaruniai saya seorang bidadari dunia. Seingat saya itu adalah masa di mana saya sudah menyerahkan sepenuhnya urusan nikah ini kepada Allah. Saya merasa tidak menikah dalam waktu dekat pun tidak masalah. Karena selagi ada niat di hati dan selagi saya berusaha menjaga keikhlasannya, Insya Allah pahala akan selalu mengalir. Namun di saat itulah Allah menemukan saya dengan jodoh saya yang sebenarnya.

***

Dalam Islam, menikah adalah ibadah. Karena ia adalah ibadah, maka "menikah" ini juga tunduk pada kaidah "syarat diterimanya suatu ibadah", yaitu :

1. Niat melaksanakannya ikhlash karena Allah

3. Tata cara melakukannya sesuai dengan yang diajarkan Nabi Saw.

Perlu dipahami bahwa syarat diterima sebuah ibadah berbeda dengan syarat syahnya ibadah. "Diterimanya sebuah ibadah" lebih fokus pada ganjaran pahala dari Allah, sementara sahnya ibadah lebih kepada "pelaksanaan fiqih ibadah yang menyebabkan gugurnya kewajiban". Ibadah yang diterima ALlah sudah pasti ibadah yang sah, namun tidak semua ibadah yang sah yang akan diterima oleh Allah. Dengan kata lain, bisa saja secara syariah/fiqih ibadahnya sah, tapi belum tentu ia mendapatkan pahala dari Allah Swt.

Sahnya sebuah ibadah adalah apabila dilakukan sesuai dengan yang diajarkan Nabi Saw dan diterimanya sebuah ibadah yang sah adalah apabila diniatkan ikhlash karena Allah Swt.

Menikah adalah ibadah yang (akan) kita lakukan sepanjang masa dewasa kita, yaitu sejak ijab dan kabul terlaksana hingga saat takdir Allah memisahkan kita dengan pasangan kita (mati ataupun bercerai). Selama apa kita berada dalam keadaan menikah, maka selama itu pula kita dalam keadaan beribadah. Jika kita telah menikah sepuluh tahun, berarti kita telah beribadah selama sepuluh tahun. Maka, jika pernikahan anda dimulai dengan niat yang ikhlas dan tata cara yang benar, kemudian selama berumahtangga Anda selalu memelihara niat yang ikhlas ini, maka pahala akan terus mengalir untuk Anda selama usia pernikahan Anda. Bukan hitungan hari, bukan pula hitungan jam, tapi memakai hitungan masa (orang mengatakan bahwa masa adalah waktu antara detik ke detik). Subhaanallah, betapa banyaknya pahala Anda. Tidak heran jika Rasulullah Saw menyatakan bahwa menikah adalah separuh dari agama.

Oleh karena itu teman, marilah kita benarkan niat kita dalam menikah/berumahtangga. Jika Anda baru akan menikah, Anda berkesempatan untuk benar sedari awal. Dan bila Anda sudah menikah, maka perbaharuilah terus niat anda dalam berumahtangga. Berusahalah untuk selalu ikhlas dan menjaga terus keikhlasan itu .

Tapi jangan lupa, niat itu membuahkan konsekwensi. Jika Anda berniat ikhlash dalam menikah/berumahtangga, secara otomatis bahtera rumahtangga Anda akan Anda nahkodai sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.

Wallahu a'lam bish shawab