1. Peristiwa (Fact)
Saya merencanakan aksi nyata berupa kegiatan Science Camp SMPN 3 Mrebet sudah sejak awal mengikuti PGP ini. Berlatang belakang minat saya yang cukup tinggi terhadap kegiatan penelitian. Disisi lain, ketrampilan meneliti menjadi salah satu materi yang saya ampu di mata pelajaran IPA, khususnya kelas 7 di awal tahun pembelajaran. Tahapan-tahapan metode ilmiah dari mencari permasalahan, mengumpulkan informasi, membuat hipotesis, melakukan percobaan, menganalisis hasil percobaan dan menarik kesimpulan sudah dipelajari siswa sejak kelas 7. Umumnya masih berupa teori. Untuk meningkatkan pemahaman dan ketrampilan meneliti, diperlukan praktek penelitian. SMPN 3 Mrebet dalam beberapa kesempatan juga mendapat kesempatan sebagai finalis dan peraih penghargaan kompetisi penelitian nasional yang diadakan oleh Puspresnas Kemdikbudristek dan BRIN sejak tahun 2017 hingga tahun 2022 lalu.
Kegiatan science camp dimulai dari penyusunan konsep dan proposal. Selanjutnya saya mengkomunikasikan ide kegiatan ini pada rekan guru serumpun, urusan kurikulum, bendahara BOS, urusan kesiswaan, wali kelas dan kepala sekolah. Tahapan kegiatan, sumber pendanaan, perizinan kegiatan dll kami diskusikan terlebih dahulu demi mendapatkan rancangan kegiatan yang sesuai kebutuhan dan keinginan.
setelah konsep matang, saya mengajukan untuk mengadakan rapat bersama seluruh guru dan tata usaha. Berdasarkan koordinasi bersama tersebut, maka kegiatan science camp disetujui bersama dan didukung seluruh elemen sekolah. Tahapan berikutnya adalah masing-masing wali kelas menyiapkan 3 siswa perwakilan siswa untuk mengikuti kegiatan ini.
Sesuai dengan jadwal, kegiatan dilaksanakan setelah kegiatan asesment sumatif akhir semester bersama yaitu Sabtu, Senin, Selasa, Rabu dan Kamis, tanggal 9, 11,12, 13, dan 14 Desember 2023 lalu. Kegiatan dilaksanakan dengan model P5 yakni selama 5 hari dengan sistem blok sejak pukul 07.00 hingga 14.00 WIB. Hari pertama diawali dengan kegiatan pembekalan teknik menggali ide penelitian. Hari kedua dilaksanakan koordinasi siswa peneliti dengan wali kelas masing-masing untuk memastikan ide penelitian sekaligus menyiapkan materi wawancara/ observasi saat pengambilan data di hari berikutnya. Hari ketiga dilaksanakan pengambilan data langsung ke lokasi penelitian. Ada tiga lokasi yang dipilih, yakni Desa Limbasari, Kec. Bobotsari, Desa Banjaran, Kec. Bojongsari dan Desa Cipaku, Kec. Mrebet. Hari keempat dilaksanakan analisis data berdasarkan data yang didapatkan pada hari ketiga lalu. Hasil penelitian diwujudkan dalam bentuk poster hasil penelitian. Kegiatan dilanjutkan dengan menyiapkan booth pameran hasil penelitian. Hari kelima dilaksanakan pameran hasil penelitian yang dihadiri oleh seluruh siswa dan guru, serta pengawas SMPN 3 Mrebet.
2. Perasaan (Feeling)
Perasaan saya sangat bahagia dan bangga karena bisa mendorong kegiatan science camp dan secara umum berhasil dilaksanakan. Walaupun kegiatan ini merupakan kegiatan perdana dan melibatkan seluruh elemen sekolah, namun berkat dukungan bersama, kegiatan bisa terlaksana.
3. Pembelajaran (Finding)
Banyak hal yang saya dapatkan dari kegiatan science camp. Diantaranya adalah sebuah kegiatan akan berhasil dilaksanakan jika bisa dikomunikasikan dengan baik dengan berbagai elemen yang terlibat. Sebaiknya setiap kegiatan saling bekerja sama demi menghasilkan proses penelitian yang optimal dan hasil penelitian yang terbaik. Pada kegiatan ini hasil penelitian bukanlah yang utama. Penguasaan siswa terhadap proses penelitian lebih diutamakan dibandingkan hasilnya.
4. Penerapan ke depan (Future)
Kegiatan Science Camp SMP Negeri 3 Mrebet ini bisa terus dikembangkan sebagai kegiatan yang rutin dan khas dilaksanakan di sekolah. Kegiatan ini bukan cuma memberikan manfaat bagi siswa dan guru dalam bentuk pengalaman, tetapi bisa dikembangkan untuk disertakan dalam kompetisi penelitian. Kompetisi penelitian bisa sebagai kegiatan lanjutan science camp yang cukup memotivasi siswa agar bisa menghasilkan penelitian yang baik dan bisa bersaing dengan penelitian lain dalam suatu kompetisi.
1. Peristiwa (Fact)
Setelah mempelajari modul 3.2, saya melanjutkan ke materi modul 3.2 Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya. Saya mulai mempelajari modul 3.2 tentang Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya secara daring di LMS dengan alur M-E-R-D-E-K-A yaitu: mulai dari diri, eksplorasi konsep, ruang kolaborasi, demonstrasi kontekstual, elaborasi pemahaman, koneksi antarmateri dan aksi nyata. Saya membuka alur pertama “Mulai dari Diri”. Di sini saya diminta untuk menjawab tujuh pertanyaan yang bertujuan untuk mengaktifkan ulang pengetahuan awal Anda tentang ekosistem sekolah dan peran pemimpin dalam pengelolaan sumber daya sekolah.
Saya lanjutkan alur kedua yaitu eksplorasi konsep. pada alur eksplorasi konsep saya sebagai calon guru penggerak belajar secara mandiri melalui materi-materi yang disajikan dalam forum LMS, saya juga diminta untuk mendalami materi pemimpin dalam pengelolaan sumber daya. Disini kami mempelajari sekolah sebagai ekosistem, Pendekatan Berbasis Kekurangan/Masalah (Deficit-Based Approach) dan Pendekatan Berbasis Aset/Kekuatan (Asset-Based Approach), pendekatan ABCD (Asset Based Community Development), karakteristik komunitas yang sehat dan komunitas, pengalaman rapat dan mendiskusikan murid.
Setelah kami lanjut 3.2.a.4.1. Eksplorasi Konsep – Pertanyaan Pemantik. disini kami membaca penjelasan tentang pendekatan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset, disini kami diminta melihat ulang jawaban dari pertanyaan pemantik sebelumnya. Selanjutnya kami menjawab pertanyaan yang disajikan Eksplorasi Konsep (Forum Diskusi Asinkron). Kegiatan selanjutnya yaitu 3.2.a.4.2. Eksplorasi Konsep – Forum Diskusi. disini kami diminta untuk mengerjakan 2 studi kasus tentang hubungkan dengan materi pendekatan berbasis masalah dan pendekatan berbasis aset, serta Pengembangan Komunitas Berbasis Aset.
Kegiatan selanjutnya yaitu alur ketiga ruang kolaborasi dibagi menjadi dua sesi. sesi satu adalah diskusi dengan anggota kelompok yang dipandu oleh fasilitator dan yang kedua adalah bagian presentasi hasil diskusi kelompok. Semua itu dilakukan melalui room google meet. Disini kami melakukan diskusi untuk membahas kekuatan/aset sumber daya yang dimiliki di sekolah masing-masing dan daerah kami. Dilanjutkan ruang kolaborasi sesi 2 yaitu presentasi hasil kelompok.
Kegiatan selanjutnya di alur empat demonstrasi kontekstual, kami ditugaskan untuk menganalisis video di LMS tentang visi dan prakarsa perubahan, mengidentifikasi kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan masing-masing tahapan BAGJA, mengidentifikasi peran pemimpin pembelajaran, dan menganalisis modal utama yang dapat dimanfaatkan.
Kegiatan selanjutnya di alur kelima elaborasi pemahaman, saya ditugaskan untuk memberikan pertanyaan yang dapat menguatkan pemahaman saya tentang isi modul 3.2.
Selanjutnya Elaborasi pemahaman, kegiatan diskusi virtual lewat google meet bersama instruktur, disini memberikan penguatan tentang modul 3.2 ini. Kegiatan selanjutnya yaitu alur yang keenam adalah koneksi antar materi mengaitkan materi pemimpin dalam pengelolaan sumber daya dengan materi yang telah didapatkan pada modul sebelumnya.
Dan Alur terakhir dari alur merdeka adalah aksi nyata. Pada aksi nyata ini kami sebagai calon guru penggerak diminta untuk melakukan aksi nyata dengan mengidentifikasikan sumber daya sebagai aset/kekuatan yang dimiliki sekolah. Identifikasi sumber daya sekolah dilakukan secara kolaboratif agar semua warga sekolah dapat bersama-sama mengetahui dan memanfaatkannya untuk peningkatan kualitas pendidikan.
2. Perasaan (Feeling)
Perasaan sebelum mempelajari modul 3.2 ini saya berpikir kekurangan dan masalah yang ada di sekolah dan saya berpikir bahwa aset yang ada di sekolah hanya berupa sarana dan prasarana yang di sekolah. Setelah mempelajari modul 3.2 pemimpin dalam pengelolaan sumber daya akhirnya saya mampu merubah cara berpikir saya bahwa kita harus berpikir berbasis aset/kekuatan. Dengan cara pandang berbasis aset ini membuat saya mengoptimalkan aset/modal dan kekuatan yang ada untuk melaksanakan program sekolah. Berpikir berbasis aset/kekuatan sangat penting dimiliki oleh seorang pemimpin karena pemimpin harus dapat memaksimalkan potensi yang ada dalam ekosistem sekolahnya. Dengan memaksimalkan potensi yang ada dapat menggerakan ekosistem sekolah untuk dapat berpikir positif dalam mengembangkan sekolah.
Perasaan saya setelah mempelajari modul sangat senang, bersemangat, dan optimis bahwa kita begitu banyak memiliki aset/modal potensi yang belum tergali dan belum dimanfaatkan dengan optimal. Saya juga senang karena dapat berbagi praktik baik bagaimana kita memetakan aset/modal yang ada di sekolah. Dengan memetakan aset/modal yang ada kita dapat memanfaatkannya untuk merencanakan program yang berdampak bagi murid. Hasil pemetaan aset dan pemanfaatannya membuat kami optimis untuk memanfaatkan aset/modal yang dimiliki untuk mengembangkan sekolah yang berdampak bagi murid. Saya juga senang dapat mengajak rekan-rekan sejawat untuk berpikir berbasis kekuatan. Berpikir berbasis kekuatan ini membuat kita menyadari potensi yang dimiliki dan dimanfaatkan dalam program-program sekolah.
3. Pembelajaran (Finding)
Pembelajaran yang saya peroleh dalam modul ini yaitu kami diajak untuk mengingat dan menulis tentang sekolah adalah sebuah ekosistem yang terdiri dari faktor biotik dan abiotik yang saling berinteraksi untuk menciptakan hubungan yang selaras dan harmonis. Faktor biotik seperti murid, kepala sekolah, guru, staf sekolah, pengawas sekolah, orang tua, masyarakat sekitar sekolah, dinas terkait, dan pemerintah daerah saling memengaruhi dan membutuhkan keterlibatan aktif satu sama lainnya. Sedangkan faktor abiotik seperti keuangan, sarana dan prasarana, dan lingkungan alam juga berperan aktif dalam menunjang keberhasilan proses pembelajaran di sekolah. Dengan memahami ekosistem sekolah, diharapkan dapat meningkatkan koordinasi dan kolaborasi antara semua faktor yang terlibat dalam proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam pengelolaan sumber daya dapat dilakukan dengan 2 pendekatan, yaitu:
Pendekatan berbasis kekurangan (deficit-based approach) akan memusatkan perhatian pada masalah dan kekurangan yang ada di sekolah
Pendekatan berbasis aset (asset-based approach) akan memusatkan perhatian pada kekuatan dan potensi yang ada di sekolah.
Pendekatan berbasis aset memiliki manfaat yang lebih positif dalam mengembangkan diri dan mencari peluang, daripada pendekatan berbasis kekurangan yang cenderung menimbulkan pikiran negatif. Oleh karena itu, sebaiknya kita mengadopsi pendekatan berbasis aset untuk melihat sumber daya sekolah agar dapat memanfaatkan kekuatan dan potensi yang ada untuk mencapai kesuksesan.
Selain itu pengelolaan sumber daya yang ada di sekolahnya juga dapat menggunakan Asset-Based Community Development (ABCD) kita sebut dengan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset (PKBA) yang dikembangkan oleh John McKnight dan Jody Kretzmann. Pendekatan PKBA atau Asset-Based Community Development (ABCD) merupakan suatu kerangka kerja yang membangun kemandirian dari suatu komunitas dengan memfokuskan pada potensi aset/sumber daya yang dimilikinya.
4. Penerapan (Future)
Kedepannya dalam penerapan di kelas dan di sekolah bahwa sebagai pemimpin saya harus mengelola 7 aset utama sebagai kekuatan dalam meningkatan mutu pendidikan sekolah dengan menggunakan pendekatan berbasis kekuatan/aset dan pendekatan berbasis kekurangan. Saya memandang guru sebagai aset manusia yang utama dalam melaksanakan pembelajaran harus berinovasi dan memperkaya diri dalam mengelola sumber daya di kelas dan di sekolah agar tercipta pendidikan yang berpihak pada murid.
Menuntun segala kodrat yang ada pada anak, memberdayakan nilai dan peran guru, membuat visi perubahan, menciptakan budaya positif, menerapkan pembelajaran berdiferensiasi dan sosial emosional agar pengambilan keputusan tepat, melakukan coach dan supervisi akademik, pengambilan keputusan yang berbasis nilai kebajikan dapat dilakukan jika pengelolaan sumber daya dapat dijalankan dengan sungguh-sungguh.
1. Facts (Peristiwa)
Sebelum memulai pembelajaran modul 3.1, saya memulainya dengan pre-test pada tanggal 1 Februari 2024 yang terdiri dari 18 soal. Setelah itu, pembelajaran dilanjutkan dengan alur MERDEKA (Mulai dari diri, Eksplorasi konsep, Ruang Kolaborasi, Demonstrasi kontekstual, Elaborasi Pemahaman, Koneksi antar materi, dan Aksi nyata), seperti yang sudah biasa dilakukan dalam modul-modul sebelumnya.
Tahap pertama, yaitu "Mulai dari diri", dimulai dengan menjawab beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan pengambilan keputusan berbasis nilai-nilai kebajikan sebagai seorang pemimpin. Saya juga melakukan survei dengan sebuah kasus yang dihadirkan dan menganalisisnya secara mandiri seolah menjadi seorang kepala sekolah.
Tahap kedua adalah "Eksplorasi Konsep". Saya secara mandiri belajar dan mendalami semua materi yang ada dalam modul 3.1 di platform pembelajaran kami (LMS). Di sini, saya mempelajari kasus dilema etika dan bujukan moral. Pada akhir eksplorasi, terdapat forum diskusi di mana saya dan teman-teman, melakukan analisis terhadap kasus-kasus yang ada di LMS.
Tahap ketiga, yaitu "Ruang Kolaborasi", kami dibagi menjadi tiga kelompok. Pembelajaran dilakukan secara online melalui Gmeet dengan bimbingan fasilitator kami, Karyatiningsih, S.Pd. Kami menganalisis sebuah kasus permasalahan yang diambil dari sekolah Bu Yuli. Kemudian, kami melakukan presentasi tentang hasil diskusi kami keesokan harinya.
Tahap keempat adalah "Demonstrasi Kontekstual". Saya bertugas untuk mewawancarai 2 kepala sekolah mengenai praktik pengambilan keputusan dalam kasus dilema etika yang terjadi di sekolah mereka. Kepala Sekolah yang saya wawancara yakni bapak Nokman Riyanto, S.Pd.Si., M.Pd. (SMPN 4 Satap Karangjambu) dan bapak Marwono, S.Pd., M.H. (SMPN 3 Mrebet). Saya melakukan wawancara dan merekamnya.
Tahap kelima, "Elaborasi Pemahaman", dimulai dengan pembuatan pertanyaan. Pada Senin, 26 Februari 2024, kami mengikuti Vcon Elaborasi Pemahaman dengan instruktur untuk lebih memahami pengambilan keputusan berbasis nilai-nilai kebajikan sebagai seorang pemimpin.
Tahap keenam adalah "Koneksi antar materi", di mana kami mengaitkan materi pengambilan keputusan berbasis nilai-nilai kebajikan sebagai pemimpin dengan materi-materi pada modul-modul sebelumnya.
Terakhir, "Aksi nyata" mengharuskan kami, peserta, untuk mempraktikkan proses pengambilan keputusan, paradigma, prinsip, dan pengujian keputusan di sekolah kami.
2. Filling (Perasaan)
Perasaan yang muncul setelah menyelesaikan modul 3.1 adalah perasaan penuh syukur. Saya merasa sangat beruntung karena modul ini telah membuka cakrawala baru dalam pemahaman saya tentang pengambilan keputusan. Saya merasa tertantang untuk benar-benar mengaplikasikan konsep 4 paradigma pengambilan keputusan, 3 prinsip penting dalam pengambilan keputusan, dan 9 langkah yang mendalam dalam mengambil dan menguji keputusan, terutama ketika saya dihadapkan pada dilema etika dalam kehidupan sehari-hari. Saya menyadari bahwa kemampuan mengambil keputusan yang tepat bukan hanya sekadar keterampilan, tetapi juga merupakan pondasi utama dalam menciptakan lingkungan sekolah yang positif, kondusif, aman, dan nyaman bagi semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan.
3. Finding (Pembelajaran)
Dari modul 3.1, saya mendapatkan pemahaman penting tentang bagaimana pengambilan keputusan harus didasarkan pada nilai-nilai kebajikan. Saya belajar bahwa sebagai pemimpin, sangat penting untuk selalu berpihak pada kebaikan murid dan memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, saya juga memahami bahwa tahap awal dalam menghadapi permasalahan adalah mengidentifikasi apakah ini merupakan dilema etika atau bujukan moral. Dilema etika adalah situasi di mana dua pilihan dapat dianggap benar, sedangkan bujukan moral adalah situasi di mana satu tindakan dianggap benar dan yang lainnya salah.
Pentingnya memahami perbedaan antara dilema etika dan bujukan moral sangatlah relevan dalam pengambilan keputusan. Apabila sebuah kasus dapat dipahami sebagai pelanggaran hukum, maka langkah-langkah pengambilan keputusan bisa berhenti karena sudah melalui uji legalitas. Ini adalah pengetahuan berharga yang saya peroleh dari modul ini, yang akan saya terapkan dalam pengambilan keputusan di masa depan, terutama ketika berhadapan dengan situasi yang kompleks dan memerlukan pertimbangan etika yang mendalam.
4. Future (Penerapan)
Dengan pengetahuan yang saya peroleh dari modul 3.1 ini tentang pengambilan keputusan berdasarkan nilai-nilai kebajikan, saya merasa lebih siap untuk menghadapi situasi dilema etika di masa depan. Saya berniat menerapkan 4 paradigma pengambilan keputusan, 3 prinsip pengambilan keputusan, dan 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan dalam setiap keputusan yang saya ambil. Selain itu, saya juga berkomitmen untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan ini dengan rekan sejawat saya, sehingga kami semua dapat mengambil keputusan yang lebih baik dan lebih etis yang selaras dengan nilai-nilai kebajikan universal dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan murid.
Dengan demikian, saya percaya bahwa penerapan prinsip-prinsip dan langkah-langkah yang saya pelajari dalam modul ini akan memberikan kontribusi positif pada lingkungan sekolah saya dan akan menciptakan suasana pembelajaran yang lebih kondusif, aman, dan nyaman bagi semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan. Dengan berfokus pada nilai-nilai kebajikan, kita dapat memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil akan memprioritaskan kesejahteraan dan perkembangan murid, yang pada akhirnya akan meningkatkan mutu pendidikan di sekolah kita.
1. Peristiwa (Fact)
Peristiwa yang saya lewati dalam pembelajaran Modul 2.3 yaitu saya melakukan sesi diskusi dengan rekan CGP angkatan 98 pada ruang kolaborasi dimana berlatih praktik coaching dengan memperhatikan indikator coaching yang diantaranya: mendengarkan aktif coachee, memberikan pertanyaan berbobot, dan memberdayakan coachee. Praktek coaching menggunakan alur TIRTA yang merupakan kepanjangan dari Tanggung Jawab, Identifikasi, Rencana Aksi, dan Tanggung Jawab. Pada sesi Demonstrasi Kontekstual saya bersama dua rekan CGP yaitu bapak Prasetyo (SMAN 1 Bukateja) dan Ibu Endah (SMAN 2 Purbalingga) melakukan praktek coaching dengan tiga peran yaitu pengamat, coach, dan coachee. Selanjutnya saya akan melakukan aksi nyata dengan rekan sejawat partik coaching dalam kegiatan supervisi akademik.
2. Perasaan (Feeling)
Perasaan saya selama mempelajari paket modul 2.3 tentang coaching dalam supervisi akademik sangat senang karena saya mendapatkan sebuah pengetahuan baru dimana sebelumnya saya berpikir kegiatan coaching merupakan kegiatan bimbingan oleh orang yang ahli kepada orang yang belum berpengalaman. Ternyata setelah saya mempelajari modul 2.3 saya menjadi tercerahkan tentang apa itu coaching yang sebenarnya.
3. Pembelajaran
Pembelajaran yang saya peroleh dalam mempelajari modul 2.3 tentang coaching dalam kegiatan supervisi akademik yaitu saya memahami tentang apa itu coaching dimana dalam kegiatan coaching sebagai coach harus dapat memberdayakan coachee sehingga potensi-potensi yang ada didalam diri Coachee data tergali dengan baik. Prinsip yang digunakan dalam kegiatan coaching salah satunya yaitu kemitraan jadi antara coach dan coachee adalah setara artinya tidak ada yang lebih diantara coach dan coachee. Sebagai seorang coach harus dapat membuat pertanyaan berbobot untuk menggali semua potensi yang ada didalam diri seorang coachee. Selanjutnya coach harus dapat hadir sepenuhnya dalam kegiatan coaching oleh karena itu penting bagi seorang coach dalam manajemen diri dan kesadaran diri, coach harus selalu menjadi pendengar yang aktif bagi coachee, dalam kegiatan coaching maka seorang coach hanya memberikan pertanyaan berbobot kepada coachee.
4. Umpan Balik
Umpan balik yang saya dapatkan yaitu ketika saya menjadi coach bagi rekan CGP atau guru dengan kegiatan coaching maka seorang coachee akan mendapatkan pencerahan dari permasalahan yang sedang dihadapi dan solusi dari permasalahan tersebut berasal dari pertanyaan berbobot yang dilontarkan oleh coach. Sehingga kegiatan coaching merupakan sebuah proses kreatif dari seorang coach yang dapat memberikan pertanyaan berbobot untuk menggali potensi yang ada didalam diri coachee.
5. Penerapan
Hal yang perlu saya perbaiki atau tingkatkan yaitu saya akan meluangkan waktu untuk mengimplementasikan kegiatan coaching dengan rekan sejawat sehingga kompetensi coaching saya dapat meningkat dengan baik. Melalui kegiatan coaching juga merupakan kegiatan kompetensi mengembangkan diri dan mengembangkan orang lain. Sebagai pemimpin pembelajaran maka kita seyogyanya dapat memberdayakan orang lain melalui kegiatan kolaborasi dan sharing praktik baik dalam kegiatan pembelajaran salah satunya melalui pendekatan coaching.
Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) merupakan ramuan menarik bagi murid untuk bisa mempusatkan pembelajaran sikap murid. Selama ini guru pasti sering menerapkan PSE walaupun hanya sekilas. Konsepnya masih hanya sekadar apersepsi, bentuk keakraban antara guru dan murid, atau sekadar basa basi saja untuk kepentingan pembelajaran. Namun, ternyata jika ditelaah lebih lanjut, bahwa sapaan, penguatan dan segala pola interaksi guru dan murid yang mengarah pada aspek sikap, bisa memberikan dampak positif yang sangat besar. Murid akan merasa dilayani dan diperhatikan oleh guru. Lebih jauh lagi, sikap-sikap tersebut bisa mengarahkan murid dalam proses belajar yang berkaitan dengan pemahaman diri, empati terhadap orang lain, serta kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi secara efektif.
Guru sebaiknya mulai mengarahkan perhatian selain pada sisi kognitif, juga pada sisi sikap yakni melalui pembelajaran sosial emosional. melalui PSE yang terprogram dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, bisa menjadikan murid memiliki pola pemahaman diri yang lebih baik, memiliki empati terhadap orang lain lebih baik, mampu berinteraksi secara luwes dengan guru maupun teman-temannya, serta memiliki kemampuan berkomunikasi yang efektif.
Saya teringat, saat seorang diri berjibaku menyapu lantai ruang laboratorium IPA sekolah. Biasanya masalah kebersihan laboratorium IPA dibantu melalui sistem piket kelas saat murid mengikuti pembelajaran di laboratorium. Namun, kondisi saat itu berbeda. Pagi hari, tidak ada pembelajaran IPA dan esoknya laboratorium IPA hendak dipakai untuk kegiatan. Maka, cara efektif adalah dengan melakukan sendiri kebersihan di laboratorium IPA. Tak lama berselang, dua murid tergopoh-gopoh permisi lalu masuk laboratorium IPA sambil membawa sapu di tangganya. Tanpa basa basi murid menawarkan untuk ikut membersihkan laboratorium IPA. padahal, setelah ditelisik setelah bersih-bersih, kedua murid tersebut bukanlah murid yang menjadi tanggungjawab saya. Dengan kata lain, murid yang pembelajaran IPA diampu oleh guru lain dan bukan saya.
Nah, inisiatif dan keberanian itulah yang perlu diasah, dimunculkan dan ditingkatkan oleh murid melaui PSE. Jadi sekolah bukan sekadar mendidik murid menjadi pintar secara akal, tetapi juga cerdas secara sikap dan emosi. Semoga.
Pembelajaran berdiferensiasi merupakan konsep cerdas dalam dunia pendidikan. Pembelajaran yang menjadikan murid sebagai pusat pembelajaran. Guru mencurahkan seluruh waktu dan pikirannya untuk bisa melayani pembelajaran yang bermakna dan dibutuhkan murid. Bukan hanya murid sebagaimana umumnya. Tetapi murid satu per satu dengan segala potensi dan pengalamannya.
Konsep indah ini memang sempurna di atas kertas. Namun, penerapannya sangat sulit. Pembelajaran berdiferensiasi hanya bisa diterapkan sepenuhnya apabila perbandingan kuantitas antara murid dan guru seimbang. Sangat tidak mungkin menerapkan pembelajaran berdiferensiasi jika satu kelas hanya dikelola hanya seorang guru.
Namun dengan segala keterbatasan, pembelajaran berdiferensiasi tidak sepenuhnya mimpi. Masih ada ruang untuk mengeksplorasi pembelajaran berdiferensiasi meskipun tidak penuh. Artinya tetap dilakukan pengelompokkan di dalam kelas berdasarkan kecenderungan murid-muridnya. Pengelompokkan kecil ini dirasa lebih efektif daripada menerapkan pembelajaran berdiferensiasi penuh tetapi terasa dipaksakan.
mari kita tetap semangat melayani murid dengan sepenuh hati. Tidak ada kesempurnaan pada diri manusia. Tetapi usaha keras guru untuk memenuhi kebutuhan murid harus terus diupayakan.
Setiap orang pasti akan menghadapi suatu permasalahan. Karena permasalahan sejatinya akan terus ada sepanjang hidup seseorang. Tak terkecuali sebuah institusi sekolah. Bisa dipastikan setiap guru akan berhadapan dengan berbagai permasalahan, baik itu menyangkut diri, siswa, sekolah dan masyarakat. Maka cara menghadapi permasalahan adalah dengan menyelesaikannya dengan baik. Karena penyelesaian suatu permasalahan yang dilakukan dengan kurang baik, hanya akan menghasilkan permasalahan baru lagi.
Salah satu permasalahan guru di sekolah diantaranya adalah murid. Pada umumnya murid akan bersikap baik, mentaati peraturan dan melaksanakan tugasnya sebagai murid dengan sebaik-baiknya. Namun, selalu saja ada murid-murid yang berlaku sebaliknya. Sering melakukan pelanggaran tata tertib, mengabaikan tugas dan kegiatan sekolah, tidak peduli dengan prestasi di sekolahnya dan lain sebagainya. Guru sebagai wali murid di sekolah, sudah seharusnya melakukan langkah-langkah penyelesaian permasalahan yang dialami murid.
Selama ini, metode untuk menyelesaikan permasalahan yang dialami murid berbeda-beda. Pendekatan yang dilakukan berbeda-beda. Konsepnya tergantung kondisi saat itu, personalia guru, murid yang membuat masalah dan lain sebagainya. Guru perlu memiliki metode terbaik dalam menyelesaikan permasalahan murid dengan baik dan tepat. Salah satu metode penyelesaian permasalahan yang dialami murid adalah dengan metode segita restitusi. Segitiga restitusi merupakan proses menciptakan kondisi bagi peserta didik untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004).
Tiga langkah segitiga restitusi yaitu validasi tindakan yang salah, menanyakan keyakinan dan menstabilkan identitas. langkah ini menurut saya perlu diterapkan dengan sungguh-sungguh ketika guru menangani permasalahan yang ada di sekolah. Ketika menangani permasalahan yang dilakukan oleh murid, guru tidak perlu emosi sehingga proses berpikir tidak matang. Tetapi menerapkan segitiga restitusi dengan tenang.
Penulis, sesuai tugas yang diberikan dalam LMS, besok senin, 16 Oktober akan mencoba menerapkan segitiga restitusi dalam penyelesaian suatu permasalahan murid. Semoga nantinya metode segitiga restitusi bisa berjalan dengan baik dan mampu menyelesaikan permasalahan yang dialami murid.
Paradigma BAGJA merupakan hal baru bagi saya. Sebelumnya, saya lebih sering berpikir dan mengkhawatirkan hal-hal negatif yang ada pada murid, guru dan sekolah. Terlalu khawatir untuk melakukan sesuatu karena pertimbangan satu dua hal yang lebih banyak berkonotasi negatif. Misalkan, khawatir murid tidak setuju, orang tua murid kurang perhatian dan lain-lain. Sehingga saya tidak berani melanjutkan apa yang telah direncanakan.
Melalui paradigma BAGJA ini saya mulai merancang dan menganalisis kegiatan yang akan dilakukan dengan lebih mengedepankan sisi potensi positif yang dimiliki siswa, guru dan sekolah. Saya hanya lebih banyak melakukan pemilahan potensi. Apa yang perlu dilakukan terlebih dahulu, apa yang bisa dilanjutkan dan apa yang harus dipriositaskan dulu. Paradigma BAGJA menjadikan saya berpikir lebih sistematis.
Ke depan saya akan terus menerapkan paradigma BAGJA dalam melaksnakan tugas dan kewajiban saya sebagai guru maupun sebagai pribadi di keluarga.
Menjadi guru penggerak diperlukan kompetensi tertentu. Nilai-nilai sebagai guru penggerak perlu ditanamkan agar perannya bisa maksimal. Konsep nilai, kompetensi dan peran guru penggerak ini memberikan inspirasi dan rumusan bagi saya untuk memposisikan diri sebagai guru penggerak. Salah satu cara untuk melaksanakan peran guru penggerak adalah melalui komunitas yang bisa dirintis, ditumbuhkan dan dikembangkan agar terus berlanjut.
Saya berpikiran modul 1.2 ini sangat penting sebagai sarana saya untuk bisa melaksanakan fungsi dan peran sebagai guru penggerak.
Saya akan mulai menyiapkan peran saya sebagai guru penggerak di sekolah tempat saya mengabdi. Tahapan demi tahapan sedang saya rancang agar program yang dicanangkan bisa maksimal.
Salah satu pembelajaran yang saya dapatkan selain nilai, kompetensi dan peran guru penggerak adalah tentang komunitas yang bisa dijadikan media saya untuk menerapkan ilmu-ilmu yang didapatkan melalui pendidikan guru penggerak.
Kolaborasi pembelajaran selama ini jarang dilakukan oleh saya. Pada pendidikan Guru Penggerak ini saya dihadapkan pada situasi berkolaborasi dengan guru yang bukan lain berbeda mata pelajaran, tetapi juga tingkat pembelajaran. Saya sebagai guru IPA di SMP, berkolaborasi dengan guru lain yang bukan mapel IPA dan mengajar bukan di SMP, tetapi SMK, SD dan TK.
Saya sangat senang. saya berusaha untuk membuka dan menyesuaikan diri dengan teman peserta lain. Dengan membuka diri, maka pengalaman dan pemikiran teman lebih mudah saya serap. Dan saya mendapatkan banyak sekali informasi dan motivasi dalam program ini.
Muncul gagasan pada diri saya untuk melakukan kolaborasi yang lebih baik dalam pembelajaran yang bisa diterapkan secara bersama.
Salah satu pembelajaran yang saya dapatkan adalah kolaborasi itu menguntungkan kita bersama. Asalkan dilakukan secara proporsional. Masing-masing berkontribusi sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki.
Murid lebih dekat lagi dan lebih bisa berkomunikasi secara leluasa. Bahkan dalam komunikasi non formal, murid bisa menyampaikan perasaan dan keinginan. Jadi tidak melulu berkomunikasi dalam hal pembelajaran saja