Ki Hajar Dewantara (KHD) adalah sosok guru bangsa ini. Dedikasinya dalam dunia pendidikan berwujud nyata melalui sekolah taman siswa yang didirikannya. Tidak hanya apa yang bisa kita lihat saja, dedikasi KHD dalam dunia pendidikan lebih banyak dalam norma, nilai, semangat dan konsep yang sangat penting dalam dunia pendidikan.
Kalimat sederhana yang terus didengungkan dari dulu hingga saat ini karena terasa relevan bagi bangsa Indonesia adalah Tut Wuri Handayani. Penggalan kalimat tersebut merupakan baris ketiga dari kelimat lengkapnya yang berbunyi, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Mandya Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani".
Bangsa Indonesia sesungguhnya sangat menyadari betapa relevannya ajaran KHD dalam dunia pendidikan tanah air. Namun sayang, bangsa kita terlena dengan teori-teori luar yang seolah lebih mumpuni dari ajaran guru bangsa sendiri. Alhasil, mata kita lebih berpaling ke luar sana, sementara mutiara yang ada di rumah sendiri tidak terindahkan sama sekali.
Belakangan bangsa ini mulai menyadarinya melalui Kurikulum Merdeka. Lalu mulailah menggali berbagai ajaran KHD yang bahkan kalimatnya sendiri belum pernah di dengar. Bukan hanya "di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan dan di belakang memberi dorongan", namun ada kodrat alam, berhamba pada anak, tetep-antep-mantep, salam bahagia, hak diri, suci tata ngesti tunggal, dan lawan sastra ngesti mulya. Betapa kita akan tersadar bahwa ajaran-ajaran KHD sangat mendalam, asli, sesuai dan penting untuk diterapkan dalam dunia pendidikan bangsa ini.
Pendidikan Guru Penggerak (PGP) menjadi salah satu langkah dalam mengembalikan lagi dunia pendidikan di Indonesia pada ajaran aslinya dari putra bangsa, yakni KHD. Penulis, selaku peserta PGP angkatan 9 melalui berbagai modulnya memiliki harapan agar bisa menyerap semua pemikiran baik KHD, khususnya dalam dunia pendidikan. Pemikiran yang mungkin saja belum pernah didengar penulis, apalagi diterapkan. Sebagai pendidik yang terus belajar, penulis berharap bisa menjadi guru yang semakin baik sesuai kebutuhan zaman dan karakter murid.
Motivasi ini sangat diperlukan karena di tengah globalisasi yang berimbas pada percepatan teknologi yang sangat pesat, penulis terkadang seperti terbawa arus. Merasa apa yang datang dari luar adalah yang terbaik. Apa yang ada pada diri sendiri tidaklah berharga dibandingkan dengan semua yang berasal dari luar itu. Tidak menyadari bahwa sesungguhnya konsep terbaik pendidikan cukup digali dari pemikiran leluhur, seperti pemikiran KHD.
Setelah mempelajari modul ini, penulis sangat berharap semangat ini bisa ditularkan ke murid. Kesadaran ini bisa menjadi motivasi agar murid bisa menjadi pembelajar yang baik. Pembelajar yang baik tentu harus didampingi guru guru yang juga tidak sungkan untuk bisa belajar dari siapa saja. Maka, penulis berharap bisa secara lengkap menggali filosofi pendidikan ala KHD, menjadi guru pembelajar, dan memiliki komunitas yang se-frekuensi dalam menjalankankan niat ini. Semoga pada akhirnya, bangsa ini akan kembali pada pemikiran terbaik, yakni dari pemikiran sendiri.
(Tugas 1.1.a.3. Mulai dari Diri - Modul 1.1)
MENJADI sosok yang pandai, terpelajar dan peduli pendidikan di masa kolonialisme, bukanlah perkara yang mudah. Jangankan mendidik, menyuarakan pendapat saja selalu dibelenggu. Jangankan bersuara, berpikir saja diawasi. Maka, tak berlebihan jika kita patut mengacungkan jempol atas keberanian Suwardi Suryaningrat alias Ki Hadjar Dewantara dalam mendirikan Sekolah Taman Siswa untuk pribumi.
Pada situasi tersebut, akses untuk mendapatkan informasi sangat terbatas. Internet jangan ditanya, belum ada saat itu. Buku sudah ada, tetapi sangat terbatas. Terbatas jumlahnya, bahasanya, akses penggunaannya hingga terbatas peredarannya. Namun KHD bisa dengan demikian cerdas menggali ilmu pengetahuan, khususnya tentang pendidikan. KHD sangat percaya, bahwa salah satu gerbang untuk mensejahterakan pribumi adalah melalui jalur pendidikan. Maka didirikanlah sekolah untuk mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia.
Banyak sekali pemikiran KHD yang cerdas, brilian namun sangat membumi untuk dipedomani bangsa Indonesia. Tiga arah pendidikan ala KHD yakni Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Mandya Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani merupkan buah pemikiran cerdas yang masih dipedomani insan pendidikan di Indonesia hingga saat ini. Bagaimana guru seharusnya berbuat saat di depan, di tengah dan di belakang murid dalam proses pembelajaran. Menjadi tauladan saat di depan, menjadi penggerak saat bersama, dan menjadi motivator saat di belakang murid, merupakan rumusan idealis namun sangat realistis.
Belakangan, bangsa Indonesia mulai membuka kembali lembaran-lembaran kisah dan pemikiran KHD yang perlu dipedomani melalui Kurikulum Merdeka dan Program Guru Penggerak. Jas merah yang berarti jangan lupakan sejarah kembali menunjukkan kesaktiannya. Pendidikan kembali berkiblat ke teori asli pendahulu bangsa ini setelah sekian lama mengarahkan kiblat ke teori-teori asing yang justru banyak tidak cocoknya dengan kondisi alam Indonesia.
Pemahaman kekuatan kodrat, yakni kodrat alam dan kodrat zaman yang perlu menjadi perhatian guru dan semua pemangku pendidikan tanah air. Bahwa ketika zaman sudah berubah, maka dinamikanya juga merasuki dunia pendidikan. Pendidikan harus beradaptasi dengan kondisi zaman dimana eranya murid saat belajar. Guru juga perlu senantiasa memahami kodrat alam diri murid agar bisa dikembangkan melalui jalur pendidikan di sekolah. Jangan sampai, murid berkembang tidak seperti seharusnya. Memaksa murid paham pada sesuatu yang tidak perlu baginya untuk memahami. Mengarahkan murid untuk berkembang sesuai bakat, minat dan keinginan dirinya sendiri.
Pemahaman ini menyadarkan penulis bahwa apa yang sudah dilakukan di kelas masih jauh dari harapan. Sadar bahwa pendidikan itu harus bermakna bagi murid. Maka konsep pendidikan harus berpusat pada murid. Bukan semata mata keinginan dan kemauan guru. Tugas guru hanya mendampingi atau menuntun. Jangan sampai potensi positif yang dimiliki murid berkembang pelan. Atau potensi buruk yang dimiliki murid justru berkembang lebih baik dibandingkan potensi baiknya.
Pengalaman penulis melaksanakan kurikulum merdeka dan pendidikan guru penggerak sangat menarik. Memberikan pemahaman dan kesadaran baru. Bahwa apa yang dipahami dan dilaksanakan selama ini belum sesuai dengan harapan. Sentuhan-sentuhan filosofi KHD belum mewarnai pendidikan di sekolah.
Salah satu hal mendasar yang menjadi kesadaran penulis adalah terkait kodrat zaman. Zaman yang saat ini berbeda dengan zaman saat penulis berposisi sebagai murid. Kondisi perbedaan zaman inilah yang menjadikan karakter murid saat ini berbeda. Beberapa pendidik yang belum memahami, pasti akan terheran-heran dengan kondisi ini. Selalu membanding-bandingkan kondisi murid masa ini dengan masa lalu hanya akan menguras energi.
Sudah saatnya guru menyadari perbedaan yang ada pada setiap murid. Menjalankan program pendidikan yang berdiferensiasi sehingga memberikan ruang bagi siswa dan guru untuk berkreasi. Tidak harus mengikuti arus pendidikan di lain tempat yang pasti berbeda. Niscaya pendidikan di Indonesia akan semakin maju dan berkembang. Kondisi ini cukup menjadi modal untuk menyongsong Indonesia maju di sepuluh tahun kedepan.
(Tugas 1.1.a.8 Koneksi Antar Materi - Modul 1.1)
Setiap sekolah pasti memiliki persoalan. Persoalan tersebut ada yang hanya terjadi pada situasi tertentu, sehingga pada situasi yang lain akan hilang dengan sendirinya. Misalkan persoalan sampah di sekolah hanya akan terjadi ketika ada kegiatan besar. Diluar kegiatan tersebut, sampah tidak menjadi persoalan. Ada pula persoalan yang akan terus menjadi persoalan apabila tidak diselesaikan. Persoalan tidak akan hilang meskipun kondisi dan situasi berbeda. Misalkan, sampah di selokan yang menghambat laju air. Apabila tidak ditangani, maka sampah akan selalu ada di sekolah dan menjadi biang masalah lain. Air menjadi terganggu lajurnya, aroma yang tidak sedap, dan melubernya air dari sekolah.
Sebagai guru penggerak, saya mencoba menjadikan diri sebagai penggerak dalam penyelesaian suatu persoalan yang ada di sekolah. Pola penempatan diri sebagai bagian dari solusi masalah lebih bermanfaat dari basis pergerakan lainnya. Namun sebelum memulai sebagai agen solusi, saya selaku guru penggerak mencoba menilai diri sendiri terlebih dahulu, lalu melakukan analisis persoalan, baru bergerak untuk bisa berperan menyelesaikan persoalan di sekolah.
Berdasarkan analisis saya, salah satu persoalan di sekolah saya terkait dengan kegiatan ekstrakurikuler. Wahana yang sebenarnya sangat bermanfaat karena bisa menunjang bakat dan minat murid dalam berbagai hal, bisa menjadi rutinitas tak bermanfaat jika tidak dikelola dengan baik. Pengelolaan yang dimulai dari ide, perencanaan, pelaksanaan dan refleksi sebagaimana metode penyelesaian masalah yang saya pelajari dalam pendidikan guru penggerak.
Kegiatan ekstrkurikuler memiliki nilai manfaat bukan hanya pada murid. Guru bisa ikut mengembangkan bakat dan potensinya sesuai dengan jenis ekstrkurikuler yang didampingi. Sekolah bisa menggaet prestasi non akademis dari program pembinaan prestasi siswa melalui kegiatan ekstrakurikuler.
Berdasarkan analisis saya, permasalahan pada kegiatan ekstrkurikuler salah satunya adalah pilihan kegiatan yang disajikan dan sumber daya manusia pelatihnya. Banyak kegiatan ekstrakurikuler yang sejatinya tidak menarik bagi murid, meskipun secara ideal sangat bagus. Misalkan kegiatan ekstrakurikuler matematika, IPA, IPS, Bahasa Inggris. Keempat ekstrakurikuler tersebut sejatinya sangat baik dan bernilai akademis. Artinya murid juga bisa memanfaatkan kegiatan tersebut untuk mendongkrak kualitas akademisnya.
Kegiatan ekstrakurikuler yang tidak berdasarkan minat murid, meskipun baik, pada akhirnya hanya menjadi rutinitas yang dihindari murid. Ada saja alasan yang akan dibuat sehingga murid tidak mengikuti ekstrakurikuler tersebut. Maka solusinya bisa dengan cara melakukan asasmen berupa kuisioner atau survey untuk mengetahui jenis ekstrakurikuler yang diminati karena sesuai dengan bakat murid. Asasmen tersebut didesain dengan apik sehingga berpihak pada murid karena dilakukan atas dasar keinginan, bakat dan kemampuan sekolah bisa terakomodir informasinya. Murid menyukai, sesuai dengan bakat yang ingin dikembangkan murid, dan disetujui oleh sekolah.
Permasalahan lain adalah SDM guru sebagai pembina ekstrakurikuler. Tidak menutup mata bahwa tugas guru sangat banyak. Tambahan sedikit saja beban kerja bisa membuat guru stress sehingga tidak melaksanakannya dengan baik. Maka, guru juga perlu pembekalan untuk meningkatkan kompetensinya di bidang ekstrakurikuler yang dipilih murid. Guru juga perlu mendapat pendampingan dari professional di luar warga sekolah yang bersedia berkomitmen untuk mengambil peran guru sebagai pembina. Selain itu, guru juga perlu program dan strategi jitu agar ekstrakurikuler berjalan sebagaimana yang didambakan.
Sebagai guru pengerak saya akan mengambil peran sebagai guru yang bisa menggerakkan komunitas di sekolah. Saya akan awali kegiatan kolaboratif ini dengan melakukan lobi atau komunikasi dengan guru lain sesama pembina ekstrakurikuler. Tujuannya selain untuk menggali informasi juga untuk mendapat dukungan. Setelah kesepakatan dimulai, maka guru perlu mendapat pembekalan yang berkelanjutan. Komunikasi awal ini diperlukan sambil menggali ide dan permasalahan yang ada untuk kemudian dituangkan dalam perencanaan atau proposal kegiatan.
Selanjutnya saya akan mengadakan inovasi berupa workshop untuk guru. Materi utamanya adalah untuk menghasil perencanaan, baik itu tertulis maupun tidak. Menemukan bakat murid, mengembangkan bakat murid, menumbuhkan motivasi berkompetisi, mendesain produk kegiatan, hingga melaksanakan program yang berpihak pada murid melalui jalur ekstrakurikuler.
Agar hasil workshop terpantau dan terus berkualitas, maka perlu adanya program lanjutan yang bisa memberikan kesempatan guru untuk secara mandiri melakukan pembinaan ke murid. Sekali-kali diadakan event yang dilakukan bersama-sama guru pembina dalam rangka pembiasaan berkolaborasi. Kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler diarahkan agar unik, memicu rasa penasaran murid dan bermakna atau inovatif.
Workshop diadakan dengan mengundang guru dari sekolah lain yang memiliki pengalaman mengantarkan murid dalam ajang kompetisi. Hal ini diperlukan untuk membuka wawasan guru dan meningkatkan motivasi agar tetap kuat dan tidak meluruh. Saya juga perlu menyampaikan tujuan workshop agar rekan guru menyadari betul target dan tujuan dilaksanakannya workshop tersebut. Saya juga akan membantu membuk relasi dengan personal yang memiliki kemampuan untuk membina murid.
Segala proses akan semakin bermanfaat jika ada hasilnya. Maka, saya merefleksikan apa yang telah dilakukan dengan memberikan kesempatan murid untuk mencari pola terbaik untuk mengasah keahlian mereka melalui ekstrakurikuler. Saya juga mensupport guru agar melakukan studi banding dan kolaborasi dengan sekolah lain dalam ajang pembinaan murid melalui kegiatan ekstrakurikuler. Menjalankan program secara mandiri, sehingga meskipun nantinya ada kendala dan hambatan tetap berusaha untuk bisa dilalui dengan baik.
Kegiatan ini perlu dilaksanakan bertahap setidaknya selama satu kali dalam setahun atau tiga kali dalam tiga tahun. Beberapa kegiatan lain yang akan penulis laksanakan dalam tiga tahun ke depan sesuai dengan nilai-nilai guru penggerak diantaranya adalah:
Melaksanakan asasmen diagnostik terkait dengan potensi non akademis murid. Nantinya hasil dari asasmen ini bisa menjadi bahan pertimbangan sekolah dalam menentukan jenis ekstrakurikuler yang dilaksanakan. Asasmen bisa dilaksanakan secara online dan perlu diperbaharui setiap awal semester. Sehingga kegiatan ekstrakurikuler yang dilakukan berpihak pada murid dan sesuai dengan keinginan murid.
Berkolaborasi dengan guru lain yang memiliki kompetensi tertentu yang bisa dikembangkan melalui program ekstrakurikuler.
Selalu berinovasi dalam melaksanakan program ekstrakurikuler agar murid dan pembina tidak bosan. Misalkan dengan melakukan kegiatan bersama dengan sekolah lain, melakukan outing class dan lain-lain. *(Febri Prasetyo Adi, S.Pd.I. – SMPN 3 Mrebet)
Pembelajaran Berdiferensiasi:Optimalisasi Bakat dan Minat Murid secara Kontekstual
Konsep pembelajaran berdiferensiasi ala Kurikulum Merdeka berasal dari apa yang disampaikan oleh Tomlinson (2001). Menurut Tomlinson (2001: 45), Pembelajaran Berdiferensiasi adalah usaha untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan belajar individu setiap murid.
Diferensiasi dalam pembelajaran menjadi hal yang penting diterapkan karena pusat pendidikan itu adalah murid. Diferensasi pembelajaran merupakan bagian dari bentuk pelayanan murid. Meskipun konsep ini baru digaungkan saat ini, tetapi sebenarnya pembelajaran berdiferensiasi bukanlah yang yang betul-betul baru. Guru pada dasarnya sudah atau pernah menerapkannya. Konsep ini diterapkan agar pembelajaran menyenangkan dan bermakna.
Penulis dalam beberapa kali kesempatan menerapkan pembelajaran berdiferensiasi. Misalkan dalam penentuan kegiatan praktikum pengukuran massa dan volume. Sebelum dilakukan praktikum penulis melakukan komunikasi dulu dengan murid untuk menentukan benda atau alat apa saja yang digunakan. Kesepakatan ini diperlukan karena tidak semua murid memiliki alat standar yang seharusnya digunakan. Kegiatan ini sudah penulis terapkan sebelum kurikulum merdeka berlaku. Dan penulis meyakini, banyak guru juga melakukan strategi serupa dalam pembelajaran.
Pembelajaran berdiferensiasi yang diberlakukan saat ini menjadi semacam motivasi bagu guru untuk lebih sering dan lebih baik dalam penerapannya di pembelajaran sehari-hari. Satu hal yang perlu dilakukan guru sebelum menerapkan pembelajaran berdiferensiasi adalah melakukan diagnostik. Proses ini menjadi bahan dasar atau latar belakang diferensiasi pembelajaran dilakukan. Tanpa dilakukan proses diagnostik, maka diferensiasi hanya berdasarkan asumsi saja. Hal ini sama saja menguras energi, karena melakukan praktek pembelajaran tanpa atau tidak sesuai kebutuhan.
Diagnostik bisa dilakukan dengan rumit atau dengan sederhana. Diagnostik melalui tes dengan menghadirkan puluhan pertanyaan, baik itu secara daring maupun luring bisa menghasilkan data yang valid. Resikonya adalah proses yang diperlukan rumit, lama dan membutuhkan energi serta kecakapan khusus. Model seperti ini lebih tepatnya dilakukan secara bersama di awal masa pembelajaran. Diagnostik yang lebih sederhana bisa dilakukan sewaktu-waktu mengikuti dinamika yang terjadi pada murid. Perubahan minat, keinginan, pola pembelajaran bisa jadi dialami seorang murid. Nah, diagnostik sederhana ini bisa menjadi solusinya. Bisa dilakukan sewaktu-waktu, ringkas dan tidak memerlukan waktu khusus serta perlakukan khusus.
Setelah data hasil diagnostik dianalisis, guru bisa mencoba memberikan rangsangan tambahan sebelum diferensiasi pembelajaran diterapkan. Sekadar untuk kroscek apakah kesimpulan dari diagnostik sesuai dengan kondisi lapangan atau tidak. Kegiatan selanjutnya bisa ke arah persiapan dan penerapan pembelajaran berdiferensiasi.
Pembelajaran diferensiasi juga bisa diterapkan secara penuh atau setengah-setengah. Tidak mungkin juga, dalam satu waktu guru mengakomodir semua bentuk kecenderungan murid. Bayangkan jika setiap murid memiliki pola yang berbeda-beda. Maka berapa banyak model pembelajaran yang harus dilakukan guru di dalam satu ruangan, satu waktu dan satu guru. Maka, pembelajaran berdiferensiasi bisa dilakukan setengah-setengah. Maksudnya adalah, guru mengakomodir kecenderungan murid dalam kelompok. Prakteknya, kelas bisa hanya dibagi dalam dua atau beberapa kelompok besar saja. Pada saat pembagian kelompok itulah, diperlukan kecermatan guru dalam mengelompokkan minat murid yang mirip.
Jika ada pertanyaan, apakah dengan menerapkan pembelajaran secara berdiferensiasi maka kebutuhan murid akan terpenuhi sehingga ketercapaian hasil belajarnya optimal?
Secara alur pembelajaran, bisa dikatakan demikian. Pembelajaran yang disesuaikan dengan keinginan dan potensi dasar seseorang, maka relatif lebih optimal dibandingkan dengan pembelajaran dengan kondisi yang dipaksakan tanpa memperhitungkan keinginan dan potensi muridnya.
Namun, aplikasi pembelajaran berdiferensiasi memang tidak mudah. Dari proses awal berupa diagnostik saja memerlukan ketrampilan khusus, baik itu dalam menyusun konsep diagnostiknya, menganalisisnya hingga menyimpulkannya. Guru sebenarnya tidak dalam posisi yang bisa melakukan hal itu secara profesional. Ada pihak lain yang lebih profesional untuk melakukan hal tersebut, misalkan psikolog dll. Namun kondisi sekarang menempatkan guru untuk melakukan hal tersebut. Walaupun pada prakteknya, guru bisa saja didampingi oleh tenaga profesional untuk melakukannya. Secara teori hal tersebut bisa dilakukan. Namun secara praktek, tidak semua sekolah memiliki kemampuan untuk melibatkan tenaga profesional dalam pelaksanaan kurikulumnya.
Setelah dilakukan diagnostik, guru mulai merancang program pembelajaran berdasarkan hasil diagnostik atau disebut sebagai modul ajar. Kembali nanti guru akan dihadapkan dengan berbagai kendala yang ada di setiap sudut pembelajaran yang dilakukan. Kemampuan guru, sarana, motivasi belajar murid, hingga suasana lingkungan belajar memiliki pengaruh kuat dalam penerapan pembelajaran berdiferensiasi ini.
Kondisi pembelajaran berdifernsiasi sebaiknya adalah kontekstual atau sesuai dengan kondisi yang dialami murid, baik kondisi diri maupun kondisi lingkungan. Hal ini dikarenakan seringkali murid pada usianya, lebih cenderung mengikuti apa yang sedang terjadi di masyarakat. Misalkan, saat musim layangan, maka minat dan kebutuhan murid bisa saja berhubungan dengan permainan layangan. Segala hal yang berhubungan dengan permainan layangan menjadi hal yang sangat menarik buat murid.
Konteks itu bisa dibatasi waktu dan ruang. Di lingkungan murid A, bisa saja permainan layangan tidak menarik. Karena sedikit orang yang melakukannya. Sebaliknya, lingkungan murid B sedang tranding permainan layangan.
Apabila alur pembelajaran berdiferensiasi dilakukan dengan cermat, maka bisa berdampak pada optimalisasi hasil belajar murid. Apabila yang terjadi sebaliknya, maka pembelajaran berdiferensiasi justru membuat guru dan murid menghadapi suasana yang rumit tanpa hasil optimal.
Sebagai guru, terkadang saya meluangkan waktu untuk untuk menyapa dan berbicara dengan murid tentang hal yang tidak terkait dengan pelajaran. Saya pengajar mata pelajaran IPA di SMP Negeri di Kabupaten Purbalingga. Obrolan dengan murid tentang sesuatu di luar ke-IPA-an sengaja saya angkat karena beberapa alasan. Kejenuhan, itu alasan pertama. Ya, walaupun IPA adalah mata pelajaran yang saya ampu dan menjadi pilihan pertama diantara mata pelajaran yang paling menarik, tetapi kejenuhan tetap sesekali muncul. Bosan juga selalu berbicara ekosistem, biotik, abiotic, hokum Newton, Unsur, Molekul dan lain-lain yang menyangkut IPA. Sesekali perlu juga membahas yang selain itu semua.
Alasan yang kedua adalah belajar. Ya, cara belajar saya diantaranya adalah menyampaikan apa yang saya pelajari. Semakin lihai saya menyampaikan sesuatu hal, itu artinya semakin paham saya terhadap hal tersebut. Maka, sesuatu yang saya bahas biasanya informasi baru atau yang sedang trend saat itu. Misalkan saat ini terkait pemilu, tata caranya, hingga para kandidatnya. Rasanya segar juga membicarakan topik yang tidak biasa.
Alasan yang ketiga adalah terkait jam terbang. Suatu ketrampilan tidak cukup hanya dipelajari saja. Tetapi diseringkan sehingga semakin cepat respon kita terhadapnya. Maka, topik etika lah yang sering saya bahas ketika jenuh dengan materi pembelajaran. Etika itu sesuatu yang sering tidak tertulis, tetapi kesadaran kita meyakini kebenarannya. Misalkan tentang membuang sampah. Tanpa kesadaran dan pemahaman etika yang baik, maka motivasi untuk menjaga kebersihan dengan tidak membuang sampah akan menjadi sulit dikuatkan. Karena sudah menjadi etika bahwa segala yang buruk, seperti sampah sudah seharusnya ditempatkan pada posisi seharusnya. Ada perasaan risi dan tidak nyaman ketika membuangnya sembarang tempat.
Nah, terkadang kita melupakan hal tersebut. Etika tidak cukup hanya dibahas, tetapi diseringkan. Istilah populernya adalah jam terbang. Semakin sering menerapkannya maka akan semakin paham akan tujuan dan manfaatnya. Semakin sering kita menjaga kebersihan lingkungan, maka akan semakin paham betapa kebersihan itu hal yang sangat penting.
Maka dalam kehidupan sehari-hari guru di sekolah, etika tidak cukup diajarkan tetapi diteladani. Siapa yang bisa diteladani siswa? Tentu saja gurunya. Lantas, siapa yang bisa diteladani guru? Tentu saja pimpinannya, yakni Kepala Sekolah. Di lingkungan sekolah, posisi Kepala Sekolah saat ini seperti konsumen puncak di piramida makanan. Posisi tertinggi yang tidak akan bisa diusik oleh konsumen lain. Maka, menjadi pimpinan di sekolah secara ideal jauh lebih sulit dari seorang guru. Ambil dari satu sisi, yakni tuntutan keteladanan dalam penerapan etika di sekolah.
Dalam soal pengambilan keputusan misalnya. Kepala sekolah memiliki posisi tawar yang tinggi, tetapi memiliki beban tanggung jawab yang setara. Kepala Sekolah memiliki hak veto atas segala kebijakan sekolah jika tidak tuntas ditangani guru. Namun, tanggung jawabnya juga sangat besar. Beban atas tanggung jawab atas segala keputusan yang diambil terkadang berada pada posisi dilema. Satu keputusan yang harus diambil dari dua atau lebih pilihan yang sama-sama bernilai benar. Jam terbang pimpinanlah yang selanjutnya bisa menjadi acuan dalam memilih segala bentuk keputusan yang bersifat dilema.
Menambah jam terbang bukan berarti menjadikan segala hal bermasalah sehingga dibutuhkan sebuah keputusan dilematis. Jam terbang akan selalu datang karena banyak sekali permasalahan di sekolah yang terjadi. Maka, jam terbang ketrampilan pengambilan keputusan atas persoalan dilema tidak perlu dicari. Cukup buka keran komunikasi nyaman dengan guru, maka seketika itu persoalan dilema akan lancar disampaikan oleh guru kepada kepala sekolah.
Begitu juga sebenarnya seorang guru. Cukup buka keran kecil kebebasan murid untuk menyampaikan semua persoalan yang dialaminya. Dari persoalan-persoalan itulah nanti kemampuan guru dalam penanganan yang dilematis guru otomatis menambah jam terbangnya. Dan jangan kaget jika nantinya guru tersadar bahwa murid pun memiliki banyak permasalahan yang dialaminya di rumah, sekolah, dan tempat lainnya.
Maka, sebagai guru penggerak saya sangat terbantu sekali dengan konsep paradigman pengambilan keputusan, prinsip-prinsip pengambilan keputusan, hingga langkah-langkah pengambilan dan pengujian sebuah keputusan. Apalagi setelah urutan materi sampai pada modul dalam rangka untuk menggali nilai kebajikan diri dan lingkungan.
Demi menambah jam terbang, saya melakukan proses interview dengan kepala sekolah secara antusias. Bahwa proses pengambilan keputusan pun tidak bersifat paten karena setiap persoalan selalu berbeda dan perlu penanganan yang berbeda pula. Bisa jadi langkah penyelesaian masalah dilakukan dengan tahapan lain yang dianggap lebih cocok pada saat itu dan di tempat tersebut.
Salah satu hal di luar dugaan adalah bahwa nantinya kepala sekolah akan kerap menghadapi permasalahan dilematis. Sesuatu yang di buku-buku teori tidak ada, tetapi berlaku di tengah-tengah masyarakat. Maka sekali lagi, respon ideal kita adalah menerima segala bentuk permasalahan yang dilematis dengan terbuka. Hitung-hitung sambil menambah jam terbang guru dalam menyelesaikan permasalahan yang ada di sekolah.
Saya merasakan kepuasan yang mendalam setelah mempelajari modul ini, yakni terkait program yang berdampak pada murid. Pada dasarnya perencaan program yang berpusat pada murid sudah diterapkan saya dalam beberapa kesempatan sebelumnya. Dengan mempelajari modul ini saya semakin yakin bahwa perencanaan program sekolah itu sudah semestinya mempertimbangkan kepentingan murid sebagai hal yang utama.
Hal-hal yang saya dapatkan setelah mempelajari modul ini diantaranya adalah pengelolaan program sekolah yang berpusat pada murid harus dilakukan secara sadar dan terencana. Dalam rangka membangun ekosistem yang mendukung murid berkembang sesuai dengan kodratnya. Program yang berdampak pada murid merupakan program yang dirancang guru (sekolah) yang berpihak pada murid dengan mempertimbangkan karakter bakat minat murid untuk memberikan pengalaman nyata yang bermakna sebagai bekal di kemudian hari, dilakukan baik dari rencana, proses, serta evaluasi. Program pembelajaran yang berpihak pada murid dapat mengoptimalkan potensi yang dimiliki murid, memunculkan ide gagasan sesuai karakter bakat minatnya yang menumbuhkan kepemimpinan murid.
Ada banyak kegiatan pembelajaran di sekolah yang dapat menghasilkan dampak positif bagi murid, memberikan pengalaman bermakna, menyenangkan dan memberikan dampak positif terutama kepemimpinan murid yang akan dikenang anak sepanjang hidupnya, dan yang terangkum dalam kegiatan intrakurikuler, kokurikuler serta ekstrakurikuler.
Kegiatan intrakurikuler; merupakan program/ kegiatan utama sekolah yang dilakukan dengan menggunakan alokasi waktu yang telah ditentukan sekolah. Kegiatan kokurikuler; merupakan program/ kegiatan yang dilaksanakan sebagai penguatan atau pendalaman kegiatan intrakurikuler. Program/ kegiatan ini meliputi kegiatan pengayaan mata pelajaran, kegiatan ilmiah, pembimbingan seni dan budaya, dan/atau bentuk kegiatan lain yang dapat menguatkan karakter murid. Kegiatan ekstrakurikuler; adalah program/ kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik di luar jam belajar kegiatan intrakurikuler dan kegiatan kokurikuler, di bawah bimbingan dan pengawasan sekolah, dan diselenggarakan dengan tujuan untuk mengembangkan potensi, bakat, minat, kemampuan, kepribadian, kerjasama, dan kemandirian murid.
Guru dan murid didukung semua warga sekolah adalah pemegang kendali dalam proses pembelajaran dan menyusun serta membuat program sekolah dengan kolaborasi semua warga sekolah, murid diajak aktif keterlibatannya dalam proses pembelajaran orang tua masyarakat diajak peran aktif dalam dukungan maupun sebagai sumber belajar, hal ini untuk menciptakan pembelajaran yang berkualitas yang berpihak pada murid yang dapat memberikan pengalaman nyata agar tumbuh kepemimpinan murid yang dapat digunakan sebgai bekal di masa depan saat bermasyarakat nanti
Sebenarnya anak didik itu tanpa kita sadari dapat melakukan lebih dari sekedar menerima instruksi dari guru. Anak didik (anak usia TK) pada dasarnya mempunyai rasa keingintahuan yang besar. Dan juga rasa ingin mencoba sesuatu yang luar biasa.
Mereka secara alami adalah seorang pengamat, penjelajah, penanya, Lewat rasa ingin tahu serta interaksi dan pengalaman mereka dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya, mereka kemudian membangun sendiri pemahaman tentang diri mereka, orang lain, lingkungan sekitar, maupun dunia yang lebih luas. Dengan kata lain, murid-murid kita sebenarnya memiliki kemampuan atau kapasitas untuk mengambil bagian atau peranan dalam proses belajar mereka sendiri.
Materi pada modul ini memiliki keterkaitan yang erat dengan modul sebelumnya yaitu tentang asset utama di sekolah, khususnya modal manusia. Modul terakhir ini menegaskan bagaimana guru bisa mengelola modal manusia yang disebut murid yang merupakan prioritas dalam sebagai program yang dicanangkan sekolah.
Untuk itu, sebelum merancang sebuah program, maka sebaiknya guru melihat Tingkat kebutuhan murid terhadap program tersebut. Akan lebih maksimal lagi jika sebelumnya didahului oleh data-data yang menunjang, seperti rapor Pendidikan. Dari data yang ada, maka program diarahkan agar bisa diterapkan sesuai dengan kebutuhan murid. Dengan begitu kita telah mempraktekkan program yang berpusat pada murid. Bukan sekadar program yang sifatnya hanya meneruskan program terdahulu atau program yang sifatnya hanya seremonial saja tanpa melihat dampaknya terhadap murid.