Sebagai seorang guru sekaligus pendidik saya menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan pada diri saya terkait implementasi diferensiasi. Saya merasa bahwa selama ini cara saya menuntun anak belumlah begitu tepat. Saya merasa harus terus memperbaiki diri. Konsep diferensiasi membuat saya memahami hal baru dan konsep ini memberi konektivitas saya sebagai seorang pendidik untuk juga meningkatkan kapasitas saya, seperti: (1) implementasi diferensiasi membutuhkan latihan tahap demi tahap dan terus menerus, (2) implementasi diferensiasi menjadi bagian dari berbagai visi guru untuk memenuhi kebutuhan belajar murid, (3) implementasi diferensiasi memerlukan ketulusan hati dan kesadaran diri sebagai pendidik erat terkait dengan landasan filosofis Ki Hadjar Dewantara yang salah satunya berhamba pada anak, (4) implementasi diferensiasi memerlukan peran dan nilai-nilai guru penggerak, dan (5) implementasi diferensiasi menjadi serangkaian dari realisasi budaya positif dimana seyogyanya saya menepatkan diri sebagai manajer dalam proses pendidikan anak untuk mencapai pendidikan yang setinggi-tingginya.
Pemahaman baru dan paradigma baru saya pahami tentang konsep diferensiasi. Dalam praktik yang masih terus mencoba dan bertahap saya memiliki kesan mendalam ketika mengajar dikelas XI IPS 5-B Rabu, 16 Februari 2022 Saya masuk ke kelas XI IPS 5-B. Melakukan pembelajaran seperti biasa. Namun demikian, Saya sedikit memahami konsep diferensiasi dan terbuka untuk mempraktikkan secara bertahap dan terus menerus menyesuaikan kondisi sekolah. Pada pembelajaran KD 3.9 Meaning through music. Pada tahap awal seluruh siswa mempelajari konsep menafsirkan dan menerjemahkan melalui buku pegangan siswa kelas XI Kementerian Pendidikan halaman 87. Pada pertemuan hari itu, Saya mempersilahkan anak untuk menafsirkan lagu halaman 87. Terlihat melalui pengamatan, beberapa siswa aktif bekerja, beberapa siswa terlihat membolak-balik halaman buku pegangan siswa dan buku catatan dan berusaha bertanya kepada teman kanan / kiri.
Selanjutnya, saya memberi kesempatan kepada anak untuk bertanya jika masih perlu penjelasan terkait tugas yang diberikan. Ada beberapa pertanyaan dari siswa dan Saya langsung menjelaskan. Kemudian kelas tampak sepi dimana seluruh siswa fokus pada buku mereka masing-masing sedang berusaha memaknai lagu halaman 87 buku pegangan siswa. Kecuali, 2 (dua) siswa yang terdiam dan tidak melakukan apa-apa. Saya mendekati dan bertanya, apakah ada yang bisa Bapak bantu atau ada kesulitan lain yang mau dibagi dengan Bapak terkait penyelesaian tugas? Mereka menjawab dengan menggunakan bahasa Ibu, Bahas Bangka, yang kurang lebih kalau dituliskan berbunyi sebagai berikut “Aok, Pak. Ku ne dak ngerti apelah yang nak di gawe.” Dapat dimaknai, “Iya, Pak. Saya tidak tahu sama sekali apa yang mau dikerjakan.” Saya tidak marah, tetapi lebih kepada bangga dan sedikit terkejut akan kejujuran mereka. Poin yang paling saya dapat adalah ternyata tidak semua siswa paham setelah beberapa kali mendapat penjelasan.
Artinya, tidak berarti siswa yang tidak mengerjakan tugas karena malas, dalam konteks ini saya rasakan dan temukan. Membangun komunikasi dengan baik agar anak tidak takut mengatakan kondisi kesiapan belajar yang mereka alami. Saya dapat membagi kesiapan belajar mereka menjadi 3 kategori, yakni: kelompok siswa yang sudah bisa mandiri mengerjakan tugas, kelompok siswa yang mesti mendapat penjelasan kembali dan langsung mengerjakan tugas dan perlu dilihat langsung oleh guru saat pembelajaran, dan kelompok siswa yang masih betul-betul membutuhkan bimbingan khusus dari guru (scaffolding).