Saya sering bertemu orang tua yang berkata lirih, “Saya tahu anak saya berbeda, Bu. Tapi saya bingung harus mulai dari mana...”
Kalimat itu tidak pernah terdengar sepele di telinga. Karena Saya tahu, sebelum kalimat itu lahir, ada proses panjang yang mereka lalui penyangkalan, kesedihan, rasa malu, bahkan ketakutan.
Sebagai seorang Ibu dan seorang yang sudah berkecimpung dilingkungan anak-anak Istimewa, Saya percaya bahwa penerimaan adalah pondasi paling awal dari tumbuh kembang anak berkebutuhan khusus. Bukan sekadar menerima kondisi anak, tapi juga menerima diri sendiri sebagai orang tua yang sedang belajar.
Penerimaan bukan berarti kita berhenti berharap. Justru sebaliknya, saat orang tua mulai menerima, mereka memberi anak ruang untuk bertumbuh. Anak-anak ini tidak butuh dikasihani, apalagi disembunyikan. Mereka hanya butuh dilihat… dan didampingi.
Cerita yang masuk ke Saya, rata-rata seorang ibu dulu menolak anaknya datang ke sekolah ini karena takut dicap. Tapi setelah akhirnya membuka hati, kini beliau menjadi salah satu orang tua paling aktif dan suportif di SLB. “Saya pikir dulu anak saya tidak bisa apa-apa. Ternyata dia hanya butuh diajari dengan cara yang berbeda,” katanya sambil tersenyum.
Banyak anak berkebutuhan khusus yang disembunyikan, bukan karena orang tua tidak sayang, tapi karena takut. Takut anak disalahpahami. Takut dinilai gagal. Takut dijuluki macam-macam oleh tetangga. Iya, takut dirundung alias di bully.
Tapi… adakah pertumbuhan dalam ketakutan?
Ketika anak dikurung di rumah karena rasa malu, maka dunianya akan menyempit. Dan jika dunianya sempit, bagaimana ia bisa belajar mengenal dirinya sendiri?
SLB bukanlah tempat untuk memberi label. Kami tidak datang untuk menilai siapa pintar siapa tidak. Kami hadir untuk mengarahkan, mendampingi, dan membuka pintu pertumbuhan, satu langkah kecil demi satu.
Saya tahu, ini tidak mudah. Menerima anak dengan kebutuhan khusus itu seperti mendaki gunung dengan langkah terseok. Tapi percayalah, kamu tidak sendirian.
Anakmu butuh waktu. Dan kamu pun demikian.
Di SLB Al-Falah Sembayat, kami percaya bahwa potensi anak akan tumbuh jika disirami kasih, kesabaran, dan pemahaman yang tepat. Setiap langkah kecil mereka—mulai dari menyebut satu kata, menyisir rambut sendiri, atau menyapa dengan senyuman—itu bukan hal kecil. Itu kemenangan.
Kalau kamu sedang membaca ini dengan mata yang basah, izinkan Saya berkata satu hal:
Anda tidak gagal menjadi orang tua.
Yang gagal adalah dunia yang belum cukup memberi ruang bagi anak-anak sepertinya untuk bersinar.
So, Mari beri ruang untuk mereka. Mari beri jalan.
Karena tak ada anak yang layak disembunyikan dari dunia.
Mereka hanya butuh dunia yang mau membuka diri, sebagaimana kita belajar membuka hati.
—
Herlina Kurnia, S.Psi
Bagian Psikologi di SLB Al-Falah Sembayat
Salah satu terapi yang paling sering saya rekomendasikan adalah terapi okupasi.
Banyak orang tua awalnya bertanya, “Apa sebenarnya terapi okupasi itu? Apakah hanya bermain?”
Saya selalu tersenyum dan menjawab, “Ya, mereka memang bermain tapi setiap permainan memiliki tujuan.”
Terapi okupasi membantu anak mengembangkan kemampuan untuk beraktivitas secara mandiri. Anak diajarkan cara menggunakan tangan dengan lebih terkoordinasi, menjaga keseimbangan tubuh, bahkan belajar fokus dan mengikuti instruksi. Misalnya, saat anak bermain memasukkan balok ke dalam lubang atau menjepit benda kecil, ia sebenarnya sedang melatih kontrol motorik halus dan koordinasi mata-tangan.
Bagi anak-anak dengan hambatan perkembangan, kemampuan sederhana seperti memakai sepatu sendiri atau menulis dengan rapi bisa menjadi tantangan besar. Di sinilah peran terapi okupasi terasa sangat penting.
Terapi ini membantu anak menyiapkan diri agar bisa lebih mudah mengikuti kegiatan sekolah dan kehidupan sehari-hari.
Dari sisi psikologis, manfaatnya juga luar biasa. Anak-anak yang menjalani terapi okupasi secara rutin biasanya menunjukkan peningkatan rasa percaya diri dan motivasi belajar. Mereka mulai merasa mampu, mulai berani mencoba, dan tidak mudah menyerah. Hal-hal kecil seperti ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan emosi mereka.
Saya selalu mengingatkan orang tua bahwa hasil terapi okupasi tidak bisa dilihat secara instan. Dibutuhkan waktu, kesabaran, dan konsistensi. Namun setiap kemajuan kecil adalah tanda bahwa anak sedang tumbuh dan belajar sesuai kemampuannya.
Karena sejatinya, terapi okupasi bukan sekadar latihan, tetapi proses pendampingan menuju kemandirian. Setiap aktivitas kecil di dalam ruang terapi adalah langkah menuju kehidupan yang lebih bermakna bagi anak.
Pembelajaran Braille untuk Anak Tunanetra
Tidak semua anak mengenal dunia melalui penglihatan. Bagi anak-anak tunanetra, dunia mereka terbentuk melalui suara, sentuhan, dan imajinasi. Salah satu gerbang utama yang membantu mereka memahami dunia adalah huruf Braille.
Di SLB Al-Falah Sembayat Manyar Gresik, kami menyediakan layanan khusus bagi anak-anak tunanetra untuk belajar mengenali huruf, angka, dan konsep melalui sistem Braille. Pembelajaran ini bukan hanya tentang "membaca lewat jari", tapi juga tentang memberikan kemerdekaan belajar bagi mereka yang tak melihat dengan mata, tapi tajam dengan hati.
Huruf Braille adalah sistem tulisan sentuh yang menggunakan kombinasi enam titik yang timbul. Setiap kombinasi mewakili huruf, angka, bahkan simbol tertentu.
Sistem ini diciptakan oleh Louis Braille, seorang pria tunanetra dari Prancis, yang ingin anak-anak seperti dirinya bisa belajar tanpa bergantung pada penglihatan.
Di SLB, proses belajar Braille dilakukan secara bertahap dan menyenangkan:
Pengenalan titik dan pola: Anak dikenalkan pada titik-titik Braille dengan media tactile (timbul) dan permainan.
Latihan kepekaan jari: Melalui stimulasi sentuhan dan koordinasi motorik halus.
Pengenalan huruf dan angka Braille: Menggunakan papan Braille dan alat bantu pembelajaran visual-sentuh.
Membaca dan menulis Braille: Anak belajar menulis dengan alat stylus dan slate atau mesin Braille sederhana.
Proses ini dilakukan secara individual dan bertahap, karena setiap anak memiliki tingkat kesiapan yang berbeda.
Belajar huruf Braille tidak hanya memberi anak akses pada ilmu pengetahuan, tetapi juga:
Meningkatkan rasa percaya diri
Mengembangkan kemandirian
Memungkinkan mereka mengejar pendidikan lebih lanjut
Menjadi jembatan untuk komunikasi dan ekspresi diri
Tanpa Braille, anak tunanetra akan sangat terbatas dalam membaca buku, menulis catatan, atau memahami konsep abstrak.
Belajar Braille tidak cukup hanya di sekolah. Anak-anak butuh dukungan dari rumah untuk terus melatih kemampuan sentuh dan membiasakan diri membaca. Orang tua bisa:
Menyediakan label Braille di rumah (misal: nama anak, label di lemari)
Menyediakan waktu membacakan cerita sambil menstimulasi sentuhan
Mengapresiasi setiap perkembangan anak, sekecil apa pun
Anak tunanetra bukan berarti tidak mampu belajar. Mereka hanya butuh cara yang berbeda, dan lingkungan yang mau mengerti.
Di SLB Al-Falah Sembayat, kami percaya bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang bermakna, sesuai dengan kebutuhan dan caranya.
Mari bersama membimbing mereka melihat dunia—bukan dengan mata, tapi dengan hati dan keberanian.
📩 Ingin tahu lebih banyak tentang program Braille di sekolah kami?
👉 Silakan kunjungi langsung ya...
Cerebral Palsy (CP) adalah gangguan pada gerakan, otot, dan koordinasi tubuh yang disebabkan oleh kerusakan otak saat otak masih berkembang. Kondisi ini biasanya terjadi sejak bayi dalam kandungan, saat proses persalinan, atau setelah lahir di usia dini. Cerebral Palsy bukan penyakit menular, melainkan kondisi seumur hidup yang memengaruhi kemampuan seseorang dalam bergerak.
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko CP antara lain:
Kelahiran prematur (lahir sebelum usia kandungan cukup bulan).
Berat badan lahir rendah.
Kekurangan oksigen saat persalinan.
Infeksi pada ibu hamil (misalnya rubella atau toksoplasma).
Cedera otak pada bayi, seperti karena jatuh atau kecelakaan.
Spastik : ditandai dengan kekakuan otot, gerakan menjadi kaku dan sulit.
Diskinetik : gerakan tubuh tidak terkendali, sering berulang-ulang.
Ataksik : masalah pada keseimbangan dan koordinasi, sulit berjalan lurus.
Campuran : gabungan dari beberapa tipe di atas.
Gejala CP dapat berbeda-beda pada setiap anak, tetapi yang sering terlihat adalah:
Keterlambatan perkembangan motorik (duduk, merangkak, berjalan).
Otot terlalu kaku atau terlalu lemas.
Kesulitan menjaga keseimbangan.
Gerakan tidak terkendali.
Pada sebagian kasus, bisa disertai kesulitan bicara, penglihatan, atau pendengaran.
Hingga saat ini, Cerebral Palsy tidak bisa disembuhkan. Namun, dengan penanganan yang tepat, anak dengan CP bisa berkembang lebih optimal. Beberapa penanganan yang biasanya diberikan antara lain:
Fisioterapi untuk melatih gerakan tubuh.
Terapi okupasi agar anak bisa melakukan aktivitas sehari-hari.
Terapi wicara bagi yang mengalami kesulitan berbicara atau menelan.
Obat-obatan atau tindakan medis untuk mengurangi kekakuan otot atau kejang.
Dukungan pendidikan khusus agar anak tetap bisa belajar sesuai kemampuannya.
Anak dengan Cerebral Palsy tetap memiliki potensi yang bisa dikembangkan. Dukungan orang tua, keluarga, dan masyarakat sangat penting agar mereka tidak merasa berbeda atau terpinggirkan. Dengan lingkungan yang menerima dan fasilitas yang memadai, anak dengan CP dapat tumbuh dengan lebih percaya diri.
Autisme atau Autism Spectrum Disorder (ASD) merupakan kondisi neurodevelopmental yang memengaruhi kemampuan seseorang dalam berkomunikasi, berinteraksi sosial, dan berperilaku. Istilah “spektrum” menunjukkan bahwa autisme memiliki rentang gejala dan tingkat keparahan yang sangat bervariasi pada setiap individu. Beberapa anak mungkin menunjukkan keterlambatan bicara ringan, sementara yang lain mengalami tantangan signifikan dalam interaksi sosial dan regulasi perilaku.
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5; American Psychiatric Association, 2013), ASD ditandai oleh dua karakteristik utama:
Defisit dalam komunikasi sosial dan interaksi sosial, dan
Pola perilaku, minat, atau aktivitas yang terbatas dan berulang.
Anak dengan autisme biasanya menunjukkan perbedaan perkembangan sejak usia dini. Beberapa tanda umum yang sering diamati meliputi:
Kesulitan melakukan kontak mata dan membangun interaksi timbal balik.
Keterbatasan dalam komunikasi verbal dan nonverbal.
Adanya minat yang sangat kuat pada hal-hal tertentu.
Perilaku berulang seperti mengepakkan tangan, mengayun tubuh, atau mengulang kata (echolalia).
Respons yang tidak biasa terhadap suara, cahaya, atau sentuhan (hiper- atau hipo-sensitivitas sensorik).
Penting dipahami bahwa gejala autisme dapat sangat bervariasi; tidak ada dua individu autistik yang sepenuhnya sama.
Penyebab autisme hingga kini belum sepenuhnya diketahui. Namun, berbagai penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik dan lingkungan berperan besar dalam perkembangan ASD.
Faktor genetik: Studi kembar dan keluarga menunjukkan bahwa autisme memiliki heritabilitas tinggi, dengan beberapa gen tertentu berkontribusi terhadap risiko ASD (Sandin et al., 2017).
Faktor lingkungan: Paparan tertentu selama masa kehamilan, seperti infeksi virus, komplikasi kelahiran, atau paparan zat toksik tertentu, juga dapat meningkatkan risiko, meskipun tidak bersifat langsung sebagai penyebab tunggal (Lyall et al., 2017).
Dengan demikian, autisme bukanlah akibat pola asuh yang salah, melainkan kondisi neurobiologis kompleks yang dipengaruhi oleh interaksi berbagai faktor biologis.
Meskipun autisme tidak dapat “disembuhkan”, berbagai intervensi dini dapat membantu anak mengembangkan kemampuan komunikasi, perilaku, dan sosial secara signifikan. Beberapa pendekatan yang banyak digunakan antara lain:
Terapi perilaku (Applied Behavior Analysis / ABA): Fokus pada pembentukan perilaku adaptif dan pengurangan perilaku bermasalah melalui penguatan positif.
Terapi wicara dan bahasa: Membantu anak mengembangkan kemampuan komunikasi verbal maupun nonverbal.
Terapi okupasi: Melatih keterampilan motorik, kemandirian, dan adaptasi terhadap lingkungan.
Terapi sosial-emosional: Membantu anak mengenali emosi, berempati, dan meningkatkan interaksi sosial.
Dukungan keluarga: Peran orang tua sangat penting dalam konsistensi penerapan strategi di rumah dan kolaborasi dengan tenaga profesional.
Penanganan autisme perlu bersifat terpadu dan individual, karena setiap anak memiliki kebutuhan dan potensi perkembangan yang berbeda.
Autisme adalah kondisi perkembangan yang kompleks, namun dengan deteksi dini, intervensi tepat, dan dukungan lingkungan yang positif, anak dengan ASD dapat tumbuh menjadi individu yang mandiri, produktif, dan memiliki kualitas hidup yang baik. Penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa autisme bukanlah penyakit yang harus “disembuhkan,” melainkan cara berbeda seseorang dalam memandang dan berinteraksi dengan dunia.
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (5th ed.). Washington, DC: Author.
Lyall, K., Croen, L., Daniels, J., Fallin, M. D., Ladd-Acosta, C., Lee, B. K., ... & Volk, H. (2017). The changing epidemiology of autism spectrum disorders. Annual Review of Public Health, 38, 81–102. https://doi.org/10.1146/annurev-publhealth-031816-044318
Sandin, S., Lichtenstein, P., Kuja-Halkola, R., Larsson, H., Hultman, C. M., & Reichenberg, A. (2017). The heritability of autism spectrum disorder. JAMA, 318(12), 1182–1184. https://doi.org/10.1001/jama.2017.12141
Lord, C., Elsabbagh, M., Baird, G., & Veenstra-VanderWeele, J. (2018). Autism spectrum disorder. The Lancet, 392(10146), 508–520. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(18)31129-2
Di balik senyum polos seorang anak dengan disabilitas, sering tersembunyi perjuangan yang tidak terlihat mata—salah satunya adalah epilepsi. Epilepsi bukan sekadar kejang, melainkan kondisi neurologis kronis yang memengaruhi aktivitas listrik di otak. Ketika kondisi ini terjadi pada anak-anak dengan disabilitas, tantangannya menjadi berlipat ganda.
Banyak anak dengan disabilitas seperti autisme, cerebral palsy, atau sindrom genetik memiliki risiko lebih tinggi mengalami epilepsi. Dalam banyak kasus, epilepsi hadir sejak usia dini, dan menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari. Kejang yang datang tiba-tiba bisa mengganggu proses belajar, interaksi sosial, bahkan aktivitas dasar seperti makan atau tidur.
Sayangnya, tidak semua orang memahami bahwa kejang bukan tanda kerasukan atau kutukan, melainkan gangguan medis yang dapat ditangani. Anak-anak ini bukan hanya menghadapi tantangan fisik, tapi juga stigma sosial. Mereka sering dikucilkan, disalahpahami, bahkan diperlakukan tidak adil karena ketidaktahuan masyarakat.
Orang tua dan pendamping berperan sangat penting. Mereka harus sigap menghadapi kejang, rutin memberikan obat, serta menjaga kondisi anak agar tetap stabil. Dukungan psikologis dan sosial sangat dibutuhkan, karena mengasuh anak dengan disabilitas dan epilepsi bukan hal mudah tapi bukan berarti tidak mungkin.
Dengan diagnosis yang tepat, pengobatan yang teratur, serta dukungan dari keluarga, guru, dan masyarakat, anak-anak ini tetap bisa tumbuh, belajar, dan berkembang sesuai potensinya. Kita semua bisa berperan: dengan memahami, menerima, dan peduli.
Epilepsi bukan akhir dari segalanya. Mari ciptakan lingkungan yang aman, inklusif, dan penuh kasih untuk anak-anak dengan disabilitas yang hidup berdampingan dengan epilepsi.
Tidak semua anak tumbuh dan berkembang dengan cara yang sama. Bagi anak-anak dengan Cerebral Palsy, setiap langkah, genggaman, atau kata yang diucapkan mungkin membutuhkan perjuangan lebih besar. Mereka bukan anak yang "kurang", tapi anak yang memiliki cara berbeda dalam belajar dan bergerak.
Cerebral Palsy bukan penyakit menular, dan bukan pula hukuman. Ini adalah kondisi yang terjadi karena gangguan pada otak yang memengaruhi kontrol gerak tubuh. Namun, dengan penanganan yang tepat dan dukungan yang konsisten, anak-anak dengan CP tetap bisa tumbuh, belajar, bermain, dan berprestasi.
Di sinilah pentingnya peran terapis. Terapi fisik, okupasi, dan wicara membantu anak mengembangkan kemampuannya secara maksimal. Jangan menunggu anak "siap", karena justru intervensi dini adalah kunci keberhasilan. Semakin cepat anak mendapat terapi, semakin besar peluangnya untuk mandiri.
Selain terapi, pendidikan juga bagian penting dari tumbuh kembang. Banyak anak dengan CP membutuhkan pendekatan belajar yang berbeda. Oleh karena itu, Sekolah Luar Biasa (SLB) menjadi pilihan tepat. Di SLB, anak akan didampingi oleh guru-guru yang terlatih, lingkungan yang ramah, dan metode pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhannya.
SLB bukan tempat membatasi anak justru tempat mengembangkan potensi yang mungkin belum terlihat. Di sana, anak belajar tidak hanya membaca atau menulis, tetapi juga keterampilan hidup, percaya diri, dan cara bersosialisasi.
Setiap anak berhak untuk tumbuh dan bermimpi. Mari bantu mereka menemukan jalannya dengan terapi yang tepat dan pendidikan yang sesuai.
Langkah kecil hari ini bisa menjadi masa depan besar bagi anak kita. Jangan ragu, jangan menunda. Terapis dan SLB siap membantu.
Banyak orang tua merasa ragu atau bahkan menyerah ketika melihat anaknya menjalani terapi tapi belum menunjukkan hasil yang “terlihat”. Ada yang berkata, “Sudah lama terapi, kok anak saya masih begini-begini saja?” Padahal, perlu dipahami bahwa terapi bukan sulap. Hasil terapi tidak instan, tapi manfaatnya sangat besar dan jangka panjang bagi perkembangan anak.
Setiap anak ABK memiliki kemampuan dan kebutuhan yang berbeda. Terapi membantu anak untuk mengembangkan potensi terbaiknya, baik dalam hal komunikasi, motorik, perilaku, maupun kemampuan sosial.
Misalnya, anak autis belajar fokus dan berinteraksi, anak tunagrahita belajar memahami instruksi sederhana, dan anak cerebral palsy belajar mengontrol gerakan tubuhnya.
Perubahan mungkin kecil dan perlahan, tapi setiap langkah kecil itu adalah kemajuan besar bagi anak.
Tujuan utama terapi bukan membuat anak “normal”, tetapi membantu anak menjadi mandiri sesuai kemampuannya.
Terapi okupasi, misalnya, melatih anak untuk bisa makan sendiri, memakai baju, atau menjaga kebersihan diri. Terapi wicara membantu anak mengungkapkan keinginannya dengan cara yang dimengerti orang lain.
Kemandirian ini akan menjadi bekal penting bagi masa depan anak.
Terapi bukan hanya untuk anak, tetapi juga untuk orang tua. Melalui sesi terapi, orang tua dapat belajar bagaimana cara berkomunikasi, memberi arahan, atau merespons perilaku anak dengan tepat.
Pendampingan yang konsisten di rumah membuat hasil terapi semakin kuat dan terlihat nyata.
Proses terapi bisa memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Tidak ada hasil cepat, tapi setiap kemajuan adalah proses tumbuh yang berharga.
Yang terpenting adalah konsistensi, kesabaran, dan kerja sama antara terapis, guru, dan keluarga. Dengan dukungan yang tepat, anak ABK bisa berkembang lebih baik dari hari ke hari.
Terapi untuk anak berkebutuhan khusus bukan pilihan, tapi kebutuhan. Hasilnya mungkin tidak langsung terlihat, tapi terapi membantu anak membangun dasar kehidupan yang lebih baik pelan tapi pasti.
Jangan menunggu hasil besar untuk percaya bahwa terapi itu penting. Percayalah pada proses, karena di setiap proses ada harapan dan kemajuan.