Mau Lihat/Isi/Edit Logbook Program Kerja Pengurus DKKC ? >
Memantik Nalar Kritis Melalui Diskusi Publik DKKC
"Penguatan Karakter Kota Cimahi Berbudaya"
Oleh: Fajar Budhi Wibowo
Kota Cimahi, dengan jejak sejarah kolonialnya, kearifan lokal Sunda, dan keberagaman masyarakatnya, menyimpan harta karun budaya yang begitu kaya, namun belum sepenuhnya kita gali.Β
Di tengah gelombang modernisasi yang terus bergerak, identitas budaya kita bisa saja memudar jika tidak dijaga dengan baik.
Bayangkan, apa jadinya Cimahi tanpa cerita-cerita leluhur, seni tradisional, atau situs bersejarah yang memberi kita rasa bangga?
Diskusi publik "Pemajuan Kebudayaan" #1 tanggal 25 Mei nanti, hadir untuk mengajak kita semua berpikir kritis:Β
"bagaimana kita bisa mengelola dan memanfaatkan aset budaya untuk memperkuat karakter Cimahi sebagai kota yang kaya akan budaya?"Β
Mari kita selami bersama, dengan hati terbuka dan pikiran yang jernih, untuk menemukan jawaban yang tidak hanya inspiratif, tetapi juga bisa kita wujudkan.
Pertama, mari kita bicara soal inventarisasi aset budaya. Kita sering mendengar istilah ini, tapi apa sebenarnya yang dimaksud?
Aset budaya Cimahi bukan hanya benda seperti artefak atau situs bersejarah, tetapi juga tradisi.
Teknologi danΒ pengetahuan lokal, hingga seni pertunjukan seperti Gamelan Bah Omo atau Durcing, tradisi adat "Seren Taun Ngemban Taun" khas Cireundeu Cimahi.
Pertanyaannya, sudah sejauh mana kita mendata semua ini?
Siapa yang bertanggung jawab memastikan datanya lengkap dan valid?
Lebih penting lagi, bagaimana kita melibatkan komunitas lokal agar inventarisasi ini bukan sekadar daftar di kertas, tetapi benar-benar hidup di tengah masyarakat?
Misalnya, jika Gamelan Bah Omo sudah terdata, apa langkah selanjutnya?Β
Cukupkah hanya mendokumentasikannya?,Β atau harus kita angkat sebagai ikon budaya kota yang bisa dibanggakan?
Inventarisasi hanyalah langkah awal. Tantangan sebenarnya adalah bagaimana kita mengubah data itu menjadi sesuatu yang hidup dan berdampak.
Bayangkan jika kita punya arsip digital yang menceritakan sejarah Cimahi, atau festival kuliner tradisional yang tidak hanya memanjakan lidah, tetapi juga menggerakkan ekonomi kreatif.
Industri kreatif punya peran besar di sin, bayangkan batik Cimahi muncul kenbali dengan ragam motif baru, semisal motif tangsi atau loji bersejarah, atau mural jalanan yang mengisahkan legenda lokal.
Tapi, untuk mewujudkan ini, kita butuh kolaborasi yang kuat antara pemerintah, pelaku usaha, dan komunitas.
Pertanyaannya, di mana posisi kita masing-masing dalam gerakan ini?Β
Apakah kita hanya penonton, atau justru penggerak yang membawa ide-ide segar ke meja diskusi?
Kebijakan juga punya peran penting sebagai kompas penunjuk arah pemajuan kebudayaan.
Cimahi sebenarnya sudah punya dokumen seperti Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) atau kilasan bahan untuk dijadikan Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (RIPKD), tapi sayangnya, itu sepertinya hanya "ngajugrug" jadi dokumen semata.
Belum sepenuhnya dijadikan acuan pembuatan program kerja baik pemerintah maupun lembaga terkait.Β
Mau bukti?Β Β
Mari kita ukur antara rekomendasi di PPKD dengan implementasi program yang sudah dijalankan.
Pertanyaan yang muncul adalah, sudahkah dokumen ini ada?
Jawabannya adalah "ada".
Jika sudah, seberapa jauh implementasinya?
Kita sering terbentur pada masalah seperti kata-kata "anggaran terbatas", "kurangnya sumber daya manusia", atau "koordinasi antar-dinas yang kurang mulus".Β
Yang lebih pelik, bagaimana memastikan program kebudayaan tetap berjalan meski pemimpin daerah berganti?
Tanpa perencanaan jangka panjang, semua upaya ini bisa jadi hanya seremoni sesaat, bukan transformasi yang berkelanjutan.
Kita perlu komitmen nyata agar budaya tidak hanya jadi wacana di atas kertas.
Sekarang, mari kita bicara soal generasi muda, karena merekalah yang akan meneruskan warisan budaya ini.
Budaya bukan sesuatu yang beku, melainkan hidup dan terus berkembang.Β
Tapi, bagaimana caranya membuat anak muda tertarik?
Mungkin dengan konten TikTok yang menceritakan sejarah Cimahi secara seru, atau gamifikasi cerita rakyat yang bikin mereka penasaran.
Pertanyaannya, di mana batas antara melestarikan budaya asli dan mengadaptasinya agar relevan dengan zaman?
Jika anak muda lebih hafal tantangan viral di media sosial ketimbang legenda Sangkuriang, apakah ini pertanda kita kurang berhasil menyampaikan budaya kepada mereka?Β
Ini adalah tantangan yang perlu kita jawab bersama.
Diskusi nanti tidak akan berarti jika hanya berhenti di kata-kata.
Kita perlu aksi nyata, dan itu bisa dimulai dari langkah kecil.Β
Apa yang bisa kita lakukan setelah diskusi ini selesai?
Mungkin membuat petisi digital untuk mendorong percepatan pembentukan dan penyusunan RIPKD, atau menginisiasi komunitas kecil yang mendokumentasikan budaya lokal.
Yang terpenting, bagaimana kita memantik gerakan kolektif yang melibatkan semua pihak?
Setiap orang punya peran, entah sebagai warga biasa, pelaku kreatif, atau pengambil kebijakan.
Diharapkan saat datang ke tempat diskusi nanti, minimal berbekal satu pertanyaan, bisa?
Mari, selepas diskusi nanti, harapannya juga kita membawa oleh-oleh minimal satu ide, atau satu komitmen kecil untuk Cimahi yang lebih berbudaya.
Aset budaya bukan sekadar koleksi di museum, tetapi jiwa yang memberi nyawa pada sebuah kota.
Diskusi nanti adalah undangan untuk kita semua, pemerintah, akademisi, pelaku kreatif, dan warga untuk memetakan peran kita masing-masing.
Cimahi tidak hanya perlu menjadi kota modern, tetapi perlu juga dengan menjadi kota yang berakar kuat pada budayanya.
Seperti kata pepatah, budaya adalah memori kolektif yang menentukan ke mana kita melangkah.
Mari mulai hari ini, dengan satu langkah kecil menuju Cimahi yang lebih kaya makna.
Sampai berjumpa di acara diskusi nanti, dan mari wujudkan perubahan bersama!
Minggu, 25 Mei 2025 - Pukul. 12.30 WIB - Gedung A Pemkot Cimahi
πππππ
Yang Telah Mengisi Daftar Hadir