01.01.2-T1-2 EKSPLORASI KONSEP
Argumentasi kritis (minimum 300 kata dan maksimum 500 kata )tentang gerakan transformasi Ki Hadjar Dewantara dalam perkembangan pendidikan sebelum dan sesudah kemerdekaan (Catatan Reviewer – mohon dielaborasi maksud dari argumen kritis, misalnya untuk memberikan argumen kritisi itu membutuhkan referensi, data, fakta untuk membimbing mahasiswa sehingga ketika Dosen memeriksa hasil kerja mahasiswa dapat melihat acuan referensi yang disajikan).
Jawab:
Ki Hajar Dewantara dalam mendirikan Taman Siswa, yang merasa prihatin dengan keadaan pendidikan kolonial. Ia sangat sadar bahwa pendidikan merupakan dasar perjuangan untuk meninggikan derajat rakyat. Ki Hajar Dewantara meletakkan dasar kemerdekaan melalui pendidikan anak-anak karena ia sadar bahwa mengisi jiwa anak-anak merupakan suatu keharusan agar mereka berani untuk berjuang, yang merupakan senjata yang paling ampuh untuk merebut kemerdekaan. Sistem pendidikan kolonial membuat anak-anak selalu bergantung kepada bangsa Barat. Muncullah gagasan untuk menandingi sistem pendidikan kolonial yang matrealistik, individualistik, dan intelektualistik yaitu pendidikan yang humanis, populis, dan memayu hayuning bawana atau memelihara kedamaian dunia. (Wiryopranoto, dkk., 2017: 33)
Pada tanggal 3 Juli 1922, sebagai perwujudan cita-cita Ki Hajar Dewantara, ia mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta. Taman Siswa merupakan sebuah perguruan yang bercorak nasional yang menekankan rasa kebangsaan dan cinta tanah air serta semangat berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Tulisan KI Hajar Dewantara berisi konsep-konsep pendidikan dan kebudayaan yang berwawasan kebangsaan. Melalui konsep-konsep ini, dasar pendidikan nasional Indonesia berhasil diletakkan. Semboyan yang sering kita dengar, dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan baik), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan tut wuri handayani (dari belakang seorang guru bisa memberikan dorongan dan arahan). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan kita,
Taman siswa melaksanakan sistem pendidikan berdasarkan asas nasionalisme kultural: among, atau tut wuri handayani, hak menentukan nasib sendiri, demokrasi, membiayai diri sendiri, trikon, dan kekeluargaan. (Soeratman, 1989: 154)
Selain berdasarkan asas kekeluargaan, pendidikan di Taman Siswa menggunakan sistem Tri Pusat. Ketiga pusat ini memiliki peran masing-masing, diantaranya:
a. pusat keluarga, tempat mendidik budi pekerti dan laku sosial,
b. pusat keguruan, balai wiyata yaitu usaha untuk mencari ilmu pengetahuan disamping pendidikan intelek, dan
c. pusat pergerakan pemuda, daerah mendekatnya kaum muda untuk melakukan penguasaan diri yang penting untuk membentuk watak.
Dalam 10 tahun, Taman Siswa berkembang dengan pesat. Menurut catatan pada tahun 1933, jumlah cabang taman siswa sebanyak 125, jumlah perguruannya 294 buah, jumlah murid 1.764 anak dan jumlah guru 50 orang. Pendidikan kebangsaan yang dilakukan di Taman Siswa adalah dengan nasionalisme kultural yang selaras dengan kebutuhan masyarakat, maka cara memberikan pendidikan kebangsaan dilakukan melalui etika, sejarah kebudayaan, pelajaran bahasa, kesenian termasuk antara lain permainan, nyanyian, tarian dan musik. Taman Siswa mencita-citakan terciptanya pendidikan nasional, yaitu pendidikan yang beralas kebudayaan sendiri. Dalam pelaksanaannya pendidikan Taman siswa akan mengikuti garis kebudayaan nasional dan berusaha mendidik angkatan muda di dalam jiwa kebangsaan. (Surjomihardjo, 1986: 149)