Setelah Indonesia kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1950, sistem pemerintahan yang digunakan adalah Demokrasi Liberal (Parlementer).
Tujuannya adalah untuk menerapkan sistem demokrasi modern seperti di negara Barat, dengan kebebasan politik dan multipartai.
Pemerintahan parlementer: kabinet bertanggung jawab kepada parlemen.
Banyak partai politik (lebih dari 30 partai).
Kebebasan berpendapat dijamin.
Sering terjadi pergantian kabinet.
Dalam 9 tahun (1950–1959), Indonesia mengalami 7 kali pergantian kabinet.
Pemerintahan tidak stabil karena konflik antarpartai (Nasionalis, Islam, Komunis, dll).
Upaya menyusun konstitusi baru melalui Konstituante (1956) gagal mencapai kesepakatan.
Perekonomian belum stabil akibat perang dan transisi politik.
Inflasi tinggi, nilai ekspor menurun.
Pemerintah melaksanakan program Benteng dan Nasionalisasi perusahaan asing.
Kebebasan pers dan organisasi berkembang pesat.
Munculnya kesenian dan sastra yang mengkritik politik.
Namun konflik ideologis sering menimbulkan perpecahan sosial.
Presiden Soekarno menilai sistem parlementer tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.
Akhirnya pada 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisi:
Pembubaran Konstituante.
Berlakunya kembali UUD 1945.
Pembentukan MPRS dan DPAS.
➡️ Dekrit ini menandai lahirnya masa Demokrasi Terpimpin.
Demokrasi Terpimpin diterapkan untuk menggantikan sistem liberal yang dianggap tidak efektif.
Soekarno menginginkan demokrasi yang “dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan” sesuai semangat Pancasila.
Kekuasaan terpusat di tangan presiden.
Peran militer dan PKI menguat.
Peran parlemen menurun.
Ekonomi dikendalikan negara.
Ideologi Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) dijadikan dasar politik.
Soekarno menjadi Presiden seumur hidup (1963).
Indonesia keluar dari PBB (1965) dan membentuk Poros Jakarta–Beijing–Pyongyang.
Muncul konflik antara TNI dan PKI.
Perekonomian memburuk: inflasi mencapai 650%.
Produksi pertanian dan industri menurun drastis.
Banyak proyek mercusuar yang menguras anggaran negara.
Konfrontasi Malaysia (1963–1966).
G30S/PKI (1965): percobaan kudeta yang menyebabkan krisis politik besar.
Supersemar (Surat Perintah 11 Maret 1966): memberi wewenang kepada Jenderal Soeharto untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Peristiwa G30S/PKI menjadi titik balik yang mengakhiri kekuasaan Soekarno.
Pada 1967, MPRS mencabut mandat Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden.
➡️ Indonesia memasuki era Orde Baru.
Masa Orde Baru lahir sebagai reaksi terhadap kekacauan politik dan ekonomi masa Demokrasi Terpimpin.
Tujuan awalnya: menegakkan kembali Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Kekuasaan sentralistik di tangan presiden.
Militer berperan dominan (Dwifungsi ABRI).
Golkar menjadi partai dominan dalam politik.
Pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama.
Kebebasan politik dibatasi.
Pelaksanaan Pemilu 1971 pertama di masa Orde Baru.
Stabilitas politik dan keamanan dijaga ketat oleh pemerintah.
Penerapan asas tunggal Pancasila (1985).
Pembatasan partai politik menjadi hanya tiga: Golkar, PPP, dan PDI.
Pelaksanaan REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun).
Peningkatan produksi pangan (Swasembada beras 1984).
Pertumbuhan ekonomi pesat pada 1980-an.
Namun terjadi ketimpangan sosial dan korupsi (KKN).
Pendidikan dan infrastruktur berkembang pesat.
Pemerintah mengatur ketat kebebasan pers dan organisasi masyarakat.
Muncul budaya birokratis dan feodal di kalangan pejabat.
Indonesia kembali aktif di PBB dan ASEAN (didirikan 1967).
Politik luar negeri tetap bebas dan aktif.
Indonesia menjadi tuan rumah KTT Non-Blok (1992).
Krisis moneter Asia (1997) menghancurkan ekonomi Indonesia.
Inflasi tinggi, pengangguran meningkat, nilai rupiah jatuh.
Gerakan reformasi menuntut perubahan total.
➡️ Akhirnya Soeharto mundur pada 21 Mei 1998.
Krisis ekonomi, politik, dan kepercayaan publik terhadap pemerintahan Orde Baru menimbulkan tuntutan reformasi besar-besaran.
Gerakan mahasiswa, tokoh masyarakat, dan rakyat menuntut perubahan menuju pemerintahan yang demokratis dan bersih.
Menegakkan hukum dan HAM.
Menghapus KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).
Menegakkan demokrasi dan kebebasan pers.
Melakukan otonomi daerah dan desentralisasi.
Mewujudkan pemerintahan yang transparan.
1. BJ Habibie (1998–1999)
Reformasi politik: pencabutan larangan partai politik.
Referendum Timor Timur (1999).
Persiapan Pemilu pertama di era reformasi (1999).
2. Abdurrahman Wahid (Gus Dur, 1999–2001)
Demokratisasi dan kebebasan berpendapat.
Konflik politik dengan DPR menyebabkan pemakzulan.
3. Megawati Soekarnoputri (2001–2004)
Stabilitas politik mulai terjaga.
Pemulihan ekonomi pasca-krisis.
Persiapan Pemilu langsung 2004.
4. Susilo Bambang Yudhoyono (2004–2014)
Pemilu presiden langsung pertama.
Peningkatan investasi dan pembangunan infrastruktur.
Tantangan: korupsi dan bencana alam (tsunami Aceh 2004).
5. Joko Widodo (2014–sekarang)
Fokus pada pembangunan infrastruktur, digitalisasi, dan pemerataan ekonomi.
Penguatan peran Indonesia di ASEAN dan dunia internasional.
Amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali.
Pembentukan lembaga baru: MK, DPD, KPK.
Pemilu langsung presiden dan kepala daerah (Pilkada).
Otonomi daerah luas sejak 2001.
Meningkatnya kebebasan berpendapat dan pers.
Tantangan baru: radikalisme, disinformasi, dan polarisasi politik.
Kebangkitan budaya digital dan kesadaran masyarakat sipil.
Pemulihan ekonomi berkelanjutan.
Penguatan UMKM dan digitalisasi ekonomi.
Tantangan global: pandemi COVID-19, perubahan iklim, dan ketimpangan sosial.
Membangun pemerintahan yang bersih dan adil.
Menjaga persatuan di tengah keberagaman.
Menghadapi tantangan globalisasi dengan inovasi dan pendidikan.
Menegakkan nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman bangsa.
Simbol kebangkitan demokrasi bangsa.
Awal era keterbukaan dan transparansi.
Bukti bahwa kedaulatan rakyat menjadi kekuatan utama dalam perubahan sosial-politik.