Prasasti Turyan: Sumber Sejarah Lokal dalam Konteks Pemerintahan Mpu Sindok dan Relevansinya bagi Pembelajaran Sejarah
Gagah Arif Prawira Dijaya
SMAN 1 Turen
email: gagaharif1993@gmail.com
Prasasti Turyan merupakan salah satu peninggalan penting dari masa pemerintahan Mpu Sindok (abad ke-10 M) yang memberikan informasi historis mengenai kehidupan sosial-politik dan keagamaan di Jawa Timur, khususnya wilayah Malang. Artikel ini membahas isi dan makna historis prasasti, relevansinya sebagai sumber sejarah lokal, serta perannya dalam memperkaya pemahaman peserta didik terhadap sejarah Indonesia periode Mataram Kuno. Selain itu, diuraikan pula strategi integrasi prasasti dalam pembelajaran sejarah di sekolah menengah agar lebih kontekstual, serta kontribusinya dalam memperkuat identitas budaya lokal dan literasi sejarah peserta didik. Penelitian ini menekankan pentingnya pemanfaatan sumber sejarah lokal seperti prasasti dalam proses pendidikan agar generasi muda tidak hanya mengenal sejarah secara global, tetapi juga memahami akar budayanya sendiri. Dengan demikian, Prasasti Turyan tidak hanya berfungsi sebagai dokumen sejarah, tetapi juga sebagai media edukatif dan sarana penguatan nilai-nilai kebangsaan.
Kata kunci: Prasasti Turyan, Turen, Sejarah Lokal, Pembelajaran Sejarah
Sejarah lokal memiliki peran penting dalam memperkuat identitas dan kesadaran sejarah masyarakat di suatu daerah. Melalui sejarah lokal, peserta didik dapat mengenal akar budayanya sendiri serta memahami kontribusi daerahnya terhadap perkembangan peradaban bangsa. Dalam konteks ini, peninggalan berupa prasasti menjadi sumber primer yang sangat berharga. Prasasti tidak hanya menyajikan informasi faktual tentang peristiwa politik, sosial, ekonomi, maupun keagamaan, tetapi juga dapat digunakan sebagai media pembelajaran sejarah yang kontekstual (Pi’i, 2020). Salah satu prasasti penting dari masa awal Jawa Timur adalah Prasasti Turyan atau Prasasti Turyan, yang dikeluarkan pada tahun 851 Śaka (929 M) pada masa pemerintahan Sri Maharaja Mpu Sindok (de Casparis, 1988).
Prasasti Turyan ditemukan di wilayah Turen, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Secara fisik, prasasti ini dipahatkan pada batu andesit berukuran besar dengan tulisan beraksara Jawa Kuno. Isinya menguraikan permohonan seorang tokoh lokal bernama Ḍaṅ Atu Mpu Sahitya kepada raja agar sebidang tanah di sekitar sungai Turyyan dapat dijadikan sima (tanah perdikan) untuk mendukung pembangunan bangunan suci (Pi’i, 2020). Selain itu, prasasti ini menyinggung keberadaan kedaton atau pusat pemerintahan Mpu Sindok di Tamwlang (daerah sekitar Jombang–Kediri), sehingga menjadi bukti penting perpindahan pusat Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur (Griffiths, 2024).
Dari sudut pandang historiografi, keberadaan Prasasti Turyan memberi gambaran tentang kondisi politik dan sosial Jawa Timur pada awal abad ke-10 Masehi. Peralihan pusat kerajaan menandai munculnya corak baru dalam dinamika pemerintahan Jawa Kuno. Selain itu, informasi mengenai tata kelola tanah, pembangunan keagamaan, dan struktur masyarakat desa yang tersirat dalam prasasti ini merefleksikan praktik birokrasi dan religiositas yang hidup dalam masyarakat Jawa kuno (de Casparis, 1988; Jákl, 2020). Fakta ini menjadikan Prasasti Turyan sebagai sumber primer yang tidak hanya bernilai historis, tetapi juga memiliki relevansi bagi pendidikan sejarah lokal.
Dalam pembelajaran sejarah di sekolah, khususnya pada tingkat SMA, pemanfaatan prasasti seperti Prasasti Turyan dapat memperkaya wawasan peserta didik. Prasasti tersebut tidak hanya berfungsi sebagai bukti sejarah yang dapat ditafsirkan secara ilmiah, melainkan juga sebagai media untuk menanamkan nilai-nilai lokal. Misalnya, kearifan lokal terkait pengelolaan sumber daya alam, penghormatan terhadap leluhur, serta semangat religiusitas masyarakat masa lalu dapat diangkat menjadi bahan refleksi dalam kehidupan masa kini (Pi’i, 2020).
Selain itu, pembelajaran berbasis sumber sejarah lokal juga mendukung implementasi Kurikulum Merdeka yang menekankan pembelajaran kontekstual. Dengan mengkaji prasasti yang ditemukan di daerahnya sendiri, peserta didik akan merasa lebih dekat dengan materi sejarah. Hal ini dapat menumbuhkan rasa ingin tahu, meningkatkan keterlibatan aktif, serta memperkuat keterikatan emosional terhadap sejarah dan budayanya (Kemendikbud, 2022). Sejarah yang selama ini dianggap jauh atau abstrak dapat menjadi lebih konkret ketika dihubungkan dengan peninggalan nyata seperti Prasasti Turyan.
Lebih jauh, pemanfaatan Prasasti Turyan dalam pembelajaran sejarah lokal juga dapat mendukung pengembangan kompetensi literasi sejarah. Peserta didik dapat dilatih untuk membaca sumber primer, memahami konteks masa lalu, serta melakukan interpretasi berdasarkan bukti yang ada. Aktivitas ini akan menumbuhkan keterampilan berpikir kritis, analitis, dan reflektif yang sangat diperlukan dalam pembelajaran abad ke-21 (Wineburg, 2001). Dengan demikian, Prasasti Turyan dapat menjadi media yang efektif untuk menghubungkan masa lalu dengan kebutuhan pendidikan masa kini.
Selain sebagai sumber pengetahuan, Prasasti Turyan juga memiliki potensi untuk menguatkan identitas budaya lokal masyarakat Malang dan sekitarnya. Melalui pengenalan terhadap prasasti ini, peserta didik tidak hanya belajar mengenai kerajaan dan raja yang pernah berkuasa, tetapi juga tentang peran wilayah Malang sebagai bagian dari sejarah panjang Jawa Timur. Hal ini dapat menumbuhkan kebanggaan dan tanggung jawab untuk melestarikan warisan budaya (Poesponegoro & Notosusanto, 1993).
Oleh karena itu, penting bagi pendidik untuk mengintegrasikan sumber-sumber sejarah lokal, termasuk Prasasti Turyan, ke dalam proses pembelajaran. Melalui pendekatan ini, sejarah tidak lagi hanya dipahami sebagai catatan masa lalu yang kaku, tetapi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari yang relevan dan bermakna bagi peserta didik. Artikel ini bertujuan untuk membahas Prasasti Turyan sebagai sumber sejarah lokal yang potensial digunakan dalam pembelajaran sejarah, khususnya dalam konteks pendidikan menengah di Indonesia.
Isi dan Makna Historis Prasasti Turyan
Prasasti Turyan atau Prasasti Turyyan dikeluarkan pada tahun 851 Śaka atau 929 M, pada masa awal pemerintahan Sri Maharaja Rakai Hino Mpu Sindok Sri Isanawikrama Dharmottunggadewa. Prasasti ini ditemukan di Turen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, dan dipahatkan pada batu andesit berukuran besar dengan aksara dan bahasa Jawa Kuno (Pi’i, 2020). Isi pokok prasasti ini mencatat permohonan seorang tokoh lokal bernama Ḍaṅ Atu Mpu Sahitya kepada raja agar sebidang tanah di sebelah barat sungai Turyyan dijadikan tanah perdikan (sima) untuk kepentingan pembangunan sebuah bangunan suci. Permohonan tersebut dikabulkan oleh raja, sehingga tanah itu memiliki fungsi khusus untuk menunjang kegiatan keagamaan (de Casparis, 1988).
Secara historis, Prasasti Turyan menjadi bukti penting tentang keberadaan pusat pemerintahan Mpu Sindok di Jawa Timur. Dalam baris prasasti disebutkan kedaton atau istana raja berada di Tamwlang, wilayah yang oleh para sejarawan dikaitkan dengan daerah sekitar Jombang–Kediri (Griffiths, 2024). Fakta ini memperlihatkan bahwa pada tahun pertama pemerintahannya, Mpu Sindok telah menegaskan pemindahan pusat kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Perpindahan ini sering dihubungkan dengan faktor bencana alam (seperti letusan Gunung Merapi) maupun ancaman politik dari Sriwijaya. Dengan demikian, Prasasti Turyan tidak hanya merekam urusan administratif desa, tetapi juga menandai perubahan besar dalam sejarah politik Jawa.
Selain dimensi politik, prasasti ini mencerminkan struktur sosial masyarakat Jawa Kuno. Permohonan tanah sima menunjukkan adanya peran tokoh lokal yang berhubungan langsung dengan raja melalui mekanisme administratif. Hal ini menegaskan bahwa kekuasaan Mpu Sindok tidak bersifat sentralistis mutlak, melainkan melibatkan pejabat dan tokoh masyarakat di tingkat desa (Jákl, 2020). Dalam konteks sosial-religius, penetapan tanah sima bagi bangunan suci juga memperlihatkan eratnya hubungan antara kekuasaan politik dan legitimasi keagamaan. Raja dipandang memiliki otoritas untuk mengatur sumber daya, sekaligus berperan sebagai pelindung kehidupan spiritual rakyatnya.
Makna historis Prasasti Turyan juga terletak pada gambaran tentang pola pengelolaan tanah di Jawa abad ke-10. Penetapan tanah perdikan untuk kepentingan keagamaan menunjukkan bahwa distribusi lahan tidak hanya untuk kepentingan ekonomi, tetapi juga berfungsi mendukung aktivitas spiritual dan sosial. Hal ini mengindikasikan adanya sistem administrasi agraria yang cukup maju, di mana tanah dipandang sebagai sumber daya strategis yang dikelola dengan legitimasi kerajaan (de Casparis, 1988).
Dengan demikian, Prasasti Turyan memiliki makna historis ganda: di satu sisi sebagai bukti politik tentang pergeseran pusat kekuasaan Mataram Kuno ke Jawa Timur, di sisi lain sebagai sumber sosial-ekonomi yang menunjukkan pola hubungan antara raja, pejabat, masyarakat desa, dan institusi keagamaan. Kedua dimensi ini menjadikan prasasti tersebut sangat penting tidak hanya bagi studi sejarah Jawa Kuno, tetapi juga bagi pembelajaran sejarah lokal yang dapat mengaitkan kehidupan masyarakat masa lalu dengan konteks sekarang.
Relevansi Prasasti Turyan sebagai Sumber Sejarah Lokal
Sebagai salah satu peninggalan epigrafis penting dari abad ke-10 Masehi, Prasasti Turyan memiliki relevansi besar sebagai sumber sejarah lokal, khususnya bagi masyarakat Malang dan Jawa Timur. Prasasti ini bukan sekadar catatan administratif kerajaan, melainkan bukti nyata keterlibatan wilayah Malang dalam sejarah panjang Kerajaan Mataram Kuno. Dengan keberadaannya, masyarakat Malang dapat menegaskan bahwa daerahnya telah memainkan peran penting sejak masa awal pemerintahan Mpu Sindok, sehingga tidak dapat dipisahkan dari narasi besar sejarah Jawa Timur (de Casparis, 1988).
Relevansi pertama dari prasasti ini adalah sebagai bukti arkeologis yang memperkuat identitas sejarah masyarakat Malang. Keberadaan prasasti di Turen, Malang, menjadi pengingat bahwa wilayah ini bukan hanya penyangga kerajaan, tetapi juga bagian dari dinamika politik dan keagamaan kerajaan Mataram. Dengan demikian, prasasti ini dapat berfungsi sebagai simbol kebanggaan lokal yang mengikat masyarakat Malang dengan akar sejarahnya (Pi’i, 2020).
Kedua, Prasasti Turyan mengandung informasi tentang sistem sosial, agraria, dan religius masyarakat Jawa Timur pada abad ke-10. Penetapan tanah sima untuk kepentingan bangunan suci menunjukkan adanya keterkaitan erat antara kehidupan religius dan tata kelola sumber daya. Bagi masyarakat Jawa Timur masa kini, informasi tersebut dapat dijadikan refleksi bahwa praktik pengelolaan lahan dan spiritualitas sudah menjadi bagian penting dari kearifan lokal leluhur (Jákl, 2020).
Ketiga, prasasti ini juga relevan dalam konteks pelestarian budaya. Sebagai artefak bersejarah, Prasasti Turyan mengajarkan pentingnya menjaga warisan leluhur agar tidak hilang ditelan zaman. Upaya pelestarian dan pemanfaatannya dalam pendidikan dapat memperkuat kesadaran masyarakat akan nilai-nilai budaya yang diwariskan. Dengan cara ini, prasasti tidak hanya berfungsi sebagai sumber penelitian akademik, tetapi juga sebagai sarana memperkuat jati diri masyarakat Malang dan Jawa Timur (Griffiths, 2024).
Selain itu, Prasasti Turyan memiliki relevansi edukatif karena dapat digunakan dalam pembelajaran sejarah lokal di sekolah-sekolah Malang dan sekitarnya. Peserta didik dapat mempelajari langsung peninggalan yang ada di daerahnya sendiri, sehingga menumbuhkan keterikatan emosional dengan materi sejarah. Hal ini sejalan dengan semangat Kurikulum Merdeka yang mendorong pembelajaran berbasis konteks lokal, di mana sejarah tidak hanya dipahami secara nasional, tetapi juga melalui pengalaman daerah (Kemendikbud, 2022).
Dengan demikian, relevansi Prasasti Turyan bagi masyarakat Malang dan Jawa Timur terletak pada tiga aspek utama: (1) memperkuat identitas dan kebanggaan lokal, (2) menyajikan kearifan lokal yang dapat dijadikan inspirasi kehidupan masa kini, dan (3) menjadi media edukatif untuk pembelajaran sejarah yang kontekstual. Ketiga aspek ini menjadikan Prasasti Turyan bukan sekadar peninggalan masa lalu, tetapi warisan budaya yang hidup dan bermakna bagi masyarakat sekarang.
Peran Prasasti Turyan dalam Memperkaya Pemahaman Peserta Didik terhadap Sejarah Indonesia
Dalam konteks pendidikan sejarah, Prasasti Turyan memiliki peran strategis untuk memperkaya pemahaman peserta didik mengenai periode Mataram Kuno, khususnya masa pemerintahan Mpu Sindok. Selama ini, pemahaman peserta didik tentang sejarah Mataram seringkali hanya berfokus pada aspek politik, seperti raja yang berkuasa atau peristiwa perpindahan pusat kerajaan. Melalui kajian Prasasti Turyan, peserta didik dapat mengenal sumber primer yang autentik, sehingga memberikan gambaran yang lebih konkret mengenai dinamika pemerintahan, kehidupan sosial, ekonomi, dan religius masyarakat Jawa abad ke-10 M (de Casparis, 1988).
Peran pertama Prasasti Turyan adalah sebagai sumber autentik yang memungkinkan peserta didik memahami sejarah berdasarkan bukti nyata. Prasasti ini tidak hanya menceritakan perpindahan kedaton Mpu Sindok ke Jawa Timur, tetapi juga memberikan informasi tentang mekanisme penetapan tanah sima untuk kepentingan keagamaan (Pi’i, 2020). Dengan mengkaji isi prasasti, peserta didik belajar bahwa sejarah bukan sekadar narasi yang disusun sejarawan, melainkan bersandar pada bukti material yang dapat diverifikasi.
Kedua, Prasasti Turyan berperan dalam melatih keterampilan berpikir historis. Melalui teks prasasti, peserta didik dapat diajak melakukan analisis kritis, misalnya dengan menafsirkan mengapa tanah sima diperlukan, bagaimana hubungan antara raja dengan tokoh lokal, atau apa implikasi religius dari pembangunan bangunan suci (Griffiths, 2024). Aktivitas ini membantu mengembangkan kemampuan berpikir kronologis, sebab-akibat, serta interpretasi, yang merupakan kompetensi utama dalam literasi sejarah (Wineburg, 2001).
Ketiga, prasasti ini membantu peserta didik memahami kontinuitas dan perubahan dalam sejarah Indonesia. Perpindahan pusat kekuasaan Mpu Sindok ke Jawa Timur menandai perubahan politik besar, tetapi juga menunjukkan kontinuitas tradisi pemerintahan Jawa Kuno yang mengaitkan kekuasaan dengan legitimasi religius. Melalui kajian ini, peserta didik dapat melihat bahwa sejarah selalu bergerak melalui interaksi antara perubahan dan kelanjutan (Poesponegoro & Notosusanto, 1993).
Selain itu, Prasasti Turyan berperan dalam memperkuat pembelajaran kontekstual. Karena prasasti ini ditemukan di Malang, peserta didik di wilayah Jawa Timur dapat merasakan kedekatan emosional dengan materi yang mereka pelajari. Mereka dapat mengunjungi situs prasasti, mengamati bentuk fisiknya, dan meresapi warisan leluhur secara langsung. Hal ini menjadikan sejarah lebih hidup dan bermakna, dibandingkan hanya membaca peristiwa dalam buku teks (Pi’i, 2020).
Dengan demikian, Prasasti Turyan tidak hanya memperkaya pemahaman peserta didik tentang periode Mataram Kuno dari segi politik, sosial, dan religius, tetapi juga berperan dalam pengembangan keterampilan literasi sejarah. Penggunaan prasasti sebagai sumber belajar menjadikan sejarah lebih kontekstual, kritis, dan relevan dengan kehidupan peserta didik saat ini.
Strategi Integrasi Prasasti Turyan dalam Pembelajaran Sejarah di Tingkat Menengah
Integrasi Prasasti Turyan dalam pembelajaran sejarah di tingkat menengah merupakan upaya menghadirkan sumber sejarah lokal ke dalam kelas agar pembelajaran menjadi lebih kontekstual, autentik, dan bermakna. Selama ini, pembelajaran sejarah di sekolah kerap terjebak pada hafalan fakta dan kronologi, sehingga terasa jauh dari kehidupan peserta didik (Wineburg, 2001). Dengan memanfaatkan Prasasti Turyan, guru dapat menjembatani kesenjangan tersebut melalui pendekatan berbasis sumber lokal (local wisdom-based learning).
Strategi pertama adalah melalui pendekatan pembelajaran berbasis sumber (source-based learning). Guru dapat menghadirkan transliterasi teks Prasasti Turyan ke dalam kelas, kemudian mengajak peserta didik menafsirkan isi prasasti. Aktivitas ini tidak hanya mengajarkan isi sejarah, tetapi juga melatih keterampilan berpikir kritis dan analitis. Peserta didik akan memahami bahwa pengetahuan sejarah disusun berdasarkan sumber primer, bukan semata-mata cerita yang diwariskan (Pi’i, 2020).
Strategi kedua adalah pembelajaran kontekstual berbasis kunjungan lapangan (field trip). Peserta didik diajak mengunjungi lokasi penemuan Prasasti Turyan di Malang. Dengan melihat langsung prasasti, peserta didik dapat membangun pengalaman belajar yang konkret, sehingga sejarah terasa lebih nyata. Menurut Hoskins (2010), pembelajaran sejarah berbasis situs mampu menumbuhkan rasa kepemilikan (sense of belonging) terhadap warisan budaya lokal.
Strategi ketiga adalah project-based learning (PjBL). Peserta didik dapat diberi tugas membuat proyek penelitian mini tentang Prasasti Turyan, misalnya berupa laporan, poster, atau video dokumenter. Dengan pendekatan ini, peserta didik berperan aktif menggali informasi, bekerja kolaboratif, sekaligus memanfaatkan teknologi untuk mendiseminasikan pengetahuan sejarah. Hal ini sejalan dengan tuntutan Kurikulum Merdeka yang menekankan pembelajaran berbasis proyek dan penguatan Profil Pelajar Pancasila (Kemendikbudristek, 2022).
Strategi keempat adalah pengintegrasian nilai budaya lokal. Melalui Prasasti Turyan, guru dapat menekankan nilai-nilai seperti ketaatan religius, kepedulian terhadap masyarakat, serta kebijakan dalam pengelolaan tanah yang tercermin pada penetapan sima. Nilai-nilai tersebut dapat dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari peserta didik, sehingga sejarah bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga inspirasi untuk membangun sikap sosial di masa kini (Suyatno, 2019).
Strategi kelima adalah penggunaan media pembelajaran digital. Prasasti dapat disajikan dalam bentuk foto resolusi tinggi, rekonstruksi 3D, atau tur virtual. Hal ini sangat membantu terutama jika peserta didik tidak dapat melakukan kunjungan lapangan. Integrasi teknologi digital menjadikan pembelajaran lebih menarik dan sesuai dengan karakter generasi digital saat ini (Prensky, 2010).
Dengan demikian, strategi integrasi Prasasti Turyan dalam pembelajaran sejarah menengah dapat dilakukan melalui pembelajaran berbasis sumber, kunjungan lapangan, proyek penelitian, penguatan nilai budaya, dan pemanfaatan teknologi digital. Strategi ini tidak hanya membuat sejarah lebih kontekstual dan bermakna, tetapi juga memperkuat keterampilan berpikir historis, literasi budaya, dan identitas lokal peserta didik.
Kontribusi Pemanfaatan Prasasti Turyan terhadap Penguatan Identitas Budaya Lokal dan Literasi Sejarah Peserta Didik
Pemanfaatan Prasasti Turyan dalam pembelajaran sejarah memberikan kontribusi signifikan terhadap penguatan identitas budaya lokal sekaligus pengembangan literasi sejarah peserta didik. Identitas budaya merupakan kesadaran kolektif masyarakat mengenai akar sejarah, nilai, dan tradisi yang diwariskan dari generasi sebelumnya (Smith, 1991). Dengan menghadirkan Prasasti Turyan dalam kelas, peserta didik diperkenalkan pada warisan sejarah daerahnya, sehingga tumbuh rasa bangga dan kepemilikan terhadap kebudayaan lokal.
Pertama, dari sisi identitas budaya lokal, Prasasti Turyan mencerminkan hubungan harmonis antara pemerintahan, masyarakat, dan keyakinan religius pada masa Mpu Sindok. Pemahaman terhadap isi prasasti menjadikan peserta didik sadar bahwa masyarakat Jawa Timur sejak abad ke-10 telah memiliki tata sosial, administrasi, dan spiritualitas yang maju. Kesadaran ini memperkuat rasa keterikatan mereka pada tanah kelahiran, sekaligus membangun kebanggaan sebagai pewaris peradaban yang berakar kuat (Koentjaraningrat, 2009).
Kedua, dari sisi literasi sejarah, pemanfaatan Prasasti Turyan melatih peserta didik memahami, menganalisis, dan menginterpretasi sumber primer sejarah. Menurut Wineburg (2001), kemampuan literasi sejarah tidak hanya terbatas pada menghafal fakta, tetapi juga mencakup keterampilan menafsirkan bukti masa lalu secara kritis. Melalui studi prasasti, peserta didik belajar membaca teks kuno (melalui transliterasi), memahami konteks sosial-politik, serta menarik makna yang relevan dengan kehidupan saat ini.
Ketiga, kontribusi Prasasti Turyan juga terletak pada penanaman nilai-nilai budaya. Misalnya, nilai religiusitas, penghargaan terhadap aturan, serta kepedulian sosial yang tercermin dari penetapan tanah sima untuk mendukung keagamaan. Nilai-nilai ini dapat ditanamkan dalam diri peserta didik sebagai bagian dari pendidikan karakter, sehingga mereka tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kesadaran moral dan sosial (Suyatno, 2019).
Keempat, pemanfaatan prasasti dalam pembelajaran juga mendorong partisipasi aktif peserta didik dalam pelestarian warisan budaya. Dengan mengenal sejarah daerahnya, peserta didik terdorong untuk ikut menjaga dan melestarikan situs-situs bersejarah di Malang dan Jawa Timur. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan sejarah, yaitu membentuk generasi yang peduli terhadap warisan budaya bangsa (Kartodirdjo, 1992).
Kelima, secara lebih luas, integrasi Prasasti Turyan dalam pembelajaran sejarah memperkuat posisi sejarah lokal sebagai bagian dari sejarah nasional. Peserta didik tidak hanya belajar tentang peristiwa besar yang terjadi di pusat kerajaan, tetapi juga memahami kontribusi daerahnya dalam membentuk peradaban Indonesia. Hal ini menciptakan pemahaman sejarah yang lebih holistik, sekaligus meneguhkan identitas kebangsaan tanpa mengabaikan akar budaya lokal.
Dengan demikian, pemanfaatan Prasasti Turyan memberikan kontribusi ganda: memperkuat identitas budaya lokal melalui pengenalan dan internalisasi nilai-nilai warisan leluhur, serta mengembangkan literasi sejarah peserta didik melalui keterampilan analisis sumber dan pemaknaan sejarah. Kedua aspek ini sangat penting dalam membentuk generasi muda yang tidak hanya berpengetahuan, tetapi juga berkarakter, berakar pada budaya lokal, dan siap menghadapi tantangan global.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai Prasasti Turyan, dapat disimpulkan bahwa prasasti ini merupakan salah satu sumber sejarah penting dari masa pemerintahan Mpu Sindok pada abad ke-10 M yang memberikan informasi berharga mengenai kehidupan politik, sosial, religius, dan budaya masyarakat Jawa Timur. Isi prasasti yang berkaitan dengan penetapan tanah sima menunjukkan adanya sistem administrasi yang teratur sekaligus peran besar institusi keagamaan dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai sumber sejarah lokal, Prasasti Turyan memiliki relevansi tinggi bagi masyarakat Malang dan Jawa Timur karena menjadi bukti autentik tentang kontribusi daerah ini dalam perjalanan sejarah Indonesia, khususnya pada periode Mataram Kuno. Nilai historis dan kultural yang terkandung dalam prasasti dapat memperkaya pemahaman peserta didik terhadap dinamika kehidupan masyarakat pada masa lampau sekaligus memperluas wawasan sejarah mereka di luar narasi besar sejarah nasional.
Dalam konteks pembelajaran, pemanfaatan Prasasti Turyan mampu menjadi media yang efektif untuk mengembangkan literasi sejarah peserta didik. Melalui prasasti, mereka dilatih untuk membaca, menganalisis, dan menginterpretasikan sumber primer sehingga terbentuk kemampuan berpikir kritis, keterampilan menafsirkan masa lalu, serta kesadaran sejarah yang lebih mendalam.
Lebih jauh, strategi integrasi prasasti ini dalam pembelajaran sejarah tingkat menengah dapat menjadikan pelajaran lebih kontekstual dan bermakna. Guru dapat mengaitkan isi prasasti dengan kondisi lokal yang dekat dengan kehidupan peserta didik, sehingga tercipta pembelajaran berbasis lingkungan dan budaya setempat.
Akhirnya, pemanfaatan Prasasti Turyan memberikan kontribusi nyata terhadap penguatan identitas budaya lokal dan pengembangan literasi sejarah. Peserta didik tidak hanya mengenal dan menghargai warisan budaya daerahnya, tetapi juga mampu menempatkannya dalam kerangka sejarah nasional. Hal ini penting dalam membangun generasi muda yang berakar pada budaya sendiri, memiliki kesadaran sejarah, dan siap menghadapi tantangan global dengan identitas yang kuat.
Saran
1. Untuk Generasi Muda (Peserta didik)
Diharapkan generasi muda lebih aktif mempelajari dan mengapresiasi warisan sejarah lokal, seperti Prasasti Turyan. Dengan memahami sejarah daerah sendiri, mereka dapat memperkuat identitas budaya, menumbuhkan rasa bangga terhadap leluhur, dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya pelestarian cagar budaya.
2. Untuk Guru Sejarah
Guru diharapkan mampu memanfaatkan Prasasti Turyan sebagai sumber belajar alternatif yang menarik dan kontekstual. Dengan mengintegrasikan studi prasasti ke dalam pembelajaran, guru dapat melatih keterampilan analisis kritis peserta didik sekaligus menjadikan pembelajaran sejarah lebih hidup, bermakna, dan berorientasi pada kearifan lokal.
3. Untuk Masyarakat
Masyarakat, khususnya di Turen, Malang, perlu berperan aktif dalam menjaga dan melestarikan Prasasti Turyan serta situs-situs sejarah lainnya. Upaya pelestarian dapat dilakukan melalui kegiatan edukatif, pengenalan budaya lokal kepada generasi muda, serta mendukung program-program wisata sejarah berbasis masyarakat.
4. Untuk Pemerintah
Pemerintah daerah dan pusat perlu memberikan perhatian lebih terhadap pelestarian Prasasti Turyan melalui kebijakan yang mendukung perawatan situs sejarah, penyediaan fasilitas edukasi, serta promosi kebudayaan lokal. Selain itu, integrasi sejarah lokal ke dalam kurikulum pendidikan juga perlu diperkuat agar peserta didik semakin dekat dengan warisan sejarah di lingkungannya.
Daftar Rujukan
Anderson, B. (1972). Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944–1946. Ithaca: Cornell University Press.
de Casparis, J. G. (1988). Where Was Pu Siṇḍok’s Capital Situated? In H. I. R. Hinzler (Ed.), Studies in South and Southeast Asian Archaeology (pp. 13–30). Leiden: Kuntji Press.
Griffiths, A. (2024). Restoring a Javanese inscription to its proper place in history. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 180(2–3), 151–176.
Hoskins, J. (2010). Heritage as life politics. Cultural Anthropology, 25(2), 267–274.
Jakl, J. (2020). The sea and seacoast in Old Javanese court poetry. Archipel, 99, 15–40.
Kartodirdjo, S. (1992). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.
Kemendikbud. (2022). Kurikulum Merdeka. Jakarta: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Pi’i. (2020). Pemanfaatan Prasasti Turyyan sebagai sumber pembelajaran sejarah SMA. Jurnal Pendidikan Sejarah Indonesia (JPSI), 3(1), 1–10.
Poesponegoro, M. D., & Notosusanto, N. (1993). Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka.
Smith, A. D. (1991). National identity. Reno: University of Nevada Press.
Suyatno. (2019). Pendidikan nilai berbasis kearifan lokal: Relevansi untuk penguatan karakter. Jurnal Pendidikan Karakter, 9(1), 1–15.
Wineburg, S. (2001). Historical thinking and other unnatural acts: Charting the future of teaching the past. Philadelphia: Temple University Press.
Lampiran
Gambar 1: Foto Prasasti Turyan Turen, Malang
Gambar 2: Foto Prasasti Turyan Turen, Malang