Warisan Perjuangan Rakyat Dampit: Perang Gerilya sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah Lokal
Gagah Arif Prawira Dijaya
SMAN 1 Turen
email: gagaharif1993@gmail.com
Penelitian ini membahas perang gerilya di Dampit pada masa Agresi Militer Belanda II serta relevansinya dengan pembelajaran sejarah lokal. Latar belakang perlawanan ini berakar dari upaya Belanda menguasai wilayah Malang Selatan yang memiliki nilai strategis, sementara rakyat dan pejuang setempat menolak dengan perlawanan gerilya. Tokoh-tokoh pejuang, baik dari TNI maupun laskar rakyat, memainkan peran penting tidak hanya dalam aspek militer tetapi juga dalam menggerakkan moral masyarakat. Strategi gerilya yang digunakan meliputi serangan kilat, sabotase, dan pemanfaatan kondisi geografis serta dukungan rakyat, menunjukkan efektivitas taktik lokal dalam menghadapi kekuatan militer kolonial. Dampak perang gerilya terhadap masyarakat sangat besar, baik secara sosial, politik, maupun budaya, karena menumbuhkan solidaritas sekaligus penderitaan, tetapi juga membentuk identitas lokal yang berakar pada semangat perjuangan. Relevansinya dengan pembelajaran sejarah lokal sangat kuat, karena dapat digunakan sebagai sumber belajar kontekstual yang menumbuhkan kesadaran sejarah, nilai patriotisme, dan kecintaan terhadap daerah asal. Dengan demikian, perang gerilya di Dampit bukan hanya bagian dari sejarah nasional, tetapi juga warisan berharga yang perlu dilestarikan melalui pendidikan, penelitian, dan kebijakan pemerintah.
Kata kunci: Perang Gerilya, Dampit, Agresi Militer Belanda II, Sejarah Lokal
Sejarah bangsa Indonesia merupakan perjalanan panjang yang diwarnai oleh berbagai bentuk perlawanan rakyat terhadap penjajahan. Salah satu fase penting adalah masa Agresi Militer Belanda II (1948–1949), di mana Belanda berusaha menguasai kembali wilayah Republik Indonesia pasca pengakuan kedaulatan yang setengah hati pada Perjanjian Renville. Pada fase inilah strategi perang gerilya menjadi senjata utama rakyat dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mempertahankan kemerdekaan. Gerilya terbukti efektif karena memungkinkan pasukan dengan persenjataan terbatas untuk melawan militer Belanda yang lebih modern (Anderson, 2018).
Wilayah Dampit, Kabupaten Malang, menjadi salah satu basis penting gerilya di Jawa Timur. Letaknya yang berada di daerah pegunungan dengan hutan serta perkebunan luas memberi keuntungan strategis. Pasukan Indonesia dapat bergerak cepat, bersembunyi, sekaligus melakukan serangan mendadak ke markas maupun patroli Belanda. Catatan lokal menyebutkan bahwa Pasukan Untung Suropati 18 (PUS 18) melakukan serangan besar pada Februari 1949 di Pasar Dampit, yang berhasil memukul mundur Belanda dan menimbulkan kerugian signifikan bagi pihak lawan (Ngalam.id, 2017).
Selain PUS 18, terdapat pula Pasukan Gerilya Istimewa (PGI) yang aktif di wilayah Dampit dan sekitarnya. PGI bahkan menjadikan bekas kantor perkebunan Kertodol sebagai pusat aktivitas. Tugas utama mereka meliputi sabotase, penyergapan, hingga propaganda untuk menggoyahkan mental pasukan Belanda (Ngalam.id, 2017). Hal ini memperlihatkan bahwa perjuangan di Dampit bukan hanya bersifat fisik, tetapi juga psikologis, menggabungkan taktik militer dengan upaya menjaga semangat juang rakyat.
Sayangnya, kisah perjuangan di tingkat lokal seperti di Dampit masih kurang mendapat porsi dalam narasi sejarah nasional. Kurikulum sekolah lebih sering menekankan pertempuran besar berskala nasional, seperti Pertempuran Surabaya atau Serangan Umum 1 Maret. Padahal, menurut Sardiman (2012), sejarah lokal dapat menjadi pintu masuk untuk memahami sejarah nasional secara lebih konkret dan dekat dengan kehidupan peserta didik. Dengan demikian, sejarah perjuangan di Dampit seharusnya mendapat ruang dalam pembelajaran.
Mengaitkan perang gerilya di Dampit dengan pembelajaran sejarah lokal memiliki beberapa urgensi. Pertama, peserta didik dapat lebih mudah memahami peristiwa sejarah jika dikaitkan dengan lingkungannya. Kedua, peristiwa lokal memberikan teladan nyata tentang nilai perjuangan, pengorbanan, dan cinta tanah air. Ketiga, sejarah lokal menumbuhkan rasa identitas dan kebanggaan terhadap daerah asalnya, yang pada akhirnya memperkuat rasa nasionalisme (Ismaun, 2005).
Lebih jauh lagi, pengintegrasian sejarah lokal ke dalam pembelajaran juga sejalan dengan paradigma konstruktivisme dalam pendidikan sejarah, di mana pengetahuan dibangun melalui pengalaman dan kedekatan peserta didik dengan konteks yang dipelajari (Kartodirdjo, 1993). Dengan demikian, ketika siswa di Malang mempelajari kisah gerilya di Dampit, mereka tidak hanya mengetahui fakta sejarah, tetapi juga menginternalisasi nilai perjuangan yang lahir dari daerah mereka sendiri.
Sejarah gerilya di Dampit dapat dijadikan sumber belajar alternatif, baik melalui penggunaan dokumen lokal, naskah sejarah, arsip, maupun wawancara dengan saksi sejarah. Guru sejarah dapat mengajak peserta didik melakukan penelitian kecil-kecilan, seperti studi lapangan ke bekas lokasi pertempuran atau peninggalan bangunan kolonial di Dampit yang menjadi bagian dari latar sejarah perjuangan. Hal ini akan menjadikan pembelajaran lebih bermakna karena menghadirkan pengalaman langsung (experiential learning).
Dengan demikian, penelitian ini berangkat dari pentingnya mengkaji perjuangan gerilya di Dampit dalam konteks sejarah lokal serta bagaimana peristiwa ini dapat diintegrasikan dalam pembelajaran sejarah di sekolah. Selain berfungsi melestarikan memori kolektif masyarakat, penelitian ini juga diharapkan memberikan kontribusi dalam memperkaya materi ajar sejarah serta memperkuat karakter generasi muda melalui nilai-nilai perjuangan yang bersumber dari daerah mereka sendiri.
Latar Belakang Terjadinya Perang Gerilya di Dampit pada Masa Agresi Militer Belanda II
Perang gerilya di Dampit tidak dapat dilepaskan dari konteks nasional pasca-Proklamasi 17 Agustus 1945. Setelah Belanda berusaha kembali menguasai Indonesia melalui Agresi Militer I (1947) dan Agresi Militer II (1948), banyak wilayah di Jawa menjadi ajang pertempuran sengit, termasuk Malang bagian selatan. Wilayah Dampit memiliki posisi strategis karena berada di jalur penghubung Malang–Lumajang dan dikelilingi oleh kawasan perkebunan serta perbukitan, yang secara geografis sangat mendukung perang gerilya (Soeara Repoeblik, 1948).
Secara khusus, latar belakang perang gerilya di Dampit dapat ditinjau dari beberapa aspek. Pertama, aspek politik, yakni tekad rakyat dan pejuang untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia setelah Belanda melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948. Dampit menjadi salah satu basis pertahanan karena kedekatannya dengan daerah Malang yang merupakan jalur penting bagi Belanda dalam menguasai Jawa Timur (Notosusanto, 1979: 115).
Kedua, aspek geografis, wilayah Dampit yang bergunung-gunung, berhutan, dan penuh perkebunan kopi serta tebu, menjadi lokasi ideal untuk menjalankan taktik hit and run. Kondisi alam ini memberi keuntungan bagi pasukan gerilya untuk bersembunyi, menyusun strategi, sekaligus menyerang secara tiba-tiba. Hal ini selaras dengan pendapat Kahin (1980: 310) yang menegaskan bahwa kondisi geografis Jawa, khususnya pegunungan, menjadi faktor penting keberhasilan gerilya Indonesia dalam menghadapi kekuatan Belanda yang lebih modern.
Ketiga, aspek sosial-ekonomi, rakyat Dampit memiliki solidaritas yang kuat terhadap perjuangan kemerdekaan. Sebagian besar penduduk yang bekerja di sektor perkebunan rela memberikan dukungan logistik maupun tempat persembunyian bagi pasukan. Dukungan rakyat ini menjadi tulang punggung gerilya, sebagaimana juga terjadi di wilayah-wilayah lain di Jawa (Hermawan, 2018: 64).
Keempat, aspek militer, pasca jatuhnya Yogyakarta sebagai ibu kota RI pada 1948, strategi perang beralih ke gerilya. Instruksi Jenderal Sudirman agar seluruh pasukan melanjutkan perlawanan dengan taktik gerilya juga diikuti oleh pasukan di Malang selatan, termasuk Dampit. Pasukan Untung Suropati 18 (PUS 18) serta Pasukan Gerilya Istimewa (PGI) merupakan dua kekuatan utama yang aktif bergerak di wilayah ini (Arsip Nasional RI, 1950).
Dengan demikian, latar belakang perang gerilya di Dampit merupakan kombinasi dari faktor nasional dan lokal: dorongan mempertahankan kedaulatan Indonesia, kondisi geografis yang mendukung, dukungan rakyat yang kuat, serta strategi militer nasional yang mengutamakan perlawanan rakyat semesta. Hal inilah yang menjadikan Dampit tidak hanya sebagai daerah pertempuran, tetapi juga sebagai simbol keteguhan rakyat dalam menghadapi agresi kolonial.
Tokoh dan Pasukan yang Terlibat dalam Perang Gerilya di Dampit serta Peran Strategis Mereka
Perang gerilya di wilayah Dampit tidak bisa dilepaskan dari kiprah para tokoh dan pasukan lokal maupun regional yang mengambil peran penting dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia. Sebagai bagian dari Malang Selatan, Dampit menjadi salah satu basis gerilya setelah Belanda melancarkan Agresi Militer II pada 1948. Dalam konteks ini, beberapa tokoh militer dan laskar rakyat turut aktif memimpin perlawanan di medan gerilya (Notosusanto, 1979: 132).
Salah satu kekuatan utama di wilayah ini adalah Pasukan Untung Suropati 18 (PUS 18). Pasukan ini terdiri dari pejuang-pejuang lokal yang berafiliasi dengan TNI, beroperasi di daerah Malang Selatan, termasuk Dampit. Peran strategis PUS 18 adalah menjaga jalur penghubung Malang–Lumajang dari upaya Belanda menguasai daerah perkebunan yang menjadi sumber ekonomi penting. Mereka menggunakan taktik serangan kilat dan sabotase terhadap konvoi Belanda, sehingga menghambat pergerakan lawan (Hermawan, 2018: 72).
Selain itu, terdapat Pasukan Gerilya Istimewa (PGI) yang juga aktif bergerak di sekitar Dampit. Pasukan ini berperan sebagai penghubung antara komando militer di Malang dengan satuan-satuan kecil di desa-desa. PGI sering melakukan infiltrasi ke daerah perkebunan yang dikuasai Belanda, sekaligus mengorganisir rakyat untuk membantu logistik dan informasi. Dukungan rakyat menjadi kekuatan utama PGI, sesuai dengan konsep perang rakyat semesta yang digariskan oleh Jenderal Sudirman (Kahin, 1980: 312).
Tokoh penting yang tidak dapat dilupakan adalah Kolonel Soengkono, Komandan Divisi VII/Untung Suropati, yang memiliki otoritas di wilayah Jawa Timur bagian selatan. Di bawah kepemimpinannya, strategi gerilya di daerah Malang, termasuk Dampit, diarahkan untuk memecah konsentrasi pasukan Belanda. Soengkono menekankan pentingnya koordinasi antara pasukan resmi TNI dengan laskar rakyat dalam menjaga keberlangsungan perjuangan (Suhartono, 1995: 210).
Di tingkat lokal, terdapat pula peran tokoh masyarakat dan kiai setempat yang mendukung perjuangan. Misalnya, kiai-kiai di sekitar Dampit berperan dalam menggerakkan santri dan masyarakat desa untuk membantu logistik dan perlindungan bagi pasukan gerilya. Dukungan moral dan spiritual ini menjadi faktor penting yang memperkuat mental pejuang, sebagaimana ditulis oleh Ricklefs (2001: 290) bahwa peran kiai di Jawa dalam revolusi fisik sangat signifikan dalam menjaga semangat perlawanan.
Selain TNI dan laskar resmi, banyak pemuda desa yang bergabung dalam barisan perjuangan bersenjata. Mereka tidak hanya menjadi pejuang tempur, tetapi juga kurir, pengintai, serta pemasok bahan makanan. Keterlibatan pemuda Dampit ini menunjukkan bahwa perang gerilya tidak hanya dilakukan oleh tentara, tetapi juga merupakan gerakan rakyat secara luas (Hermawan, 2018: 74).
Peran strategis semua pasukan dan tokoh di Dampit pada akhirnya bukan hanya sebatas menghadang Belanda secara militer, melainkan juga menjaga eksistensi Republik Indonesia di tingkat lokal. Dampit menjadi bukti bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan merupakan hasil sinergi antara tentara, laskar rakyat, tokoh masyarakat, dan rakyat biasa. Dengan demikian, tokoh dan pasukan gerilya di Dampit bukan hanya aktor militer, tetapi juga simbol persatuan nasional dalam menghadapi kolonialisme.
Bentuk Strategi dan Taktik Gerilya Pejuang di Dampit dalam Menghadapi Belanda
Perang gerilya di Dampit pada masa Agresi Militer Belanda II merupakan bagian dari strategi nasional yang dirancang oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman. Dalam garis besarnya, strategi tersebut menekankan pada perang semesta, yakni keterlibatan rakyat secara luas, penguasaan medan, serta taktik serangan kecil yang efektif untuk melemahkan musuh yang lebih kuat secara persenjataan (Kahin, 1980: 314). Dampit, dengan kondisi geografis berupa perbukitan dan perkebunan kopi serta tebu, memberikan keuntungan strategis bagi pejuang untuk menerapkan taktik gerilya.
Salah satu strategi utama yang digunakan adalah hit and run atau serangan kilat. Pasukan gerilya di Dampit menyerang konvoi Belanda yang melintas di jalur Malang–Lumajang, kemudian segera menghilang ke dalam hutan atau perkampungan rakyat. Taktik ini bertujuan untuk menghindari pertempuran terbuka, sekaligus menguras logistik dan moral pasukan Belanda (Notosusanto, 1979: 145). Serangan mendadak tersebut memaksa Belanda untuk mengerahkan pasukan tambahan hanya untuk menjaga jalur transportasi.
Selain serangan kilat, taktik sabotase juga banyak digunakan. Pejuang gerilya di Dampit merusak jembatan, jalan, serta fasilitas perkebunan yang dikuasai Belanda. Tindakan ini tidak hanya melemahkan mobilitas lawan, tetapi juga memutus rantai pasokan ekonomi kolonial. Hermawan (2018: 78) mencatat bahwa banyak pabrik pengolahan hasil perkebunan di Malang Selatan menjadi sasaran pembakaran atau sabotase, sehingga memukul kepentingan ekonomi Belanda.
Taktik lain yang tidak kalah penting adalah infiltrasi dan penyamaran. Banyak pejuang yang menyamar sebagai penduduk biasa untuk mendapatkan informasi tentang posisi dan kekuatan musuh. Informasi ini kemudian disampaikan kepada pasukan inti untuk merencanakan serangan. Keberhasilan infiltrasi ini sangat bergantung pada dukungan rakyat, yang rela menampung pejuang gerilya dan menyembunyikan mereka dari patroli Belanda (Suhartono, 1995: 223).
Selain itu, pemanfaatan alam dan medan menjadi ciri khas gerilya di Dampit. Hutan-hutan dan tebing di sekitar wilayah ini dijadikan basis persembunyian sekaligus lokasi penyergapan. Dalam beberapa catatan, pejuang bahkan menggunakan gua-gua sebagai markas rahasia untuk menyimpan senjata dan logistik (Hermawan, 2018: 80). Pemahaman atas kondisi geografis setempat membuat Belanda kesulitan melacak pergerakan pasukan Indonesia.
Strategi mobilisasi rakyat juga memainkan peran besar. Rakyat Dampit berperan dalam menyediakan makanan, tempat persembunyian, hingga tenaga kurir untuk menyampaikan pesan antarpos gerilya. Partisipasi masyarakat ini sejalan dengan konsep perang rakyat semesta, yang menjadikan setiap warga bagian dari kekuatan perjuangan (Ricklefs, 2001: 295). Tanpa dukungan rakyat, taktik gerilya tidak akan bertahan lama.
Taktik serangan psikologis pun digunakan untuk melemahkan mental musuh. Misalnya, pejuang sengaja menyerang pos Belanda pada malam hari atau menimbulkan ledakan yang mengejutkan. Serangan kecil namun berulang ini menciptakan rasa tidak aman bagi tentara Belanda yang menduduki Dampit. Hal ini terbukti efektif, sebab meskipun Belanda memiliki persenjataan lengkap, mereka tidak pernah benar-benar menguasai wilayah pedesaan (Anderson, 1983: 156).
Dengan kombinasi berbagai strategi tersebut—serangan kilat, sabotase, infiltrasi, pemanfaatan medan, mobilisasi rakyat, hingga serangan psikologis—perang gerilya di Dampit menunjukkan bahwa perjuangan tidak semata-mata ditentukan oleh kekuatan senjata, tetapi oleh kreativitas, keberanian, dan solidaritas antara pejuang dan rakyat. Strategi ini membuktikan bahwa meskipun kalah secara material, bangsa Indonesia tetap mampu bertahan dan menjaga eksistensi republik di tingkat lokal.
Dampak Perang Gerilya di Dampit terhadap Masyarakat Setempat
Perang gerilya di Dampit pada masa Agresi Militer Belanda II memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat setempat. Dari aspek sosial, kehidupan sehari-hari warga sangat terganggu akibat situasi perang yang tidak menentu. Banyak keluarga yang harus mengungsi ke daerah pegunungan atau hutan untuk menghindari operasi militer Belanda. Kondisi ini menyebabkan terjadinya keterputusan aktivitas ekonomi dan pendidikan di beberapa desa. Ricklefs (2001: 302) menyatakan bahwa perang di Jawa, termasuk Malang Selatan, menciptakan “disruption of social life” yang berkepanjangan.
Selain gangguan sosial, masyarakat juga mengalami penderitaan akibat kekerasan langsung. Tentara Belanda kerap melakukan penyisiran ke desa-desa untuk mencari pejuang gerilya, sehingga terjadi pembakaran rumah, penangkapan, bahkan eksekusi terhadap warga yang dicurigai membantu pejuang. Peristiwa ini menimbulkan trauma kolektif, tetapi sekaligus memperkuat semangat anti-kolonial di kalangan rakyat. Seperti dicatat oleh Kahin (1980: 321), tindakan represif Belanda justru memperbesar dukungan rakyat terhadap republik.
Dalam aspek politik, perang gerilya memperkuat kesadaran politik masyarakat Dampit. Rakyat yang sebelumnya pasif mulai terlibat dalam kegiatan perjuangan, baik sebagai penyedia logistik maupun kurir informasi. Keterlibatan ini menumbuhkan rasa memiliki terhadap republik yang baru berdiri. Suhartono (1995: 245) menegaskan bahwa revolusi di Malang Selatan telah “mempolitikkan rakyat pedesaan,” menjadikan mereka bagian aktif dari proses pembentukan bangsa.
Perang juga membawa dampak pada struktur kekuasaan lokal. Banyak tokoh desa yang kemudian muncul sebagai pemimpin rakyat karena perannya dalam mendukung perjuangan. Mereka bukan hanya tokoh formal, tetapi juga tokoh karismatik yang dihormati karena keberanian dan pengorbanannya. Hal ini menunjukkan bahwa perang gerilya membuka ruang bagi lahirnya kepemimpinan lokal yang berbasis pada perjuangan, bukan semata warisan kekuasaan kolonial (Hermawan, 2018: 92).
Dari aspek budaya, perang gerilya memperkuat tradisi gotong royong dan solidaritas sosial. Masyarakat Dampit bahu-membahu menyediakan makanan, tempat persembunyian, hingga informasi penting bagi pejuang. Tradisi kolektif ini memperkuat nilai persatuan dan meneguhkan identitas masyarakat sebagai bagian dari perjuangan kemerdekaan. Anderson (1983: 164) menyebutnya sebagai bentuk “cultural resistance” yang memperlihatkan bahwa budaya lokal dapat menjadi fondasi perjuangan nasional.
Selain itu, pengalaman perang juga melahirkan ingatan kolektif yang diwariskan secara turun-temurun. Kisah perjuangan gerilya menjadi bagian dari cerita rakyat, lagu perjuangan, maupun penamaan tempat-tempat bersejarah di Dampit. Ingatan kolektif ini tidak hanya berfungsi sebagai kenangan, tetapi juga sebagai media pendidikan informal bagi generasi muda. Hal ini sesuai dengan pandangan Kartodirdjo (1993: 212) bahwa sejarah lokal dapat menjadi sumber penting dalam pembentukan identitas bangsa.
Namun, dampak negatif juga tidak dapat diabaikan. Banyak keluarga kehilangan anggota akibat pertempuran, sementara kondisi ekonomi pedesaan merosot karena lahan pertanian terbengkalai. Meski demikian, penderitaan ini justru memperkuat solidaritas antarwarga, yang kemudian menjadi modal sosial dalam membangun kembali kehidupan setelah perang berakhir (Hermawan, 2018: 94).
Secara keseluruhan, perang gerilya di Dampit membawa dampak kompleks bagi masyarakat setempat. Meskipun penuh penderitaan dan trauma, perang juga menumbuhkan kesadaran politik, memperkuat budaya solidaritas, dan melahirkan kepemimpinan lokal berbasis perjuangan. Dengan demikian, dampak perang tidak hanya bersifat destruktif, tetapi juga konstruktif dalam membentuk identitas masyarakat Dampit sebagai bagian dari republik yang merdeka.
Relevansi Perang Gerilya di Dampit dengan Pembelajaran Sejarah Lokal di Sekolah
Pembelajaran sejarah lokal memiliki fungsi strategis dalam menanamkan nilai kebangsaan dan identitas kolektif kepada generasi muda. Perang gerilya di Dampit merupakan salah satu peristiwa penting yang layak diangkat dalam konteks pendidikan, sebab peristiwa ini mencerminkan dinamika perjuangan rakyat di tingkat lokal dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Menurut Sardiman (2012: 56), pembelajaran sejarah sebaiknya tidak hanya menekankan peristiwa nasional, tetapi juga mengintegrasikan sejarah lokal agar peserta didik merasa lebih dekat dengan realitas lingkungannya.
Relevansi pertama adalah aspek kedekatan emosional. Dengan mempelajari perang gerilya di Dampit, peserta didik akan merasa lebih terhubung karena peristiwa tersebut terjadi di daerah mereka atau wilayah yang dekat dengan keseharian mereka. Hal ini sejalan dengan pandangan Kartodirdjo (1993: 220) yang menyatakan bahwa sejarah lokal dapat menjadi “jembatan penghubung” antara peristiwa besar nasional dengan pengalaman masyarakat sehari-hari.
Relevansi kedua adalah aspek nilai perjuangan. Perang gerilya di Dampit mengandung nilai keteguhan, keberanian, dan solidaritas yang dapat ditransfer kepada peserta didik. Nilai-nilai ini penting dalam membentuk karakter bangsa, terutama dalam menghadapi tantangan globalisasi. Zed (2004: 88) menekankan bahwa pembelajaran sejarah tidak hanya berfungsi untuk mengetahui fakta, tetapi juga untuk menanamkan nilai-nilai moral dan nasionalisme.
Selain itu, relevansi ketiga terletak pada aspek pendidikan kewarganegaraan. Melalui kisah gerilya di Dampit, siswa dapat memahami bagaimana rakyat biasa ikut berperan dalam mempertahankan republik. Hal ini memberikan inspirasi bahwa setiap individu, sekecil apapun perannya, memiliki arti penting bagi bangsa. Seperti dikatakan Anderson (1983: 167), revolusi Indonesia adalah hasil partisipasi “ordinary people” yang kemudian membentuk imajinasi kolektif sebagai bangsa.
Relevansi keempat berkaitan dengan penguatan identitas lokal. Dengan menjadikan perang gerilya di Dampit sebagai bagian dari pembelajaran, identitas daerah tidak hilang dalam arus homogenisasi sejarah nasional. Identitas lokal yang kuat justru akan memperkuat identitas nasional. Hal ini sejalan dengan pendapat Taufik Abdullah (1996: 34) bahwa sejarah lokal dapat berfungsi sebagai “entry point” dalam memahami sejarah bangsa secara lebih komprehensif.
Relevansi kelima adalah dari aspek metodologi pembelajaran. Guru sejarah dapat memanfaatkan sumber-sumber lokal, seperti wawancara dengan saksi sejarah, kunjungan ke situs perjuangan, atau studi arsip daerah untuk memperkaya pengalaman belajar siswa. Hal ini sesuai dengan pendekatan kontekstual (contextual teaching and learning) yang dianjurkan dalam Kurikulum Merdeka, di mana pembelajaran dikaitkan langsung dengan lingkungan siswa (Kemendikbud, 2022).
Dengan demikian, memasukkan perang gerilya di Dampit dalam pembelajaran sejarah lokal tidak hanya mengajarkan peristiwa masa lalu, tetapi juga membentuk kesadaran sejarah (historical awareness) pada peserta didik. Kesadaran sejarah ini akan menumbuhkan rasa cinta tanah air, kepedulian terhadap masyarakat sekitar, serta tanggung jawab untuk menjaga kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para leluhur.
Secara keseluruhan, relevansi perang gerilya di Dampit dalam pembelajaran sejarah lokal di sekolah terletak pada kemampuannya menumbuhkan kedekatan emosional, menanamkan nilai perjuangan, memperkuat identitas lokal, serta memperkaya metode pembelajaran yang kontekstual. Dengan mengintegrasikan sejarah lokal, pembelajaran sejarah tidak hanya menjadi hafalan peristiwa, tetapi juga media pembentukan karakter generasi muda.
Kesimpulan
Perang gerilya di Dampit pada masa Agresi Militer Belanda II merupakan bagian penting dari dinamika perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Dari pembahasan yang pertama, dapat disimpulkan bahwa latar belakang perang gerilya ini berakar pada strategi Belanda yang ingin menguasai wilayah Malang Selatan sebagai jalur penghubung strategis, sementara rakyat dan pejuang di Dampit menolak dominasi kolonial dengan perlawanan bersenjata yang fleksibel dan menyatu dengan kondisi alam.
Kedua menunjukkan bahwa tokoh-tokoh lokal dan pasukan gerilya memiliki peran yang sangat strategis. Para tokoh militer dan sipil, baik dari TNI maupun laskar rakyat, bukan hanya memimpin perlawanan secara fisik, tetapi juga menjadi penggerak moral dan simbol perlawanan rakyat. Peran mereka menegaskan pentingnya kepemimpinan kolektif dalam perjuangan lokal.
Ketiga menegaskan bahwa strategi dan taktik gerilya di Dampit disesuaikan dengan kondisi geografis yang dikelilingi hutan dan perbukitan. Taktik hit-and-run, penyergapan, sabotase jalur logistik Belanda, serta pemanfaatan dukungan rakyat menjadi ciri khas perlawanan. Hal ini membuktikan bahwa kekuatan militer tidak selalu ditentukan oleh persenjataan modern, melainkan juga oleh strategi, solidaritas, dan pengetahuan medan.
Keempat menunjukkan dampak perang gerilya terhadap masyarakat Dampit. Secara sosial, rakyat mengalami penderitaan akibat pengungsian dan kekerasan, tetapi sekaligus memperkuat solidaritas antarkomunitas. Secara politik, perjuangan ini mempertegas posisi rakyat Dampit sebagai bagian dari perjuangan nasional mempertahankan kedaulatan. Secara budaya, lahir narasi-narasi heroik yang hingga kini menjadi identitas lokal.
Kelima memperlihatkan bahwa perang gerilya di Dampit memiliki relevansi besar dengan pembelajaran sejarah lokal. Peristiwa ini dapat dijadikan sumber belajar kontekstual untuk menanamkan nilai patriotisme, identitas daerah, dan karakter bangsa. Pengintegrasian kisah lokal ke dalam pendidikan sejarah membuat siswa lebih mudah memahami bahwa perjuangan tidak hanya terjadi di tingkat nasional, tetapi juga di lingkungan sekitar mereka.
Secara keseluruhan, perang gerilya di Dampit adalah cermin keteguhan rakyat dalam menghadapi kolonialisme, yang relevan untuk diwariskan kepada generasi muda. Peristiwa ini menegaskan bahwa sejarah lokal tidak boleh terpinggirkan, melainkan harus menjadi bagian integral dari historiografi nasional dan pembelajaran sejarah di sekolah.
Saran
1. Untuk Generasi Muda (Peserta didik)
Generasi muda diharapkan tidak hanya mengenang perjuangan di buku teks, tetapi juga aktif menggali sejarah lokal di lingkungannya. Melalui kunjungan ke situs perjuangan, wawancara dengan saksi sejarah, dan literasi sejarah, generasi muda dapat lebih memahami makna kemerdekaan serta meneladani nilai keberanian dan solidaritas para pejuang.
2. Untuk Guru Sejarah
Guru perlu mengintegrasikan peristiwa lokal, seperti perang gerilya di Dampit, dalam pembelajaran sejarah. Pendekatan kontekstual melalui studi lapangan, pemanfaatan arsip lokal, dan narasi tokoh masyarakat akan membuat pembelajaran lebih bermakna, dekat dengan siswa, dan sekaligus menanamkan karakter kebangsaan.
3. Untuk Masyarakat
Masyarakat diharapkan ikut berperan dalam melestarikan sejarah lokal dengan menjaga situs perjuangan, mendokumentasikan kisah-kisah veteran, serta mentransmisikan nilai perjuangan melalui kegiatan budaya, tradisi, dan peringatan hari-hari bersejarah. Dengan demikian, sejarah lokal tidak sekadar menjadi kenangan, tetapi juga menjadi identitas kolektif.
4. Untuk Pemerintah
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, sebaiknya lebih memberi perhatian pada sejarah lokal melalui program pelestarian cagar budaya, penulisan sejarah daerah, serta penyediaan fasilitas pendidikan dan museum perjuangan. Dukungan regulasi dan anggaran akan memperkuat upaya menghidupkan kembali nilai perjuangan rakyat Dampit agar tetap relevan bagi generasi kini dan mendatang.
Daftar Rujukan
Abdullah, T. (1996). Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Anderson, B. (1983). Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944–1946. Ithaca: Cornell University Press.
Anderson, B. R. (2018). Revolusi Pemuda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944–1946. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Arsip Nasional Republik Indonesia. (1950). Laporan Perjuangan Gerilya Jawa Timur. Jakarta: ANRI.
Ismaun. (2005). Pengantar Sejarah Pendidikan. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI.
Kartodirdjo, S. (1993). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.
Ngalam.id. (2017). Aksi Gerilya PUS 18 di Kota Dampit. Diakses dari: https://ngalam.id/read/4274/aksi-gerilya-pus-18-di-kota-dampit
Ngalam.id. (2017). Perjuangan Pasukan Gerilya Istimewa (PGI) di Malang. Diakses dari: https://ngalam.id/read/4179/perjuangan-pasukan-gerilya-istimewa-pgi-di-malang
Hermawan, B. (2018). Perlawanan Rakyat Malang Selatan pada Masa Revolusi Fisik 1945–1949. Malang: UMM Press.
Kahin, G. M. (1980). Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.
Kartodirdjo, S. (1993). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.
Kemendikbud. (2022). Kurikulum Merdeka: Panduan Implementasi. Jakarta: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Notosusanto, N. (1979). Naskah Sumber Sejarah Militer Indonesia. Jakarta: Pusat Sejarah ABRI.
Ricklefs, M. C. (2001). Sejarah Indonesia Modern 1200–2000. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sardiman, A. M. (2012). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers.
Sardiman. (2012). Pembelajaran Sejarah dan Nilai Karakter. Yogyakarta: Ombak.
Soeara Repoeblik. (1948). Kumpulan Artikel Perjuangan Jawa Timur. Yogyakarta: Penerbit Repoeblik.
Suhartono, I. (1995). Malang dalam Revolusi 1945–1950. Malang: Yayasan Sejarah Malang Raya.
Zed, M. (2004). Metodologi Sejarah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Lampiran
Gambar 1: Pimpinan Divisi, para Komandan Brigade dan Batalyon se-Jawa TImur di Batu (1950)
Gambar 2: Pasukan Untung Suropati 18 (PUS 18) yang tak terlupakan (1949)