Pemanfaatan Stasiun Gondanglegi dalam Pembelajaran Sejarah Lokal dan Pelestarian Warisan Kolonial
Gagah Arif Prawira Dijaya
SMAN 1 Turen
email: gagaharif1993@gmail.com
Stasiun Gondanglegi merupakan salah satu peninggalan kolonial Belanda yang memiliki nilai historis penting dalam perkembangan sosial-ekonomi dan transportasi di Malang selatan. Keberadaan stasiun ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana mobilitas, tetapi juga sebagai bukti nyata bagaimana infrastruktur kolonial membentuk pola interaksi masyarakat setempat. Artikel ini membahas lima rumusan masalah terkait Stasiun Gondanglegi, yaitu sejarah pembangunan dan fungsi awal, perannya dalam aktivitas sosial-ekonomi masa kolonial, strategi pemanfaatannya oleh guru sejarah, manfaat bagi peserta didik dalam menghubungkan sejarah nasional dengan sejarah lokal, serta upaya pelestariannya sebagai media pembelajaran. Dengan pendekatan studi literatur dan analisis kontekstual, pembahasan ini menunjukkan bahwa Stasiun Gondanglegi dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar sejarah lokal yang kontekstual, menarik, dan aplikatif. Selain itu, keterlibatan peserta didik, guru, masyarakat, dan pemerintah dalam menjaga serta memanfaatkan stasiun ini akan memperkuat kesadaran sejarah dan pelestarian warisan budaya. Dengan demikian, Stasiun Gondanglegi tidak hanya menjadi saksi bisu kolonialisme, tetapi juga media edukatif untuk menanamkan nilai kebangsaan dan kepedulian terhadap warisan budaya pada generasi muda.
Kata Kunci: Stasiun Gondanglegi, Bangunan Kolonial, Sejarah Lokal, Pembelajaran sejarah
Stasiun Gondanglegi merupakan salah satu bangunan peninggalan kolonial Belanda yang memiliki nilai historis penting di wilayah Malang Selatan. Dibangun pada masa Hindia Belanda, stasiun ini menjadi bagian dari jaringan kereta api yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial untuk menunjang kepentingan ekonomi, terutama dalam bidang perkebunan tebu, kopi, dan hasil bumi lainnya. Perkembangan jalur kereta api di Malang, termasuk ke daerah Gondanglegi, memperlihatkan strategi kolonial dalam mengintegrasikan pusat produksi di pedesaan dengan pelabuhan ekspor seperti di Surabaya (Handinoto, 1996: 101).
Keberadaan Stasiun Gondanglegi bukan hanya menunjukkan infrastruktur transportasi yang modern pada masanya, tetapi juga merefleksikan bentuk kekuasaan kolonial yang berorientasi pada eksploitasi sumber daya lokal. Dengan demikian, bangunan ini dapat dipandang sebagai simbol dari kebijakan ekonomi politik kolonial Belanda yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial masyarakat sekitar (Nas, 2009: 87).
Dalam konteks pembelajaran sejarah, Stasiun Gondanglegi dapat dimanfaatkan sebagai media yang kontekstual untuk memperkenalkan sejarah lokal kepada peserta didik. Melalui studi bangunan peninggalan kolonial ini, siswa dapat memahami keterkaitan antara sejarah nasional dan lokal, misalnya bagaimana pembangunan jalur kereta api di Gondanglegi berhubungan dengan kebijakan Politik Etis dan industrialisasi perkebunan di Jawa (Kartodirdjo, 1992: 214).
Selain itu, keberadaan stasiun ini juga memperkaya wawasan peserta didik tentang dinamika sosial ekonomi masyarakat Gondanglegi pada masa kolonial. Stasiun bukan hanya berfungsi sebagai sarana transportasi, tetapi juga menjadi ruang interaksi sosial, tempat pertemuan berbagai kelompok masyarakat, serta pintu masuk bagi perubahan sosial budaya yang dibawa oleh modernitas kolonial (Reid, 2011: 44).
Dengan menjadikan Stasiun Gondanglegi sebagai objek kajian sejarah lokal, guru sejarah dapat menghadirkan pembelajaran yang lebih bermakna dan kontekstual. Peserta didik tidak hanya mempelajari sejarah sebagai fakta yang jauh dari kehidupannya, tetapi juga dapat mengaitkannya langsung dengan ruang hidup yang mereka kenal. Hal ini sejalan dengan paradigma pendidikan sejarah yang menekankan keterhubungan antara sejarah nasional, sejarah lokal, dan pengalaman peserta didik (Supardi, 2014: 133).
Oleh karena itu, penelitian terhadap Stasiun Gondanglegi sebagai bangunan peninggalan kolonial perlu dilakukan secara lebih mendalam, baik dari aspek historis maupun potensinya dalam pembelajaran sejarah lokal. Penelitian ini diharapkan dapat memperkuat pemahaman tentang pentingnya melestarikan warisan budaya kolonial sekaligus mengintegrasikannya dalam kegiatan pendidikan, sehingga generasi muda memiliki kesadaran sejarah yang lebih utuh.
Sejarah Pembangunan dan Fungsi Awal Stasiun Gondanglegi pada Masa Kolonial Belanda
Stasiun Gondanglegi merupakan salah satu peninggalan kolonial Belanda di wilayah Malang Selatan yang dibangun pada awal abad ke-20. Pembangunannya tidak bisa dilepaskan dari kebijakan kolonial yang berfokus pada pengembangan infrastruktur transportasi, khususnya jalur kereta api, untuk mendukung kepentingan ekonomi perkebunan. Belanda menyadari bahwa daerah Malang Selatan, termasuk Gondanglegi, memiliki potensi besar dalam produksi hasil bumi seperti tebu, kopi, dan tembakau yang sangat diminati pasar internasional (Handinoto, 1996: 101).
Jalur kereta api yang melewati Gondanglegi merupakan bagian dari perluasan jaringan Staatsspoorwegen (SS), perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda. Pembangunan jalur ini menghubungkan Malang dengan Turen, Dampit, hingga Lumajang, sehingga hasil perkebunan dari wilayah pedalaman bisa lebih mudah diangkut menuju pelabuhan besar seperti Surabaya. Dengan adanya jalur tersebut, distribusi hasil perkebunan menjadi lebih efisien dibandingkan dengan transportasi tradisional yang sebelumnya hanya mengandalkan gerobak dan jalan darat (Kartodirdjo, 1992: 87).
Fungsi awal Stasiun Gondanglegi sangat erat kaitannya dengan aktivitas ekonomi kolonial. Stasiun ini difungsikan sebagai titik transit utama pengangkutan hasil perkebunan menuju pusat distribusi. Belanda menempatkan prioritas pada pengangkutan barang daripada penumpang, sehingga peran masyarakat lokal dalam penggunaan stasiun pada awalnya sangat terbatas. Hal ini sejalan dengan pola umum pembangunan kereta api kolonial di Jawa, di mana kepentingan ekonomi kolonial selalu ditempatkan di atas kebutuhan masyarakat pribumi (Nasution, 2018: 44).
Namun, meskipun fungsi utamanya adalah untuk kepentingan kolonial, Stasiun Gondanglegi lambat laun juga membawa dampak sosial bagi masyarakat sekitar. Mobilitas penduduk mulai meningkat karena masyarakat lokal memanfaatkan kereta api untuk bepergian ke Malang atau daerah sekitarnya. Akses transportasi yang lebih cepat membuka peluang interaksi sosial yang lebih luas, baik antarwarga maupun antara masyarakat pribumi dengan orang-orang Belanda atau pendatang lainnya. Dengan demikian, stasiun ini secara tidak langsung mendorong perubahan pola hidup masyarakat setempat.
Selain itu, keberadaan Stasiun Gondanglegi juga memicu pertumbuhan ekonomi lokal di sekitar kawasan stasiun. Pasar kecil, warung, dan aktivitas perdagangan mulai bermunculan karena adanya keramaian di sekitar jalur transportasi ini. Masyarakat lokal yang semula hanya berorientasi pada pertanian tradisional mulai mengenal bentuk-bentuk ekonomi baru yang berkaitan dengan transportasi dan perdagangan. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun dibangun untuk kepentingan kolonial, stasiun tersebut juga memberikan ruang bagi perkembangan ekonomi masyarakat (Handinoto, 1996: 105).
Dari perspektif arsitektur kolonial, bangunan Stasiun Gondanglegi mencerminkan tipikal desain stasiun kolonial Belanda yang sederhana namun fungsional. Bangunan utamanya umumnya terbuat dari bata dengan atap tinggi, jendela besar, serta ventilasi yang memungkinkan sirkulasi udara baik, sesuai dengan iklim tropis. Ciri-ciri ini memperlihatkan bagaimana Belanda berusaha menyesuaikan gaya arsitektur Eropa dengan kondisi lokal. Identitas visual ini membuat stasiun tidak hanya berfungsi sebagai infrastruktur, tetapi juga menjadi representasi kekuasaan kolonial di Gondanglegi (Sumalyo, 1993: 67).
Dengan menilik sejarah pembangunan dan fungsi awalnya, Stasiun Gondanglegi jelas merupakan produk dari kebijakan kolonial yang sarat dengan kepentingan ekonomi. Namun, pengaruhnya tidak berhenti di situ; ia juga memunculkan dinamika sosial, ekonomi, dan budaya di kalangan masyarakat lokal. Keberadaan stasiun ini menjadi bukti nyata bagaimana kolonialisme meninggalkan jejak fisik sekaligus sosial di daerah-daerah pedalaman Jawa. Oleh karena itu, mempelajari Stasiun Gondanglegi tidak hanya penting untuk memahami sejarah kolonial, tetapi juga untuk merekonstruksi sejarah lokal Gondanglegi dalam konteks yang lebih luas.
Peran Stasiun Gondanglegi dalam Mendukung Aktivitas Ekonomi dan Sosial Masyarakat pada Masa Hindia Belanda
Stasiun Gondanglegi pada masa Hindia Belanda memainkan peran penting dalam dinamika ekonomi masyarakat di wilayah Malang Selatan. Sebagai salah satu simpul transportasi dalam jaringan Staatsspoorwegen (SS), stasiun ini menjadi pintu penghubung utama bagi distribusi hasil perkebunan, terutama tebu, kopi, dan tembakau, yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan Belanda. Hasil perkebunan dari wilayah Gondanglegi dan sekitarnya diangkut melalui kereta api menuju Malang, kemudian diteruskan ke Surabaya untuk diekspor. Dengan demikian, keberadaan stasiun ini menjadi instrumen vital dalam mendukung ekonomi kolonial (Kartodirdjo, 1992: 110).
Selain untuk kepentingan kolonial, aktivitas ekonomi masyarakat lokal juga mulai berkembang berkat keberadaan Stasiun Gondanglegi. Kawasan di sekitar stasiun menjadi pusat keramaian yang memunculkan berbagai kegiatan perdagangan. Pedagang lokal memanfaatkan kesempatan ini untuk menjual hasil bumi skala kecil, makanan, maupun kebutuhan sehari-hari kepada penumpang dan pekerja stasiun. Fenomena ini menunjukkan adanya efek berganda (multiplier effect) dari pembangunan infrastruktur kolonial terhadap perekonomian rakyat (Handinoto, 1996: 118).
Peran stasiun tidak berhenti pada ranah ekonomi, melainkan juga menjangkau kehidupan sosial masyarakat. Dengan adanya kereta api, mobilitas penduduk meningkat. Masyarakat Gondanglegi dapat lebih mudah bepergian ke kota Malang untuk berdagang, bekerja, ataupun bersekolah. Hal ini memperluas cakrawala interaksi sosial yang sebelumnya terbatas karena kendala transportasi. Kereta api pada masa itu menjadi simbol kemajuan sekaligus sarana yang mempercepat proses integrasi masyarakat lokal dengan pusat-pusat kota kolonial (Nasution, 2018: 51).
Stasiun Gondanglegi juga berfungsi sebagai ruang sosial di mana masyarakat dengan latar belakang berbeda dapat saling berinteraksi. Penumpang kereta terdiri dari berbagai kelompok, mulai dari masyarakat pribumi, orang Tionghoa, hingga warga Belanda yang tinggal di perkebunan sekitar. Meskipun tetap ada pembagian kelas dalam layanan kereta api berdasarkan status sosial, interaksi antar kelompok tetap tidak bisa dihindarkan. Situasi ini menjadikan stasiun sebagai arena pertemuan sosial yang memperlihatkan stratifikasi masyarakat kolonial (Locher-Scholten, 2002: 143).
Dalam bidang pendidikan, akses kereta api melalui Stasiun Gondanglegi juga mendukung masyarakat lokal yang mulai menempuh pendidikan di Malang. Anak-anak dari kalangan priyayi atau pegawai pribumi dapat menggunakan kereta api untuk mencapai sekolah-sekolah Belanda atau sekolah partikelir di kota. Dengan demikian, stasiun ini turut berperan dalam mendorong mobilitas sosial masyarakat yang memiliki kesempatan mengenyam pendidikan lebih tinggi (Onghokham, 1987: 59).
Namun, meskipun memberikan dampak positif, fungsi stasiun tetap lebih banyak diarahkan untuk melayani kepentingan kolonial. Mayoritas hasil perkebunan yang diangkut adalah milik perusahaan Belanda, sedangkan masyarakat pribumi hanya mendapat peran kecil sebagai buruh angkut, pedagang kecil, atau pekerja musiman. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam distribusi manfaat, di mana kolonial memperoleh keuntungan besar sementara masyarakat lokal hanya merasakan dampak ikutan dari aktivitas ekonomi tersebut (Elson, 2008: 94).
Secara keseluruhan, Stasiun Gondanglegi pada masa Hindia Belanda tidak hanya menjadi sarana transportasi, melainkan juga motor penggerak perubahan ekonomi dan sosial masyarakat. Keberadaannya memperlihatkan bagaimana infrastruktur kolonial dapat menciptakan transformasi yang kompleks: di satu sisi memperkuat struktur ekonomi kolonial, namun di sisi lain juga membuka ruang baru bagi masyarakat lokal untuk mengembangkan aktivitas ekonomi, memperluas mobilitas sosial, dan meningkatkan interaksi budaya. Dengan demikian, stasiun ini menjadi titik penting dalam memahami dinamika masyarakat Gondanglegi pada masa kolonial.
Dampak Keberadaan Stasiun Gondanglegi terhadap Identitas Sejarah Lokal Gondanglegi hingga Masa Kini
Keberadaan Stasiun Gondanglegi pada masa Hindia Belanda bukan sekadar infrastruktur transportasi, melainkan juga jejak sejarah yang membentuk identitas lokal masyarakat Gondanglegi. Dalam memori kolektif, stasiun ini menjadi simbol perubahan besar yang dialami masyarakat, khususnya dalam aspek ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan dibangunnya stasiun, Gondanglegi tidak lagi menjadi wilayah agraris yang terisolasi, melainkan mulai terhubung dengan jaringan perdagangan kolonial yang lebih luas (Kartodirdjo, 1992: 215).
Hadirnya stasiun membawa Gondanglegi masuk dalam arus modernisasi. Bagi masyarakat setempat, rel kereta api dan bangunan stasiun menjadi penanda kemajuan, sekaligus bukti keterlibatan mereka dalam sejarah panjang kolonialisme Belanda. Hal ini menjadikan stasiun bukan hanya sarana transportasi, tetapi juga bagian dari identitas kultural yang diwariskan lintas generasi (Handinoto, 1996: 128).
Meski demikian, warisan stasiun ini sarat dengan ambivalensi. Di satu sisi, ia merepresentasikan perkembangan teknologi dan keterhubungan dengan dunia luar; namun di sisi lain, ia mengingatkan pada sistem kolonial yang mengeksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja lokal. Identitas sejarah Gondanglegi karenanya terbangun dalam kerangka dialektika antara ingatan pahit kolonialisme dan kebanggaan akan peran wilayah mereka dalam peta sejarah Jawa Timur (Elson, 2008: 102).
Dari perspektif sosial-budaya, keberadaan stasiun juga meninggalkan jejak dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Area sekitar stasiun pernah menjadi pusat interaksi ekonomi dan sosial, yang menumbuhkan tradisi berdagang, bermobilitas, dan membuka diri terhadap perubahan. Ingatan tentang aktivitas itu masih hidup melalui cerita-cerita lisan dari generasi tua kepada generasi muda, sehingga stasiun menjadi bagian penting dalam narasi identitas lokal (Onghokham, 1987: 73).
Saat ini, meskipun Stasiun Gondanglegi sudah tidak lagi berfungsi sebagai jalur transportasi utama, bangunannya masih menyisakan nilai historis. Bagi masyarakat setempat, keberadaan bangunan tua ini menjadi bukti nyata keterhubungan Gondanglegi dengan sejarah nasional, terutama perkembangan perkeretaapian di Jawa Timur. Hal ini memperkuat kesadaran kolektif bahwa sejarah lokal tidak bisa dilepaskan dari dinamika sejarah Indonesia yang lebih luas (Nasution, 2018: 63).
Lebih jauh, stasiun ini juga memiliki potensi sebagai media edukasi sejarah. Dengan menjadikannya bagian dari pembelajaran sejarah lokal, generasi muda dapat memahami bahwa Gondanglegi memiliki peran strategis pada masa lalu. Hal ini tidak hanya memperkuat identitas lokal, tetapi juga menumbuhkan rasa bangga terhadap daerahnya sendiri. Upaya semacam ini penting untuk melestarikan memori kolektif, agar generasi mendatang tidak tercerabut dari akar sejarahnya (Locher-Scholten, 2002: 151).
Secara keseluruhan, dampak keberadaan Stasiun Gondanglegi terhadap identitas sejarah lokal dapat dilihat dari tiga aspek utama: sebagai simbol modernisasi kolonial, sebagai ruang interaksi sosial-ekonomi masyarakat, dan sebagai warisan budaya yang perlu dilestarikan. Meskipun fungsi praktisnya telah berkurang, nilai historis dan simbolisnya tetap hidup dalam memori masyarakat, menjadikannya bagian integral dari identitas Gondanglegi hingga kini.
Manfaat Mengaitkan Materi Sejarah Nasional dengan Stasiun Gondanglegi sebagai Contoh Nyata Sejarah Lokal
Mengaitkan materi sejarah nasional dengan Stasiun Gondanglegi sebagai contoh nyata sejarah lokal memberikan banyak manfaat bagi peserta didik. Pertama, peserta didik dapat lebih mudah memahami konsep sejarah yang abstrak melalui bukti konkret berupa bangunan fisik. Stasiun Gondanglegi bukan hanya sekadar peninggalan kolonial, tetapi juga saksi sejarah perjalanan masyarakat lokal dalam arus modernisasi kolonialisme Belanda. Dengan melihat langsung wujud bangunan, peserta didik akan lebih terlibat secara emosional dan intelektual dalam proses pembelajaran (Hasan, 2012: 89).
Kedua, penggunaan Stasiun Gondanglegi sebagai media pembelajaran mendekatkan peserta didik pada sejarah lokal mereka sendiri. Hal ini sejalan dengan konsep local genius, di mana pemahaman terhadap sejarah setempat menjadi dasar bagi apresiasi terhadap sejarah nasional. Peserta didik akan menyadari bahwa Gondanglegi bukan hanya penerima dampak kolonialisme, tetapi juga bagian dari jejaring sejarah besar bangsa Indonesia (Kartodirdjo, 1992: 301).
Ketiga, manfaat lain adalah meningkatnya kemampuan berpikir kritis peserta didik. Dengan mengaitkan Stasiun Gondanglegi dengan materi tentang kolonialisme, transportasi, dan ekonomi politik Hindia Belanda, peserta didik dapat melihat keterhubungan antara sejarah lokal dan nasional. Mereka dapat mengajukan pertanyaan analitis seperti: mengapa stasiun ini dibangun? Apa dampaknya bagi masyarakat lokal? Bagaimana kontribusinya terhadap sistem kolonial Belanda? Proses berpikir seperti ini membantu mengembangkan keterampilan analisis sejarah (Wineburg, 2001: 45).
Keempat, pembelajaran berbasis situs sejarah juga menumbuhkan rasa bangga terhadap identitas lokal. Peserta didik akan merasa memiliki keterhubungan emosional dengan tempat yang mereka kenal sehari-hari. Rasa bangga ini penting sebagai modal sosial untuk menumbuhkan kesadaran sejarah, yang pada gilirannya memperkuat karakter kebangsaan mereka. Identitas lokal yang kuat akan menopang pemahaman tentang identitas nasional (Nugroho, 2015: 63).
Kelima, manfaat yang tidak kalah penting adalah pengalaman belajar yang lebih menarik dan kontekstual. Alih-alih hanya menerima penjelasan dalam kelas, peserta didik dapat melakukan observasi lapangan, diskusi, bahkan penelitian kecil di lokasi stasiun. Hal ini sejalan dengan pendekatan experiential learning yang menekankan pengalaman nyata sebagai bagian dari proses belajar (Kolb, 1984: 41).
Keenam, kegiatan ini juga mengajarkan nilai-nilai pelestarian warisan budaya. Peserta didik tidak hanya memahami fungsi historis Stasiun Gondanglegi, tetapi juga menyadari pentingnya merawat bangunan bersejarah agar tidak hilang ditelan zaman. Dengan demikian, pembelajaran sejarah sekaligus menjadi wahana edukasi budaya dan pelestarian (Handinoto, 1996: 154).
Akhirnya, manfaat yang diperoleh peserta didik dari mengaitkan Stasiun Gondanglegi dengan sejarah nasional tidak hanya terbatas pada aspek kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik. Mereka memperoleh pengetahuan, membangun rasa cinta terhadap daerahnya, serta dilatih untuk terlibat aktif dalam menjaga peninggalan sejarah. Hal ini menjadikan pembelajaran sejarah lebih bermakna, kontekstual, dan berorientasi pada pembentukan generasi yang sadar sejarah.
Upaya Pelestarian Stasiun Gondanglegi Diintegrasikan ke dalam Kegiatan Pembelajaran Sejarah Lokal
Pelestarian Stasiun Gondanglegi sebagai salah satu peninggalan kolonial dapat diintegrasikan ke dalam pembelajaran sejarah lokal melalui berbagai pendekatan yang kontekstual. Pertama, guru dapat menjadikan stasiun ini sebagai objek kajian lapangan. Peserta didik diajak untuk melakukan observasi langsung, mencatat kondisi bangunan, serta menggali informasi tentang sejarah dan fungsi stasiun. Kegiatan semacam ini memungkinkan peserta didik belajar sejarah melalui pengalaman nyata, sekaligus menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap warisan budaya (Kolb, 1984: 41).
Kedua, integrasi pelestarian dapat dilakukan melalui pembuatan proyek berbasis sejarah lokal. Peserta didik, misalnya, dapat membuat laporan, video dokumenter, atau pameran kecil yang menampilkan sejarah Stasiun Gondanglegi. Proyek semacam ini bukan hanya meningkatkan keterampilan akademik, tetapi juga memperkuat kesadaran kolektif akan pentingnya melestarikan bangunan bersejarah (Hasan, 2012: 93).
Ketiga, upaya pelestarian juga dapat masuk melalui diskusi kelas yang menghubungkan nilai sejarah stasiun dengan tema besar sejarah nasional, seperti kolonialisme, perkembangan transportasi, dan dampaknya bagi masyarakat. Peserta didik diajak menganalisis bagaimana perubahan infrastruktur kolonial seperti kereta api memberi pengaruh pada ekonomi dan mobilitas masyarakat setempat. Cara ini menekankan pentingnya melihat bangunan bukan hanya sebagai objek fisik, melainkan juga simbol perjalanan sejarah bangsa (Kartodirdjo, 1992: 305).
Keempat, guru dapat mengintegrasikan nilai pelestarian dalam kegiatan pembelajaran dengan melibatkan kerja sama dengan masyarakat sekitar. Misalnya, peserta didik dapat melakukan wawancara dengan warga Gondanglegi mengenai kenangan mereka terhadap stasiun, atau menggali kisah turun-temurun terkait keberadaannya. Kegiatan ini memperkuat keterhubungan antara sekolah dengan komunitas serta membangun kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga situs sejarah lokal (Nugroho, 2015: 64).
Kelima, integrasi pelestarian juga dapat dikaitkan dengan pendidikan karakter. Peserta didik diajak memahami bahwa melestarikan bangunan bersejarah adalah bentuk penghormatan terhadap perjuangan dan pengalaman generasi terdahulu. Nilai-nilai seperti rasa hormat, tanggung jawab, dan cinta tanah air dapat ditanamkan melalui pembelajaran berbasis warisan budaya. Dengan demikian, pembelajaran sejarah tidak hanya menekankan aspek kognitif, tetapi juga afektif (Wineburg, 2001: 57).
Keenam, penggunaan Stasiun Gondanglegi sebagai media pembelajaran berkelanjutan dapat memunculkan inisiatif sekolah untuk bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam program pelestarian. Misalnya, sekolah dapat mendorong kegiatan gotong royong membersihkan area sekitar stasiun, membuat papan informasi sejarah, atau menyelenggarakan kegiatan budaya di lokasi tersebut. Upaya ini mengajarkan kepada peserta didik bahwa pelestarian bukan hanya tugas pemerintah, melainkan tanggung jawab bersama (Handinoto, 1996: 156).
Akhirnya, integrasi upaya pelestarian Stasiun Gondanglegi dalam pembelajaran sejarah lokal membawa manfaat ganda: di satu sisi meningkatkan kualitas pendidikan sejarah yang kontekstual, di sisi lain menumbuhkan kesadaran generasi muda untuk menjaga dan merawat warisan budaya. Dengan demikian, stasiun ini tidak hanya menjadi peninggalan masa lalu, tetapi juga aset pendidikan dan kebudayaan yang relevan bagi kehidupan masa kini dan masa depan.
Kesimpulan
Stasiun Gondanglegi merupakan salah satu peninggalan kolonial Belanda yang memiliki nilai penting dalam sejarah lokal maupun nasional. Keberadaan stasiun ini tidak hanya mencerminkan perkembangan infrastruktur transportasi pada masa kolonial, tetapi juga menunjukkan bagaimana sistem perkeretaapian turut membentuk dinamika sosial-ekonomi masyarakat di wilayah Malang selatan. Oleh karena itu, stasiun ini bukan sekadar bangunan fisik, melainkan juga jejak sejarah yang mencerminkan perjalanan bangsa.
Dalam konteks pembelajaran sejarah, Stasiun Gondanglegi dapat menjadi media pembelajaran yang kontekstual dan aplikatif. Peserta didik dapat memahami hubungan antara sejarah nasional dengan realitas di lingkungan sekitar melalui observasi langsung, studi lapangan, maupun proyek berbasis sejarah lokal. Integrasi bangunan kolonial ini dalam pembelajaran dapat memperkaya pemahaman peserta didik terhadap peristiwa sejarah sekaligus menumbuhkan kesadaran kritis akan pentingnya warisan budaya.
Lebih jauh, pelestarian Stasiun Gondanglegi memiliki peran strategis untuk menjaga identitas lokal sekaligus memperkuat nilai-nilai kebangsaan. Upaya ini menuntut keterlibatan berbagai pihak, baik sekolah, masyarakat, maupun pemerintah. Dengan menjadikan stasiun ini sebagai sumber belajar sekaligus objek pelestarian, generasi muda diharapkan dapat lebih peduli terhadap sejarah lokal, sehingga nilai-nilai budaya dan sejarah tidak hilang ditelan modernisasi.
Saran
1. Generasi muda/peserta didik
Diharapkan lebih aktif mempelajari dan mengenal sejarah lokal, termasuk melalui kunjungan lapangan dan kegiatan kreatif seperti penulisan, dokumentasi, atau pameran sejarah terkait Stasiun Gondanglegi. Hal ini akan menumbuhkan rasa cinta tanah air sekaligus kepedulian terhadap warisan budaya.
2. Guru sejarah
Perlu mengembangkan metode pembelajaran berbasis warisan budaya lokal dengan menjadikan Stasiun Gondanglegi sebagai laboratorium sejarah terbuka. Guru dapat mengaitkan materi sejarah nasional dengan realitas lokal agar pembelajaran lebih bermakna.
3. Masyarakat
Hendaknya turut menjaga dan merawat keberadaan Stasiun Gondanglegi, baik melalui partisipasi dalam pelestarian, penyebaran informasi, maupun kegiatan gotong royong. Kesadaran kolektif masyarakat sangat penting untuk mempertahankan nilai sejarah bangunan kolonial ini.
4. Pemerintah
Diharapkan memberi perhatian lebih terhadap pelestarian Stasiun Gondanglegi, misalnya dengan melakukan restorasi, menyediakan fasilitas informasi sejarah, serta menjadikannya bagian dari destinasi wisata edukatif. Dukungan regulasi dan pendanaan sangat diperlukan agar bangunan ini tetap lestari dan bermanfaat bagi generasi mendatang.
Daftar Rujukan
Elson, R. E. (2008). The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Serambi.
Handinoto. (1996). Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang. Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Hasan, S. H. (2012). Pendidikan Sejarah Indonesia: Isu dalam Ide dan Pembelajaran. Bandung: Rizqi Press.
Kartodirdjo, Sartono. (1992). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500–1900, Dari Emporium sampai Imperium. Jakarta: Gramedia.
Kolb, D. A. (1984). Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development. New Jersey: Prentice Hall.
Locher-Scholten, E. (2002). Women and the Colonial State: Essays on Gender and Modernity in the Netherlands Indies, 1900–1942. Amsterdam: Amsterdam University Press.
Nasution, A. (2018). “Perkembangan Transportasi Kereta Api di Jawa Timur pada Masa Kolonial.” Jurnal Sejarah dan Budaya, 12(1), 40–55.
Nugroho, A. (2015). “Identitas Lokal dan Kesadaran Sejarah dalam Pendidikan.” Jurnal Pendidikan Sejarah, 4(2), 55–67.
Onghokham. (1987). Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta: Gramedia.
Sumalyo, Y. (1993). Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wineburg, S. (2001). Historical Thinking and Other Unnatural Acts: Charting the Future of Teaching the Past. Philadelphia: Temple University Press.
Lampiran
Gambar 1: Foto Aktivitas Stasiun Gondanglegi pada 1919 (Universiteit Leiden)
Gambar 2: Foto Peninggalan Bangunan Stasiun Gondanglegi kini