[resensi]

Mengungkap Motif Film Laga Indonesia

(Dimuat di Jawa Pos, 21 Juli 2019)

Fenomena mengorbitnya aktor laga Indonesia di industri film Hollywood seperti Iko Uwais, Yayan Ruhiyan, dan Joe Taslim boleh jadi dianggap sebagai prestasi membanggakan. Namun, dalam konteks industri film laga khususnya di Indonesia, ada satu pertanyaan yang selalu muncul: bagaimana bisa genre film laga yang kerap mereproduksi adegan-adegan ‘kekerasan’ itu terus hidup dan bahkan semakin berkembang di masyarakat yang tidak henti berkampanye anti kekerasan? Pada aras itulah buku yang ditulis oleh seorang sarjana sastra yang ‘berselingkuh’ dengan studi film ini penting untuk disimak lebih lanjut.

Motif

Apabila film laga kerap dipandang sebagai tontonan yang sekadar memamerkan kepiawaian bela diri dan ‘kekerasan’, pandangan tersebut boleh jadi sama sekali berubah setelah menyimak kajian yang termaktub dalam buku ini. Kelindan antara sejarah, memori kolektif, ideologi, dan bahkan ‘moral’ ternyata bisa terpilin teramat kompleks dalam film laga, meski tidak selalu segamblang jurus-jurus bela diri dari para aktornya. Penulis buku ini melacak jejak-jejak narasi balas dendam sejak era Yunani, dalam narasi pewayangan, hingga di era kekinian yang ia sebut senantiasa merembesi film-film laga dunia, termasuk di Indonesia.


Paul berupaya menyajikan kajian yang komprehensif tentang film laga pra kemerdekaan hingga pasca Orde Baru. Namun, porsi kajian paling signifikan adalah film laga di masa Orde Baru. “Identitas film laga Indonesia,” ujar Paul “tampak begitu unik karena menggabungkan dua elemen dramaturgi yang berbeda...aksi duel senjata api dan ledakan bom terjadi bersama pertarungan silat dan penggunaan ilmu hitam (hal 22).”


Sebagai peneliti yang sedang menerapkan ‘ajian’ struktur naratif dan hermeneutika kritis, Paul terlihat teramat telaten dan jeli demi mengungkap narasi-narasi tersembunyi dalam film-film yang dikajinya. Jelinya penerapan analisis naratif itu tampak, misalnya, pada saat ia memformulasikan temuan pola naratif berupa motif-motif dalam 189 film yang dia kategorikan sebagai ‘film laga corak tradisional’. Yakni, motif kematian ayah, motif penaklukan atau aneksasi, motif perlawanan terhadap penguasa, motif penyelamatan, dan motif pertahanan diri. Seluruh motif-motif dalam film laga tersebut diasumsikan merupakan turunan dari narasi besar balas dendam yang memang bersifat lintas zaman dan lintas budaya. 


Terhadap temuan-temuan itu, Paul mengatakan film laga corak tradisional berupaya untuk menghadirkan tafsir yang ditinggalkan, diabaikan, atau bahkan ditutup-tutupi oleh narasi histori formal yang diputuskan pemerintah Orde Baru (hal.329). Kerja analisis yang sama, namun dengan temuan motif-motif yang berbeda juga dilakukan terhadap 134 film lain yang diklasifikasikan sebagai jenis ‘film laga corak modern’. Meski kategorisasi jenis film laga yang didasarkan semata pada latar cerita tersebut masih menyisakan celah untuk diskusi lebih lanjut, ketelatenan Paul dalam menganalisis total 463 film sangat layak diapresiasi.


Narasi Redemptif

Bergerak makin lincah, bagian lanjut buku ini menunjukkan penerapan ‘ajian’ hermeneutika-kritis. Ada upaya penafsiran narasi film dengan mengaitkannya pada diskursus modernitas, maskulinitas, kapitalisme, dan hegemoni, yang ditutup dengan perenungan tentang apa yang Paul sebut sebagai ‘narasi redemptif’. Meski bertalian dengan konsep-konsep filsafat yang ‘berat’ dan kontemplatif, Paul menyajikan hasil kajiannya dengan bahasa yang mengalir, jernih, sehingga mudah dipahami. Maka, jika salah satu pengertian hermeneutika adalah membuat yang ‘asing’ menjadi ‘dikenali’, buku ini cukup berhasil membuat kerja kritik film yang rumit, kompleks, dan mungkin asing bagi sebagian kalangan, menjadi bacaan yang mengasyikkan tanpa harus kehilangan nalar kritisnya.


Meski demikian, harus disebutkan pula ada bagian yang agak ‘mengganggu’ dalam buku ini yakni pada sub bagian yang dinamai ‘narasi-redemptif’. Dengan nada yang preskiptif alias menyarankan, Paul berujar, “Film-film laga Indonesia harus berani menghadirkan narasi redemptif (hal 523)”. Kecuali mendeskripsikannya sebagai bentuk katarsis berbentuk teks rekonsiliatif yang menawarkan gagasan pasifis dengan tujuan mengatasi narasi balas dendam, Paul tidak memberi penjelasan yang lebih mantap dan utuh. Maka, sulit untuk tidak menyebut ‘jurus pamungkas’ Paul di lembar-lembar terakhir pustakanya ini lebih menyerupai ceramah moral dan etika. “Kehadiran narasi redemptif dalam film laga,” tukasnya, “secara tidak langsung ingin menyangatkan bahwa film sebagai seni dapat hadir pula sebagai peristiwa jika film mampu menciptakan kepekaan manusiawi, yang memungkinkan kehidupan bersama dapat berjalan dengan baik dan harmonis, tanpa kekerasan. Tanpa sadisme.”


Realistiskah? Ah, barangkali Paul perlu lebih rutin menonton film komedi-romantis..

Antara "Film Politik" dan "Politik Film" di Indonesia

(Dimuat di Jawa Pos, 24 September 2017)

Fenomena pro dan kontra rencana pemutaran kembali film G30S/PKI di bulan september sesungguhnya menegaskan kembali peran film dalam relasinya dengan politik, sejarah, dan aparatur negara. Seperti terpapar dalam buku ini, di satu sisi, film diproduksi dalam suatu sistem yang dikontrol pihak tertentu; di saat sama, film memuat cerita-cerita yang ditujukan untuk ‘mengontrol’ persepsi penontonnya pada satu makna atau pesan tertentu. Permasalahannya, tidak mudah memahami atau menyadari bagaimana ‘politik-film’ dan ‘film-politik’ tersebut dibentuk dan dioperasikan pada kesadaran penonton.

Pada tahap inilah buku yang mendapat penghargaan dari Yayasan Adikarya Ikapi dan Ford Foundation saat terbit pertama kali tahun 1999 ini bisa menjadi pintu masuk memahami hal tersebut. 


Politik Representasi

Buku ini berangkat dari premis dasar bahwa posisi film sesungguhnya berada dalam situasi tarik ulur dengan ideologi kebudayaan yang melatarinya (hal.19), dan oleh karenanya ia tidak pernah steril atau otonom dari politik kepentingan. Tiga film yang menjadi objek kajian yakni Enam Djam di Jogja (1951), Janur Kuning (1979), dan Serangan Fajar (1981), dengan fokus pada relasi ‘sipil’ dan ‘militer’ di dalamnya. Pemilihan itu cukup menarik untuk bisa membandingkan dan mengetahui bagaimana militer direpresentasikan dalam film-film yang diproduksi di orde lama dan orde baru.


Budi Irawanto menyajikan konteks sejarah kelindan antara militer, politik, dan film di Indonesia dalam tiga bab dari total lima bab buku ini. Terdapat paparan tentang mula film masuk ke Batavia pada 1900an, terbentuknya perusahaan film milik pemerintah kolonial Belanda Algemeen Nederlandsch-Indisch Film (1930an) yang kelak diambilalih oleh Jepang dengan nama Nihon Eigasha, serta keterlibatan salah satu tokoh besar dalam perfilman Indonesia yakni Usmar Ismail, hingga ‘politik’ penulisan sejarah di era orde baru. Meski di tiga bab awal tampak deskriptif dan lebih mirip buku sejarah ketimbang buku kritik film, pada akhirnya Budi dengan jitu mengikat deskripsi itu sebagai konteks bagi analisisnya.


Pertama, perkembangan film di Indonesia terbukti tidak lepas dari aspek politik demi menjalankan fungsi propaganda dan sensor dari pemerintah, baik di masa kolonial Belanda, Jepang, Orde Lama, hingga Orde Baru. Kedua, film-film ‘sejarah’ atau ‘perjuangan’ yang muncul di dua era awal kemerdekaan sesungguhnya menggambarkan kontestasi antara ‘militer’ dan ‘sipil’. Budi mengatakan, “Dari sejumlah film yang bertutur tentang revolusi, tampak hampir seluruh pusat pencitraan adalah militer. Kelompok sipil nyaris tidak pernah menjadi pemeran yang penting. Setelah masa orde baru, peran militer dalam film yang mengambil setting masa perang kemerdekaan semakin menguat.”


Analisis terhadap tiga film yang terpapar di bab selanjutnya menguatkan asumsi tersebut. Dalam Enam Djam di Djogja, misalnya, diplomasi yang dilakukan oleh ‘sipil’ dihadirkan sebagai ‘penanda’ yang insignifikan dibandingkan dengan aksi ‘militer’. Budi mengutip dialog film tersebut, “Bahwa dengan serangan umum ini akan membacking wakil-wakil kita yang tengah omong-omong di Lake Success.” Tindakan ‘omong-omong’, ujar Budi, menunjukkan bahwa dalam film ini ‘diplomasi’ dimaknai secara peyoratif.


Temuan menarik dalam buku ini, di antaranya, betapapun peran ‘sipil’ dihadirkan jauh lebih kecil ketimbang kontribusi ‘militer’, terdapat perbedaan mendasar antara film sejarah yang diproduksi pada orde lama dan orde baru. Dalam Enam Djam di Djogja, film cenderung berbasis pada penghadiran tokoh-tokoh fiktif, perjuangan yang bersifat kolektif, dan menghindari penghadiran figur sentral. Sedangkan dalam Janur Kuning dan Serangan Fajar, yang terjadi adalah penghadiran tokoh-tokoh riil pelaku sejarah. Perjuangan memang tetap bersifat kolektif, namun terdapat mistifikasi figur sentral, dalam hal ini Soeharto. Maka, Budi sungguh percaya bahwa film-film sejarah khususnya, dan sinema Indonesia umumnya, telah menjadi medium ekstensi bagi kepentingan ideologi militer yang juga bertindak sebagai penentu konteks dan produksi teks (hal.217)


Meski demikian, pembaca kritis barangkali masih bisa menguji klaim-klaim penulis buku di atas. Pemahaman terhadap konsep ‘sipil’ dan ‘militer’, misalnya, secara implisit terkesan fixed hingga tampak esensialis. Bagaimana dengan film seperti Naga Bonar, misalnya, yang menghadirkan tokoh sentral seorang ‘sipil’ mantan pencopet ulung yang kemudian mendaku diri sebagai ‘jenderal’ saat memimpin gerilya. Film yang naskahnya ditulis oleh Asrul Sani dan diproduksi pada 1987 tersebut boleh jadi merupakan kritik dan parodi terhadap atribut-atribut militer yang dihadirkan secara jenaka, tepat di masa-masa ketika militer begitu hegemonik di Indonesia. Artinya, alih-alih fixed, konsep ‘sipil’ dan ‘militer’ boleh jadi begitu cair di masa-masa awal kemerdekaan; dan film sejarah tidak melulu meneruskan propaganda militer, melainkan dalam beberapa hal juga bisa memparodikannya.


Kontekstual

Dibanding dengam buku-buku lain yang membahas isu sejarah dan film, sebutlah seperti Kuasa dalam Sinema karya Krishna Sen, buku ini sangat menarik justru karena ia ditulis oleh orang Indonesia sendiri. Selain itu, dalam konteks makin bertumbuhnya industri film Indonesia di satu sisi, dan derasnya arus politik representasi jelang pilpres 2019 di sisi lain, kehadiran edisi kedua buku ini sangat tepat untuk memberi sudut pandang yang lebih cermat dalam menikmati media khususnya film.


Anak dalam Film-film Garin Nugroho

(Dimuat di Jawa Pos, 7 Mei 2017)


JUDUL       : Anak-anak dalam Layar Garin Nugroho: Dari Eksperimentasi Visual Hingga

 Kritik Terhadap Orde Baru

PENULIS    : IGAK Satrya Wibawa

PENERBIT : Dewan Kesenian Jawa Timur

CETAKAN : I, Desember, 2016

TEBAL       : 197 halaman

ISBN           : 978-602-74131-6-0

 

Meski dalam beberapa hal kerap diidentikkan dengan eksperimentasi sinematografi yang kelewat avant garde, Garin Nugroho ternyata sering menghadirkan tokoh anak dalam film-filmnya. Buku kritik film ini mengurai bagaimana tokoh-tokoh anak yang dihadirkan itu ternyata memiliki fungsi bukan sekadar elemen cerita, melainkan juga sebuah reaksi tertentu Garin terhadap konteks sosial dan budaya saat itu.

‘Film Anak’

Dalam sinema Indonesia atau bahkan dunia, sosok Garin Nugroho memang dikenal sebagai sutradara yang tidak segan melakukan eksperimen-eksperimen artistik. Dalam film Opera Jawa, misalnya, konvensi-konvensi sinematografi berpadu secara apik dengan simbolisme seni rupa, koreografi tari, dan juga teater. Dengan intensitas berbeda, film biopik Tjokro juga demikian. Namun, betapapun eksperimentalnya Garin, cerita-cerita dalam film tersebut sesungguhnya sangat kontekstual dalam arti mengisahkan hal-hal yang berakar dari latar sosial dan kultural sehari-hari. Selain kontekstual, seperti diurai secara sistematis dalam buku ini, pandangan kritis Garin merembesi hampir seluruh karyanya, yang beberapa di antaranya bergenre ‘film anak’.

Perlu digarisbawahi bahwa dalam buku ini ‘film anak’ tidak sekadar dipahami dalam konvensi klasik yakni berkisah tentang, dan tertuju pada, dunia anak-anak yang umumnya dipenuh nilai-nilai edukatif dan pedagogis secara verbal. Lebih dari itu, istilah ‘film anak’ didefinisikan sebagai suatu film di mana “..keberadaan anak-anak...mengkomunikasikan sudut pandang orang dewasa, atau secara khusus sutradaranya, mengenai suatu isu tertentu untuk tujuan yang beragam dalam suatu masyarakat (hal 8).” Tiga film Garin yang dijadikan kajian adalah Surat Untuk Bidadari (1993), Izinkan Aku Menciummu Sekali Saja (2002) dan Rindu Kami PadaMu (2004). Bagaimana Garin Nugroho menghadirkan ‘anak-anak’ dalam film-filmnya? Sejauh mana buku ini mampu mengelaborasi pemaknaan terhadap penghadiran anak-anak dalam film-film tersebut?

 

Multilayer

Sebagai kritisi film, Satrya cukup jelas dan lugas mendasarkan kajiannya pada studi auteur (pencipta) dan representasi. Auteurship mensyaratkan penelusuran biografi secara kritis seorang seniman, dalam hal ini sutradara. Di saat sama, representasi mensyaratkan kajian multilayer atau berlapis-lapis dan ulang-alik antara teks, co-text, dan konteks. Bukan pekerjaan mudah, memang, tetapi sangat menantang dan menjanjikan kajian yang cemerlang.

Penelusuran tentang proses kreatif dan rute auteurship Garin Nugroho dipaparkan dalam satu subbab bertajuk Representasi Anak-anak dalam Sinema Indonesia. Meski tidak terlalu terperinci, Satrya berhasil menunjukkan poin-poin kunci di antaranya gaya tutur Garin. “Ciri khas gaya Garin dalam membuat film,” ujar Satrya, “terdiri dari narasi berbasis dokumenter yang menggunakan aktor nonprofesional dan sering menjadikan aktor nonprofesional dan sering menjadikan anak-anak dan perempuan sebagai pusat narasi (hal 30).” Meski demikian, tidak berarti Garin ‘setia’ pada satu gaya tertentu, melainkan senantiasa menerobos konvensi-konvensi yang sudah ada dan kadang dengan cara radikal dalam hal artistik, namun tetap kontekstual dalam aspek isu. Satrya berpendapat film-film Garin mengartikulasikan interseksi antara isu-isu kontemporer di Indonesia seperti etnisitas, identitas nasional, marginalisasi, keberagaman, dan keberagamaan.

Mengetahui rute dan proses kreatif seorang seniman memang penting, tapi memahami konteks sosio-kultural yang melatari produksi juga tidak kalah penting. Demi memahami konsep dan intensi Garin memilih ‘anak-anak’ sebagai instrumen representasi, bagian selanjutnya dari buku ini mengungkap konstruksi sosial anak-anak Indonesia meliputi keluarga, sekolah, dan media. Sebagai generasi sutradara yang berproses sejak era orde baru, Satrya percaya bahwa disadari atau tidak, Garin menyerap pengalaman kala rezim Soeharto menerapkan konsep keluarga yang terhegemoni konsep budaya Jawa yang paternalistik, menjunjung konsep ‘harmonis’, dengan sosok ayah sebagai sentral. Konsep keluarga yang sedemikian ini, menurut Satrya, dipersepsi lain oleh Garin dalam film Rindu Kami Padamu dan Surat Untuk Bidadari melalui penghadiran keluarga yang tidak utuh atau retak: seorang gadis dengan ibu angkat atau seorang lelaki yang kehilangan ibunya. Peran ayah sebagai sosok sentral tereduksi, sebaliknya, sosok ibu berperan sangat penting sebagai sosok pemberani yang menghalau aparat, seperti tampak dalam Aku Ingin Menciummu Sekali Saja. Satrya percaya bahwa hal tersebut menandai adanya pergeseran yang signifikan dari konsep keluarga ideal ala orde baru (hal 178).

Kecemburuan lugu dan naif khas anak-anak yang timbul dari persaingan memperebutkan perhatian Sonja, seorang perempuan dewasa asal Jakarta yang berasal dari ras dan kelas sosial berbeda, muncul dalam film Izinkan Aku Menciummu Sekali Saja. Satrya mengelaborasi drama berebut “mencium” Sonja yang terjadi antara tokoh Arnold dengan Minus itu dengan dokumentasi adegan saat Theys Hiyo Eluway, aktivis Gerakan Papua Merdeka, “mencium” bendera Papua Barat. Adapun ayah Arnold bernama Berthold, seorang aktivis yang kerap memakai kostum burung Kasuari sebagai simbol perlawanan, sedang diburu oleh musuh-musuhnya. Latar cerita adalah kondisi Papua saat suhu politik memanas pasca kongres umum Rakyat Papua Barat tahun 2000. Jamak diketahui, peristiwa itu berujung pada penangkapan banyak aktivis Papua, termasuk Theys, yang akhirnya ditemukan mati tertembak. Satrya menginterpretasi elemen-elemen itu sebagai “..semua anak-anak ditampilkan memiliki hubungan dengan sejarah politis di Papua Barat.” Adapun Sonja, perempuan dewasa berparas jelita dan berasal dari etnis dan ras yang berbeda, dalam tafsir Satrya, adalah metafor dari ‘Ibu Pertiwi’. Artinya, konflik batin yang dialami tokoh-tokoh anak dalam film itu yakni hasrat hendak mencium versus larangan dari agama serta beban psikis akibat konflik politik yang dihadapi keluarga, adalah representasi hubungan antara rakyat Papua dengan Indonesia sebagai Ibu Pertiwi.

Secara umum, analisis dalam buku yang ditulis kandidat Ph.D di bidang kajian sinema Curtin University Australia ini sangat mendalam dan menarik untuk disimak. Benar bahwa publikasi kritik film Indonesia dalam bentuk buku sesungguhnya cukup banyak dilakukan, namun barangkali belum cukup berimbang dengan kuantitas film yang beredar. Kehadiran buku ini boleh dibilang sebagai pertanda bahwa kritisi dan kritik film yang berkualitas itu ada, dan akan senantiasa ada.


Menafsiri Kata, Memahami Kota

(Dimuat di Jawa Pos, 12 Agustus 2018)

Hidup semakin susah/apalagi di Surabaya//tanam padi tumbuh pagar besi/

tanam jagung tumbuh gedung (F Aziz Manna)

 

Jika Sutardji Colzum Bachri, sastrawan Indonesia, pernah berujar dalam kredo puisinya bahwa “Pada mulanya adalah Kata”, buku kritik puisi terhadap karya tiga penyair Surabaya ini berangkat dari premis “pada mulanya adalah Kota”. ‘Kota’ dan ‘kata’, seperti terurai dalam buku ini, tidak hanya hadir sebagai suatu latar yang menghampar dalam rajutan metafora. Lebih dari itu, ‘kota’ dan ‘kata’ diposisikan seumpama papan reklame di sudut-sudut jalanan Surabaya yang terkadang bersinar remang, kadang cemerlang, namun yang pasti tetap selalu ada bahkan ketika tidak seorang pun menganggapnya penting. Apa, sebenarnya, yang bisa diperbuat oleh puisi dan juga kritik terhadap puisi dalam menjelaskan dan memaknakan keberadaan Kota?

Diskursus ‘Kota’

Dalam kesusasteraan dunia, kota memang kerap menjadi inspirasi  yang memicu seorang penulis dalam berkarya. Italo Calvino, Rabindranath Tagore, dan Charles Baudelaire, misalnya, menghadirkan kota sesuatu yang tidak pernah selesai ditafsirkan, dari bentuk paling artistik hingga problematik. Dalam kritik sastra mutakhir, sastra dan kota kerap dilihat sebagai dua hal yang terlibat dalam konflik kepentingan tak berujung. Di satu sisi, bentuk ideal kota dirancang selaras dengan prinsip-prinsip ‘kemajuan’ semisal kerapian, kecepatan, kemudahan, dan kecerdasan (smart city) dengan indikator-indikator yang cenderung positivistik atau terukur pasti. Di sisi lain, para penyair kerap mengungkap ruang pengalaman batin penduduk kota yang mengalami keterasingan, kesepian, dan bahkan kehilangan masa lalunya karena tergerus keniscayaan jargon ‘kemajuan’ dan ‘pembangunan’ kota, tidak terkecuali Surabaya.


Penulis buku ini mampu menangkap emosi-emosi tersebut di atas yang memang merembesi karya-karya penyair Surabaya yang dibahas dalam buku ini. Dengan menggunakan paradigma cultural studies yang dipertajam dengan Analisis Wacana Kritis model perubahan sosial Norman Fairclough, kajian dalam buku ini dilakukan secara rinci dan tekun dengan menakar kadar semantik tiap diksi berikut intensi yang dibentuk puisi-puisi tersebut. Pembacaan tiga lapis yakni teks, praktik diskursif, dan praktik sosio-kultural dilakukan secara hati-hati, namun tetap berbunyi dengan pemaknaan berdasar konsep representasi ruang dan ruang representasi Henri Lefebvre.


Saat membahas puisi Indra Tjahyadi, misalnya, Suryadi menyebut, “Keberadaan masyarakat urban Surabaya dirayakan oleh antologi Kitab Syair Diancuk Jaran melalui pelukisan ruang-ruang kampung yang terdapat di Surabaya, yang dianggap sebagai daerah perbatasan bagi tradisi-tradisi bertemu..(hal 88).” Hasil analisis di level tekstual lantas diperluas pemaknaannya dengan menjangkau aspek sosiokultural bahwa, menurut Suryadi, kampung-kampung di Surabaya tidak seluruhnya terperangkap dalam konstruksi wacana kepahlawanan. Dalam Diancuk Jaran, dia menginterpretasi bahwa terdapat juga wacana ‘kemesuman’ yang menghidupi dan dihidupi masyarakat kota Surabaya, baik yang ada di sudut  kampung maupun dalam dingin dan kedapnya dinding hotel.


Jika kemesuman dan vulgaritas merembesi puisi Diancuk Jaran, karya-karya F Aziz Manna, pemenang Anugerah Kusala Sastra Khatulistiwa Award 2016 dalam antologi puisi Siti Surabaya, disebut bernuansa kritik dan perlawanan. Dalam salah satu puisi, misalnya,“..kalian siapkan ratusan orang berseragam membawa anjing, eskavator dan pentungan, kalian paksa kami meninggalkan rumah sesaat sebelum puasa dan lebaran datang, kami tidak akan pergi..” Melalui serangkaian pemeriksaan ulang alik antara unit-unit dasar pembentuk teks dan aspek kontekstualnya, penulis buku ini berargumen bahwa dalam Siti Surabaya,“Kota direpresentasikan sebagai lenyapnya belenggu tradisi, dan hadirnya sesuatu yang baru berupa endapan-endapan mimpi yang secara kontras merupakan negasi dari tradisi...Imajinasi yang menuntut identitas baru sebagai proses penyesuaian dengan konteks urban (hal 226).” Sayangnya, porsi analisis untuk antologi puisi Pohon  Bernyanyi karya penyair senior Achudiat terkesan kurang, untuk tidak mengatakan agak dipaksakan. Karakter puisi Achudiat yang cenderung ensiklopledis agaknya cukup merepotkan penulis dalam mempertajam analisisnya.


Dalam perkembangan studi sastra mutakhir, sulit untuk menolak kebutuhan terhadap kajian yang mampu memaknakan teks sastra hingga aspek kontekstualnya, salah satunya ‘kota’ sebagai lokus karya tersebut diciptakan dan dipraktikkan. Buku ini bisa dijadikan salah satu model kajian sastra yang mendalam sekaligus tidak gentar untuk melebar. Dengan model demikian, kritik sastra tidak hanya mampu ‘berbunyi’ untuk bidangnya sendiri, melainkan juga menjadi sarana literasi terhadap “kata” dan “kota” yang memang tak pernah selesai ditafsiri.


Menjelajahi Bahasa, Menghamparkan Wacana

(Dimuat di Jawa Pos, 7 Oktober 2018)

Ada suatu anekdot: ‘berapa tiga kali empat?’ Sebagian besar orang akan yakin serempak menjawab ‘dua belas’; sementara bagi sebagian lagi, jawaban dari pertanyaan itu bisa saja ‘seribu lima ratus per lembar, tergantung pas fotonya berwarna atau tidak.’ Anekdot tersebut mengindikasikan bahwa bahasa, kenyataan, dan bahkan kebenaran, tidak pernah bisa objektif dan mengandung makna tunggal. Tantangan perkembangan studi bahasa, dengan demikian, tak melulu soal tata bahasa, melainkan juga praktik sosial yang beririsan dengan relasi-kuasa: politik identitas, reproduksi pengetahuan, dan lainnya. Pada aras itulah buku ‘Hamparan Wacana’ ini penting untuk disimak.

Interdisiplin

Menyimak buku ini, pembaca akan terkesan bahwa studi bahasa umumnya, dan analisis wacana khususnya, ternyata bisa ‘seasyik’ dan ‘segurih’ ini. Apabila bahasa adalah alat, wacana adalah hasil dari praktik bahasa yang memiliki kemampuan untuk mengatur, mempengaruhi, memosisikan suatu individu dan kelompok, dan bahkan mengubah kondisi sosial. Bagaimana bisa studi bahasa umumnya, dan analisis wacana khususnya, bisa berkembang hingga ke level ideologi dan relasi kuasa?


Pertanyaan itu terjawab dalam tulisan Wening Udasmoro di bagian awal buku ini. Wening dengan runtut dan bening mewedar relasi dan perbedaan antara Discourse Analysis, Critical Lingusitics, dan Critical Discourse Analysis (CDA) berikut masing-masing paradigma yang membentuknya: strukturalisme, konstruktivisme, neomarxisme, hingga pascastrukturalisme. “Jika Analisis Wacana dalam linguistik yang lebih klasik menempatkan bahasa cenderung sebagai suatu teks,” ujarnya, “maka pada pendekatan lebih kini, Analisis Wacana melihat bahasa menjadi sebuah struktur yang membentuk sekaligus dibentuk oleh struktur sosial (hal viii)”. Bisa dikatakan artikel tersebut adalah jantung dari buku ini, yang menjadi kerangka metodologis bagi artikel-artikel setelahnya yang terasa jauh lebih ‘konkret’. Disebut konkret karena disertai contoh kasus yang memudahkan pembaca memahami penerapan ragam model analisis wacana pada suatu fenomena sosial-budaya. 


Artikel yang ditulis oleh Paulus Ari Subagyo, misalnya, menjelaskan perbedaan dua tajuk di dua media massa cetak besar di Indonesia dalam memberitakan peristiwa terorisme di tahun 2002 dan 2008: ‘Mematahkan Terorisme’ dan ‘Mengutuk Terorisme’. Meski terlihat wajar, Paulus menunjukkan, pertama-tama melalui analisis kebahasaan, bahwa kedua tajuk itu mirip dalam arti “Subjek pengisi peran pelaku tidak dipentingkan dan diasumsikan sudah diketahui...klausa itu lebih menonjolkan tindakan mematahkan dan mengutuk.” Analisis sintaksis itu lantas dipertajam dengan menyentuh aspek ‘ideologi’ kedua media yang dibahas. Yang mengejutkan, melalui penelusuran mendalam, dia menjelaskan bahwa jika pada media pertama kata “terorisme” merujuk pada Jamaah Islamiyah (JI) dan jaringannya sebagai pelaku; maka dalam media kedua, “..pelaku terorisme justru Amerika Serikat dan sekutunya (hal 5).”


Lebih jauh, artikel Ratna Noviani tentang multimodalitas menjelaskan betapa produk-produk budaya populer dan seperti komik, film, instagram, facebook, dan lainnya, bisa dikaji dengan analisis wacana. Lengkap dengan seperangkat konsep yang menjangkau dimensi warna, tata letak, musik, gesture, serta fitur-fitur lainnya. “Dalam Multimodalitas,” ujar Ratna, bahasa bukan moda yang utama dan satu-satunya, melainkan hanya satu dari sekian banyak moda yang bisa digunakan untuk membangun makna (hal 112).”

Guru Besar Sosiologi Sastra, Faruk, ikut ambil bagian dalam buku ini melalui artikel berjudul Jamu Minum Orang Pintar: Soal Bahasa dan Kekuasaan. Berangkat dari slogan iklan produk jamu, Faruk dengan jitu menjelaskan slogan tersebut menunjukkan adanya pergeseran cara pandang masyarakat terhadap ‘jamu’. Jika dulu biasa dijajakan dengan gendongan dan konsumsi oleh buruh, tukang becak, kini jamu menjangkau juga kelas atas seperti artis internasional, atlet, dan bahkan menteri. Bersamaan dengan itu, hemat Faruk, muncul wacana tentang ‘herbal’, yang tentu saja memiliki muatan ekonomi dan politik reproduksi pengetahuan, katakanlah antara ilmu ‘obat-jamu’ dan ‘obat-medis’.


Artikel-artikel dalam buku ini cukup komprehensif dalam menghamparkan model-model kajian wacana. Model perubahan sosial Norman Fairclough, model historis Ruth Wodak, model kognisi sosial Van Dijk, model speaking Dell Hymes, serta model geopolitik Laclau, diulas dengan rigid dan disertai contoh analisis yang variatif. Meski awalnya terkesan ‘berat’, adanya ilustrasi analisis pada contoh-contoh kasus riil di setiap artikel sangat memudahkan proses pemahaman pembaca terhadap buku ini.


Penggemar dan Perangkap Kapitalisme 

(Dimuat di Jawa Pos, 9 Juli 2017)

Budaya populer berikut konsumennya merupakan fenomena budaya yang senantiasa dinamis dan menarik untuk dipahami, termasuk  di Indonesia. Sebagai bagian dari era digital, konsumen, yang lantas beralih menjadi ‘penggemar’, mengembangkan bentuk-bentuk aktivitas serta identitas yang kini lebih banyak berada dalam ruang-ruang virtual. Menariknya, seperti yang menjadi asumsi dasar buku ini, fenomena penggemar itu tidak cukup dijelaskan sebagai kegiatan waktu senggang, kenikmatan semu, atau semata ‘objek-kapitalis. Fans page novel pop Amerika atau melodrama Korea yang bertebaran di internet adalah contoh yang bisa diajukan. Bagaimana budaya pop dan perilaku penggemarnya dijelaskan dalam buku yang bersumber dari distertasi ini? Berhasilkah buku ini menawarkan kebaruan kajian yang bukan sekadar mampu menjelaskan dan memprediksi perilaku penggemar budaya pop di Indonesia, melainkan juga merumuskan strategi terhadap fenomena tersebut di atas?

Perangkap Kapitalisme

Sebagai akademisi, sosiolog, dan aktivis literasi, Rahma Sugihartati jitu dan piawai dalam memilih dan merumuskan arah kajian yang tak jauh dari aktivitas serta habitusnya. Komunitas penggemar serial The Mortal Instruments karya novelis populer Cassandra Clare yakni The Mortal Instruments Indonesia (TMIndo) dipilih sebagai subjek kajian. Novel-novel tersebut dialihwahanakan ke media film dan serial televisi di Amerika Serikat. Meskipun secara tekstual lebih mengacu pada konteks kultural Amerika Serikat, jumlah penggemar di Indonesia mencapai 769 ribu orang (hal 99).

Tentu, yang menarik bukan kuantitas, melainkan aktivitas para penggemar. Rahma menemukan bahwa komunitas tersebut bukan sekadar fans, lebih dari itu, mereka telah menjelma subkultur virtual berbasis fandom. Konsep fandom mengacu pada aktivitas yang bukan hanya menggandrungi dan meresepsi suatu teks budaya pop, melainkan juga mengkreasi teks hipogram (asal) menurut versi mereka sendiri, mengubahnya sesuai dengan selera dan kemauan penggemar tersebut (fanfiction), lantas mensirkulasikannya sehingga tercipta suatu pengalaman bersama (13).


Beberapa penggemar, seperti cosplayer, bisa teramat menjiwai karakter yang digandrunginya hingga taraf kostum, aksesoris, karakternya bahkan tak canggung mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks TMIndo, teks novel tersebut lantas menjelma produk-produk konsumsi seperti parfum, baju, aksesoris, dan bahkan perhiasan. Pada tahap inilah Rahma meyakini konvergensi media, yakni kesalingterkaitan media-media baru berbasis teknologi informasi, menjadi arena sekaligus pasar baru bagi industri budaya dan kapitalisme global. Rahma mengatakan (161-163), “..anak-anak  muda itu masuk dalam dunia rekaan, berempati, dan tanpa sadar tersimulakra dalam setting, alur cerita dan tokoh-tokoh imajiner yang ditawarkan Cassandra Clare.” Terkait dengan kapitalisme dan industri budaya, Rahma menegaskan betapa anak-anak yang ‘tersimulakra’ itu “..terkena dampak narkotis dari budaya populer yang digemarinya, yang kemudian mematikan sikap kritis dan perlawanan anak muda menyikapi pengaruh kekuatan kapitalisme di balik penyebaran budaya populer global.” Rahma kemudian beranjak lebih jauh dengan membahas taste atau selera dan gaya hidup dalam subkultur penggemar ini, dengan ‘mencabar’ atau menunjukkan kelemahan teori-teori subkultur terdahulu yang kini dianggapnya kurang relevan.


Tetapi tidak semua penggemar, memang, berperilaku seperti di atas. Temuan lain Rahma mengidentifikasi juga apa yang disebutnya dengan kelompok penggemar ‘kritis’. Yakni, penggemar dengan tingkat literasi media dan literasi digital yang memadai. Literasi media merujuk pada kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan membuat pesan dalam berbagai bentuk. Meski kritis, hal tersebut tetap tidak mengubah kenyataan bahwa para penggemar telah menjadi free labour digital atau playlabour. Seluruh penggemar itu, tegas Rahma, “..bukanlah subjek yang benar-benar terbebas dari hegemoni ideologi kapitalisme, karena mereka sebenarnya adalah playlabour, yakni penggemar yang bermain, tetapi sekaligus juga pekerja bagi kekuatan industri budaya global.” Sayangnya, klaim adanya hegemoni kapitalisme global tersebut kurang dipertajam melalui pembuktian yang memuat data-data kuantitatif perputaran uang dalam brand The Mortal Instruments khususnya di Indonesia.


Repetisi

Melalui buku ini Rahma menunjukkan betapa dirinya terampil mengkombinasikan teori dan metode, seperti netnografi, critical discourse analysis, critical theory, dengan beragam tawaran konsep-konsep mutakhir dalam studi subkultur. Meski buku ini bisa dibilang cemerlang, masih terdapat beberapa celah kecil. Pertama, secara redaksional, teramat banyak repetisi penjelasan konseptual dan temuan di setiap babnya. Paparan tentang dua jenis penggemar di atas, misalnya, tercantum nyaris di setiap bab, dengan frekuensi yang ajeg dan substansi yang kurang lebih sama. Kedua, repetisi itu tidak hanya bersifat redaksional melainkan juga substansial. Seperti diakui oleh penulisnya, buku ini “..memperlihatkan kesesuaian dengan asumsi dasar Mazhab Frankfurt..yang lebih cenderung melihat ketidakberdayaan dan pasivitas subjek yang terhegemoni ketika menghadapi kapitalisme (241).” Padahal, jika menilik lebih jauh, dalam industri budaya dan kapitalisme global, terdapat ruang-ruang kemungkinan di mana subjek bisa segera berubah menjadi agen. Agen, melalui praktik kepenggemaran yang kreatif, sesungguhnya bisa memperoleh, mengakumulasi, dan mengkonversi modal sosial, ekonomi, simbolik, dan kultural, sehingga memungkinkannya melakukan mobilisasi kelas sosial.


Akhirnya, buku ini ditutup dengan subbab Membangun Sikap Kritis Anak Muda: Implikasi Praktis yang berisi beberapa butir rekomendasi khususnya dalam hal pendidikan literasi media. Keterampilan dan kecanggihan Rahma, peraih nilai absolut 4 untuk studi doktoral di Universitas Airlangga, dalam mengaplikasikan beragam konsep plus kedalaman analisisnya, akan memberi pencerahan pada pengamat, mahasiswa, peneliti, atau siapapun yang hendak memahami kepenggemaran di Indonesia.


Perihal Reformasi dan Hati yang Merindu

(Dimuat di Jawa Pos, 18 Maret 2018)

Seorang Indonesianis, John Roosa, dalam suatu seminar pernah menyentil bahwa bahkan di era reformasi, karya-karya sastra maupun film di Indonesia masih canggung dalam menceritakan peristiwa-peristiwa sensitif semisal pelanggaran HAM berlatar politik. Artinya, karya-karya itu dianggap belum cukup berani mengulas pokok permasalahan sebagai narasi utama, melainkan sekadar menghadirkannya sebagai latar atau konteks yang bersifat atributif, bukan substantif. Namun, terbitnya novel Laut Bercerita, juga versi filmnya, seakan jawaban atas sentilan tersebut dengan berani.


Sulit menyangkal bahwa gerakan Reformasi 1998 adalah salah satu gerakan mahasiswa yang memiliki makna penting bagi republik ini. Vedi R Hadiz (2005) menyebut bahwa organisasi mahasiswa yang tersebar di berbagai penjuru kota saat itu lebih disebabkan pada suatu kesadaran moral yang bertujuan pada kebenaran, bukan pada kepentingan politik praktis. Sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam buku Pram Menggugat (2010) mengatakan bahwa reformasi murni karena gerakan pemuda, bukan suatu gerakan sistematis dari elit politik. Dua dasawarsa berlalu dan masih tersisa pertanyaan: bagaimana nasib aktivis yang hilang dan hingga kini tak jelas nasibnya? Bagaimana perasaan dan hidup keluarga para aktivis itu? Pada pertanyaan itu agaknya novel ini mengaruskan cerita.


Melalui tokoh Biru Laut sebagai narator/pencerita, Leila di novel keduanya ini mengisahkan para mahasiswa aktivis di dasawarsa tahun 1990an. Cerita bergulir saat Laut, seorang mahasiswa sastra, mulai berkenalan dengan para aktivis dan mendirikan markas pergerakan di Yogyakarta. Mereka berhimpun dalam organisasi terlarang bernama Wirasena, Winatra, dan Taraka. Meskipun di bagian prolog sangat memukau, bagian awal terkesan berlarat-larat dengan penjelasan motif para tokoh serta kebiasaannya: berasal dari keluarga tapol, empati pada rakyat kecil, gemar membaca novel Pram yang saat itu terlarang, dan lainnya. Klise, sebenarnya. Dominasi pencerita dalam menjelaskan semua hal juga membuat pembaca seakan tidak diberi ruang untuk menafsirkan sendiri tindakan para tokoh berikut peristiwa yang dialaminya. Nyaris lima puluh halaman awal diikat dengan premis cerita yang dikatakan tokoh Naratama, “Tetapi suatu saat kita harus bergerak. Tak cukup berduel kalimat di sini...Kita adalah generasi yang harus bergerak, bukan hanya mendiskusikan undang-undang yang mengekang kita selama puluhan ..(hal47).”


Cerita lantas terarus secara ulang-alik antara konflik utama yakni peristiwa hilangnya para aktivis dengan pergerakan di masa sebelumnya semisal aksi tanam jagung di Blangguan 1993 hingga aktivitas di rusun Klender pada 1996. Seluruhnya bertemali dengan masa kritis di sebuah tempat yang dalam novel tersebut dinamai ‘Dalam Gelap’, di awal 1998. Disebut gelap sebab, meminjam pernyataan tokoh Alex,“..paling sulit adalah menghadapi ketidakpastian. Kami tidak merasa pasti tentang lokasi kami; kami tak merasa pasti apakah kami akan bisa bertemu dengan orangtua, kawan, dan keluarga kami, juga matahari; kami tak pasti apakah kami akan dilepas atau dibunuh..(hal.259)” Pada beberapa tokoh, kegelapan lantas berangsur menuju terang; namun sebagiannya lagi berubah menjadi kelam.


Menarik dicermati, betapapun Laut dominan dalam menjelaskan tiap peristiwa dan peran tokoh lainnya, tidak ada tokoh yang perannya benar-benar sentral dalam cerita ini. Artinya, novel ini berhasil menangkap semangat terpenting dari Reformasi yakni gerakan kolektif berdasarkan kesadaran dan tujuan bersama yang keberhasilannya bukan karena, serta tidak hendak, mengkultuskan figur-figur individual tertentu.


Meski demikian, semangat Reformasi 1998 dan pergerakan mahasiswa yang kerap diasosiasikan dengan diskusi aliran-aliran dalam filsafat, politik, atau persoalan ketimpangan kelas sosial, hanya tipis saja dibahas dalam novel. Disebut tipis karena alih-alih mewedar pandangan-pandangan atau semangat zaman para aktivis saat itu, Leila justru sibuk mengurai perasaan sentimental para tokoh pada urusan personal: percintaan khas mahasiswa atau nostalgia keluarga. Maka, pembaca akan mendapati begitu banyak flashback tentang momen sarapan bersama, ragam makanan yang disukai berikut bumbu racikannya, serta lirik lagu kenangan dari Beatles hingga U2.


Novel ini agaknya sengaja mengulas aspek sentimentalitas dan nostalgia keluarga keluarga para aktivis. Khususnya pada bagian kedua, tatkala pencerita beralih dari Laut ke adiknya, yakni Asmara Jati. Pada bagian itu, novel yang sangat layak untuk dibaca ini seakan mengatakan bahwa Reformasi bukan sekadar gerakan moral demi menyerukan kebenaran. Lebih dari itu, Reformasi adalah juga tentang kerinduan beberapa orangtua, sahabat, dan kekasih yang diam-diam masih memendam harapan bahwa mereka yang hilang kelak muncul kembali di suatu pagi untuk sarapan dan bermesra bersama.


Antara Eksistensi dan Imajinasi

(Dimuat di Jawa Pos, 8 Mei 2016)


Judul  : Equilibrium

Penulis: Bramantio

Penerbit: Ar-Ruzz Media

Tahun : Cetakan I, Februari 2015

Tebal  : 162 halaman

ISBN  : 978-602-313-059-7


“Hamlet tahu bahwa pelaku pembunuhan ayah kandungnya adalah sang paman yang kelak menjadi ayah tirinya. Tapi Hamlet membiarkannya sebab diam-diam dia juga setuju dengan pembunuhan itu.” Begitulah salah satu pernyataan Sigmund Freud dalam buku The Interpretation Of Dream saat menganalisis drama Hamlet karya William Shakespeare. Implisit dalam pandangan pendiri ilmu psikologi tersebut bahwa karya sastra, betapapun ‘fiktif’, selalu menarik untuk dibaca karena sastra mampu menghadirkan kompleksitas sisi terdalam kepribadian manusia.

Kumpulan cerpen Equilibrium karya Bramantio bisa dibaca melalui perspektif serupa itu. Nuansa ‘psikologis’ tampak sejak halaman sampul buku yang didominasi hitam bertuliskan sembilan judul cerita: Anomali, Bizarroseania, Chimera, Doppelganger, Equilibrium, Fabelofobia, Grotesque, Hominivorax, dan Inkubus. Seluruh judul cerita masing-masing berupa satu suku kata serta seluruhnya dicetak dengan huruf kapital. Untuk memahaminya, pembaca harus meluangkan waktu membuka kamus. Bahasa apakah itu? Apakah cerita-cerita itu hendak membangun ‘bahasa dan dunianya sendiri’?

Nafas Panjang

Jika material dasar pembentuk teks adalah bahasa, cerpen-cerpen dalam buku ini seakan disusun dengan keterampilan berbahasa yang canggih, rigid, koheren, dan ‘melelahkan’. Dalam cerpen Anomali, keterampilan itu terlihat pada deskripsi semisal “Menerima gaji setiap awal bulan di dalam amplop persegi memanjang cokelat kopi susu bertekstur menyerupai permukaan kulit sarat bulu tipis yang sesungguhnya tidak digunakannya untuk bertahan hidup dari hari ke hari namun lebih pada yang semestinya ia terima sebagai semacam bonus atas kesenangan...(hal.3) Deskripsi ‘nafas-panjang’ sedemikian ini biasa dijumpai dalam karya-karya masterpiece misalnya Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel Garcia Marquez. Dalam beberapa hal, Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia dan Arus Balik juga menggunakan cara serupa. Efek yang diharapkan barangkali terciptanya suasana dan nuansa mendalam, lengkap, yang menstimulus pembaca berimajinasi. Cerpen-cerpen dalam buku ini nyaris seluruhnya dibentuk dengan teknik serupa itu. Namun, yang membedakan adalah, jika deskripsi nafas-panjang pada dua karya pembanding di atas berfungsi untuk mempertegas konflik cerita, kumpulan cerpen ini menggunakan teknik serupa sebatas pada kepentingan retorika. Penulis buku ini seakan fotografer yang sedang hunting dengan lensa 135mm dan lensa makro demi mempraktikkan teknik ‘ruang-tajam-sempit’: membuat objek-objek yang ‘kecil’ menjadi ‘besar’ atau ‘jelas’ dengan detil sempurna sementara background  tanpak ngeblur. Indah, memang, tapi belum tentu perlu.

Eksistensial

Meskipun demikian, harus dikatakan pula bahwa teknik nafas-panjang melalui deskripsi yang ‘berlebihan’ itu agaknya disengaja untuk mengecoh pembaca cerpen yang umumnya berharap segera menjumpai konflik dan ritme penceritaan cerpen yang relatif cepat. Dalam buku ini, konvensi konflik dalam cerita pendek seakan ditafsirkan kembali: apakah konflik harus selalu permasalahan antara seseorang dengan orang/hal lain di luar diri orang tersebut? Mengapa tidak untuk menghadirkan seseorang yang sedang asyik dengan dunia dan imajinasinya sendiri?

Dalam cerpen berjudul Fabelofobia, misalnya. Cerpen itu bercerita tentang percakapan antara ayah dan anak setelah bangun tidur di atas kasur. Percakapan itu terjadi dengan cair dan wajar. Namun yang menarik, cerpen yang ditulis dari sudut pandang orang ketiga atau ‘penulis adalah tuhan’ itu dipenuhi dengan imajinasi yang menunjukkan kualitas dan kekuatan literer dari penulisnya. Hal itu dihadirkan melalui sosok Aleph yang lugu sekaligus cerdas ketika membayangkan apa yang disebut bapaknya sebagai ‘keabadian’. “Ia membayangkan padang rumput hijau segar berbukit-bukit cembung landai, sungai dangkal berarir jernih berkelok-kelok dengan gemericik pada titik-titik tempat aliran menumbuk bebatuan dan menemui turunan dengan ikan dan mahluk air lainnya..(hal.97)”. Tidak ada konflik dalam cerita tersebut. Yang dominan adalah imajinasi dari tokoh sebagai reaksi dari perkataan sang ayah.

Lebih jauh, tokoh-tokoh dalam tiap cerpen kerap digambarkan sebagai manusia yang memiliki masalah dalam dirinya sendiri. Hal itu bukan berarti tidak ada tokoh selain tokoh utama. Tokoh lain ada, memiliki fungsi, namun fungsi tersebut segera mengarah pada penggambaran konflik dalam pribadi tokoh utama terhadap dirinya sendiri. Dalam cerpen Doppelganger, misalnya, tokoh bernama Azis digambarkan memiliki semacam ‘alter-ego’ bernama Djibrilson, yang hidup dan menghidupi Azis. “Djibrilson tidak mau begitu saja melepas raga yang selama ini menjadi miliknya untuk dimiliki Azis seutuhnya. Pada waktu-waktu tertentu ia pun muncul untuk menantang Azis dalam banyak hal...(hal.57)” Persitiwa bergerak hingga pada situasi klimaks yakni keduanya, Azis dan Djibrilson, seorang individu dengan alter-egonya, berkelahi.

Adegan saat Azis mengacuhkan dan meninggalkan Djibrilson analog dengan adegan dalam film Beautiful Mind yang menceritakan tokoh John Nash, penemu teori equilibrium yang juga pengidap schizophrenia, yang akhirnya berhasil mengambil jarak dan mengatasi delusi yang diidapnya. Dalam khasanah cerpen Indonesia, tokoh dan penokohan serupa itu antara lain hadir dalam cerpen-cerpen Iwan Simatupang, Danarto, Seno Gumira, dan Agus Noor. Dalam cerita-cerita di mana konflik kejiwaan tokoh menjadi sesuatu yang dominan, dikotomi antara aspek ‘yang-individual’ dan ‘yang-sosial’ memang menjadi ambigu, ambivalen, dan bermuara pada renungan mendalam tentang problem eksistensial manusia. Jean Paul Sartre, filsuf sekaligus sastrawan Perancis dalam karyanya No Exit bahkan pernah berujar, “Neraka adalah orang lain.” Artinya, otonomi kemanusiaan dan manusia menjadi taruhan, sehingga, dalam sastra, reaksi tokoh terhadap permasalahan eksistensinya menjadi klimaks yang penting dicermati. Dengan kata lain, ‘baik’ atau ‘buruk’-nya karya sastra yang mencoba memberi penekanan pada isu psikologis dan eksistensial adalah pada pemaknaan serta pergerakan tokoh terhadap dirinya sendiri.

Akhirnya, cerpen-cerpen dalam buku ini menarik dan perlu dibaca sebab problem eksistensial manusia dihadirkan secara terampil, prima, dan membuai. Hal menarik lainnya adalah latar belakang penulis buku ini yang juga seorang akademisi. Esai sastranya bahkan pernah dinobatkan sebagai yang terbaik dalam sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta di tahun 2007. Maka, buku ini adalah paduan antara kemampuan analitis seorang kritikus sastra yang berpadu dengan energi kreatif seorang cerpenis. Dalam hal estetika cerita, ramuan antara fantasi dan sureal dalam teks-teks ini juga mampu menstimulus imajinasi dalam merelungi sisi terdalam manusia.  Seperti teks lagu yang juga dikutip dalam salah satu cerpen, buku ini seakan meminta,  “fly me to the moon and let me play among tha stars.

Mengambil Jarak Memahami Diri

(tidak termuat di mana pun)

JUDUL       : Teori Kritis Ricoeur

PENULIS   : David Kaplan

PENERBIT : Pustaka Utama

CETAKAN : I, Juni 2010

TEBAL       : 326 halaman

 

Realitas semakin diminatinya kajian budaya atau cultural studies pada umumnya, dan teori kritis pada khususnya merupakan fenomena keilmuan yang di satu sisi patut diapresiasi, namun di sisi lain juga perlu dicermati. Artikulasi semangat kajian budaya yang merayakan keseluruhan cara hidup (way of whole life) serta polivokalitas masyarakat multikultural dalam paradigma kritis telah direspon positif dan terus diimplementasikan secara simultan baik dalam dimensi gagasan maupun material perkembangan budaya terkini tanah air. Berbagai penelitian, kepustakaan, karya seni, maupun gerakan sosial dengan mengatasnamakan kebebasan ekspresi lahir sebagai manifestasi perayaan multikultural, yang dalam tahap tertentu memang memiliki relevansi dengan kajian budaya. Wacana mengenai gay-lesbian, transgender dan transeksual, misalnya, muncul menderas dalam kajian-kajian queer yang sering mengklaim diri sebagai artikulasi paradigma kritis dan poststrukturalis demi membongkar relasi tidak setara serta, meminjam istilah Foucault, biopower dalam konstruksi seksualitas yang telah menjadi sedemikian rezim pada masyarakat heteronormatif. Artinya, kajian budaya dan teori kritis tidak sekadar menjelma sesuatu yang up to date  dalam konteks keilmuan, namun juga relevan dalam menjawab perkembangan sosio-kultural Indonesia kekinian.

Meski begitu, harus disampaikan pula bahwa kajian budaya dan teori kritis serta keterkaitan antara keduanya bukanlah sesuatu yang sejernih dan senikmat jargon-jargon yang dihasilkannya; sebaliknya, keduanya menjadi entitas yang selalu mengundang perdebatan metodologis. Pertanyaan seperti bagaimana dua pendekatan dari dua disiplin ilmu berbeda dipadukan; apakah asumsi dasar dan argumentasi metodologisnya, adalah pertanyaan-pertanyaan yang seringali terdengar. Dalam konteks dialektika metodologis tersebut itulah buku Teori Kritis Paul Ricoeur yang ditulis David Kaplan ini bisa ditempatkan. Buku terjemahan dari judul asli Ricoeur’s Critical Theory yang ditulis oleh David Kaplan ini memuat enam bab yakni hermeneutika, narasi, konsep-diri, kearifan praktis, politik, dan terakhir teori kritis. Apa sebenarnya kunci dan sumbangsih dari cakrawala pemikiran Ricoeur? Bagaimana pemikiran yang membentang lapang pada padang pengetahuan filsafat murni itu terjelma dalam praksis teori serta metode analisis kajian budaya kekinian?

Filsafat-Metode

Perkembangan ilmu humaniora mutakhir tak bisa disangkal berhutang budi pada disiplin ilmu sastra. Terminologi ‘linguistic turn’ dalam historiografi ilmu sosial-budaya mengimplisitkan kecenderungan pengadopsian metode interpretif yang telah digunakan disiplin ilmu sastra sejak zaman Plato ke dalam ilmu humaniora. Pemikiran Ricoeur agaknya berangkat dari ‘lingustic turn’ tersebut saat memaparkan apa yang menjadi salah satu kunci dari pemikirannya yakni distansiasi dan apropriasi. Menurut Ricoeur, hermeneutika sebagai praktik penafsiran lahir bersama dengan munculnya proses penyusunan bahasa lisan menjadi bahasa tulisan (inskripsi). Peredaran wacana dalam suatu sistem komunikasi tidak berjalan secara netral dan tanpa noise, melainkan selalu terkait dengan konteks kekuasaan, kekinian,  dan kesejarahan. Di sinilah penafsiran menjadi sesuatu yang problematis: ragam tulisan menghadirkan teks, dan melalui tekslah wacana diproduksi, direproduksi, dan diedarkan secara meluas. Di saat sama, melalui inskripsi, dalam bahasa Ricoeur, “makna dipisahkan dari makna pengarang asalnya,” dan kekuasaan selalu memperbarui diri. Bagaimana memahami makna suatu karya yang diproduksi di masa lalu dengan konteks pengetahuan dan kekuasaan masa kekinian? Bagaimana, misalnya, memahami wacana sufisme Siti Jenar yang muncul dalam konteks masyarakat Jawa era kerajaan Demak dengan wacana sufisme dalam konteks masyarakat urban kekinian?

Pada tahap itulah praktik hermeneutika bekerja. Hermeneutika adalah suatu tindakan demi membuat sesuatu ‘yang-asing’ menjadi ‘yang-dikenali’ dengan cara menjadi-bagian dari suatu entitas berdasarkan cakrawala pengetahuan, atau ‘horison harapan’ dalam hermeneutika Gadamer-ian, agar sampai pada pemahaman diri (apropriasi). Dalam satu hal, Ricouer sepakat dengan Gadamer bahwa praktik interpretasi tidak pernah nihil dari cadangan pengetahuan, prasangka-prasangka, berikut sejarah yang melatarbelakanginya. Namun Ricoeur menyayangkan pemikiran Gadamer yang menurutnya tergesa untuk tiba pada apropriasi sehingga menghilangkan daya kritis filsafat dan menjadikannya tidak produktif. Di sinilah Kaplan menyebut bahwa Ricoeur berjasa besar mendamaikan hermeneutika-sejarah Gadamer dengan hermeneutika-kritis Jurgen Habermas.

Untuk itu, Ricoeur menambahkan konsep distansiasi yang ia artikan “pengambilan jarak yang merujuk pada eksteriorisasi intensional atau otonomi semantik dari teks untuk membawa makna yang terpisah dari maksud pengarangnya (hal 49)” Distansiasi, beroposisi dengan menjadi-bagian, merupakan momen transendensi diri sekaligus syarat bagi terciptanya kemungkinan melancarkan kritik ideologi. Ricoeur memperinci konsep mengenai distansiasi menjadi tiga bentuk yakni distansiasi dari karya, distansiasi apa yang ‘riil’ dari dirinya sendiri, distansiasi diri dari dirinya (hal 51-53) Sedikit rancu, memang, namun di situlah jantung pemikiran Ricoeur yang menjadi landasan metodologis kajian budaya dan pendekatan kritis berada. Refleksi-diri (self reflectivity) yang menjadi doktrin bagi kajian budaya, bagi Ricoeur, “hanya akan berhasil sebagai refleksi kritis jika refleksi tersebut mampu mengidentifikasi batas-batas pemahaman dengan maksud untuk menentukan prasangka-prasangka dan otoritas yang absah dan tak absah.”

Dalam buku ini, Kaplan yang bertindak sebagai ‘penyambung lidah’ Ricoeur memang tak memberikan paparan eksplisit bagaimana hermeneutika Ricouer menjadi landasan metodologis bagi kajian-kajian interdisipliner. Meski begitu, dapat dikatakan bahwa konsep mengenai ‘batas-batas pemahaman’ sebagai implikasi dari distansiasi menjadi dasar pemikiran tidak ada satu teori maupun pendekatan yang mampu mengelaborasi makna dari suatu entitas secara komprehensif dan mendalam, melainkan setiap teori dan pendekatan memiliki prosedur dan limititas masing-masing. Apropriasi, membuat ‘yang-asing’ menjadi ‘yang-dikenali’, pada gilirannya membuka jalan bagi hadirnya teori maupun pendekatan lain agar pemahaman terhadap sesuatu menjadi lebih tajam, luas, dan mendalam. Dalam kajian sastra, misalnya, distansiasi merupakan kutub objektif yang menelisik struktur teks demi mendapatkan makna tekstual untuk kemudian mengambil jarak dengan makna tersebut; sedangkan apropriasi memungkinkan peminjaman disiplin ilmu lain yang terkait dengan makna yang dikandung teks seperti psikologi, sosiologi, dan lainnya, agar pemahaman terhadap teks sastra menjadi lebih signifikan.

Tapi apakah yang dimaksud Ricoeur dengan ‘prasangka-prasangka’ dan ‘otoritas ‘yang absah’ dan ‘tak absah’? Apa implikasinya dalam teori dan pendekatan dalam kajian budaya?

Kritis

Kaplan tak segan memposisikan Ricoeur sebagai salah satu tokoh penting dalam hermeneutika kritis yang berafiliasi dengan segenap filsafat neo-Marxian yang terjelma dalam pendekatan-pendekatan maupun teori-teori kritis. Asumsi dasar dari hermeneutika kritis adalah tidak ada satu pun praktik pemahaman yang tidak dikondisikan oleh situs-situs kekuasaan yang memproduksi kesadaran palsu. Situs-situs kekuasaan seperti media massa, sekolah, agama, rumah sakit, polisi, telah menjadi otoritas yang memproduksi wacana-wacana tertentu dan dianggap sah, atau bahkan dipahami secara taken for granted. Wacana-wacana menyusun suatu pengetahuan, dan pengetahuan menjadi filter atau prasangka yang bekerja setiap seseorang memahami sesuatu. Hermeneutika kritis, tegas Kaplan, adalah hermeneutika kecurigaan yang “bertujuan melakukan demistifikasi yang dihidupi oleh ketidakpercayaan dan skeptisisme.” Konsep distansiasi dan apropriasi yang diajukan Ricoeur adalah instrumen untuk menguji dan melakukan reinterpretasi atas wacana-wacana yang diproduksi oleh otoritas-otoritas tersebut.

Kongkret pemikiran kritis Ricoeur tersebut di atas tertuang dalam teorinya tentang wacana. Bagi Ricoeur, wacana merupakan dialektika peristiwa dan makna, rasa dan rujukan, mengambil tempat sebagai peristiwa tetapi memiliki makna ideal yang dapat diulang, diidentifikasi, dan dikatakan secara berbeda. Bebeda dengan klaim kaum positivis yang mengisolasi bahasa dalam fungsi struktur kebahasaan itu sendiri, wacana, tegas Ricoeur, bersifat referensial (tentang-sesuatu), referensi-diri (dikatakan seseorang), temporal, dan komunikatif. Karena itulah ia menambahkan konsepsi tindak interlokusioner, yakni tindak wicara yang berfungsi menegakkan pemahaman timbal-balik. Dipadukan dengan pemikiran Michele Foucault tentang arkeologi kekuasaan, konsep tindak interlokusioner dan hermeneutika kritis tersebut telah mengilhami berkembangnya varian-varian pendekatan dalam metode analisis wacana kritis (critical discourse analysis) yang dikembangkan Ruth Wodak (pendekatan sejarah), Norman Fairclough (perubahan sosial), Teun Van Wijk (kognisi sosial), yang menjadi salah satu metode analisis vital dalam kajian budaya.

Dengan demikian, terdapat tiga hal yang menjadi sumbangsih hermeneutika kritis Ricoeur pada keilmuan humaniora yakni, pertama, pemikiran Ricoeur memberikan suatu kerangka interpretasi, analisis, dan kritik atas tindakan dan lembaga-lembaga sosial. Kedua, kerangka interpretasi kritis tersebut menjadi prinsip yang mengantarkan pada identifikasi formasi-formasi ideologis dan komunikasi yang terdistorsi yang menghalangi terciptanya keadilan. Ketiga, pemikiran Ricoeur memungkinkan aspek praktis keilmuan untuk tidak sekadar menyoroti karakter moral dan politis dari setiap tindakan yang mengatasnamakan demokrasi, namun juga berujung pada emansipasi atau perubahan sosial. Keempat, seperti halnya watak filsafat kritis lainnya, pemikiran Ricoeur yang terbentang lapang telah memberikan corak baru yang lebih tajam pada keilmuan budaya, serta landasan metodologis yang jitu dalam penelitian interdisipliner.

Dalam buku yang cukup disiplin dalam ejaan dan prima dalam penerjemahan ini Kaplan berhasil memberikan pengantar yang jernih kepada rimba pemikiran Ricoeur yang memang tak mudah dipahami, meski vital untuk dimengerti. Pun dalam konteks perkembangan kajian-kajian interdisipliner di satu sisi, serta fenomena mutakhir masyarakat industri tanah air di sisi lain, buku ini layak dijadikan referensi demi memperkaya wawasan mengenai jargon-jargon pemikiran-pemikiran kritis agar tidak sekadar lantang diserukan, namun gagap dimanifestasikan.



Ketika Laki-laki Jadi Terdakwa

(Dimuat di Jawa Pos, 14 Mei 2006)


“Perempuan adalah lelaki yang tidak sempurna,” ucap Aristoteles seperti dikutip oleh Jostein Gardner dalam bukunya Dunia Sophie. Pernyataan ini seperti membuktikan sejarah panjang mengenai diskursus bias gender, di mana lelaki dianggap mendapat peran “superior” ketimbang wanita. Setidaknya bisa disimpulkan, perempuan semenjak masa Yunani, memang dianggap sebagai mahluk yang tidak sesempurna laki-laki, lemah, dan oleh karenanya menjadi bagian yang dimarginalkan, tersubordinasikan oleh konstruksi budaya dominan.

Di era kontemporer yang kental isu postmodernisme ini, paradigma tentang perempuan tersebut mulai dipertanyakan, bahkan didekonstruksi. Dalam karya sastra barat, semenjak digagas oleh Virginia Woolf dengan karyanya Mrs.Dalloway dan A Room of One’s Own (1929) yang dianggap tonggak gerakan feminisme, gerakan ini terus berkesinambung di tangan filsuf terkemuka seperti Simone de Beauvior, dan novelis Helena Cixous.

Sementara dalam khasanah karya sastra Indonesia, gerakan tersebut oleh Linus Suryadi dianggap dimulai oleh Nh.Dini dengan novelnya Pada Sebuah Kapal, diikuti oleh nama-nama pada generasi 2000an seperti Ayu Utami, Dewi Lestari, Djenar Mahesa dll. Dalam karya-karyanya, para pengarang perempuan ini seolah memprotes, berupaya menghapus oposisi biner ‘lelaki-perempuan’, ‘masculine-feminim’, yang dipandang sebagai perangkap yang membuat perempuan terjebak dalam tempurung budaya dominan yang patriarkhi dan phallocentris. Dengan kata lain, perempuan menuntut kesetaraan hak dalam berkehidupan sosio cultural (Kutha Ratna; 2003). Yang menarik, hampir semua karya sastra bernuansa feminis tersebut tidak lepas dari persoalan cinta, yang kemudian diseret pada persoalan budaya.  

Membaca kumpulan cerpen “Laki-laki yang salah” karya Lan Fang, pembaca akan diajak sekali lagi melihat sejumlah kisah cinta, di mana terjadi ruang dialog eksistensi antara perempuan dan lelaki. Ada lima belas cerpen dalam buku ini yang terbagi dalam tiga sub judul: Siang, Malam dan Pagi. Pertanyaannya, apa yang hendak ditawarkan oleh Lan Fang sebagai pengarang perempuan yang dalam karyanya ini dengan berani memvonis laki-laki “bersalah”? Dasar apa yang dipakai dalam mengkonstruksikan kesalahan? Lalu kebenaran yang seperti apa yang “dilanggar” oleh laki-laki sehingga ia dianggap bersalah? Apakah bisa karya ini dikategorikan sebagai karya sastra bernuansa feminis, seperti kecenderungan karya-karya mutakhir penulis perempuan Indonesia lainnya yang disebut di atas?

Dalam kumpulan cerpen ini, ada beberapa hal yang menarik untuk ditelisik, sebelum menyimpulkan adakah gagasan bernuansa feminis yang hendak disampaikan oleh pengarangnya.

Yang pertama adalah, karakter tokoh baik laki-laki maupun perempuan, kaitannya dalam hubungan percintaan. Yang kedua, adalah melihat implikasi antara psikologi para tokoh dengan sikap, tindakan berproses secara aktif mencari dan mendapatkan cinta yang dialami oleh masing-masing tokoh tersebut.


Intertekstualitas 

Untuk lebih menghidupkan karakter serta mempertegas gagasan dalam teksnya, Lan Fang berusaha merepresentasikan kembali secara afirmatif simbol-simbol lama untuk mendukung cerita yang ditenunnya. Ini terlihat dari munculnya Drupadi, Selma Karamy, bahkan penyanyi Pingkan Mambo, masing-masing dalam tiga teks cerpen yang berbeda. Usaha tersebut cukup signiftikan untuk menggiring perspektif pembaca melihat bahwa dalam hubungan percintaan dalam teks yang berinterteks dengan ketiga symbol di atas, laki-laki memang melakukan sebuah “kesalahan” Hal ini terlihat pada cerpen Perempuan Abu-abu:

..“Apa bukan anjing namanya, kalau Yudhistira mempertaruhkan Drupadi, istrinya, di atas meja dadu hanya untuk Astinapura? Apa bukan anjing namanya, kalau Yudhistira hanya duduk terpana ketika Drupadi ditelanjangi Duryudhana?”..

Dalam cerpen Laki-laki yang salah (hal 155), hal tersebut terlihat:

..Mungkinkah kukatakan bahwa saat aku lari meninggalkan sore gerimis bertuba itu, aku dalam keadaan mengandung anaknya..? hati pingkan masih berdebat..

(Han)..bisakah kukatakan bahwa pernikahan itu bukan keinginanku? Bisakah kukatakan tidak ada rasa yang berubah kepadanya…

Patut dicermati dalam kumpulan cerpen ini, di satu sisi, laki-laki digambarkan sebagai manusia yang ingkar janji, egois, tidak berperasaan dan kurang sopan. Tapi ternyata di sisi lain, tokoh-tokoh perempuan digambarkan sebagai manusia yang terlalu cepat memproklamirkan cinta, yang kemudian dengan cinta itu malah menyusahkan dirinya sendiri. Hal itu nampak pada cerpen Ambilkan bulan, Bu (hal 176):

 …kebetulan kami bertemu saat pesta ulang tahun ibunya. Tatapan tajamnya langsung menggetarkan hatiku yang terdalam ketika kami berjabat tangan untuk pertama kali. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama…aku kan mengatakan pada Ibu bahwa aku telah jatuh cinta pada matanya yang setajam elang, alisnya yang melengkung bak camar…

Sikap prematur dalam mengklaim diri jatuh cinta yang kemudian berakibat perasaan limbung oleh cintanya sendiri itu juga nampak pada cerpen 05.03.2004. Tokoh Metta, bertemu dengan Ian dan dalam hitungan hari, ia merasa jatuh cinta pada Ian. Di saat yang bersamaan, Metta juga mengetahui bahwa Ian sudah berkeluarga. Tetapi itu tidak membuat Metta mengurungkan niatnya untuk terus mencintai Ian.

“Aku tidak menyuruhmu bercerai. Aku hanya ingin selalu bersamamu.” Apakah jawabanku terdengar sangat naïf?“Tidak mungkin. Aku tidak bisa menginggalkan istriku.” Aku tersalib kecewa dan luka. Aku merasa seperti Yesus yang didera sakit dari ujung rambut…(hal 170).

 Dalam cerpen-cerpen yang lain dalam buku ini, tokoh perempuan seperti digambarkan begitu mudah untuk mendua, atau menurut istilah pengarangnya “berselingkuh batin” dengan laki-laki lain. Hal tersebut nampak pada cerpen Bayang-bayang, tokoh Rini yang digambarkan bergetar hatinya begitu melihat Andika, seorang pengamen yang menyanyikan lagu Love Hurts, ketika makan malam bersama Denny, kekasihnya, di warung lesehan Malioboro. Cerita kemudian berlanjut, ternyata Andika adalah kakak tingkat di tempat Rini berkuliah, dan terjalinlah bizarre love triangles antara Rini, Denny, dan Andika.

Keberanian perempuan dalam mengambil inisiatif, bahkan cenderung agresif untuk mendapatkan cinta merupakan hal yang menarik dalam kumpulan cerpen ini. Perempuan tidak lagi tampil sebagai mahluk yang pasif dalam hal percintaan. Tetapi ketika perempuan harus mendapat kegagalan dari hasil percintaannya tersebut, mengapa kemudian laki-laki yang dianggap bersalah?

Menilik pendapat dari Eric Fromm dalam bukunya The Art of Loving, secara ontologis, cinta adalah anak kandung dari kejujuran. Maka semestinya, “laki” dan “perempuan” tidak dipandang sebagai sesuatu yang saling beroposisi biner. “Laki” dan “perempuan” harusnya dipahami sebagai hirarki atau kodrat yang tidak untuk dipertentangkan namun untuk saling melengkapi. Pun, jika terdapat persoalan yang berujung pada justifikasi “salah” dan “benar” dalam hubungan percintaan antar keduanya, hal tersebut lebih pada tataran epistemologis dan pragmatisnya. Kurang adil rasanya jika menyebut salah satu pihak sebagai “yang bersalah” yang implisit di dalamnya, ada pihak “yang benar”. Dan bagaimanakah merumuskan “yang salah” serta “yang benar” itu?

 Kaitannya dengan kumpulan cerpen ini, misalnya pada cerpen Bayang-bayang, bersalahkah seorang laki-laki yang jatuh cinta pada perempuan yang mau diciumnya di suatu malam bergerimis? Tepatkah seorang perempuan yang sudah akan bertunangan, berciuman dalam arti mesra, dengan laki-laki lain? Pada cerpen Ambilkan bulan, Bu, salahkah seorang laki-laki yang lebih menyayangi keluarga daripada meneruskan perselingkuhan? Bisakah dianggap benar untuk perempuan yang sengaja memasuki kehidupan cinta dan rumah tangga orang lain?

Secara eksplisit, Lan Fang memang tidak dengan lugas dan kuat menggambarkan apa dan bagaimana konsep “kesalahan” dalam “Laki-laki yang salah” ini. Pun, tidak ada garis tegas yang dapat ditarik bahwa dalam kumpulan cerpen ini terdapat suatu perlawanan terhadap kultur, seperti karya-karya bernuansa feminis yang banyak ditulis oleh pengarang perempuan. Karena konflik-konflik yang dikembangkan dalam buku ini lebih mengerucut ke arah konflik batin dan psikologis dalam diri tokoh itu sendiri, berkenaan dengan eksistensi diri yang sedang “mengada” dalam cinta.

Tetapi secara implisit, justru terlihat Lan Fang berusaha menawarkan perspektif lain dalam memandang persoalan percintaan dan lelaki. Dengan tidak terburu-buru menganggap kultur sebagai suatu sekat yang memasung kebebasan hak perempuan yang oleh karena itu harus didekonstruksi, ia menunjukkan bahwa konflik batin dalam diri perempuan itu sendiri yang harus lebih dulu dipahami, sebelum beranjak mempersoalkan hal-hal yang lebih kompleks lainnya.

 Akhirnya, “Laki-laki yang salah” dengan gambar sampul seorang lelaki yang memegang buah apel berwarna merah ini tidak sekedar menjadi bacaan yang menarik tentang laki-laki. Lebih dari itu, dengan gaya narasi serta diksi yang cukup memikat namun dan tidak terlalu rumit, buku ini berhasil menampilkan sisi lain dari epistemologi cinta seorang perempuan.  

POTONGAN CERITA YANG MERESAHKAN 

(tidak termuat di mana pun)


JUDUL BUKU: Potongan Cerita di Kartu Pos

PENULIS    : Agus Noor

JENIS          : Sastra ( kumpulan cerpen )

PENERBIT : KOMPAS

CETAKAN : I, September 2006

TEBAL       : 174 Halaman

UKURAN   : 14 x 21 cm

 


Hakikat penciptaan setiap karya sastra adalah mutlak karena fantasi pengarang dari pencerapannya atas fenomena maupun realitas sosial, yang kemudian diartikulasikan kembali lewat teks dengan balutan nuansa estetika tertentu. Akan tetapi, hakikat tersebut ternyata tidak secara otomatis membuat setiap karya sastra bisa disebut “fantastik"

Tzvetan Todorov dalam bukunya The Fantastic[1], menyebut “the concept of fantastic is therefore to be defined in relation to those of the real and the imaginary”. Lebih lanjut, ia menyebutkan dalam cerita fantastik “..occurs an event which cannot be explained by the laws of this same familiar world[2] Senada dengan pikiran tersebut, Jacques Finne[3] memperkenalkan terminologi neo-fantastique. “Neo” dalam hal ini tidak bermakna diakronis (waktu), namun lebih pada tataran content (isi), yaitu cerita fantastik yang tidak sekedar mengangkat persoalan irasional, namun juga mengandung gagasan-gagasan filosofis lain semisal ambiguitas moral dan cedera psikologis dalam diri manusia.  

Dalam khasanah karya sastra Indonesia, cerita fantastik masih dianggap seperti barang aneh dan bukan merupakan karya sastra yang “bermartabat” tinggi. Cerita fantastik cenderung diidentikkan secara menyempit dengan cerita mistik yang sekedar mengupas campur baurnya antara dunia supranatural dan yang natural; perkawinan antara jin dan manusia, Sundel Bolong manis di Jembatan Ancol, dan sederet eksploitasi jenis lelembut lain seperti banyak ditemukan pada cerpen-cerpen di koran-koran “gaib” atau buku-buku stensilan, yang secara kualitas sulit untuk dikatakan sebagai piranti hegemonik dalam konteks ekologi sastra Indonesia. Meskipun begitu, beberapa karya sastra fantastik seperti antologi cerpen “Godlob” karya Danarto, dan “Sihir Perempuan” karya Intan Paramaditha terbukti mendapat sambutan yang sangat apresiatif dari khalayak.

Antologi cerpen “Potongan Cerita di Kartu Pos” karya Agus Noor, kurang lebih muncul dengan nada dasar fantastisisme. Terdapat sembilan cerita pendek dalam antologi dengan cover kartu pos bergambar gadis bersayap berwarna cokelat ini, di mana masing-masing cerita diberi prolog lewat tulisan pada kartu pos yang dikirimkan oleh rekan-rekan sesama pengarang kepada Agus Noor. Pertanyaannya, apa kaitan antara kartu pos tersebut dengan keseluruhan teks cerita pada buku ini? Sebagai cerpenis yang identik dengan jauh dan liarnya daya fantasi seperti telah berhasil ditunjukkan pada beberapa karyanya terdahulu semisal “Memorabilia”, atau yang sarat nuansa kritik sosial macam antologi naskah monolog “Matinya Toekang Kritik”, sejauh mana eksperimentasi fantasi dan pencapaian estetis yang ditawarkan oleh pengarang kelahiran Tegal dalam karyanya ini? Apakah antologi ini berhasil mencapai apa yang disebut neo-fantastique, atau sekedar cerita fantastik yang meresahkan belaka?

 Fantastis Kompleks   

Cerita Fantastik menjanjikan petualangan ke rimba raya cerita yang membutuhkan nyali dan seperangkat pengalaman pembacaan lebih untuk menjelajahinya. Karena seperti sedikit diungkap di atas, tendensi penciptaan cerita fantastik adalah menimbulkan keresahan-keresahan hermeniutis; rancunya antara yang real-surreal, rasional-irasional, mungkin-tak mungkin, dalam perspektif kehidupan sehari-hari. Uniknya, kerancuan tersebut memang sengaja dirancang tidak untuk dipecahkan atau dipahami oleh pembaca, namun demi memenuhi gairah fantastik sekaligus keresahan itu sendiri.

Pada antologi ini, hal tersebut langsung terlihat pada cerpen pertama, Komposisi untuk Sebuah Ilusi. Cerpen ini menceritakan tentang maneken (patung) yang ingin bersetubuh dengan lelaki penjual obat yang kebetulan sedang duduk-duduk di seberangnya. Agus Noor tidak sekedar mempersonifikasikan, namun juga menghumanisasikan patung itu, sehingga pada akhirnya persetubuhan tersebut memang “benar-benar” terjadi.

Peristiwa irasional sebagai salah satu unsur penyusun cerita fantastik secara lebih ekstrim dapat ditemukan dalam cerpen Pagi Bening Seekor Kupu-kupu. Cerpen ini menceritakan seekor kupu-kupu yang sepakat bertukar tubuh dengan seorang bocah penjual koran, karena masing-masing saling penasaran dengan posisi “manusia” dan “hewan” Sedangkan dalam cerpen Dongeng buat Pussy, diceritakan bahwa sang tokoh hidup bersama potongan kepala neneknya yang disimpan dalam lemari es, yang setiap malam selalu mendongeng untuknya.

Dalam bukunya Cerita Fantastik[4] yang secara spesifik menelaah prosa fantastik Indonesia, Apsanti Djokosujatno menyebutkan cerita fantastik mutlak membutuhkan dan memanfaatkan dekorasi realis baik dari unsur tokoh, setting, maupun teknik penceritaan[5]. Pendapat ini ternyata tidak sepenuhnya benar, karena beberapa tokoh, setting, dan teknik penceritaan dalam antologi ini justru merepresentasikan satu keadaan simbolis, surrealis, absurd, dan bersudut pandang polivalen dalam konteks penceritaan. Misalnya ditunjukkan dalam cerpen Cerita Buat Bapak Presiden (hal.30)

“…kota kami pada mulanya merupakan permukaan danau yang sangat bening…lalu pada suatu hari dari dasar danau itu perlahan-lahan muncul sebuah kota dengan istana-istana dan kastil-kastil…” 

Coba bandingkan dengan deskripsi Italo Calvino dalam novel surrealisnya, “Kota-kota Imajiner”

..Oktavia, kota jaring laba-laba itu, dibangun. Di antara tingginya dua pegunungan terdapat sebuah tebing curam: kota itu terletak di atas kekosongan, terikat pada dua puncak dengan tali dan rantai-rantai serta ambal-ambal peraga..[6]

 Juga kemunculan tokoh-tokoh aneh seperti “raksasa berkepala empat”, “pemain biola bertubuh biru”, “manusia terbang” “manusia setengah robot” atau pemilihan nama tokoh seperti Kadosta dan Pitados, yang jauh dari kesan prosa realis.

 Sedangkan teknik penceritaan yang banyak digunakan adalah teknik gabungan, yakni antara sudut pandang orang pertama (aku-an) dan orang ketiga (dia-an) muncul bersamaan dalam satu cerita. Adapun “aku” sebagai narator tidak hanya dimonopoli oleh tokoh utama, namun juga dipakai oleh tokoh lain dalam cerita tersebut. Ini ditunjukkan misalnya pada cerpen Komposisi untuk Sebuah Ilusi dan Pagi Bening Seekor Kupu-kupu.

“Aku hanya maneken…ingin aku menghambur, menerobos kaca etalase, dan bersimpuh di depan kaki laki-laki itu..(hal.4)”

“Aku merasa konyol ketika terus-menerus memandangi maneken itu..(hal.5)”

..sesekali tangan laki-laki itu nakal menyelusup gaunnya, membuat ia hanya bisa mendesah sambil..(hal.10)

Selain memadukan teknik penceritaan telling dan showing dalam satu teks, ada juga teknik penulisan fragmentasi; mencacah cerita menjadi enam belas bagian yang masing-masing koheren, namun tidak harus dibaca secara hirarkis menurut urutan. Secara apik teknik ini terinternalisasi dalam cerpen Puzzle Kematian Girindra, tetapi nampak sekedar sebagai benang pengait pada cerpen Tiga Cerita Satu Tema.

  Tawaran lain dari antologi ini, meskipun aspek fantastik sulit untuk dipahami secara logika, namun secara implisit pembaca bisa mengidentifikasi realitas dan kritik sosial khususnya dalam konteks Indonesia. Hal ini dikarenakan pada beberapa cerpen, simbol-simbol seperti [mahasiswa], [demonstrasi], [jembatan], [sniper] segera mengantarkan horison harapan pembaca pada tragedi Mei 1998; [Mulan], [Dani] dan [Maiya] dalam cerpen yang menjadi judul antologi ini, Potongan Cerita di Kartu Pos, yang secara ikonik tidak berbeda dengan Mulan, Dani dan Maiya sebagai selebritis negeri ini. Kemunculan simbol-simbol ini kemudian diolah dengan cermat untuk mentransformasikan kritik-kritik sosial semisal problematika busung lapar, banjir, kerusuhan, namun tanpa meninggalkan bingkai cerita fantastik.  

Memang, tak ada hutan yang tak pernah terbakar di Indonesia. Dan setidaknya terdapat dua “titik api” yang menganggu panorama fantastik dalam antologi ini. Pertama, keberadaan prolog berupa kartu pos. Pesan singkat secara verbal mengenai karya maupun tendensi dan sosok pengarang pada kartu pos di setiap awal judul cerita tersebut malah menjadi blunder, karena disadari atau tidak, akan mengkonstruksi interpretasi pembaca. Kedua, dalam cerpen Puzzle Kematian Girindra dan Dongeng untuk Pussy, pengarang terlihat terlalu sibuk bereksperimen dengan fragmentasi dan irasionalitas sehingga klimaks, rising action dan conclusion yang mutlak inheren dalam alur sebuah prosa luput untuk tergarap lebih kuat. Boleh jadi, titik api tersebut terjadi lantaran pengarang masih gamang menentukan apakah kesan fantastik-lah yang lebih ingin ditonjolkan, atau sekedar menjadi kendaraan untuk melontarkan kritik sosial lewat jalan yang berbeda.

Tapi secara keseluruhan, eskperimentasi kompleks Agus Noor untuk memadukan estetika absurditas, surrealis, fantastik, dan kritik sosial lewat teknik penulisan serta gaya bahasa yang memikat, merupakan satu pencapaian gemilang. Dan yang terpenting, terbitnya buku ini mau tidak mau ikut mengangkat martabat karya sastra fantastik yang selama ini kurang mendapat perhatian dari media massa-media massa hegemonik maupun khalayak sastra pada umumnya, dalam konteks ekologi sastra Indonesia.

Selamat membaca dan resah..



[1] Cornell University Press, Ithaca New York, 1980

[2] Todorov, The Fantastic, New York, hal 25

[3] dalam Apsanti, Cerita Fantastik, 2005, hal 12-13

[4] Cerita Fantastik (dalam perspektif Genetik dan Struktural), Djambatan, Jakarta, 2005

[5] ibid, hal 55-65

[6] Kota-kota Imajiner hal.85