[cerpen]

Madah

(Dimuat pertama kali di Jawa Pos, 20 November 2017)

Oleh: Kukuh Yudha Karnanta


Rumah kami rumah kenangan, gerimis doa alun senada. Rumah kami selembar bulan, duaja merah rindu berada

Begitulah madah itu diajarkan, dilagukan, turun temurun, oleh setiap penghuni rumah ini. Siapapun akan mendengarnya di kala subuh saat cahaya matahari belum utuh, saat pendaran lampu-lampu belum genap dimatikan. Juga di ambang maghrib saat angin terasa gaib oleh senja yang berangsur raib. Kadang kami melagukannya bersama, kadang sendiri, hingga kami merasa bahkan dalam diam sekalipun kami sesungguhnya melagukan madah itu. Dalam hati, tentu saja, hati yang tak pernah berbunyi namun senantiasa merasai betapa kami tinggal dalam kenangan tentang hujan dan doa, merindui selembar duaja merah bergambar bulan yang menghilang.

Jika di sudut langit bulan melingkar genap benderang, kami akan duduk di halaman, melagukan madah itu bersama-sama para tetua desa. Ayah akan mengenakan baju lurik bergaris hitam kebiruan, menyalakan damar, sembari memetik sitar yang di hari-hari biasa tersimpan di sebidang makam keluarga kami yang terletak sehari perjalanan ditempuh dengan kaki. Ibu akan mengenakan kebaya merah muda yang lusuh juga tua. Sementara aku dan kedua adikku duduk bersila sembari terus berlagu, menghidupkan setiap kata dalam syair madah itu sesuai pikiran dan perasaan kami sendiri.

Sesungguhnya kami, aku dan adikku Damar telah jenuh dan muak dengan kebiasaan di rumah kami, madah yang tak pernah kami mengerti berkisah tentang apa dan untuk apa, kisah selembar duaja bergambar bulan dan rumah impian yang tak pernah kami lihat namun kami harus percaya memang demikian adanya. Tapi kami segan menanyakan siapakah pencipta madah itu, atau mengapa kami harus melagukannya, sebab setiap kali bertanya kepada ayah dan ibu, atau mereka yang kami anggap tua, selalu dijawab dengan air mata—air mata yang kubayangkan kadang berulir bening, terkadang merah menyala, dan tak jarang hitam menjelaga. Jika kami bertanya dengan sedikit nada mendesak, mereka tak hanya berurai air mata, namun juga akan terisak-isak hingga sekujur tubuh kami tak kuasa menahan ngeri dan sesak tak terperi, mendapati betapa suatu pertanyaan ternyata bisa begitu tajam mendalam mengiris hati yang, kami duga, telah lama memar dan mengidap suatu perih yang selalu tak mampu kami mengerti.

Dua hari lagi purnama tiba. Aku dan Damar selalu mendapat tugas untuk mengambil sitar dan kebaya di makam leluhur kami. Maka sebelum matahari berangsur tinggi, kami segera pergi, dengan membawa sebakul kembang, kendi, dan sebilah parang kalau-kalau kami menjumpai hewan buas.

“Apakah ini kutukan?”

Kubalas pertanyaan adikku dengan lirikan, sambil terus berjalan. Bukan sekali ini Damar bertanya, dan selalu kujawab dengan diam. Saat seusianya dulu aku pun tak henti mempertanyakan hal itu kepada ayah, bahkan dengan nada dan cara yang lebih keras, setiap kali ayah mengajakku menempuhi jalan setapak di hutan jati yang tandus ini demi mengambil sitar dan duaja. Ingatanku akan suatu peristiwa terbangun sepanjang perjalanan, terusik oleh pertanyaan Damar tadi.

“Ayah, kenapa tidak kita simpan saja duaja dan sitar itu di rumah?” tanyaku saat itu. Ayah hanya menoleh sekilas, lalu menghentikan langkah.

“Lam, lihat ini. Ini tahi macan. Tapi bukan macan loreng, Lam, ini macan tutul. Atau gogor ya? Hmm.” Ayah melirikku, seakan memancing rasa penasaranku. Biasanya aku selalu tertarik dengan cerita ayah tentang macan yang memang sudah lama sekali tidak terlihat di desa ini. Namun saat itu aku tak peduli.

“Besok aku tak mau ikut ayah ke makam lagi,” ujarku sambil melangkah gegas.

Ayah segera menyusul dan menawarkan kendi.

”Minum dulu, Lam,” ujarnya. Lagi-lagi aku mengacuhkannya, mempercepat langkah menuju cungkup makam yang terlihat tinggal beberapa jangkau di depan.

Ayah langsung menuju pancuran air dekat sungai di pinggir makam, membersihkan tangan dan kaki sembari membasuh muka. Kulihat jejak tapak dan kotoran macan di sekeliling makam, selalu seperti itu. Anehnya, tak pernah kudapati jejak atau kotoran macan di dalam makam, meski di dalamnya ada gubuk dirundung pohonan beringin yang teramat besar yang kukira sangat nyaman untuk berteduh.

Aku berdiri tak jauh dari ayah saat ia mendadak kaku, tubuhnya bergetar, mendapati duaja merah bergambar bulan yang akan diambilnya tak ada di tempatnya. Sitar dan kebaya ibu ada, namun duaja itu tak ada. Ayah menoleh kepadaku, matanya awas menembusi relung penglihatanku. Seketika tubuhku gemetaran. Ingin aku menunduk tapi tak mampu. Pandangan ayah seakan memaku kepalaku. Nafasku tersengal, terkejut, tak pernah kulihat wajah ayah tiba-tiba berubah seperti seseorang yang tak pernah kukenali.

Ayah meraung, menghampiri setiap sudut di gubuk dan cungkup-cungkup makam. Duaja itu tak ada. Tetap tak ada. Setengah berlari ayah menghampiri pohon asem, kepalanya mendongak seakan mengurai tiap ranting dan rongga di dahannya. Ayah segera melompat, meraih baju kebaya dan sitar, memeluknya seakan dua benda itu tak pernah ia lihat sebelumnya. Saat itulah, pertama dalam hidupku, aku melihat seorang lelaki yang teramat sabar dan tegar menitikkan air mata, meraung dan terisak-isak. Air mata itu teramat sakit, hitam, pekat, seakan endap kesedihan bertahun-tahun kini menemukan celahnya untuk mengalir.

Ayah, sungguh tak pernah kukira dukamu bisa mengarus sekelam jelaga.

Kudapati kesadaranku kembali. Aku segera berlari menuju sungai.

“Lam, Galam.” Tak kuhirau panggilan ayah. Aku melesat ingin segera tiba di tempat yang kutuju, tempat aku sengaja menyembunyikan duaja merah itu beberapa hari yang lalu. Tanganku meraih seonggok batu, berusaha menggesernya. Dadaku berdegupan. Bayangan wajah ayah, suara isaknya, berdengungan di kepalaku, mengaliri urat-urat jariku yang berkeras menggeser batu itu. Tak ada! Ah, tidak mungkin. Duaja itu kutaruh di situ beberapa hari lalu. Kualihkan pandanganku ke sekitar, tetap tak ada. Tak mungkin! Tak mungkin ada yang datang di hutan jati sejauh ini, di sudut seterpencil ini.

Ayah hanya berdiri, diam melihatku. Tak ada keberanian sedikitpun dalam diriku untuk menatap matanya. Hanya kulihat kakinya perlahan bergerak ke arahku. Aku ingin berlari, sungguh ingin berlari. Tapi sekujur tubuhku dihinggapi perasaan yang teramat ngilu menusuki dada hingga tak ada yang mampu kugerakkan atau kudengar, kecuali nafasku yang tertatih dan perih. Yang kurasakan hanya jemari ayah mengusap kepalaku, lalu memelukku dengan lembut dan amat dalam. Seakan suatu sesak menjalar dari relung tubuh kini menggantung di kelopak mata. Aku menangis sekuat-kuatnya. Sejadi-jadinya.

Ayah, Ayah, betapa aku terhukum atas air matamu.

Sejak peristiwa itu tak sedikitpun aku bertanya perihal madah yang kami lagukan, juga duaja merah, kebaya, sitar tua, dan segala yang kukira akan mengundang air mata bagi ayah dan ibuku. Kuhalau segala sangsi, sekian ragu, juga perih, setiap kali keluarga kami berlagu menjemput purnama. Jika semua itu adalah kutukan, mungkin saja itu benar, maka aku mesti menjalaninya. Kalaulah tidak, toh aku juga hidup di dalamnya, tak bisa mengelak darinya. Diam-diam aku akhirnya percaya bahwa ada beberapa hal dalam hidup yang begitu saja melekati diri, seakan sepatu yang tak bisa terlepas ke mana pun diri melangkah, dan bahkan kebal terhadap setajam apapun kesangsian. Dan air mata ayah barangkali telah menyucikanku dari segala kesangsian itu.


Rumah kami rumah kenangan, gerimis doa alun senada. Rumah kami selembar bulan, duaja merah rindu berada

“Jadi benar ini kutukan?” Damar bertanya sekali lagi.

“Aku tidak mengatakan begitu,” sahutku.

“Tapi kamu melamun. Melamun berarti benar, Kang.”

Kulihat Damar. Wajahnya lugu dan teduh, meski tak dapat kuingkari sepasang matanya yang baru lepas dari kanak-kanak itu makin tajam menghunus rasa ingin tahu. Tapi aku selalu memilih menjawab keingintahuannya dengan senyuman. Aku tak yakin dia bisa menerima penjelasanku. Ah, mungkin juga bukan penjelasan. Keingintahuan dan penafsiran sering melompat lebih jauh melampaui kenyataan. Maka, kenyataan dan penjelasan bahwa air mata ayah yang menggenangi ingatanku kurasa hanya akan semakin menyalakan rasa keingintahuan Damar yang menyala-nyala.

Angin berhembus teramat kering. Tak ada bebunyian lain kecuali suara ranting-ranting dan ranggas dedaunan jati yang bergesekan menutupi jalan setapak menuju makam. Tinggal beberapa turunan lagi kami tiba. Damar melagukan madah keluarga kami, dengan aneka nada yang dibuat-buat. Aku tertawa. Damar ikut tertawa.

Aku baru akan menantang Damar beradu lari saat kusadari, baru saja kusadari, betapa kami berdua telah melewati turunan jalan setapak ini berkali-kali sejak tadi. Ya, aku yakin. Pohon jati yang tepat bersebelahan dengan seoonggok batu besar yang bentuknya menyerupai kepala macan tempat aku menyembunyikan duaja merah yang kemudian hilang bertahun-tahun lalu itu telah kami lewati. Matahari telah miring hampir segaris dengan telinga. Tak mungkin, tak mungkin kami menghabiskan waktu selama itu jika hanya untuk tiba di bagian jalan ini, yang masih jauh dari makam. Mungkinkah lamunanku tentang masa lalu tadi teramat membuai hingga tak menyadari jalan yang kulalui? Dan Damar, apakah dia juga tidak menyadarinya?

Damar terdiam menatapku, tatapannya begitu ganjil, teramat aneh. Mendadak kurasakan bulu kudukku berdiri. Bunyi gesekan ranting dan pusaran angin hutan raib. Tapi ada semacam hawa dingin menerpa. Dengan tangan setengah gemetar Damar menunjuk ke arah batu besar itu. Mata Damar begitu awas tajam menusuk satu titik. Astaga! Tidak mungkin!

Tiga ekor macan loreng berukuran hampir seperti anak kerbau, macan yang selama ini hanya kudengar dari cerita-cerita ayah yang tak juga kupahami itu, berjalan pelan mengelilingi kami berdua. Kupegang erat tangan Damar. Kurasakan tubuhku seakan mengawang, hening, hingga bisa kudengar bunyi nafasku sendiri, juga nafas Damar, gemetar seakan gentar beradu getar dengan dengus tiga mahluk besar ini. Jika benar apa yang dikisahkan para tetua desa, betapa macan tidak memakan manusia, namun selalu melukai apa yang ia anggap membawa bahaya di wilayahnya, maka sebentar lagi habislah kami berdua. Namun jika seperti yang dikatakan ayah, macan tidak akan melukai tubuh yang teraliri madah dan niscaya, maka apa yang bisa aku dan Damar lakukan saat ini adalah diam, hanya menabuh gumam sekian doa dan madah dalam dada. Rumah kami rumah kenangan, gerimis doa alun senada. Rumah kami selembar bulan, duaja merah rindu berada.

Hening. Diam. Kurasai denyut jantungku sendiri, sembari menahan kaki yang mendadak terasa begitu lemah. Tiga macan itu menatapku. Nafasnya sesekali terengah. Angin terik mati suri. Desirannya tak kurasakan lagi. Kulirik Damar. Pandangannya seakan tertumbuk pada satu titik, pandangan yang tajam seperti yang biasa ia punyai. Genggamanku dilepasnya perlahan. Ada hawa panas mendadak menguap di punggung hingga tengkuk.

Brukk. Samar-samar kurasai kaki dan tubuhku ambruk. Pandanganku hanya segaris tipis warna bebatuan tandus, mengabur jauh, teramat jauh. Lirih kudengar suara erangan, dengkur, tapi aku, ah, aku tak sanggup menerkanya.

***

Waktu terbangun seakan beribu serangga berbisik di telingaku. Langit gelap. Kurabai tubuhku, antara berharap dan tidak, mencari kalau-kalau ada luka dan darah. Tidak ada. Bulan melingkar genap. Ah, ya, jangan-jangan sudah dua malam setidaknya kami di sini. Dibias bulan purnama, jalan setapak yang kulalui seperti bercak-bercak hitam panjang pandangan. Samar-samar kulihat Damar, terduduk bersila dengan parang bebercak darah.

“Kemana perginya?”

Damar bergeming. Pakaiannya tampak bebercak merah. Ketika aku bertanya apakah dia terluka, dia menjawab tidak sepatah kata. Membayangkan tiga macan itu kembali, nyaliku bergidik. Kuraih tangan Damar dan menariknya berjalan. Apakah kami masih harus mengambil sitar dan kebaya merah itu? Sesekali kubayangkan muka ayah dan para tetua yang kecut tersebab tak ada kebaya, siter dan madah terlagu malam itu. Juga raut muka ibu yang akan berderaian air mata mengenangkan kebaya merah yang tak jadi dipakainya. Ayah dan Ibu, hanya kami berdua yang kau punya. Tidakkah nyawa lebih berharga daripada madah dan selembar kebaya kusam seakan rumah impian yang tak jelas ada?

Bulan bundar di langit masai, kami berjalan dengan langkah dan pikiran gusar tak selesai. Dingin angin kami tak rasa, duri di semak kami tak jera. Selepas jembatan bambu di depan rumah kami berada. Sayup terdengar suara tabuhan dan madah nyaring terdengar. Ah, apa pula? Dari jauh kami lihat damar menyala. Dua orang menabuh gendang, kukira ayah salah satunya, sedang ibu menari, gerakannya teramat kuhapali. Damar masih membisu. Ah, betapa dalam perjalanan kembali ini dia hanya diam tak seperti jamaknya dia kerap bertanya. Semakin dekat semakin lekat gambar yang kulihat: ayah mengenakan baju lurik bergaris hitam kebiruan kebanggaannya sembari memetik sitar, ibu dengan baju kebaya merah tua menari dengan duaja dikibar-kibarkan. Lalu dua orang di belakangnya...ah mustahil!

Seakan suatu kekuatan mendekap lekat dadaku. Berdiri di sebelahku, Damar terdiam. Tatapannya, juga tatapanku, menghujam sekerumunan tubuh-tubuh yang sedang menari dengan purnama di ubun-ubun mereka. Ya, tubuh-tubuh yang kami kenali, dengan duaja yang kami kira raib tak kembali. Bahkan kini kami lihat tubuh kami sendiri turut berada di sana, bermadah teramat sendu, teramat merdu, seakan besok kami akan bisu.

Rumah kami rumah kenangan, gerimis doa alun senada. Rumah kami selembar bulan, duaja merah rindu berada.

Jatirogo, 2017

Secangkir Glühwein untuk Darda'il

(Dimuat pertama kali di Jawa Pos, 26 Desember 2018)

Oleh: Kukuh Yudha Karnanta


Di saat gerimis menggaris tipis, dan tebal kabut begitu akut, aku melamunkan burung möwe (camar), krähe (gagak), atau taube (merpati), dan segala jenis burung yang biasa berkitar liar di sekitar pantai dan teluk di sini, pastilah sedang mendekam dengan bulu terkembang sembari saling bercumbu dengan pasangan masing-masing. Dalam cuaca dingin di mana api unggun hanya sebatas rencana yang gagal, dan selimut tebal tak bisa menahan gigil yang bebal, bergumul bisa jadi pilihan terbaik selain menenggak anggur ditemani cerutu sampai jatuh dan tersungkur.

Tapi sungguh, aku tak paham dengan tingkah gadis asing yang sedang duduk sambil terpingkal-pingkal di depanku ini. Tak pernah bertemu sebelumnya, tiba-tiba ia datang menghampiri sambil membawa dua gelas glühwein dan mengatakan akan mentraktirku malam ini. Ia juga menawarkan—lebih tepatnya melemparkan cerutu ke arahku, yang jika dilihat dari jenisnya sulit untuk mengatakan dia tipe gadis yang hanya merokok di kala putus asa, atau sekedar coba-coba.

Kemudian dia memperkenalkan diri bernama Helen, asli Jerman. Dengan alasan basa-basi paling basi sekalipun, sungguh, tak ingin aku merespon salam pekenalan darinya. Hanya sekilas kuperhatikan matanya saat ia bicara; mata yang lebar dengan pupil kebiruan. Alisnya cokelat muda tebal, sangat kontras dengan kulit wajahnya yang khas Eropa; putih terang dan nyaman dipandang. Dia mengenakan sweater wol rajut bermotif kereta santa, yang terlihat agak terlalu besar untuk tubuhnya. Rambutnya lurus sebahu, terbungkus penutup kepala warna merah muda..

“Dari mana asalmu?”. Aku tak bicara. Hanya menggeleng. Tatapannya teduh namun mendalam seakan teluh hendak merelungi tubuhku. Lalu dia berkata setengah tersenyum, “Cuaca dingin seperti ini kau bahkan tak memakai sehelai mantel pun? Sangat aneh.” Aku membalas senyumannya dengan tarikan nafas panjang sambil mengangguk-angguk kecil setengah terpaksa. Jujur saja, aku tak suka jika ada yang mengganggu kegemaran sekaligus tugasku untuk bersendiri dan diam-diam mengamati.

Bagi banyak manusia, barangkali kegemaran dan tugas adalah dua hal berbeda. Hidup mereka pun selalu berada di antara gaya tarik-menarik antar dua hal itu. Maka, perasaan lelah, ketidakadilan, bahkan kadang putus asa, sama purbanya dengan usia dunia mereka. Tapi, tidak bagiku. Keduanya adalah sama. Kesendirian adalah momentum paling sempurna untuk bercakap-cakap dengan diri sendiri tentang apa saja, tanpa perlu malu, takut, atau gelisah pada suatu perasaan apapun. Lain halnya manusia yang berinteraksi dengan rutinitas sehari-hari yang seringkali terlalu menuntut dan mutlak harus diturut.

Lagipula aku sudah terlanjur yakin bahwa aku memang hidup untuk sendiri, diam-diam mengamati, merekam tiap getir, keluh kesah, atau harapan yang kadang terkatakan lantang, kadang lemah dalam bisikan, atau bahkan yang teredam dalam diam dari tiap manusia. Itu adalah kegemaranku, sekaligus tugas yang tak pernah lepas dariku. Aku akan berpindah, selalu tak pernah menetap lama. Aku hanya mendengar dan tak harus mengenal kata berbagi, ingin, atau lain-lainnya lagi.

Tetapi kenyataan sekarang memang sungguh ganjil. Meski mahluk bernama Helen ini kusadari sedang menginterupsi kesendirianku, aku tak cukup punya alasan untuk pergi. Cuaca di luar teramat buruk: kabut membuat jarak pandang berkisar tiga meter, dan membuat segelas glühwein panas hanya mampu mempertahankan kehangatannya tak lebih dari waktu yang dibutuhkan menghisap setengah batang cerutu. Lagipula selain penjaga gerai di weihnachtsmarkt[1] yang meringkuk menahan dingin dan kantuk, tak ada lagi mahluk selain aku dan gadis kejutan ini. Mana bisa mendadak pergi?

“Rupanya kamu orang yang suka diam, ya?” tanyanya lagi. Aku menggerakkan sedikit kepalaku, dan kutarik alisku agak ke atas. Dia mengangguk, seakan memahami maksudku.

“Baiklah. Kalau begitu aku saja yang berbicara. Kalau kamu mau membalas aku akan senang. Kalau kadu diam pun tidak mengapa, aku hanya ingin kamu tahu. Deal?” begitu katanya. Aku menghela nafas panjang dan mengangguk. Ah, ini akan jadi lebih lama dari yang kuduga, pikirku.

Jam menunjuk pukul dua dini hari ketika dia bercerita tentang hidupnya: yatim-piatu semenjak usia sembilan tahun; kerja sambil belajar di suatu perguruan tinggi di daerah pinggiran Hamburg; bertunangan dengan seorang pelaut untuk kemudian gagal karena kapal yang dinahkodai kekasihnya dinyatakan tak akan pernah berlabuh kembali di suatu malam badai beberapa tahun lalu.

Aku memang tak seberapa menghiraukan ceritanya. Tetapi dapatlah kukatakan, bahwa pada awalnya dia mampu bercerita dengan jelas dan kronologis. Namun selepas dia menenggak lima-enam gelas glühwein dicampur dengan rum, bicaranya jadi tak karuan. Ini diperparah dengan cerutu tipis yang daun tembakau dan kertas lintingannya dijual terpisah itu. Helen mengeluarkannya tanpa perasaan bersalah sedikitpun, melintingnya, lalu menghisapnya dengan detail bibir yang begitu subtil hingga per satuan helai asap seolah terlalu sayang untuk dibuang. Aromanya sungguh kuat dan khas. Maka beberapa saat setelah itu, jadilah semua yang diceritakannya terkesan ambigu, tak tentu maksud, dengan ekspresi bicara yang teaterikal dan terkesan absurd.

Apa yang membuatnya terpingkal-pingkal seperti saat ini, adalah ketika ia bertanya kepadaku, “Mengapa banyak orang justru membeli kemabukan di eh..ehsitu? Ha..ha..” ucapnya sambil menunjuk menara rumah ibadah. Itulah pertanyaan yang diajukannya kepadaku, sekitar lima menit lalu. Selama itu pula dan hingga kini, ia tertawa begitu lepas tak tentu arah.

Ah, aku tahu, itu jenis pertanyaan sindir ejekan yang bukan tanpa dasar. Eropa, ya aku paham. Tempat di mana ilmu dan logika pernah menjadi segalanya. Menyempit ke Jerman, negeri penghasil banyak pemikir berotak kidal sehingga pemikirannya pun kerap kekiri-kirian, namun tetap liberal memuja kebebasan. Dan mengapa aku bilang bahwa pertanyaan Helen tadi adalah sindiran, lebih tepatnya sindir satir yang cerdas, adalah diam-diam aku berpikir dia tak sepenuhnya keliru.

Pertanyaannya itu mengingatkanku akan kejadian beberapa tahun yang lalu, ketika di suatu negeri nun jauh di sana terjadi bencana dahsyat tak berkeputusan. Pada musim kemarau, segalanya mengering dan menyedihkan: sawah hanya tanah kering yang retak, pepohonan meranggas, dan sungai-sungai mengering menjelma tanah lapang tempat bocah-bocah bertubuh layu bermain sepak bola bergawang debu.

Udara dan pemandangan yang terlampau gerah dan menyedihkan itu diperparah dengan beberapa ladang yang mulai terbakar. Tak begitu jelas mengapa dan siapa yang membakar. Yang pasti, terjadi keributan antar penduduk tentang siapa yang harus dipersalahkan dalam kebakaran seperti itu. Beberapa pihak yang dituduh mengaku dirinya hanya disuruh oleh tuan tanah yang mereka sendiri tak pernah melihatnya. Ketika ia terus dipaksa dan akhirnya dengan pasrah menyebut sebuah nama, maka tertuduh itu kemudian dianggap tak hanya membakar hutan, tapi juga tukang fitnah!

Begitulah, keributan itu menerus berulang, seperti sengketa tak berkesudahan. Perangkat desa itu sudah berusaha melakukan berbagai tindakan untuk meredakan kegusaran warga. Tetapi itu saja tidak cukup. Seluruh warga seolah terlalu sangsi untuk menuruti segala perintah yang diberi. Sampai pada saat para tetua di negeri itu mengumandangkan seruan-seruan sebagai penenang. Ajaib! Sebagian besar penduduk seolah terbius, mendadak terdiam seakan suatu mantra sakti mandraguna meredam segala kegalauan.

Selang beberapa bulan kemudian, langit seolah menjawab doa mereka. Hujan membayar dahaga mereka dengan curah yang setimpal. Sungai menderas, rumput-rumput hijau semarak dengan celoteh girang dari kanak-kanak. Semua orang bergembira menyambut hujan yang dianggap selalu membawa mujur, karena mereka kini tak lagi menganggur sebab sawah dan ladang kini siap disemai dengan padi, rempah ataupun biji anggur.

Sayang, keceriaan karena lepas dari langit kemarau itu tak berlangsung lama. Bala banjir dan gelombang pasang dari laut di utara negeri menjelma lengan-lengan Izrail yang datang mengambili nyawa-nyawa penduduk desa itu secara acak. Di bukit, di pesisir, setiap hari, selalu saja ada yang meninggal. Penduduk desa mulai putus asa dan marah. Di saat itulah, sekolompok tetua dengan hiasan zirah di tubuh dan kepala, bekerja keras mencegah keputusasaan penduduk macam itu. Dan sekali lagi seperti waktu lalu, mereka berkumpul untuk berdoa beramai-ramai. Setelah berdoa dengan seksama, mereka pulang bersama dada lapang sembari serempak berkata “Beruntunglah terdapat bencana susul-menyusul seperti ini, sebab dengan begini persatuan dan kesatuan kita yang selalu rentan kini semakin terkuatkan.” Dan tak ada upaya lain yang sungguh-sungguh kulihat dari mereka agar malapetaka semacam itu tak terulang di tahun berikutnya.

Ah, aneh sekali. Memang begitukah tabiat manusia?

Sering aku merenung dan membayangkan jawaban atas pertanyaanku itu. Dan Helen yang masih saja terpingkal-pingkal di depanku ini membuatku sedikit menemu jawab. Ah, sudah lewat delapan menit ia tertawa. Tidakkah ia lelah?

Tiba-tiba Helen menutup bibirnya, lalu terdiam. Bahkan lebih aneh, mimik mukanya berbalik total seperti hendak menangis. Matanya membening, bibirnya bergemetar samar. Ia sedang menahan air mata.

Tiba-tiba dia menggeser posisinya: duduk tepat rapat di sebelah bahu kananku. Kerlip lampu-lampu dari kapal yang hendak merapat ke pelabuhan tampak sedikit cemerlang. Barangkali kabut sudah berangsur menipis. Tiba-tiba saja disandarkannya kepalanya itu pada lenganku, dan dengan setengah memeluk ia mulai terisak.

“Kau lihatlah di luar sana. Lautan itu menyimpan begitu banyak riak di dalamnya, yang pada suatu saat akan meledak menjadi gelombang. Setiap kali aku menatap ombak, juga kapal-kapal yang datang dan pergi itu, aku selalu teringat..” suaranya kembali parau. Dingin. Helen tak mampu melanjutkan kalimatnya. Dia menangis lagi.

“Dia masih di sana bukan? Ah..mengapa..bahkan sekadar bisik menenangkan. Tak ada jawab, selain bunyi-bunyi ganjil yang selalu menerorku di malam hari dan membuatku mengigil tak henti mengutuki diri sendiri!”

Helen seakan bermonolog, dan kalimatnya yang terakhir itu seakan marah sekaligus lemah, dan jujur saja aku sedikit tertarik.

“Kenapa kamu masih diam saja? Kamu mengerti ceritaku, kan?” tanyanya.

Pada jarak dan suasana sedemikian dekat aku putuskan untuk membalas tatapannya. Ah, sepasang mata yang indah namun dengan tatapan kesepian yang begitu pucat. Kukira Helen juga merelungi mataku, dan kurasakan kini dia sengaja lebih mendesakkan tubuhnya kepadaku. Tapi, sungguh, aku tetap tak menemukan alasan untuk berlaku lebih dari diam.

“Kenapa kamu baru datang sekarang, malaikatku?” Nada bicaranya kini selembut kabut. Diraihnya tanganku lalu ditempatkannya pada pipi kanannya yang basah oleh air mata. Aku membalas pandangan matanya yang masih membasah, sama dalam dan tenangnya. Sementara aku dan dia saling melepaskan pandangan, aku merasa di antara jarak pandang itu, beribu cemara tumbuh menjulang begitu rimbun dan tinggi. Terlalu rimbun, hingga aku, dan mungkin dia, tak bisa melihat sesuatu yang dicari dengan lebih seksama. Tak bisa! Hanya bisa saling menebak-nebak, memanjat kemudian turun dan naik di pohon yang lain lagi, begitu seterusnya, berharap bisa menemukan sudut penglihatan yang lebih baik.

Mendadak ia melepaskan tanganku, berdiri dan berjalan agak linglung, menoleh sejenak ke arahku, lalu pergi menembus kabut dan gerimis. Ah, segelas glühwein yang Helen berikan untukku bahkan belum terminum separuh.

Ketika melihat punggungnya menjauh, sungguh aku tak tahu persis apa yang sebenarnya Helen pikirkan atau duga tentangku. Kemungkinan ia berpikir bahwa aku bisu. Atau, aku tak berminat pada nafsu. Aku maklum, dan itu tak masalah bagiku. Tapi karena kejadian barusan aku mulai berpikir bagaimana jika seandainya aku ini manusia, yang ternyata bisa begitu rela melakukan apa saja demi menawarkan rasa sepi dan kerinduannya…


Hamburg, 2018


Wadi Suwung

(Cerpen Juara 3 Lomba Cerpen Pekan Seni Mahasiswa Nasional 2006)

Oleh: Kukuh Yudha Karnanta


Tak mungkin benar-benar kutinggalkan sarangku bila tubuh masih suram dan hatiku adalah sapasang sayap yang di dalamnya tumbuh seribu pertanyaan berwarna kelabu. Dan waktu, aku ingin detik berputar ke kiri agar aku bisa kembali untuk memahami maksud dan rahasia Bapak yang hingga kini tak pernah aku mengerti. Juga kenangan atas Mas Kayat dan Mas Pardi yang meninggal sebelumnya, yang masih menyisakan keganjilan begitu dalam dan selalu gagal kutafsirkan.

Gumam dzikir memenuhi rumah tua ini, menyeretku dalam alunan doa-doa. Pikiranku gagal untuk diam dalam segala gumam. Gusar membesar. Sementara Wak Karto yang menjadi modin dalam malam tahlilan itu terlihat khusyuk, seolah ingin memastikan doa semua penduduk merasuk.

Satu jam, aku duduk sembari melafalkan doa-doa untuk almarhum Bapak. Satu jam pula ingatanku terseret dalam kenangan bagaimana pemberontakanku atas “penjara” Bapak dua puluh tahun silam, yang tujuannya bahkan hingga kini tak bisa kupahami.

“Yang tabah, Mas Pujo,” ujar Wak Karto setelah tahlilan usai. Aku hanya mengangguk dengan senyuman bungkuk. Beberapa warga menyalamiku lalu memberi pamit. Di setiap salam dan jabat tangan itu, sebenarnya aku bisa membaca getaran simpati. Tetapi entah mengapa aku juga melihat tangan mereka semua tak ubahnya tangan-tangan yang memukul-pukul penyesalanku menjadi semakin dalam. Aku lihat wajah Wak Karto, seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi dia tidak jadi mengucapkannya.

Mendung bergayut di langit Semboro Kamaran. Gelap terjatuh membanting gerimis, dan sunyi tertabur di jalan-jalan. Malam ini tujuh hari kematian Bapak. Aku akan menunggunya di depan pintu, meminta maaf dan berdamai dengan masa lalu.

***

Bau kemenyan menyadap pisau-pisau pembauanku. Kutaburkan kembang piton melingkari tungku yang menyala. Di sebelahnya ada piring berisi lepet, dan juga kendi. Kuletakkan sesajen itu di pinggir pintu kayu. Aku duduk, menimang-nimang sabar menanti Bapak datang. Aku tak peduli apakah yang datang nantinya adalah ruh, bayangan, atau juga halusinasi tentang Bapak. Yang pasti aku percaya bahwasannya sebelum hari keempat puluh, ruh orang yang meninggal masih berkitar di sekeliling rumahnya.

Aku ingat, betapa keyakinanku pada hal-hal yang gaib itu selalu ditentang oleh Bapak. Bahkan segala yang berbau gaib itu selalu diharamkannya. Termasuk ketika aku bercerita padanya bahwa aku bertemu seseorang berjubah merah panjang di tepi kebun tebu pada sebuah malam ketika bulan gerhana.

“Tetapi dia menceritakan padaku tentang sungai-sungai dan laut. Dia juga menceritakan seorang anak yang selama hidupnya bermain layang-layang..”

“Kau jangan mengada-ada! Tidak ada yang berjubah merah di desa ini. Mulai sekarang jangan keluar rumah tanpa seizin Bapak. Dan jangan kau sebarkan ceritamu itu kepada kakak-kakakmu, atau siapa saja,” begitu ujar Bapak keras.

Waktu itu usiaku masih sepuluh tahun. Aku tak punya banyak pengetahuan dan keberanian untuk menyanggah atau berkata tidak pada Bapak. “Yang kukatakan adalah benar, jangan dilanggar!” begitulah ucapan khas Bapak ketika mengakhiri kemarahannya.

Di malam-malam seusai sembahyang, Bapak biasa mengumpulkan seisi rumah untuk berceramah. Aku, Mas Kayat dan Mas Pardi, duduk bersila patuh mendengar nasihat-nasihat Bapak. Tak ada yang berani berbisik sekalipun, jika Bapak sedang berbicara. Nada bicaranya yang tegas membuatnya nampak begitu berilmu, berwibawa sekaligus beringas. Itulah mungkin yang membuat Bapak menjadi warga terpandang di desa penghasil gula ini, baik sebagai tetua maupun pemuka agama.

Banyak yang diceritakan oleh Bapak, mulai dari kisah para nabi, tafsir ayat-ayat suci hingga peristiwa-peristiwa yang selalu disebutnya yang baik dan buruk, benar dan salah, iman dan murtad dan lain-lain. Tapi entah mengapa aku tak begitu menyukai semua yang dikisahkan Bapak itu. Bagiku semua hanya bualan, bualan yang selalu dibesar-besarkan.

Tapi saat ini, aku benar-benar merindukan Bapak. Aku rindu dengan bentakannya, dengan petuahnya, kemauannya yang keras mendidik aku dan kedua kakakku seorang diri tanpa dibantu istri, karena Ibuku meninggal sesaat setelah melahirkanku. Cara beliau yang tak segan memukul, menampar, dan mengobral serapah juga sangat kurindukan.

Di mana kini kau, Bapak? Aku kupu-kupu dengan setangkup rindu dan kata maaf yang terpasang di sayapnya, tengah kembali pulang dengan ingatan yang gamang mencari jawaban.

***

Masih gelap ketika Mbok Ipah membangunkanku sambil membawakan secangkir kopi hangat dan ketela rebus. Kabut di luar jendela perlahan mencair meninggalkan jejak-jejak air. Sesekali derit suara kereta lori menjerit dari balik bukit. Juga suara-suara kelompen[1] yang beradu dengan batu-batu jalan dari kaki-kaki yang menuju langgar[2]. Subuh yang dingin. Aku diam sejenak memunguti perca-perca kesadaran yang pecah dalam tidur.

Tetapi Bapak tak datang semalam. Aku belum bisa bernafas dengan tenang. Seusai sembahyang aku duduk di amben[3] bambu tempat mengaso Bapak semasa hidup. Pikiranku masih runyam memikirkan perkelahian itu..ah, aku tak ingin mengingatnya. Hanya akan membuatku merasa begitu bersalah.

“Bagaimana kerjanya di kota?” tanya Mbok Ipah.

“Biasa saja. Kabar Mbok sendiri bagaimana?”

“Lumayan. Tinggal satu tugas lagi, setelah itu mungkin Mbok pergi menyusul.”

“Menyusul apa?” Mbok Ipah melihatku dengan tatapan ganjil.

“Menyusul Bapak!”

Aku terkejut mendengar ucapannya. Belum sempat aku bertanya lebih lanjut, Mbok Ipah sudah berlalu dari pandanganku.

Aku tak seberapa tahu sejarah tentang Mbok Ipah. Yang aku tahu, dia sudah ada semenjak aku dilahirkan. Anehnya, meski ia satu-satunya perempuan di rumah ini, namun Bapak tidak pernah menyuruhnya secara khusus untuk merawatku. Pernah aku dengar dari tetangga, Mbok Ipah adalah mbok emban[4] dari keluarga ibu. Tapi bagaimana dan siapa keluarga Ibu, aku juga tak tahu. Bapak tidak pernah menceritakannya kepadaku.

Aku memakan ketela rebus sambil menghisap rokok. Tatapanku mengurai seluruh ruangan rumah, mengais-kais jejak masa kanak yang masih tersisa. Kursi, lemari, lampu-lampu khas Jawa yang begitu kusukai namun Bapak sangat membencinya, semua masih ada. Seperti tidak ada yang berubah semenjak dua puluh tahun yang lalu aku memutuskan pergi dari rumah ini; pergi dari kesepian dan penjara Bapak yang tak memberikan aku kesempatan untuk menjadi kupu-kupu.

Ya, sampai usiaku dua puluh tahun, dianggapnya aku kempompong yang lemah, rapuh sehingga harus terus dimomongnya, dilindunginya bahkan dari sengat matahari sekalipun. Aku bisa memaklumi tindakan Bapak, karena akulah anak termuda. Apalagi kemudian aku mendapat gelar “anak semata wayang”, setelah Mas Kayat dan Mas Pardi meninggal dengan ganjil sebelumnya.

Mas Kayat, kakak tertuaku mati setelah ia bercerita bahwasannya ia bertemu dengan seorang berjubah merah di pinggir kali dekat pembuangan limbah. Jika aku mengingat-ingatnya, masih begitu kuat rasa terheran-heranku dengan prosesi kematiannya itu.

Saat itu seusai sembahyang subuh di ruang tamu, ia pergi ke kamarnya dan dari luar aku mendengarnya sedang berdzikir lirih. Aku, Mas Pardi dan Bapak tak menaruh curiga dengan hal itu, karena itu sudah biasa dilakukannya. Sampai pada saat menjelang siang, Mas Kayat tak juga keluar dari kamarnya. Aku memanggilnya, berniat untuk mengajaknya makan siang lalu sembahyang.

Begitu aku membuka pintu kamar, aku melihatnya duduk bersila, matanya terpejam sambil jarinya masih menggengam tasbih. Aku memanggilnya, namun ia tetap diam. Lalu aku menggoyangkan tubuhnya. Badannya begitu dingin. Dan saat itu juga aku tahu ia sudah tidak bernyawa.

Setelah kematian Mas Kayat, Bapak semakin keras melarang aku dan Mas Pardi untuk keluar rumah. Semua pekerjaan rumah tangga, Mbok Ipah yang mengurusnya. Hanya sesekali Bapak keluar rumah untuk memeriksa langgar, sawah dan kebun yang menjadi satu-satunya sumber keuangan. Aku tak bisa membiarkan diriku terus tersekat oleh tempurung yang diciptakan Bapak. Aku pun ingin melihat bagaimana sebenarnya hidup itu. Mas Pardi, mungkin lebih sabar dan dewasa. Ia menurut pada Bapak tanpa pernah menyangkal sedikit pun. Tapi tidak denganku! Mengapa Bapak begitu takut terhadap kecemasan-kecemasan yang sebenarnya ia buat sendiri?

Dengan sabar Mas Pardi menenangkanku, bila aku mulai mempertanyakan semua tindakan Bapak yang menurutku tak beralasan. Sampai pada suatu malam, ketika aku mengalami kejadian yang sungguh menakjubkan.

Saat itu, aku bertengkar hebat dengan Bapak. Aku terpergok meninggalkan rumah untuk sekedar berjalan-jalan di sekitar pabrik gula. Bapak dengan kata-katanya yang keras mengutukku sebagai anak durhaka, tak tahu unggah-ungguh[5]dan segala makian lainnya. Aku berontak, membalas serapahnya dengan keras. Kukatakan pada Bapak bahwa aku bukan kempompong yang selalu tersekat dalam selongsongnya. Kukatakan bahwa aku juga ingin menjadi kupu-kupu yang terbang menyapa padang ilalang dunia. Tapi Bapak tetap bersikukuh pada pendapatnya dan malah mengancam akan memasungku di lumbung padi. Aku yang kalap tidak menghiraukannya dan malah mengancam akan lebih sering keluar rumah.

Malam setelah pertengkaran itu, aku terduduk merenung dalam kamar. Teringat olehku kematian Mas Kayat yang ganjil, ibu yang hanya kulihat dalam lukisan, serta kenangan masa kanak ketika aku bertemu dengan lelaki berjubah merah itu. Apakah lelaki itu juga yang ditemui oleh Mas Kayat sebelum ia meninggal? Mengapa Bapak begitu takut dan melarangku untuk keluar rumah? Apakah Bapak takut aku bertemu dengan lelaki itu? Siapa sebenarnya lelaki berjubah dan bersurban merah itu?

Di tengah pertanyaan-pertanyaanku yang berkecamuk itu, tiba-tiba pandanganku menjadi gelap. Segalanya lalu menjadi pekat dan mulai kudengar bisikan-bisikan asing yang tak kukenali. Lalu bisikan-bisikan itu terdengar semakin dekat, semakin lekat. Tubuhku bergetar hebat sampai ada empat bayangan keluar dari tubuhku; bayangan-bayangan yang semuanya mirip denganku. Mereka duduk mengelilingiku sambil memandangiku tajam. Satu bayangan memandangiku dengan sinis, satunya lagi tersenyum mengejek. Dua yang lainnya masing-masing mencoba menyentuh tubuhku sambil tertawa dan satunya lagi seperti menangis ingin memelukku. Aku ingin bergerak, tapi entah mengapa tubuhku begitu berat. Kemudian mereka berputar-putar setengah terbang, tetap dengan mimik yang saling berlainan, lalu berubah menjadi semacam asap dan kembali menyatu tubuh denganku.

Apakah itu yang bernama ruh?

Aku tersadar ketika terdengar suara bingar dari luar kamar. Aku mengintip dari jendela. Mas Pardi berbicara sendiri, bahwa ia sedang bermain layang-layang. Gerakan tubuhnya memang seperti bermain layang-layang; kepalanya mendongak dan tangannya seperti memainkan benang. Mas Pardi tersenyum-senyum, kadang meringis. Aku lihat Bapak disampingnya berusaha menenangkannya dengan cara membaca doa-doa.

“Turunlah, aku ingin berbicara denganmu,” kata Mas Pardi. “Tidak, kaulah yang turun lalu kita akan berjalan-jalan melihat senja,” lanjutnya lagi. Bapak masih komat-kamit di samping Mas Pardi. Mbok Ipah dengan tatapan ragu-ragu menawarkan dupa dan bunga. Tapi Bapak melarang dan malah memarahinya. Mbok Ipah undur diri setengah berlari.

Keesokan harinya, dan untuk beberapa bulan, Mas Pardi terus bertingkah seperti orang gila. Bapak lalu memasung kaki dan merantai tangan Mas Pardi serta mengurungnya di kamar. Aku benar-benar terpukul melihat keadaan Mas Pardi. Ia terus membayangkan dirinya sedang bermain layang-layang, dan di layangan yang ia terbangkan itu duduk sesosok mahluk menyerupai cahaya yang berpendar-pendar, teramat cantik dan menakjubkan. Ia mengatakan hal itu padaku.

“Pujo, delengen kuwi. Ayu tenan cah wadon kuwi[6],” ujarnya sambil tersenyum-senyum. “Delengen. Ya, aku akan menarikmu, aku akan menarikmu,” ujar Mas Pardi sambil menggerakkan tangannya yang kini kurus dengan gerakan seperti menarik benang. Aku yang tak tahan melihat pemandangan itu segera menutup pintu dan keluar. Dari luar pintu, masih saja terdengar sesekali teriakan Mas Pardi memanggil-manggil layangannya itu.

Sampai pagi gempar itu. Mas Pardi tak ada di kamarnya. Pasung dan rantai masih ada di sana dalam keadaan terkunci. Bapak menjadi murka karena Mas Pardi lenyap justru karena kunci itu selalu berada digenggamannya sendiri. Bagaimana Mas Pardi bisa lenyap? Apakah ia hilang begitu saja? Aku tak tahu. Hanya terdengar serapah Bapak memenuhi rumah. Mbok Ipah dengan tatapan takut kudengar bergumam, “Gusti..Gusti. Kanjeng…” “Diam!” bentak Bapak menghentak. Aku keluar kamar, bersitatap dengan mata Bapak yang menyala.

Sungguh, kejadian-kejadian yang ganjil itu membuatku tak tahan lagi. Sebulan setelah Mas Pardi raib secara gaib, aku memutuskan untuk pergi. Aku sudah muak, dan memutuskan untuk terbang sebagai kupu-kupu, mencari diri yang selama ini terkebiri, meski harus dengan sayap tertembak sumpah serapah Bapak.

***

Sudah lebih dari sebulan. Selama itu pula aku selalu menjaga malam, berharap Bapak menemuiku. Aku ingin berdamai dan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dua puluh tahun yang lalu. Tapi selama itu juga Bapak tak menjawab penantianku.

Malam ini menjadi malam terakhir yang kupercaya sebagai saat di mana ruh benar-benar meninggalkan mereka yang ditinggalkannya, dengan isyarat atau pamit lebih dulu. Aku sangat meyakini hal itu. Maka setelah tahlilan patang puluh dina[7] tadi usai, aku duduk di amben bambu milik Bapak. Seperti malam-malam sebelumnya, kemenyan, kembang, dan makanan kecil kutaruh di dekat pintu. Pikiranku dipenuhi kecemasan: ingatan tentang Bapak, kematian ganjil Mas Kayat dan lenyapnya Mas Pardi. Rahasia seperti apa yang ada dibelakang keganjilan-keganjilan itu? Mengapa pula Bapak tidak pernah mau mengatakannya kepadaku?

Aku dengar bunyi serangga malam dan angin yang meniup-niup dingin dari celah jendela. Sudah pukul dua dini hari, tapi tak ada tanda-tanda seperti yang aku tunggu. Aku hampir putus asa. Mengapa selalu saja ada rahasia dalam hidup ini?

Tiba-tiba pintu kamar Mbok Ipah terbuka. Aku lihat dirinya telanjang bulat, berjalan pelan mengambil sesajen yang kutaruh di depan pintu tadi. Tubuh keriputnya terlihat jelas, rambutnya putih panjang menyentuh lantai. Dan entah, aku melihat tubuh serta rambut itu berpendar keperakan.

Mbok Ipah tidak memperdulikanku. Matanya tegak lurus menatap tajam, mengambil sesajen, melewatiku dan masuk ke dalam kamar Bapak begitu saja. Aku tercekat. Mendadak sunyi. Suara serangga lenyap dan angin mati suri. Aku yang masih tercengang berusaha untuk bangkit dan mengikutinya, melihat apa yang akan dilakukannya.

Aku mengendap sampai di bibir pintu kamar Bapak. Terdengar suara Mbok Ipah bergumam, seperti berbicara, namun entah apa dan pada siapa ia berbicara. Lalu kudengar seperti ada suara Mas Kayat. Juga ada suara bisik dan tawa mas Pardi. Kegilaan macam apa yang sedang terjadi ini?

Lalu lamat-lamat aku dengar suara Bapak. Kali ini suaranya lembut, tak lagi seperti dulu ia biasa memarahiku. Bau kemenyan semakin menusuk-nusuk. Aku masih sangsi apakah aku harus melihat apa yang terjadi di dalam. Ada perasaan takut, ingin tahu, cemas yang semuanya bertengkar dalam pikiranku. Apakah jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku ada pada kejadian ini? Jika memang ada beberapa hal dalam hidup ini yang lebih baik tidak untuk diketahui, sungguhkah aku sebaiknya tak perlu mengetahui rahasia dan keganjilan-keganjilan yang selama ini menjadi peluru duri di masa laluku? Ah, tidak! Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi, tak peduli seperti apapun wujud kebenaran itu. Aku tak ingin hidup dengan menanggung pertanyaan-pertanyaan ini lebih akut lagi.

Pelan-pelan, aku gerakkan kepala berniat untuk mengintip apa yang dilakukan Mbok Ipah. Tubuhku bergetar, aku tahan nafas bersiap untuk melihat kebenaran apa yang akan ada di depanku.

Ternyata kamar Bapak kosong, tak ada siapa-siapa…

Surabaya, April 2006



[1] alas kaki yang terbuat dari kayu

[2] surau

[3] perabot dari kayu atau bambu, berbentuk seperti meja, biasa berfungsi untuk duduk dan tiduran

[4] istilah Jawa untuk menyebut pembantu yang bertugas mengasuh anak

[5] aturan, sopan-santun

[6] Pujo, lihatlah itu. Cantik sekali gadis itu

[7] empat puluh hari


PEREMPUAN ITU TERLAHIR DARI DOA

(Finalis Lomba Cerpen Kementerian Pemuda dan Olahraga 2005)

Oleh: Kukuh Yudha Karnanta

Suara yang menggema dari pura jatuh tersungkur, menyusur pada jalan-jalan sunyi. Tetapi keheningan masih kurasa begitu bening, mengalir begitu deras dan aku menyaksikan bayanganku berenang di dalamnya. Segalanya nampak begitu sama, meski aku tahu tak ada sesuatu yang benar-benar serupa; tatkala dedaunan kamboja luruh bertebaran di gigir jalan merah tanah, dan desing angin tak berhenti menggetarkan ranting-ranting, serta arah pendar kupu-kupu yang bergerak dengan gerakan tergunting. Sementara di belahan langit yang jauh aku lihat sekawanan kelelawar berkelebat liar menghitami langit senja ini; senja yang perih, di mana aku menemukan kembali sketsa wajahmu yang lama terbingkai dalam sebuah lukisan bernama nostalgia.

Segalanya masih terlihat sama. Dinding kamar yang merekam gerak-gerik kita; lampu-lampu bambu yang mengerjap lemah; juga sepasang mata panah yang pernah kau titipkan kepadaku. Wajahmu tetap tinggal pada sebuah ruang paling sederhana dalam tubuhku. Ketahuilah kekasihku, kau tak pernah pergi dari hatiku. Semenjak kau lesatkan busur panahmu, dan aku terbius, terjebak pada sekat-sekat kerinduan yang kini membuat aku memahami betapa palsu dan perih arti kebahagiaan. Jari-jarimu yang pernah menyentuh tubuhku masih bisa kurasakan jejaknya sebagai kenyataan pahit, namun selalu ingin kukenang.


aku perempuan tidak diciptakan untuk laki-laki

aku perempuan tidak diciptakan atas kehendak laki-laki

Ketika engkau pergi, aku pun tak mengerti mengapa hidup begitu indah memberi dirimu kepadaku, namun sedetik kemudian merampasmu kembali. Oh, tidak. Hidup tidak pernah merampasmu dariku. Hidup membiarkan kau ada di dekatku, namun kehendakmu, kehendak mereka yang kau sebut suci, tak pernah membiarkan kau dan aku menjadi sepasang kupu-kupu yang terbang berpendaran menyapa padang ilalang. Aku adalah mahluk berakal dan berhati. Aku adalah mahluk yang memiliki birahi dan mimpi!


adakah makna kesucian perempuan

ataukah hanya batas-batas picik yang sengaja dikuduskan?


Dan aku menemanimu, juga mereka, para lelaki yang sedarah denganmu. Mengembara dari sunyi ke sunyi. Manapak dari satu pengabdian menuju ke pertapaan yang lain lagi. Cintaku padamu, adalah bocah gembala di sabana luas dan tak tahu kemana arah. Kerinduanku padamu, adalah perahu kecil yang tersesat, terjebak dalam gulungan ombak dan tak tahu di mana tepi. Dan melebihi seorang resi, aku telah mengihami betapa dewata tidak pernah menciptakan kebahagiaan tanpa kekalutan. Maka aku tetap menginginkanmu, kekasihku. Aku ingin dirimu. Adakah kau mengerti, kekasihku, adakah kau memahami?


aku adalah dia yang selalu bersama lima satria

aku adalah dia yang menerima tanpa bisa bertanya mengapa


Jalan-jalan kembali begitu sunyi. Hanya kudengar gemerincing suara kaki hujan yang menikam dedaunan, barisan ilalang yang seolah terus menengadah tanpa pernah mengaduh. Tetapi senyumanmu itu, kekasihku, senyumanmu menjadi penuh oleh bisikan-bisikan yang menerkam, lalu memaktubkan aku ke dalam cerita-cerita; sebuah legenda yang kelak akan terkenang sebagai genangan air mata dan belenggu diriku. Oh, kepada bumi yang menerbitkan kehidupan, kepiluan, kebahagiaan dan kepalsuan, dengarlah aku merintih dalam kelana yang tak ku tahu di mana harus berhenti. Ingatanku pingsan, tekapar di persimpangan jalan dan kurasakan bayanganku muntah, hingga terpecah menjelma suara-suara yang tak bisa ku mengerti.

apakah arti kenangan itu, kekasih

selain rindu yang kukecap begitu perih


Hingga tiba saat-saat pertaruhan itu. Engkau, kekasihku, dan mereka yang sedarah satu silsilah denganmu menyaksikan para bandit culas dengan zirah di tubuh mereka mencoba mengoyak kehormatanku. Aku adalah dia yang tidak dilahirkan dari senggama. Aku adalah dia yang diciptakan dari persetubuhan doa-doa. Dan aku adalah dia yang selalu bersama lima satria. Tidakkah kau mengerti, kekasihku! Aku tercabik kenistaan, terkapar terkubur rasa malu dan tangis yang abadi. Dan derai isak ini adalah tanda, betapa aku tak pernah menghendaki sesuatu ini terjadi. Tetapi kau, dan mereka sekalian hanya terdiam, berdiri setegak tugu dengan tatapan mencoba menyeringai mengingkari kenyataan. Ini aku, perempuan suci yang mendampingimu dan membaptis segala setia pada satu sumpah; aku mencintaimu! Ini aku, perempuan yang dipaksa pada kehinaan sempurna, dan kalian, para kekasihku hanya terdiam, tenggelam dalam gelak tawa yang bagiku lebih tepat disebut dengan ribuan jarum yang melesat menikami tubuhku.


kebenaran tidak selalu kenyataan

meski kenyataan seringkali mereka sebut sebagai kebenaran


Kini, dalam ruangan kecil ini, kembali aku melihat ranting-ranting yang sama. Daun-daun terserak setelah angin mengibaskan sayapnya hingga sudut yang terkecil. Langit menghitam menyerupai jelaga. Aku, perempuan yang tidak diciptakan dari senggama; aku, perempuan yang menemani lima satria, telah melihat letak dunia yang tersungsang dan tak ada kebenaran yang sejati. Segalanya, akan terjadi bersama cinta dan khianat. Dan aku bersumpah, oh dewata agung, dengarlah sumpahku. Aku tak akan menyanggul rambutku sebelum kucuci dengan darah bagi dia yang telah mencoba menelanjangiku…

***

Panca menghela nafas panjang. Ia berhenti membaca cerita itu. Diletakkannya buku dongeng tersebut di atas meja. Kemudian matanya menerawang jauh. Jauh, teramat dalam seperti ada sesuatu yang telah lama ia pendam kembali muncul. Lalu jemarinya menyentuh jari-jari Made, gadis yang pernah singgah pada hatinya dahulu. Panca teringat saat-saat yang menyenangkan dahulu, di mana mereka saling menjadi arti di balik senyuman masing-masing. Namun, karena suatu sebab yang memang sengaja ia buat-buat, ia memutuskan untuk berpisah secara sepihak. Panca pergi tanpa pernah memberi kabar. Sekalipun Made berungkali mencoba bertemu atau sekedar berbicara dengannya lewat telepon, ia menolaknya. Semenjak itu, Made jatuh sakit. Keputusasaan yang dalam pada seseorang bisa menciptakan luka yang tak dapat ditemukan namun selalu dapat dirasakan. Luka yang dapat membiakkan luka-luka yang lain lagi. Dan pengobatan yang telah ia jalani menuntut efek yang menakutkan. Rambutnya rontok dan badannya terus menyusutt kurus. Tulang pelipis matanya cekung, terpejam dengan flek hitam di kelopaknya. Kini, di saat-saat terakhirnya, Made ingin agar Panca mau membacakan dongeng pengantar tidurnya. Dan permintaan itu tidak bisa ditolak oleh Panca. Meskipun, sesungguhnya Panca tidak ingin melakukannya.

Panca menggerakkan tubuhnya. Ia ingin mencium kening Made yang kini pulas dengan wajah pasi tergolek lemah, sekaligus membisikkan pamit. Seperti ada yang bergetar di hati Panca ketika ia menempelkan bibirnya di kening Made. Mata Panca terpejam sesaat. Dengan kondisimu yang seperti ini, pikir Panca, mungkin ini akan menjadi pamitku yang terakhir. Saat-saatmu terlihat semakin dekat. Kemudian ketika ia membuka matanya, tiba-tiba sesuatu terjadi. Entah mengapa ia melihat wajah Made berubah menjadi begitu cantiknya, menjadi begitu anggunnya..

Surabaya, Agustus 2005

Sumber Gambar: pinterest.com