[esai]

Mencari Seni di Surabaya

(Dimuat di Harian Disway, 25 Juni 2021)

Earth without art is just ‘eh’— (Anonymous)

Setiap ada kolega dari dalam maupun luar negeri datang ke Surabaya, ada perasaan was-was ketika mereka bertanya: di mana saya bisa melihat atraksi/pertunjukan seni di Surabaya? Ketika hari ini mengetik ‘atraksi seni Surabaya’ di mesin pencarian internet, misalnya, yang muncul teratas adalah berita Surabaya Cross Culture International pada Juli 2019, atraksi Nihon Matsuri pada maret 2019, lalu berita soal protes pekerja seni kepada pemerintah kota. Atau jika mengetik ‘agenda seni Surabaya’, yang muncul adalah pameran-pameran properti dan artikel bertajuk kerinduan adanya event seni budaya di Surabaya. Setelah agak ngeyel mencari dengan mengetik kata kunci yang amat spesifik—yang memprasyaratkan pengetahuan terhadap Surabaya sebelumnya—barulah ada informasi Parade Seni dan Budaya Surabaya 2020 yang dilakukan secara virtual, Surabaya Juang, juga Mlaku-mlaku Nang Tunjungan, meski peristiwanya sudah jauh terlewat. Tidak mudah, ternyata, mendapatkan informasi agenda seni di Surabaya, bahkan bagi orang yang tinggal di kota ini.



Lebih jauh, bila dicermati, mayoritas agenda seni itu diinisiasi oleh pemerintah, sehingga agak sulit menghilangkan kesan seni ‘seremonial’ alih-alih ‘substansial’. Dengan kata lain, agenda seni yang lebih ‘ditumbuhkan’ secara top-down dan bernada ‘dalam rangka’, bukan bottom up yang bersumber dari publik seni Surabaya. Tentu saja, apa yang ‘substansial’ dan ‘seremonial’ itu terbuka bagi penafsiran sehingga perlu didiskusikan lebih lanjut; berikut juga plus minus metode top down dan bottom up dalam pengembangan seni-budaya.


Namun yang pasti, salah satu indikator global tentang maju tidaknya suatu kota tampak dari bagaimana seni dan budaya direproduksi, dihadirkan, dan dikonsumsi oleh publik. Dalam risalah Lets Create: Strategy 2020-2030, Sir Nicholas Serota, Chair dari Arts Council England memaparkan bahwa kreativitas, seni, dan budaya memainkan peran strategis dalam pembangunan kota. Premisnya sederhana: kota tak pernah lepas dari permasalahan kesenjangan ekonomi, ketidaksetaraan akses memenuhi kebutuhan hidup, atau bahkan isu kesehatan mental khas masyarakat industrial. Muller (2018) dalam artikel Voices in The City. On the role of Arts, Artists and Urban Space for a Just City mempertalikan konsep The Just City (kota berkeadilan) dengan fungsi seni sebagai pelantang bagi keberagaman suara atau ekspresi alternatif warga kota. Seni dan budaya menciptakan ‘ruang-ruang’ alternatif untuk mendiskusikan dan mereproduksi gagasan-gagasan, impresi, kegelisahan, dan aspirasi terhadap masalah-masalah nyata yang terjadi di kota dengan cara-cara yang artistik. Mural-mural, air mancur, ketersediaan alat musik, bentuk lampu dan bangku di ruang publik, bisa bersifat interaktif di mana warga bisa ‘bermain-main’ dengan seni budaya setiap saat.


Ambil contoh kota-kota maju seperti Hamburg, Amsterdam, London, Antwerp, Brugge, atau negara-kota seperti Hongkong dan Singapura, misalnya. Di kota-kota itu, museum, perpustakaan, galeri, dan mal tertata rapi dalam desain tata ruang yang memungkinkan terjadinya interseksi nilai-nilai seni, budaya, dan ekonomi. Seseorang bisa bermain piano di stasiun dan orang lain bisa ikut bernyanyi bersama. Informasi pementasan musik, teater, diskusi sastra, atau paket city tour ke situs-situs/landmark kota banyak tersebar di ruang publik. Bahkan, jadwal pasar loak atau fleamarket tersaji dengan amat rinci berdasarkan jenis produk yang dijual di website resmi pemerintah kota. Artinya, relasi produktif antara pemerintah, seniman, industri, dan warga tampak jelas membentuk lanskap ekosistem kreatif seni dan budaya, dengan kepekaan pada penggunaan teknologi informasi.


Meski demikian, bukan berarti contoh di atas steril dari permasalahan. Dalam artikel Laden With Great Expectations: (Re)Mapping The Arts Housing Policy as Urban Cultural Policy in Singapore, Hoe (2020) mengidentifikasi permasalahan terkini dalam ruang berkesenian. Menurutnya, ada fenomena pergeseran paradigma kebijakan pemerintah dalam memandang seni dan budaya yang tidak lagi sekadar melayani fungsi estetika dan edukasi, tetapi juga sarat dibebani kepentingan ekonomi kota dan negara. Faktor pendorongnya, ujar Hoe, “Post-industrial investment in the arts and culture as a tool for urban (re)development.” Tak hanya Singapura, kajian-kajian serupa di negara/kota lain juga mengindikasikan adanya fenomena bias dalam kebijakan pemajuan seni budaya yakni lebih menitikberatkan pada fungsi ekonomi daripada fungsi sosial dan pendidikan. Akibatnya, tercipta ketidaksetaraan arah pembangunan hingga adanya gentrifikasi yang dianggap hanya menguntungkan sebagian kelompok masyarakat saja.


Lalu, bagaimanakah dengan Surabaya? Di mana saya bisa melihat atraksi/pertunjukan seni di Surabaya?


Sebagai generasi yang mengalami remaja di akhir 1990 hingga 2000an awal, secara reflek terbayang Balai Pemuda sebagai jawaban. Masih membekas ingatan betapa semarak agenda kesenian di sana. Setiap Senin, banyak pelajar dan mahasiswa menonton bioskop. Keluar dari studio, tak jarang ada pameran lukisan, bazar buku, pentas musik, teater, atau diskusi sastra-budaya yang secara berkala digelar. Sosok-sosok berpenampilan nyentrik berseliweran di ruang-ruang pameran. Tokoh-tokoh seni seperti Leo Kristi, Cak Kadar, Cak Sabrot Malioboro, juga pentolan-pentolan komunitas-komunitas seni lain mudah dijumpai di sana. Balai Pemuda di masa-masa itu bisa disebut sebagai laboratorium sekaligus galeri seni budaya dan kreativitas yang prestisius di Surabaya. Selain tentu saja Taman Hiburan Rakyat (THR) yang saat itu lebih banyak mengarah pada seni tradisional, yang pernah menjadi markas Grup Lawak Srimulat. 


Namun, itu dulu. Balai Pemuda atau THR menjadi lokus penting seni dan budaya di zaman ketika untuk melihat pertunjukan seni, menyimak diskusi budaya dan lain-lain, seseorang harus datang mengalami langsung dalam ruang dan waktu tertentu. Balai Pemuda dan THR pernah begitu semarak ketika teknologi informasi belum semassif dan semudah itu ada dalam gawai di saku baju; ketika globalisasi masih relatif jargon yang ada dalam buku-buku pelajaran dan belum senyata dampaknya saat ini.


Hari ini, Balai Pemuda memang semakin terang dihias lampu dan taman yang cantik. Gedung bioskop legendaris kini menjadi panggung seni pertunjukan bertaraf internasional. Namun, terlepas dari pandemi yang memang membuat mobilitas belum ‘normal’, sulit mengatakan ada geliat dan semarak seni budaya di Balai Pemuda akhir-akhir ini, dibandingkan dengan satu-dua dasawarsa silam. Mengatakan tidak ada sama sekali aktivitas seni budaya di Balai Pemuda barangkali pernyataan yang irelevan dan berlebihan. Namun, sulit memungkiri bahwa seni dan budaya di tempat yang kini bernama alun-alun Surabaya itu menjadi sulit digapai, diketahui, dan dinikmati publik. Adapun THR kini tinggal sejarah, yang konon kabarnya akan dibangun kembali dengan konsep yang jauh lebih modern.


Bagaimanakah sejatinya kebijakan pemajuan seni dan budaya di Surabaya?


Tentu ada banyak variabel, tafsiran, dan sudut pandang yang berbeda-beda untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tapi setidaknya ada dua isu strategis yang layak dijadikan titik pijak. Pertama, interseksi beberapa produk kebijakan nasional yang perlu dirumuskan lebih konkret implementasinya di level daerah. Misalnya, UU No.5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, UU No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dan UU No.24 tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif. Ketiganya saling terhubung dengan nada dasar relatif sama yakni upaya pemajuan kebudayaan dan revitalisasi cagar budaya yang bertumpu pada, dan menuju ke arah, ekonomi kreatif. Program Kota Kreatif yang digagas Kemenparekraf, yang merupakan terusan dari program Creative City di United Nations, misalnya, sudah memberikan asas-asas yang jelas: keberlanjutan dan kolaborasi. Sayangnya, meski memiliki potensi seni budaya dan infrastruktur yang potensial, hingga hari ini Surabaya belum termasuk dalam 63 Kota Kreatif di Indonesia (https://kotakreatif.kemenparekraf.go.id/)


Isu kedua adalah generation gap. Generasi kiwari adalah generasi ‘merunduk’. Generasi ini bisa mengkreasi dan menikmati aktivitas seni dan budaya hanya dengan mengaktifkan internet untuk mengakses ragam opsi yang ada sambil duduk merunduk di depan layar gawainya. Mereka adalah digital-native: generasi yang sejak lahir teramat intens berhubungan dengan teknologi digital, sehingga memiliki preferensi seni dan kreativitas yang mungkin sangat berbeda dibandingkan generasi sebelumnya. Tiga hingga lima tahun mendatang, merekalah yang menjadi subjek utama praktik seni dan budaya, baik sebagai kreator maupun konsumen. Nah, apakah ekosistem seni dan budaya sudah ada, merata, ‘sehat’, dan punya sensibilitas pada perubahan zaman serupa itu? Apakah telah terjalin komunikasi, sharing dan transfer knowledge antarseniman lintas generasi ini?


Dibutuhkan serangkaian diskusi, kolaborasi, dan kajian yang mendalam dari berbagai pihak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Komunitas seniman, pemerintah, media massa, industri, serta perguruan tinggi dapat saling berembug memikirkan langkah-langkah strategis pengembangan seni budaya yang berkelanjutan, mandiri, dan membawa kemanfaatan bagi publik kota di Surabaya. Muara dari segala kegelisahan dan pertanyaan-pertanyaan tersebut sederhana, yakni kemantapan dan kemudahan memberi jawaban saat ada pertanyaan: di mana saya bisa melihat atraksi/pertunjukan seni di Surabaya?

 

 

 

Dalam Karantina, Surabaya 2021

PERIHAL ‘JAHANAM’ DALAM FILM HOROR INDONESIA KINI

Ghost movies are entertainment, narratives, cultural events, and they have a life beyond the screen” (Peter J. Bräunlein)

Pencapaian film Perempuan Tanah Jahanam (PTJ) menembus seleksi Oscar 2021 tentu layak diapresiasi. Film horor besutan Joko Anwar yang diberi judul internasional Impetigore itu juga meraih penghargaan di Bucheon International Fantastic Film Festival (BIFAN) 2020, diputar di Sundance Film Festival 2020 di Amerika, serta mendapat 17 nominasi dalam Piala Citra 2020. Apa yang menarik dari PTJ sehingga membuatnya meraih apresiasi sedemikian rupa?

Sepintas, tidak ada yang istimewa dari PTJ. Pakem penceritaan masih berkitar antara warga kota yang pergi ke desa dan menemukan segala kengerian, ketakutan, serta merasakan keberjarakan antara nilai-nilai kota dan desa. Namun apabila dicermati lebih dalam, ada beberapa hal yang menarik didiskusikan.


Apabila dalam film horor di Indonesia identik dengan visual hantu yang ‘teramat menyeramkan’: wajah rusak, tubuh yang sungsang, kuku dan taring tajam, serta bentuk-bentuk teror-visual yang intimidatif dan vulgar, tidak demikian dengan PTJ. Dalam film berdurasi hampir dua jam itu, visual hantu digambarkan secara ‘wajar’. Bahkan bisa dikatakan intensitas dan frekuensi kemunculan hantu-hantu itu bukan sesuatu yang dominan. Namun, tetap saja ada beberapa ‘terapi-kejut’ atau jumpscare yang mengentak tiap kali ‘yang astral’ itu muncul.

Alih-alih visualisasi hantu, keseraman dalam PTJ lebih dibangun secara intens dari kode-kode sinematik lain dan aspek diskursifnya. Set dan properti, misalnya, dimainkan begitu rupa sehingga tidak hanya bersifat instrumental melainkan juga metaforis: pohon-pohon tua berusia ratusan tahun, pondok-pondok kayu, jimat gulungan dluang beraksara jawa kuno yang menjadi susuk, wayang kulit, dll. Sebagai metafora, visualisasi tersebut hadir sebagai tanda dari sesuatu yang lain. Pada tahap inilah PTJ, juga semua film, perlu dibaca sebagai praktik diskursif. PTJ boleh jadi menarik dan mendapat banyak apresiasi justru karena diskursus di dalamnya.

Diskursus

Sebagai bagian dari praktik diskursif, sulit untuk tidak menafsir PTJ sedang menghadirkan/menegaskan kembali diskursus tentang keterpencilan, ketertinggalan, dan kegelapan yang masih diidap masyarakat Indonesia, khususnya di pedesaan. Bagi sebagian penonton yang berasal dari dalam negeri mungkin hal tersebut tak terlalu spesial. Namun bagi publik mancanegara, maknanya bisa jadi sangat lain. Dalam buku Ghost Movies in Southeast Asia and Beyond, Peter J. Bräunlein (2016) menyebut  “..in the Western academia the topic of ghosts and spirits invariably invokes debates about modernity, reason and unreason, belief and knowledge, religion and science, ‘we’ and ‘other’. Dalam hal ini, PTJ seakan menghangatkan kembali diskusi tentang representasi masyarakat ‘timur’ yang sering digambarkan oleh ‘barat’ sebagai masyarakat yang irasional, mistis, tradisional, atau bahkan masih setengah bar-bar. Beberapa adegan dalam PTJ, misalnya, hadir sebagai bagian dari kepercayaan pada kutukan di mana konsep penebusan dan tumbal digambarkan masih melekati laku masyarakatnya.

Selain itu, PTJ sangat ‘berani’ mengungkap sisi lain dari seni pertunjukan wayang kulit yang selama ini dianggap seni adiluhung dan telah ditetapkan sebagai World Master Piece of Oral and Intangible Heritage of Humanity oleh UNESCO, sekaligus ‘mengganggu’ stereotipe sosok dalang yang sering dipahami sebagai ahli ngudal piwulang (memberi ajaran) yang mulia. Adalah suatu ide yang out of the box ketika bahan untuk membuat wayang kulit, dalam film itu, dikisahkan berasal dari kulit anak-anak yang sebelumnya dibunuh sebagai perjanjian antara salah tokoh dalang dengan iblis. Meskipun narasi tentang tumbal tidak hanya ada di film horor ‘timur’, PTJ menarik didiskusikan dalam konteks relasi silang dan saling pandang antara we dan other tersebut.

Lebih jauh pada aspek religion dan belief, tidak ada sosok yang bisa dibaca sebagai representasi agama dalam PTJ. Apabila dalam Pengabdi Setan (2017) pemuka agama masih dihadirkan untuk ‘dikalahkan’ oleh yang-astral, Joko Anwar benar-benar mengekslusinya dalam PTJ. Quirine van Heeren (2019) dalam buku Jiwa Reformasi dan Hantu Masa Lalu: Sinema Indonesia Pasca Orde Baru pernah menyebut bahwa absennya agama/pemuka agama sebagai hero merupakan salah satu penanda pergeseran konvensi dan pandangan dalam film horor bioskop di era reformasi, yang berbeda dengan horor era Orde Baru. Beberapa film seperti Danur (2017), Sebelum Iblis Menjemput (2018), Kafir (2018) juga menunjukkan kecenderungan sama. Menariknya, di saat film-film horor Hollywood kontemporer masih memunculkan sosok dan penanda agama baik sebagai hero atau latar seperti The Nun (2018) dan The Possession (2012), atau The Conjuring, film horor Indonesia kini cenderung beranjak menghilangkannya.

PTJ memunculkan perempuan sebagai subjek yang relatif otonom dan jauh dari kesan erotik seperti yang kerap muncul dalam film horor lainnya. Seluruh tokoh perempuan dalam PTJ digambarkan sebagai perempuan yang lebih luwes dan ‘merdeka’ dalam bertindak. Meskipun perempuan tetap digambarkan menjadi sumber permasalahan/konflik yang menggerakkan cerita, adegan atau visual yang menghadirkan kemolekan tubuh perempuan nyaris tidak ada. Sebaliknya, perempuan dalam film itu digambarkan sangat sadar dan bebas memosisikan diri serta tubuhnya.

Pada akhirnya, semakin berkembang dan kompetitifnya genre film horor Indonesia bisa jadi adalah penanda dari betapa horor dan jahanamnya realitas hidup sehari-hari yang dijalani.


Film-Film ‘Biografi’ dan Masyarakat Galau 

(Dimuat di Jawa Pos, 23 Juni 2013)


Salah satu kecenderungan dalam industri film Indonesia kekinian adalah munculnya tren ‘film-biografi’, dalam arti menceritakan perjalanan hidup seorang tokoh nasional seperti film Sang Pencerah (Ahmad Dahlan); Sang Kiai (Hasyim Asyari); Habibie dan Ainun. Segera menyusul adalah film Jokowi serta Soekarno, dua film yang sesuai judulnya, mengisahkan kehidupan dua tokoh politik di negara ini. Tren tersebut boleh jadi menyusul film-film serupa seperti Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Negeri Lima Menara, yang mengisahkan perjalanan hidup tokoh-tokoh ‘baru’ yang dikenal oleh masyarakat luas sebagai tokoh yang ‘berhasil’. Pertanyaannya, narasi apa yang sebenarnya terdapat dalam film-film tersebut? Mengapa film-film bertema tersebut kini banyak diminati?

Individualistik

Jika dicermati, film-biografi cenderung mengambil formula naratif yang seragam, untuk tidak mengatakan monoton, yakni apa yang disebut Ian Watt (1968) sebagai konvensi realisme formal yang mana suatu cerita dipahami sebagai laporan otentik tentang pengalaman manusia yang berada dalam keharusan untuk memuaskan pembacanya dengan sekian detil cerita terkait kepentingan individual tokohnya, kekhususan waktu dan tempat dari aksi-aksinya. Detil-detil tersebut dihadirkan melalui bahasa yang mudah dicerna, umum, mengacu secara langsung kepada referennya yakni kehidupan. Sebagai bagian dari arus besar filsafat modern yang meletakkan manusia sebagai subjek otonom yang mengontrol dan menguasai alam, realisme formal menubuh dalam pakem kisah perjuangan seseorang dalam meraih cita-citanya. Perjuangan tersebut tidak pernah mudah, melainkan digambarkan penuh rintangan, yang mana tokoh utama, dengan pengorbanan, air mata, bahkan darah, selalu berhasil melaluinya.


Sang Pencerah, misalnya, menampilkan adegan-adegan dramatis saat Ahmad Dahlan bersusah payah membangun surau dengan letak kiblat yang menurutnya lebih presisi, namun tak lama kemudian dibakar oleh masyarakat yang tak sepakat atau tersinggung dengan pemikirannya. Sang Kiai memunculkan hal serupa saat Hasyim Asyari ditawan dan disiksa oleh tentara Jepang, yang teriakannya dikumandangkan lewat pengeras suara. Sejalan dengan sejarah mainstream, dua film tersebut mengantarkan Ahmad Dahlan maupun Hasyim Asyari menjadi ulama sekaligus pemimpin dari masing-masing golongan, yang meskipun dua tokoh tersebut hidup di masa dan berkiprah dalam ranah yang relatif sama, keduanya tidak saling bertemu. Dengan kata lain, meski sama-sama menyajikan cerita tentang kelompok agama terkait pergerakan nasional, Sang Pencerah telah mengeksklusi Hasyim Asyari, dan sebaliknya, Sang Kiai mengeksklusi Ahmad Dahlan dalam narasi dan kontribusi masing-masing.


Narasi individualitas secara lebih tajam ditunjukkan dalam film Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. Ikal meraih posisi, prestasi dan legitimasi tertentu; mencapai Sorbonne yang diimpikannya sejak kecil, dengan usahanya sendiri meski harus menjadi sales sendok dan tukang fotocopy-an, bukan dari sistem masyarakat secara kolektif. Maka saat Ikal  menikmati segala buah dari perjuangannya, masyarakat Belitung secara keseluruhan, dan tokoh-tokoh dalam film hasil adaptasi novel itu relatif masih berselibat dalam masalah-masalah sosial yang membelit, figur Ikal yang ‘sukses’ dibutuhkan dan dihadirkan kembali di tengah keterpurukan itu. Tak heran jika sosok Ikal alias Andrea Hirata kini juga dikenal sebagai motivator ulung dengan tarif melebihi da’i kondang.


Barangkali memang begitulah pakem atau formula naratif film realis, khususnya film biografi, yang mudah diaplikasikan dan dipahami penonton. Namun yang seringkali luput tersadari adalah film-film tersebut sesungguhnya menyampaikan narasi individualistik yang berujung pada pelegitimasian cara pandang tertentu. Dalam Sang Pencerah dan Sang Kiai, misalnya, narasi keberhasilan itu dibangun lewat satu individu yang selanjutnya diikuti oleh sekelompok massa dengan kepentingan dan visi yang sama: agama. Sekelompok massa yang awalnya bergerak dalam ranah agama itu selanjutnya melangkah ke ranah politik, bernegosiasi dalam ranah kekuasaan dengan pihak-pihak lain semisal kelompok kolonialis, keraton, maupun kelompok-kelompok lain. Adapun sang tokoh utama, yang diangkat menjadi pemimpin dari suatu golongan tertentu itu, mendapat modal simbolik berupa pengakuan atas dedikasinya dalam bidang tertentu, dalam hal ini agama, yang segera dikonversi sebagai, meminjam istilah Bourdieu (1986), modal sosial (jaringan) dan kultural (kemampuan khusus) untuk berkiprah dalam ranah politik. Praktik lintas ranah dari ranah agama ke politik inilah yang selanjutnya memampukan seorang individu melakukan mobilitas kelas sosial secara vertikal dari individu terjajah (colonized) menjadi merdeka. Agama, dengan demikian, mengalami momen ideologisasi dan desakralisasi dari yang awalnya bergerak di ranah spiritualitas (sakral) menuju ranah politik-praktis (profan).


Jika dalam Sang Pencerah dan Sang Kiai narasi keberhasilan figur dan praktik lintas ranah dimunculkan dengan agama sebagai titik tolak, film Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi yang mengisahkan hidup Andrea Hirata mengusung pendidikan, khususnya ilmu sains, sebagai narasi utama. Sejalan dengan kritik Sirimorok (2008) narasi yang dibangun Andrea seperti juga tampak dalam film-film hasil adaptasi karyanya, tidak bisa tidak membentuk suatu pemahaman bahwa: (1) ilmu pengetahuan dan akal-budi yang didasarkan serta mendasarkan padanya adalah syarat terciptanya suatu kondisi yang mana individu mampu memecahkan masalah yang dihadapi yakni kemiskinan; (2) ilmu pengetahuan yang dimaksud adalah ilmu eksakta atau ilmu alam dan sains terapan yang dipelajari di institusi pendidikan resmi yakni sekolah dan perguruan tinggi; (3) individu yang tidak dibekali dengan ilmu pengetahuan semacam itu dan tidak mendapat legitimasi atas pencapaian pendidikan tidak akan mampu mencapai taraf kemajuan. Artinya, Andrea menciptakan suatu narasi ‘kemajuan’, dalam hal ini mobilitas kelas secara vertikal dalam ruang sosial, yang didasarkan pada ilmu pengetahuan yang positivistik, seakan hidup dan keberhasilan bisa dijalani dengan rumus-rumus dan tabel-tabel yang kaku dan niscaya.


Masyarakat Galau

Marak dan hangatnya film-film biografi tersebut, berikut isu agama dan pendidikan serta narasi keberhasilan yang termuat di dalamnya, sesungguhnya menunjukkan kecenderungan kondisi psikologis berikut selera atau preferensi media yang digemari masyarakat Indonesia kekinian. Dari aspek psikologis, kondisi sosial yang masih sarat dengan peristiwa kekerasan dan persaingan ideologi serta semakin berkembangnya media massa yang terus memberikan dan mereproduksi informasi terkait kondisi tersebut pada perkembangannya menciptakan kondisi kegalauan pada masyarakat: situasi tak menentu arah. Harapan pada para elit politik dan tokoh-tokoh baru dari beragam latar belakang, baik agama, intelektual, nasionalis dan lainnya, dipandang sibuk dan asyik bertarung demi kepentingannya pribadi atau golongan. Media massa khususnya televisi yang diharapkan memberikan informasi secara jernih dan proporsional ternyata telah banyak dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik, atau bahkan menjadi instrumen politik itu sendiri, yang diarahkan sesuai dengan kepentingan tertentu yang tak selalu memihak masyarakat. Masyarakat seakan berada dalam kondisi simpang-siur dengan ketiadaan visi atau ideologi bangsa yang jelas, rindu akan hadirnya media yang representatif, serta figur yang dapat diandalkan untuk mengatasi masalah-masalah sosial tersebut.


Dalam kondisi sedemikian itu jumlah masyarakat kelas menengah terus di Indonesia terus berkembang pesat dan mendominasi di sepanjang tahun 2000-an. Pada pertengahan tahun 2012, menurut studi yang dilakukan Bank Dunia, jumlah kelas menengah di Indonesia mencapai 56%. Artinya, kelas menengah adalah kelas yang secara kuantitatif mendominasi struktur kelas dalam arena sosial masyarakat Indonesia. Ariel Heryanto (2011) menyebut masyarakat kelas-menengah ini memiliki beberapa kecenderungan dalam mempersepsi persoalan di arena kekuasaan, problem-problem sosial, preferensi media, serta gaya hidup tertentu yang mempengaruhi pola konsumsi termasuk selera dalam tema-tema film yang ditontonnya. Karakter kelas menengah yang rata-rata berusia produktif, dinamis, aktif dan agresif dalam karier demi mempertahankan atau bahkan meraih kelas sosial yang ditinggali, pada gilirannya membimbing mereka untuk mengkonsumsi tema-tema yang sesuai dengan habitus kelasnya. Narasi perjuangan dan keberhasilan, pendidikan atau kuliah yang kini menjadi gaya hidup, betapapun keberhasilan itu didapat dan bersifat individualistik, dengan sendirinya disukai. Tema-tema sejarah dan politik serta yang disajikan secara santai, ringan, dan menghibur seperti dalam film-film biografi berikut krisis figur bangsa juga menjawab kebutuhan mereka. Seperti disebutkan Bourdieu (1996), karakter kelas menengah yang berada di ruang-antara cuek tapi peduli, aktif menyimak namun pasif bertindak dalam isu-isu sosial-politik, menemukan juru bicara mereka pada seni-seni populer yang mengemas peliknya kehidupan menjadi hal yang asyik dan perlu diketahui. Pada tahap inilah film sebagai komoditas utama budaya populer kekinian memainkan peran strategis dalam internalisasi dan negosiasi cara pandang dan kepentingan-kepentingan tertentu yang tak selalu kasat mata dan tersadari.


Sang Sastrawan

(Dimuat di Jawa Pos, 16 Februari 2014)


Salah satu fenomena dalam sastra Indonesia kekinian adalah tren ‘modus-menjadi-sastrawan’ yang sesungguhnya mengindikasikan terjadinya perubahan kondisi ‘kealaman’, model produksi, maupun modus-eksistensi seorang penulis. Kontroversi masuknya nama Deny JA dalam buku 33 Sastrawan Paling Berpengaruh, misalnya, merupakan salah satu peristiwa terkini yang bisa diajukan sebagai contoh: bagaimana bisa seorang intelektual-politik yang biasa bergulat dengan statistik ujug-ujug ditahbiskan menjadi sastrawan setara, katakanlah, Pramoedya Ananta Toer dan Goenawan Muhammad? Mungkin jawabannya adalah, “Mengapa tidak?”

Heteronomi Sastra

Jika dicermati, fenomena Deny JA bukan satu-satunya peristiwa tren-menjadi-sastrawan. Beberapa nama seperti Nova Riyanti Yusuf, novelis yang juga anggota DPR, Andrea Hirata yang mengaku tak pernah menulis karya sastra sebelumnya namun novel pertamanya lantas menjadi best seller hingga mancanegara, adalah contoh betapa dinamisnya arena sastra Indonesia kekinian. Fenomena Deny J.A menjadi masalah—kalau memang layak disebut masalah—karena label ‘sastrawan’ yang disematkan kepadanya, bukan sekadar ‘penulis-puisi’. Artinya, masalah tersebut muncul dari asumsi bahwa label ‘sastrawan’ mensyaratkan adanya suatu pengakuan atau legitimasi tertentu yang berbeda dan lebih tinggi dari sekadar ‘novelis’ atau ‘penulis-puisi’.


Sosiolog-seni asal Perancis, Pierre Bourdieu, menyebut bahwa menjadi sastrawan merupakan proses kompleks yang terjadi dalam lingkup tertentu yang ia sebut sebagai ‘arena’. Seseorang yang menulis dan mempublikasikan puisi tidak secara otomatis menjadi sastrawan, karena status ‘sastrawan’ sesungguhnya diberikan oleh pihak-pihak tertentu yang ada dalam arena sastra. Arena sastra, ujar Bourdieu (2010: 22), adalah “Tempat bagi pergulatan-pergulatan di mana yang dipertaruhkan adalah kekuasaan untuk mengimposisi atau memaksakan definisi dominan tentang tentang penulis..taruhan utama dalam pergulatan sastra adalah monopoli legitimasi sastra.” Hal itu secara kongkret ditunjukkan oleh pergulatan antara penulis muda dan penulis senior yang sudah terkonsekrasi yang mana penulis muda relatif belum memiliki legitimasi dan sedang berusaha memburu legitimasi; di saat yang sama, penulis senior berusaha mempertahankan legitimasi dan posisi yang ia miliki dalam arena tersebut. Perburuan atas legitimasi tersebut adalah praktik sastra, suatu praktik yang di dalamnya terakumulasi modal dan strategi-strategi tertentu yang berimplikasi pada perubahan struktur arena. Sastra, dan seni pada umumnya, tidak lagi dipahami sekadar wilayah artistik, melainkan juga politik, yang mekanismenya pun tidak jauh berbeda dengan politik pemerintahan. Jika dalam politik pemerintahan pencapaian tertinggi adalah siapa yang menjalankan amanat ‘konstitusi’, maka dalam sastra pencapaian itu adalah siapa yang berhak meraih legitimasi dan konsekrasi (pengakuan).


Lebih lanjut, arena sastra tidak bersifat fix dan tunggal, melainkan fluid dan mendua. Di sinilah tarik-menarik antara kepentingan pasar dan kepentingan seni-untuk-seni terjadi. Bourdieu (2010: 17) menjelaskan prinsip legitimasi dan situasi ‘kemenduaan’ arena sastra tersebut melalui apa yang disebut prinsip hierarki heteronom, yakni pengakuan yang didasarkan pada kesuksesan sebagaimana dapat diukur dari indeks-indeks angka penjualan, yang mendudukkan penulis pada posisi subjek yang patuh pada hukum yang berlaku di arena kekuasaan dan ekonomi. Dalam arena ini, prestasi seorang penulis bukan pada seartistik apa karya yang dibuat, melainkan selaris apa karya sastra itu diserap oleh pasar. Tetralogi Laskar Pelangi, novel ‘Islami’ Ayat-ayat Cinta, atau bacaan gaul Dea Lova, misalnya, berada dalam sub-arena ini.


Di saat sama, arena sastra juga memiliki prinsip hierarki otonom yakni derajat konsekrasi spesifik (prestise kesusasteraan atau artistik) yakni derajat pengakuan yang diterima oleh mereka yang mengakui tidak ada lagi kriteria yang legitimasi dan otonominya didasarkan dari hukum-hukum pasar. Prinsip yang berlaku adalah prinsip sastra untuk sastra: sejauh mana karya yang dihasilkan menawarkan kebaruan atau setidaknya upaya pembaruan gagasan dan estetika dalam sastra. Novel Hubbu atau Cala Ibi, puisi-puisi Gunawan Muhammad dan Sutardji, mungkin penjualannya tak selaris karya-karya di atas, namun mereka yang tersebut terakhir inilah yang disebut ‘sastrawan’, bukan lagi ‘penulis novel’ atau ‘penulis puisi’.


Pertanyaannya, bagaimanakah sastrawan yang legitimit itu? Siapa pula yang berhak memberikan legitimasi itu? Apakah harus seorang penulis mendapat legitimasi dan untuk apa?


Legitimasi

Status atau legitimasi ‘kesastrawanan’ seorang penulis menjadi hal krusial sebab melalui definisi itulah seorang penulis mendapatkan konsekrasi atau derajat pengakuan yang memberinya peluang untuk meraih posisi tertentu di arena sastra tersebut. Dalam bahasa Bourdieu (2011: 193), hal tersebut disebutnya sebagai “tiket masuk yang sifatnya kurang lebih absolut.” Bourdieu (2010: 35) mengklasifikasikan legitimasi dalam arena sastra menjadi tiga jenis legitimasi yakni: (1) legitimasi spesifik, yaitu pengakuan yang diberikan oleh sekelompok seniman kepada seniman lain—legitimasi yang setara dengan seni untuk seni, yang otonom dan cukup-diri; (2) legitimasi borjuis; legitimasi yang berkesesuaian dengan selera borjuis yang diberikan fraksi-fraksi dominan dalam kelas dominan atau alat-alat (institusi) negara; (3) legitimasi populer, yaitu konsekrasi yang diberikan oleh pilihan-pilihan konsumen umum atau audien-massal. Ketiga prinsip legitimasi di atas sekaligus menunjukkan posisi serta relasi arena sastra dengan arena lainnya. Arena sastra memiliki struktur dan tingkat otonomi tertentu yang ditunjukkan dengan agen-agen yang memberikan legitimit spesifik, namun di saat sama, intervensi kaum borjuis pada legitimasi-borjuis yang merepresentasikan pengaruh dari arena kekuasaan; serta legitimasi-populer dari audiens massal yang mengarah pada ruang sosial dalam arti seluas-luasnya, menunjukkan sifat ‘mendua’ yang dikandung arena sastra.


Pada situasi ‘arena yang mendua’ dan ragam legitimasi inilah setidaknya fenomena Denny JA bisa dipahami secara lebih proporsional. Sebagai pendatang baru dalam arena sastra Indonesia, Denny JA ingin segera mendapat legitimasi-spesifik. Untuk itu, dia melakukan apa yang disebut Bourdieu “mereka (pendatang baru) harus menegaskan keberbedaan (distingsi) mereka, membuatnya diketahui dan diakui, serta mencetak nama untuk diri mereka sendiri. Untuk itu mereka mengupayakan penekanan cara-cara berpikir dan doksa baru, menyuarakan kerancuan, keburaman, dan ketidaktepatan ortodoksi.” Puisi-esai yang ditawarkan Denny JA dalam antologi puisi Atas Nama Cinta, terlepas dari kritik atas konsep estetika terhadapnya, adalah heterodoksa atau wacana tandingan yang dilancarkan untuk menentang doksa atau wacana umum tentang konvensi puisi di Indonesia. Adapun kritik seperti yang dilancarkan para penentangnya adalah ortodoksa atau wacana yang direproduksi demi mempertahankan doksa yang ada oleh agen-agen yang lebih dulu mapan dalam arena sastra. Dalam hal inilah Denny JA sesungguhnya sedang berada dalam pertarungan simbolis, yakni praktik relasi kuasa yang dijalankan melalui wacana, dengan teknik berbahasa dan berdiplomasi yang tak selalu tersadari. Pertanyaannya, siapakah Denny JA berani bertarung dalam arena sastra? Apa yang memampukan dia bertarung dalam arena di mana keterampilan berbahasa dan berpikir secara artistik itu menjadi syarat utamanya?


Modal

Arena sastra adalah arena kekuatan sekaligus arena pergulatan yang bertujuan mentransformasi atau mempertahankan relasi kekuatan yang sudah ada: masing-masing agen melibatkan kekuatannya (modalnya) yang telah ia peroleh dari pergulatan sebelumnya lewat strategi-strategi yang orientasinya bergantung pada posisi masing-masing dalam relasi kekuatan tadi, artinya dengan modal spesifiknya. Dalam hal ini Denny JA secara cerdik memainkan dan ‘berhasil’, untuk sementara, mengkonversi modal-modal yang ia miliki. Dengan keterbatasan modal spesifik yang berlaku dalam arena sastra khususnya konvensi puisi, Denny JA mengkonversi modal sosial berupa intelektual politik yang memiliki banyak akses dan jaringan, modal ekonomi berupa materi yang didapat dari profesi sebagai surveyor, ke dalam modal simbolik berupa klaim ‘sastrawan’ yang didapat dari sastrawan sekelas Jamal D Rahman, Acep Zamzam Noor, Agus R Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshäuser, Joni Ariadinata, Maman S Mahayana, dan Nenden Lilis Aisyah Acep Zamzam, yang dengan apriori boleh disebut sebagai tokoh sastra ‘legitimit’ dan tergabung dalam Tim 8 perumus isi buku tersebut. Nama Pusat Dokumentasi HB Jassin, salah satu institusi sastra yang terpandang yang dipilih untuk menerbitkan buku itu, seakan semakin menegaskan betapa sah dan validnya legitimasi tersebut.


Dengan pembacaan sastra sebagai suatu arena di atas, sesungguhnya tidak ada yang perlu diherankan pada fenomena Denny JA. Sang pendatang baru itu bisa dikatakan sadar potensi dan dengan sangat cerdik meracik strategi yang memungkinkan dirinya meraih apa yang penulis-puisi lain susah payah memperjuangkannya. Apa yang bisa dimaknai dari fenomena itu adalah betapa arena sastra semakin kehilangan otonominya. Kini tidak lagi dibutuhkan modal spesifik dan rute proses kreatif yang berliku untuk menjadi sastrawan, melainkan modal sosial dan ekonomilah yang memegang peranan penting. Dalam ruang sosial yang mana sumber nilai dan kuasa tak lagi terpusat melainkan tersebar, siapapun tampaknya boleh dan bisa mendaku diri, dengan modus apapun, sebagai sastrawan. Pertanyaan yang masih belum bisa terjawab adalah, jika Denny JA rela menukar modal ekonomi sedemikian besar hanya untuk mendapat modal simbolik berupa klaim ‘sastrawan’, bukan tidak mungkin ada agenda lain yang ia rancang demi merekonversi dan memfungsikan modal simbolik itu untuk kepentingan lainnya yang entah apa.

Ketika Pengarang Mempertanyakan Tuhan

(Dimuat di Jawa Pos, 21 Desember 2008)

  Dua novel yang banyak disebut dalam sastra Indonesia mutakhir yakni Hubbu karya Mashuri dan Bilangan Fu karya Ayu Utami memiliki sejumlah keterkaitan unik baik dalam konteks substansi karya maupun perjalanan, atau bahkan persaingan, antara keduanya: pertama, kedua novelis masing-masing pernah menjadi pemuncak sayembara novel DKJ yang masih dianggap sayembara novel paling berwibawa di Indonesia; kedua, kedua karya tersebut di atas bersaing di penghargaan sastra Khatulistiwa Award 2008 yang akhirnya dimenangkan Bilangan Fu; ketiga, terlepas dari nuansa persaingan, keduanya memiliki kesamaan isu dalam karyanya: kegelisahan spritual yang melahirkan suatu perspektif tertentu dalam memahami agama dan Tuhan, khususnya dalam konteks Indonesia; keempat, momentum kemunculan dua karya tersebut terkait dengan kondisi masyarakat yang masih penuh kontroversi seputar isme-isme dalam konteks keberagaman dan keberagamaan.

Pertanyaannya, sebagai karya sastra, bagaimana spiritualitas itu dimunculkan? Tawaran estetik apa yang hendak disampaikan? Sebagai bagian dari masyarakat, apa yang sebenarnya hendak digemakan kedua novelis di balik perspektif spiritualitas dalam karya tersebut?

Lokalitas

Dalam Kamus Besar Filsafat, spritualitas diartikan sebagai pemikiran filosofis yang mengacu pada nilai-nilai kemanusiaan seperti mental, intelektual, moral, etika, dan estetika, yang mengarah pada keyakinan dan religiusitas. Dalam konteks Hubbu dan Bilangan Fu, salah satu kecenderungan kuat dalam dua novel tersebut adalah hadirnya teks-teks lain khususnya teks mengenai spiritualitas Jawa secara signifikan. Hubbu, misalnya, mengumandangkan teks mengenai Sastra Gendra Hayuningrat sebagai suatu obsesi yang menggerakkan Jarot—tokoh utama novel tersebut yang digambarkan berasal dari lingkungan pesantren desa—dalam proses pencarian eksistensi diri di masyarakat metropolitan Surabaya. Sastra Gendra Hayuningrat merupakan ilmu kesempurnaan atau akhir dari segala akhir ajaran ngelmu (entek-enteking kawruh, peputoning laku, peputoning makrifat) dalam spiritualitas Jawa (mistik Kejawen). Ajaran yang sering diidentikkan dengan fragmen pewayangan yakni persetubuhan Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi sebagai representasi kegagalan Wisrawa dalam memahami ajaran tersebut juga tertransformasi dalam teks Hubbu: Jarot terlibat dalam persenggamaan terlarang dengan Agnes, yang kelak hamil dan menjadi istrinya.

Dalam novel tersebut Mashuri tampak sibuk dalam pengelaborasian spiritualitas Jawa dan romantisme percintaan khas prosa Indonesia yang terajut padat dalam bahasa prosa yang puitis. Meskipun banyak memajang konsep-konsep spiritualitas yang tentu membutuhkan energi pembacaan ekstra untuk dipahami, Mashuri berhasil menghindar dari kesan bahwa pemunculan falsafah dan ajaran-ajaran tersebut sebagai atribut teks belaka. Ketiga aspek tersebut muncul secara proposional, koheren, dan fungsional, dalam membangun keutuhan dan estetika cerita. Meski begitu, Mashuri tetap tak bisa menangkis pertanyaan bahwa jika dalam mistik kejawen segala laku selalu melalui dan bertujuan untuk zuhud atau lepas dari nafsu, bukankah keinginan untuk mencapai kesempurnaan yang dialami Jarot merupakan sebuah nafsu?

Jawaban yang sering terdengar adalah bahwa nafsu duniawi dan nafsu untuk kembali bersatu dengan-Nya (manunggaling kawula gusti) merupakan dua hal berbeda. Yang luput dari jawaban tersebut adalah meskipun nafsu duniawi dan spiritual katakanlah bisa dibedakan, energi obsesif yang menghidupi suatu nafsu tetap tidak bisa dielakkan. Mistik Kejawen cenderung menjauhi energi obsesif, sebaliknya, lebih menekankan pencapaian spiritual melalui energi defensif.

Berbeda dengan Hubbu, Bilangan Fu yang terbit lebih akhir menambahkan pemikiran filsafat postmodernisme dalam menggemakan jargon karyanya: Kejawan (bukan Kejawen) Baru. Ayu Utami tampak kenes dalam memadukan konsep, mitos, dan legenda Jawa yang bersumber dari Babad seperti silsilah Raja Jawa, Nyi Roro Kidul, konsepsi tentang suwung (Jawa) alias shunya (Sansekerta) alias sunyi (Indonesia), dengan spirit ”penolakan terhadap satu pusat” ala postmodernisme. Melalui tokoh Parangjati, seorang pemanjat tebing asal Watugunung, pesisir selatan Jawa, paduan dua konsep tersebut melahirkan apa yang disebut Ayu Utami sebagai spiritualitas kritis: sikap untuk tidak menerima dengan penuh, dan sebaliknya, tidak menolak mentah-mentah, segala sesuatu terkait dengan agama dan Tuhan.

Selain itu, Ayu Utami secara cerdik membangun teks Bilangan Fu melalui gaya tutur seperti seorang esais, dengan memajang beberapa kliping pemberitaan maupun artikel dari beberapa media massa dalam novelnya. Meskipun tidak begitu meyakinkan apakah kliping tersebut benar adanya, ataukah sengaja dibuat untuk kebutuhan fiksi belaka, cara tersebut cukup efektif dalam membangun keutuhan cerita maupun yang terpenting, kerangka argumentasi bagi jargon Spiritualitas Kritis yang digemakan dalam karyanya.

Secara intrinsik dapat dikatakan, baik Hubbu maupun Bilangan Fu banyak menginternalisasikan teks tentang spiritualitas Jawa yang kemudian ditransformasikan dan diolah sedemikian rupa baik sebagai suatu landasan konsep kreatif maupun sebagai objek kreatif itu sendiri. Meskipun intertekstualitas sebagai strategi literer bukan hal baru dalam sastra Indonesia, pemahaman dan pemanfaatan yang cerdas serta proposional dalam dua novel tersebut patut diapresiasi. Akan tetapi, mengapa memilih spiritualitas dan kritik pada agama sebagai tema?

Kontekstual

Harus diakui bahwa salah satu problem sosio-kultural Indonesia yang masih menjadi kontroversi adalah agama dan atau praktik keagamaan. Beberapa peristiwa yang dapat dijadikan contoh signifikan antara lain kerusuhan Monas yang melibatkan sedikitnya dua kelompok berbasis agama tertentu, tindak kekerasan yang dialami jamaah Ahmadiyah maupun kelompok-kelompok yang dituduh menganut dan menyebarkan ajaran sesat, serta kontroversi UU Pornografi.

Fenomena tersebut tampak dalam Bilangan Fu. Tokoh Parangjati sebagai pewaris Padepokan Suhubudi sekaligus pemimpin ajaran Kejawan Baru yang menekankan dimensi laku kritik atau spiritualitas kritis, berhadapan dengan tokoh Farisi, seorang pemimpin kelompok fundamentalis yang secara radikal menolak segala mitos dan ritual-ritual Jawa. Persinggungan antara kedua tokoh tersebut bukan hanya pada tataran pemikiran, namun juga fisik, yang berujung pada kematian Parangjati.

”...Farisi bisa menempuh jalan laskar-laskar yang lain. Dengan tuduhan pemurtadan dan penyesatan...mengundang laskar-laskar itu untuk menggempur Padepokan Suhubudi. Seperti laskar-laskar yang lain menggempur pusat-pusat Ahmadiyah..(Bilangan Fu, hal.467)”

Berbeda dengan Bilangan Fu yang eksplisit memuat persinggungan antara kelompok-kelompok masyarakat dalam konteks keagamaan sekaligus mengkritisinya, Hubbu lebih menekankan pada ikhtiar personal yang begitu dekat dengan kesendirian dan imaji yang hendak bermuara pada ekstase spiritual.

”..kuterantuk labirin ingatanku: ’Sastra Gendra’, aku merasa seperti pejalan yang tersesat di belantara. Kadang aku seperti Begawan Wisrawa..memang, aku merasa identik dengan Wisrawa. Aku ingin berbuat kebaikan tapi dengan kebaikanku itu aku malah terhukum..(Hubbu, hal.107)

Pada sebuah fragmen di novel tersebut Jarot dimunculkan bersama Budi Palopo—seorang penggurit asal Gresik—dalam sebuah diskusi kamar antara keduanya. Jarot yang terobsesi dengan Sastra Jendra Hayuningrat tersebut tidak hendak mewartakan pencariannya akan kesempurnaan, tidak hendak pula mencari ”massa simpatisan” akan hal yang diyakininya. Jarot justru dimunculkan sebagai manusia yang selalu mencari esensi Sastra Gendra Hayuningrat secara sembunyi dan sengaja mengelak dari ruang debat keramaian.

Jika dicermati, perbedaan strategi literer antara Bilangan Fu dan Hubbu dalam mengemas dan memaknai spiritualitas di atas sejatinya merepresentasikan fenomena masyarakat. Seperti ditegaskan oleh Sigmund Freud dalam buku Musa dan Monoteisme, fenomena keagamaan harus dipahami sebagai sebentuk model tentang gejala-gejala neurotik individu. Artinya, agama merupakan wilayah spiritual yang bersifat personal dan otonom di mana setiap individu berhak menentukan bagaimana ia memahami dan mengamalkan prinsip-prinsip keagamaan yang dianutnya, sejauh individu tersebut tidak berlaku destruktif kepada individu lainnya. Fenomena yang terjadi di Indonesia berjalan sebaliknya: spiritualitas yang bersifat personal dipahami dan diposisikan sebagai persoalan publik, sehingga potensi terjadinya konflik destruktif justru semakin besar.

Fenomena tersebut di atas itulah yang agaknya mengilhami kedua novelis dalam menyusun karyanya. Meskipun kedua novel tersebut merupakan karya fiksi, seluruh peristiwa di dalamnya sedang membicarakan dan merepresentasikan problem-problem aktual yang sedang terjadi di Indonesia, melalui cara-cara yang lebih mengedepankan unsur artistik daripada teoritik. Tetapi benarkah setulus dan sesederhana itu?  

Negosiasi

Karya sastra bukan sekadar ekspresi estetis seorang pengarang, lebih dari itu, karya sastra merupakan alat efektif dalam menyebarkan suatu pemikiran atau ideologi tertentu. Pengarang sebagai bagian dari masyarakat dan pencipta teks sastra merupakan intelektual yang memiliki motif-motif ideologis tertentu yang disampaikan secara implisit di dalam karyanya, berdasarkan konstelasi ideologi dalam masyarakat.

Terkait dengan Hubbu dan Bilangan Fu, dapat dikatakan Mashuri dan Ayu Utami sebenarnya sedang melakukan upaya kritik dan negosiasi ideologis terhadap praktik keagamaan dan konsep Monoteisme (satu Tuhan) yang mendasari tiga agama Semit: Yahudi, Nasrani, dan Islam. Terdapat tiga poin utama yang dikritik dalam dua novel tersebut: pertama, monoteisme telah dipahami dengan tidak utuh dan tidak kritis sehingga pada perkembangannya paham tersebut melahirkan eksklusivitas agama dan praktik keagamaan nonkompromis yang tidak memberikan ruang dialogis terhadap nilai-nilai kultural yang telah ada jauh sebelum paham tersebut tiba di Indonesia; kedua, praktik keagamaan cenderung bergeser dari aspek religiusitas murni menjadi aspek politik praktis yang ditunjukkan dengan semakin banyaknya partai politik maupun kelompok masyarakat mengatasnamakan agama tertentu sebagai dasar ideologinya; ketiga, bentuk esktrim dari paham monoteisme, yakni fundamentalisme, dewasa ini semakin menggejala dan dalam tahap-tahap tertentu rentan mereduksi nilai-nilai lokal.

Dalam hal ini, Hubbu dan Bilangan Fu berdiri pada kutub oposisioner. Kedua karya yang merevitalisasi spiritualitas Jawa tersebut berupaya menghadirkan wacana tandingan dalam hal praktik keagamaan maupun pendekatan dan pemahaman terhadap Tuhan. Nuansa multikulturalisme, kearifan lokal, dan pendekatan kompromis seperti yang tertuang dalam dua novel tersebut merupakan pemikiran-pemikiran yang hendak disampaikan dan dinegosiasikan oleh kedua pengarang masing-masing. Tujuan dari negosiasi tersebut adalah tercapainya suatu kondisi di mana memayu hayuning bawana (keselamatan, kesejahteraan, perdamaian dunia) dan sangkan paraning dumadi (asal mula pengetahuan) tidak dibangun sekadar dari perspektif teologi monoteistik, namun juga dari perspektif nilai-nilai kearifan lokal.

Secara keseluruhan, Hubbu dan Bilangan Fu merupakan novel yang membicarakan spiritualitas dalam rangka negosiasi ideologis dalam konteks praktik keagamaan dan kebudayaan di Indonesia. Negosiasi tersebut dilakukan dengan cara-cara yang menjauhi kesan doktrinal dan fisik, melainkan murni menggunakan kekuatan cerita. Apakah kedua novel tersebut mampu berdiplomasi dengan baik dan bagaimana hasil negosiasi tersebut, jawabannya seperti tembung sanepan (teka-teki) dalam mistik Kejawen: golekkana galiheing kangkung lan susuhing angin (carilah kambium batang kangkung dan sarangnya angin).

Mengurai Visi Kebudayaan Capres

(Dimuat di Jawa Pos, 15 Juni 2014)


Jika seorang pemimpin yang ideal adalah yang memiliki paradigma dan strategi kebudayaan yang jitu, publik patut tahu dan menguji bagaimanakah kedua pasang calon presiden, Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK yang tengah bertarung dalam arena politik itu memahami dan memperlakukan kebudayaan. Paradigma merupakan sudut pandang terhadap suatu hal yang mencerminkan keberpihakan dan pengaruh tertentu yang, diakui atau tidak, seringkali ideologis; sedangkan strategi adalah cara mengeksekusi pandangan tersebut dalam tindakan kongkret. Adapun kebudayaan adalah way of whole life, keseluruhan cara hidup manusia meliputi pikiran atau kesadaran, tindakan, dan produk-produk yang bersifat material. Sejauh apakah pemahaman dan di mana keberpihakan para calon pemimpin itu terhadap persoalan budaya kekinian?

Konsepsi

Tidak banyak, sesungguhnya, dan barangkali juga tidak seimbang, jika pembaca mencermati dan lantas membandingkan visi kebudayaan antara Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Dalam visi Membangun Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur serta bermartabat, hanya terdapat satu kalimat yang secara tegas menjelaskan pandangan Prabowo-Hatta terkait budaya yakni pada poin kelima butir kedelapan yang berbunyi “Melestarikan warisan seni budaya sebagai kekuatan dan pemersatu bangsa.” Tidak ada penjelasan metode yang lebih rigid terkait hal itu, sehingga terasa sukar mengidentifikasi strategi kebudayaan apa yang ditawarkannya. Sedikit hal yang bisa dicermati adalah istilah ‘pelestarian’ dan ‘warisan’ yang bisa dimaknai upaya konservasi atas sesuatu (budaya sebagai kata benda) produk heritage yang disebarkan secara turun-temurun, bersifat kolektif sehingga diasumsikan mampu dijadikan common platform bagi identitas nasional.


Berbeda dengan pesaingnya, Jokowi-JK memberi porsi yang jauh lebih detil terkait kebudayaan. Dalam visi-misi yang dituangkan pada risalah berjudul Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian, pasangan nomor urut dua itu menyebut kata ‘budaya’ untuk pertama kalinya dalam halaman dua, pada subjudul tiga problem pokok bangsa. Terintegrasi dalam poin Intoleransi dan Krisis Kepribadian Bangsa, problem kebudayaan di Indonesia diidentifikasi sebagai berikut: “..di satu sisi, manusia Indonesia dihadapkan pada arus kebudayaan yang didorong oleh kekuatan pasar yang menempatkan manusia sebagai komoditas semata. Di sisi lain, muncul arus kebudayaan yang menekankan penguatan identitas primordial di tengah derasnya arus globalisasi. Akumulasi dari kegagalan mengelola dampak persilangan dua arus kebudayaan tersebut menjadi ancaman bagi pembangunan karakter bangsa.”


Secara implisit, kutipan tersebut menunjukkan beberapa hal, pertama, Jokowi-JK mengasumsikan kebudayaan sebagai kata kerja, yakni suatu proses kontestasi atau persaingan. Kedua, sebagai suatu arena kontestasi yang dinamis dan cair, antara apa ‘yang-global’ dengan ‘yang-primordial’ tidak dipahami secara oposisional, melainkan kombinasional (persilangan). Terdapat kesan pendekatan ‘kompromis’ saat dikatakan bahwa ‘yang-global’, dalam risalah itu, memberi ekses berupa homogenisasi yang memudarkan sikap kegotongroyongan, mereduksi solidaritas dan menepikan budaya lokal (hal.2); sedangkan di saat sama, ‘yang-primordial’ menciptakan sikap intoleransi pada ‘yang-berbeda’—istilah ini merujuk pada konsep the others dalam kajian budaya mutakhir. Ketiga, sikap kompromis terhadap dua arus dalam struktur budaya tersebut ditajamkan pada proses habituasi dan posisi agen sebagai subjek budaya: karakter agen seperti apa yang dibutuhkan dalam kontestasi budaya serupa itu?


Dalam naskah setebal 42 halaman itu Jokowi-JK terus merepetisi kata ‘kepribadian’, ‘kemandirian’, dan ‘kegotong-royongan’ yang dihasilkan dari penafsiran terhadap konsep ‘trisakti’ Bung Karno. Dengan tiga kata kunci itu, Jokowi-JK menawarkan solusi yang dirumuskan dalam model yang diberi nama revolusi mental yang didefinisikan sebagai upaya pembentukan karakter dengan metode yang ia sebut sebagai rekonstruksi sosial atau restorasi sosial. Dua istilah tersebut digunakan secara bergantian untuk merujuk pada upaya “membangun kembali modal sosial...membangun kepedulian sosial, pranata gotong-royong, melindungi lembaga-lembaga adat di tingkat lokal...membersihkan diri sendiri dari prasangka sosial-kultural-politik (hal.40).”


Kritik

Sekilas, paradigma kebudayaan Jokowi-JK tersebut bisa disebut ideal dalam arti, mengutip Soerjanto Poespowardojo (1993), mencakup semua faktor budaya yakni manusia (anthropos), lingkungan (oikos), alat (tekne), dan komunitas (ethnos). Faktor-faktor itu pun dipahami dalam kerangka kajian budaya mutakhir yang tak lagi menggunakan istilah seperti pelestarian—konsep yang sudah tidak produktif dan boleh dibilang kadaluarsa dalam kajian budaya, seperti yang tertuang dalam visi Prabowo-Hatta. Budaya bukan benda antik dan diam yang ada untuk dilestarikan, melainkan sesuatu yang hidup dan senantiasa ‘dikontestasikan’, yang mana kesadaran terhadap situasi kontestatif serupa itu berimplikasi pada konsep strategi kebudayaan yang disiapkan. Dalam hal ini, tidak berlebihan jika Jokowi-JK lebih menunjukkan kesiapan dan kesigapan dalam membaca dan memahami budaya. Namun bukan berarti paradigma budaya itu tanpa kelemahan.


Pertama, paradigma tersebut, yang dirinci dalam model revolusi mental berikut rekonstruksi/restorasi sosial sebagai metodenya, mengisyaratkan tingkat intervensi politik yang kuat yang dipancarkan dari arena kekuasaan, dalam hal ini pemerintah. Padahal, arena kebudayaan memiliki struktur, aturan-aturan, dan otonomi yang khas yang seringkali steril, atau setidaknya berusaha selalu steril dari intervensi politik. Sastra sebagai produk budaya, misalnya, justru menempatkan karya dengan pencapaian estetik, dan bukan derajat kedekatannya dalam mengafirmasi kondisi maupun kesesuaiannya dengan kepentingan pemerintah. Pandangan ini bukan berarti menolak kontribusi pemerintah, namun lebih pada usaha perumusan strategi revolusi mental yang tidak lagi bersifat trickle down, melainkan bottom up; tidak merembes dari atas, melainkan tumbuh dari bawah. Apa yang patut dicemaskan dari kebijakan trickle down, seperti yang dilakukan di era pemerintahan orde baru dan reformasi, adalah ketidakmerataan akses dan penyederhanaan kebudayaan sebagai salah satu sumber komoditi semata, seperti yang populer dikenal dengan industri kreatif.


Kedua, paradigma tersebut mengandung ‘keretakan-epistemis’ atau kerumpangan logika yakni, di satu sisi, menekankan pentingnya penguatan basis budaya lokal, namun di sisi lain hendak “..membersihkan diri sendiri dari prasangka sosial-kultural-politik.” Bisakah seseorang menghilangkan segenap nilai-nilai, baik yang berasal dari kelas sosial, local knowledge/wisdom, dan hak politik yang terinternalisasi dalam dirinya? Anggaplah hal itu mampu dilakukan, tapi lantas untuk apa penguatan budaya lokal jika hanya untuk ‘dibersihkan’ dari diri individu? Pada tahap inilah Jokowi-JK masih harus diuji untuk merinci paradigma kebudayaan yang dibangun dengan pendekatan kompromis itu. Pandangan kompromistik yang berhasil seringkali diidentikkan dengan kondisi harmoni dan selaras, namun sukar dipercaya keberhasilan itu kelak tergapai jika sejak tataran konsep sudah terdapat kontradiksi di dalam dirinya sendiri.


Ketiga, Jokowi-JK, seperti tertulis dalam rumusan rekonstruksi atau restorasi sosial, terkesan menitikberatkan pada akumulasi ‘modal sosial’ sebagai sesuatu yang memampukan individu dalam pembangunan karakter. Tidak ada penjelasan mengenai apa yang disebut ‘modal sosial’ dalam tulisan itu. Katakanlah modal sosial berarti jaringan atau akses yang memudahkan individu/agen bersosialisasi dalam konteks relasi kekuasaan dan kekuatan dalam masyarakat, namun modal sosial saja tidak akan pernah cukup. Dalam kontestasi kebudayaan, selain jaringan, individu/agen membutuhkan modal simbolik atau prestise: pengakuan atau legitimasi terhadap praktik budaya. Legitimasi tersebut perlu demi menumbuhkan kebanggaan dan harga diri terhadap budaya ‘lokal’ sehingga mempertebal daya imun terhadap penetrasi budaya ‘global’ seperti yang diidentifikasi sebagai pokok permasalahan dalam visi-misi tersebut.


Dengan paradigma dan strategi kebudayaan serupa itulah dua pasangan calon pemimpin bangsa ini mencoba meyakinkan masyarakat. Tentu, interpretasi penulis terhadap visi-misi di atas boleh jadi keliru atau kurang tepat, sebagaimana kata ‘budaya’ sebagai istilah yang paling sering disalahpahami. Namun, menyalahpahami dan mengkritik sesuatu yang secara gamblang diketahui, selama itu dilakukan untuk memperoleh kesepahaman, adalah tindakan yang lebih baik daripada meyakini dan membela sesuatu yang sesungguhnya masih samar atau bahkan tidak terjelaskan.

Silang Pandang Javasranang

(Dimuat di Jawa Pos, 24 April 2010)


Jika ada pertanyaan peristiwa dan implikasi kultural apakah yang paling mencederai etnis Jawa akibat kolonisasi Belanda, barangkali jawabannya bukan lagi sekadar sistem tanam paksa, serta sikap ambivalensi atau mimikri sebagai etnis terjajah seperti banyak disebut dalam kajian postkolonial mainstream di Indonesia, melainkan juga ‘raibnya’ salah satu bagian generasi etnis Jawa yang dipaksa berpindah ke lain benua pada 9 Agustus 1890. Dengan bunyi tawaran menggiurkan, lima tahun bekerja pulang ke Jawa kaya raya, 94 etnis Jawa diboyong ke benua Amerika sebagai kuli kontrak pemerintah Belanda. Namun setelah kontrak berakhir, mereka tidak pernah dipulangkan kembali ke tanah Jawa. Bagaimana mereka menjalani hidup di sana? Masih adakah memori kultural Jawa yang tersisa? Hingga generasi ke lima setelah 120 tahun, bagaimana bentuk manifestasi memori kultural tersebut?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas agaknya mengilhami acara Javasranang: Orang Jawa Indonesia-Suriname dalam sebuah Refleksi Kontemporer yang digelar di pendopo Karta Pustaka Yogyakarta 12-18 April 2010. Acara yang digagas oleh Noor Aini Prasetyawati, mahasiswa magister Antropologi Universitas Gadjah Mada ini menampilkan pameran foto dan arsip, workshop kuliner Jawa-Suriname, sarasehan, serta diskusi dengan beberapa etnis Jawa Suriname yakni Marciano Dasai dan istrinya, Murni Djamin, serta Bob Saridin, pendiri perhimpunan imigran Jawa-Suriname. Ada empat poin yang patut dicermati dalam acara ini: pertama, bangkitnya kesadaran riset terkait ‘diaspora’ etnis Jawa ke Suriname setelah riset terakhir yang dilakukan almarhum Parsudi Suparlan pada tahun 1974; kedua, signifikasi media audio visual sebagai teks kultural yang mengintegrasikan disiplin ilmu antropologi dan kajian media; ketiga, proses saling dan silang pandang dalam perspektif postkolonial yang tidak sama persis antara etnis Jawa di Suriname dengan etnis Jawa di Indonesia; keempat, bentuk acara fundrising sebagai cara alternatif penggalangan dana riset agar peneliti tidak selalu bergantung pada lembaga donor asing.


Visualitas

Keberadaan visualitas pada umumnya, dan fotografi sebagai salah satu bagian dari visualitas pada khususnya, menjadi unsur penting dalam kajian budaya mutakhir. Douglas Harper, misalnya, menyebut peranan fotografi dalam antropologi berawal dari kesadaran dan kebutuhan bahwa narasi tertulis saja kurang mampu merepresentasikan atau mengkomunikasikan visualitas ekspresi-ekspresi budaya yang ditulis dalam laporan etnografis. Bateson dan Mead (1942) salah satu peletak dasar etnografi menyebut “..foto-foto tersebut menjadi bagian penting dari pernyataan-pernyataan yang lebih elaboratif.”


Perspektif etnografi visual tersebut mengemuka dalam Javasranang. Kurang lebih 70 foto yang dipamerkan cukup merepresentasikan kehidupan kuli kontrak imigran Jawa ke Suriname sejak mula kedatangan hingga keberadaan mereka di era kekinian. Salah satu foto—seluruh foto di pameran ini tidak berjudul, dan inilah yang menjadi kelemahan pameran—misalnya, menunjukkan sekumpulan etnis Jawa yang mengantri turun dari kapal Karimun untuk menginjakkan kaki pertama kalinya ke Suriname. Salah seorang dalam foto kusam warna sephia tersebut melakukan gerak tarian dalam seni wayang wong, sementara beberapa orang lain yang melihatnya tersenyum. Senyuman tersebut barangkali ekspresi getir dan ironis sebab seperti dikisahkan Marciano Dasai, “Leluhur kami mengira Suriname itu di Sumatera, masih di sekitar Indonesia, jadi mereka mau saja diajak naik kapal. Tapi setelah itu, mereka berlayar selama tiga bulan dan tak pernah kembali lagi.”

Ada yang janggal dan kurang tepat dari keterangan Marciano sebagai generasi keempat imigran Jawa-Suriname saat menyebut “..masih di sekitar Indonesia,” karena di tahun 1890 konsepsi national state Indonesia belum ada, melainkan lebih ke identitas etnis. Hal inilah yang menyebabkan etnis Jawa Suriname tidak mengenal bahasa Indonesia atau identitas ke-Indonesiaan, melainkan lebih ke identitas ke-Jawaan dan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu. Meski begitu, keterangan bahwa ada nuansa muslihat dalam ajakan Belanda, serta harapan kembali ke tanah Jawa yang akhirnya pun diingkari, patut dicatat sebagai informasi penting.


Beberapa karya fotografi lainnya menunjukkan bagaimana etnis Jawa di Suriname masih berusaha mempertahankan ke-Jawaan mereka. Tradisi selametan, baju adat pernikahan, serta festival seni tradisi yang rutin diadakan demi memperingati hari kedatangan etnis Jawa di Suriname masih rutin diselenggarakan. Spanduk-spanduk dengan tulisan berbahasa Jawa ngoko terbentang pada pawai yang diikuti mayoritas etnis Jawa di sana. Itulah mengapa, seperti disebutkan secara optimis oleh Bob Saridin sembari menunjukkan foto bocah berusia dua belas tahun yang menabuh gendang, budaya Jawa tidak akan punah di Suriname. Etnis Jawa masih memelihara seni tradisi Jawa, dan proses regenerasi seni berjalan baik. Uniknya, Murni Djamin mengatakan, etnis Jawa Suriname memang masih akrab dengan seni tradisi Jawa, namun tak benar-benar memahami filosofi yang inheren dalam kesenian tersebut. Perempuan yang leluhurnya berasal dari Boyolali itu bahkan menyebut beberapa jenis tarian yang pernah dipentaskan di Suriname, yang kemudian ia ketahui sebagai tari piring dan jaipong, selama ini mereka pahami sebagai tari Jawa. Dengan kalimat lain, seluruh seni tradisi yang ada di Suriname dan dimainkan oleh orang Jawa adalah seni tradisi Jawa. Hanya Jawa, dan tidak ada tempat bagi Indonesia atau pengetahuan mengenai etnis lain di Indonesia.


Tak kalah menarik adalah klip-klip lagu pop di Suriname yang dilantunkan oleh penyanyi-penyanyi Jawa-Suriname. Dengan bahasa Jawa ngoko dan dibalut sinematografi yang sangat sederhana, para penyanyi tersebut melantunkan lagu-lagu yang syair, koreografi, dan iramanya terdengar tak lazim. Lagu berjudul Tresno Tanpa Wates, misalnya, berbunyi “..kangen ngambungi lambemu, kapan iso ketemu..” Sementara di lagu Pakke macul, terlantun syair “Pakke macul-macul, ngalor ngidul..” Vulgar, sensual, janggal, dan menggemaskan. Namun justru pada klip-klip itu bisa diidentifikasi bahwa, pertama, generasi muda Jawa-Suriname tak luput dari gempuran budaya pop Barat yang selalu menebar ancaman pada eksistensi seni tradisi. Hal tersebut tampak pada nuansa-nuansa jazzy, reggae dan rap yang inheren di dalam lagu; kedua, bahwa dalam proses tersebut etnis Jawa-Suriname masih berusaha mempertahankan penanda-penanda lokal Jawa seperti pemakaian bahasa, koreografi yang meniru gerakan dalam wayang kulit, juga nada-nada pentatonis Jawa yang meskipun tipis namun masih terdengar manis mengemas keseluruhan lagu; ketiga, sangat terlihat kecenderungan bahwa klip-klip Didi Kempot yang populer di tahun awal 2000an dijadikan sebagai model dan patron bagi klip-klip lagu pop Jawa di Suriname. 


Tak sedikit pengunjung yang tersenyum geli melihat tayangan tersebut. Pada tataran itulah artefak visual yang dikemas dalam acara ini bukan sekadar menyodorkan apa yang oleh Sarah Pink dalam buku Visual Culture dikatakan sebagai visual experience; lebih dari itu, visualitas itu berhasil mengajak intensi pengunjung untuk merefleksi-diri (self-reflectivity): rekaman peristiwa yang membutuhkan intensi agar makna dari visualitas membenak, mengendap dalam gugus kesadaran dalam menyerap implisitas fenomena.


Tetapi kesadaran pada apa yang unik secara visual serta refleksi pengalaman visual saja belum cukup. Pertanyaan-pertanyaan seperti apakah etnis Jawa-Suriname merupakan the others (yang liyan) bagi kita—etnis Jawa pada khususnya, dan Indonesia pada umumnya; bagaimana kita bisa meyakini bahwa Jawa-Suriname adalah ‘saudara’ kita jika identitas kebangsaan Indonesia nyaris nihil dalam pikiran mereka; bagaimana kita bisa tidak mengakui jika the others itu ternyata serumpun bahasa dan ras dengan kita, adalah ragam pertanyaan yang mengemuka. Bagaimana kita mesti memandang mereka, sebenarnya; dan bagaimana pula mereka memandang kita selama ini?


Silang Pandang

Seperti tersebut di atas, etnis Jawa-Suriname nyaris nihil terkait konsepsi Indonesia sebagai identitas kebangsaan, kecuali memori dan ikatan kultural dengan Jawa—Jawa yang itu pun tak identik dengan mayoritas Jawa di Indonesia. Dalam sesi sarasehan di penghujung acara, perbedaan tersebut diulas dengan bahasa Jawa ngoko yang digunakan etnis Jawa-Suriname sebagai titik tolak. Mantan duta besar Indonesia untuk Suriname, Suparmin Sunjoyo serta Bob Saridin, menceritakan kisah-kisah gegar budaya antara etnis Jawa-Indonesia dengan Jawa-Suriname.


Ndase tulung ndingkluk,” ujarnya saat berkisah kala dirinya sedang pangkas rambut di Suriname, disambut gelak tawa peserta sarasehan. Diksi ‘ndas’, rupanya, dianggap kasar, menjauhi norma, dan kurang njawani. Suparmin yang mengakhiri dinas pada 2006 juga menceritakan almarhum Presiden Soeharto saat kunjungan kenegaraan di Suriname dipanggil dengan sapaan ‘kowe’, dan saat sinuhun Sultan Hamengku Bowono berkunjung ke negara berpenduduk kurang dari 500.000 jiwa dengan etnis Jawa sebesar 15%, KBRI Suriname bahkan menyiapkan staf khusus agar Sultan tidak disapa dengan ‘kowe’.


Jika dicermati, gegar budaya dalam aspek bahasa sebenarnya bukan hal mengejutkan. Fakta bahwa bahasa Jawa memiliki stratifikasi dan signifikansi penggunaan memang tak bisa dihindarkan bahkan di Pulau Jawa sendiri. Saya yang dari Surabaya sama sekali tidak gegar mendengar diksi ‘ndas’, ‘kowe’ dan lainnya. Namun bagi pengunjung yang mayoritas berasal dari Yogyakarta, hal itu rupanya memiliki makna yang tidak sederhana. Di sinilah bisa diidentifikasi bahwa Jawa-Suriname merupakan varian dari etnis-Jawa yang tidak mengenal hirarki lingusitik, egaliter, permisif, bahkan hibrid. Etnis Jawa-Suriname lebih mengenal dan bahkan fasih berbahasa Belanda, serta memiliki garis relasi sosiologis lebih tegas dengan Belanda ketimbang Indonesia dalam konteks kebangsaan.

P.M Laksono, guru besar Antropologi Universitas Gadjah Mada, memberi penekanan tajam dalam perspektif postkolonial di acara tersebut dengan mengatakan etnis Jawa-Suriname lebih merdeka dari etnis Jawa di Indonesia. Dekolonisasi Belanda tak bisa dipungkiri mewariskan trauma mendalam dan sikap-sikap ambivalen yang tak semuanya positif, namun etnis Jawa-Suriname lebih lekas serta tangkas bangkit dari trauma itu, lalu mengembangkan potensinya baik dalam hal kultural maupun ekonomi di tempat nun jauh di lain benua. “Orang Jawa-Suriname hanya 15% dari total penduduk Suriname dan secara ekonomi di atas rata-rata, sedangkan Indonesia mengekspor etnis Jawa sebagai TKI lebih dari seluruh jumlah penduduk Suriname. Siapa yang lebih merdeka?” ujar P.M Laksono.


Di lain kesempatan, Marciano Dasai dan Murni Djamin yang hidup 2,5 tahun di Yogyakarta dalam rangka studi mengungkapkan keprihatinnya terhadap etnis Jawa di Indonesia. “Kami di Suriname tidak ada yang mengemis. Tapi di sini, banyak orang Jawa mengemis dan jadi kriminal,” ujar Marciano. Bob Saridin menambahkan, bukannya orang Jawa di Suriname tidak ada yang miskin, tapi “timbangane ngemis, wes kowe mangan melu aku wae,” ujarnya.


Emansipatoris

Jika dicermati keseluruhan, acara Javasranang ini mengartikulasikan prinsip vital dalam cultural studies yaitu leburnya demarkasi antara teori dan praktik: teori terjalin dalam nalar kritis lalu dimanifestasikan dalam tindak kongkret (praksis) menuju perubahan (emansipasi), bukan sekadar akrobat intelektual seperti masih banyak diidap scholar Ilmu Budaya di Indonesia. Terdapat dua hal yang patut disebutkan terkait prinsip kritis-emansipatoris dalam acara ini., pertama, bentuk acara fundraising sebagai cara alternatif penggalangan dana riset. Seperti diketahui, program-program riset di Indonesia masih cenderung diskriminatif dengan dominasi dari peneliti-pegawai negeri yang didanai negara. Sedangkan peneliti ‘swasta’ hanya mengandalkan belas kasihan lembaga donor asing yang penuh agenda dan propaganda tersembunyi. Realitas dependensi dalam riset tersebut hingga kini masih berjalan dan nyaris hening dari perdebatan solutif. Belum diketahui pasti apakah acara yang digagas Noor Aini Prasetyawati untuk mendanai rencana risetnya di Suriname Juli-Agustus nanti ini sukses menghimpun dana, namun ide fundraising yang mengedapankan keterlibatan masyarakat luas dalam aktivitas penelitian layak diapresiasi; kedua, acara Javasranang, seperti ditegaskan Herry Zuhdianto, walikota Yogyakarta, menjadi pengawal letter of intent rencana sistercity antara pemerintah kota Yogyakarta dengan pemerintah kota Commoweijne Suriname. Dengan sistercity, hasrat etnis Jawa-Suriname untuk lebih mengetahui akar identitas kulturalnya menjadi semakin terbuka, dan etnis Jawa di Indonesia menemukan cermin dan wadah untuk terus merefleksikan diri dalam konteks kebudayaan global.


Betapapun, identitas bukanlah sesuatu yang final dan banal, melainkan suatu proses yang di dalamnya setiap individu diminta untuk tidak sekadar mengidentifikasi, melainkan juga merefleksi diri. Identitas adalah sesuatu yang terbelah, menganga, di mana proses reproduksi makna akan terus berlangsung di dalamnya. Seperti disebut Suryanto, penyair Suriname dalam sajak berjudul Sabar, “..surem obore basa Jawa lembaran budaya kejer ing atis-atis/Suriname Ibu tanah lara lapa bali sumilir bakale angin budaya seger..”

Post-Sastra: Laskar Pelangi "3D"

(Dimuat di Jawa Pos, 16 Januari 2011)


Dihelatnya pentas Musikal Laskar Pelangi di penghujung 2010 (Kompas 19/12) merepresentasikan kondisi progresif sekaligus problematik pada ranah seni tanah air: di satu sisi, pentas yang mengadaptasi novel dan film Laskar Pelangi tersebut membuktikan relasi produktif antara ranah sastra, film, dan drama; di sisi lain, pentas tersebut sesungguhnya suatu ujian terhadap otonomi sastra meliputi derajat estetika, konsekrasi dan politik kanonisasi yang dioperasikan agen-agen sastra dengan semakin menggejalanya kehadiran karya sastra khususnya ‘novel-sinematografis’ atau bahkan ‘novel-musikal’ yang menjadi menu baru dalam memenuhi selera sastra dari masyarakat. Jika sineas Garin Nugroho menyebut munculnya fenomena post-sinema dan post-teater (Kompas 26/12), daya pikat Laskar Pelangi ‘3D’ bukan hanya pada produksi material—novel, film, dan drama—saja, melainkan juga pada produksi simbolik yang pertama-tama menopang produksi material, untuk kemudian menciptakan satu mode relasi kuasa post-sastra yang melibatkan posisi sastra, film, dan drama dalam ranah seni berikut relasinya dengan ranah ekonomi.

Pertanyaannya, bagaimana kuasa simbolik berbalut fenomena post-sastra itu beroperasi? Bagaimana implikasi kuasa simbolik tersebut khususnya pada otonomi ranah sastra dan film? Benarkah terjadi perubahan mode produksi sastra dari lisan-tulisan-visual-musikal?


Transformasi

Transformasi karya sastra ke media film pada dasarnya berawal dari keduanya adalah media ekspresi yang sama-sama memiliki cerita dan struktur penceritaan. Meski begitu, perbedaan bentuk antara film sebagai media audio visual dan novel sebagai media bahasa menjadikan proses transformasi novel ke film tak bisa terlepas dari apa yang disebut George Bluestone dalam buku Novel into Film (1957) sebagai perubahan prinsip formatif dari linguistik ke visual; dari dimensi waktu ke ruang, yang berujung pada perubahan bahkan perusakan terhadap struktur naratif novel. Jika pada awal sejarah transformasi novel ke film di ranah seni Indonesia selalu terjadi persoalan dan bahkan pertengkaran antara sastrawan dengan sutradara seperti dijelaskan Pamusuk Erneste dalam Novel dan Film (1991), maka tidak demikian halnya dengan transformasi Laskar Pelangi

Terdapat empat hal yang patut disebutkan yakni, pertama, novel tersebut ditransformasikan ke media film dengan ‘tanpa masalah’ antara Andrea Hirata sebagai novelis dan Riri Riza sebagai sutradara meskipun terdapat reduksi terhadap struktur naratif novel yang sangat signifikan; kedua, respon masyarakat yang begitu antusias terhadap film dengan jumlah penonton mencapai angka 4,6 juta; ketiga, efek film Laskar Pelangi yang berkontribusi positif terhadap sektor pariwisata Belitong (Kompas, 12/12); keempat, keseluruhan proses transformasi tersebut mendatangkan laba material, simbolik dan kultural yang ditunjukkan dengan nominal rupiah serta penghargaan-penghargaan di bidang film dari dalam maupun luar negeri. Antara sastrawan dengan sutradara; penerbit dengan rumah produksi; pemodal dengan konsumen, bahkan media massa dan pemerintah, seluruhnya memberi apresiasi tinggi dan merasa sama-sama diuntungkan. Itu belum termasuk pentas Musikal Laskar Pelangi yang kini sedang dihelat di Taman Ismail Marzuki dan mendapat sambutan positif dari agen-agen seni tanah air. Artinya, Laskar Pelangi ‘3D’ cukup jeli dan jitu dalam merebut serta memanfaatkan apa yang Pierre Bourdieu dalam The Forms of Capital (1986) sebut sebagai modal simbolik serta modal kultural yang menjadi prasyarat kontestasi di ranah seni.

Tapi benarkah hanya sebatas itu makna Laskar Pelangi ‘3D’? Bagaimana memahami dan memposisikan ranah sastra, film, dan drama musikal dalam transformasi yang seolah tanpa masalah? Jika dikotomi sastra populer dan sastra tinggi tak lagi relevan menjawab perkembangan ranah sastra, bagaimana mesti memahami dan memposisikan novel Laskar Pelangi dalam konteks sejarah sastra negeri ini?

Kuasa Simbolik

Jika dicermati, transformasi novel ke film pada umumnya, dan dalam kasus Laskar Pelangi khususnya, sebenarnya merepresentasikan kuasa—untuk tidak menyebut kekerasan—simbolik yang dipraktikkan film kepada novel. Kuasa simbolik, menurut Bourdieu dalam Language and Symbolic Power (1995) adalah kuasa untuk menentukan instrumen-instrumen pengetahuan dan ekspresi kenyataan sosial secara semena-mena yang mana kesemenaannya tidak disadari dan justru dianggap sah, memiliki legitimasi, serta membuat orang percaya kepada suatu cara pandang tertentu. Kuasa simbolik beroperasi melalui penanaman skema persepsi dan apresiasi yang menubuh dalam habitus individu yang mengantarkannya pada cara memahami realitas termasuk karya seni.

Dalam hal ini, reduksi maupun variasi naratif yang dilakukan film terhadap novel dianggap sebagai keniscayaan sinematografis tak terelakkan (doxa) yang kemudian dipahami sebagai kewajaran dengan menjadikan indeks pencapaian laba ekonomi dan kultural sebagai dalih yang mengatasi tiap kritik atas kuasa simbolik tersebut. Artinya, Miles Production, Penerbit Bentang, Riri Riza dan Andrea Hirata secara langsung maupun tak langsung, sadar maupun tak disadari, telah mengambil posisi sebagai agen-agen yang menginternalisasi cara pandang tersebut ke habitus publik seni Indonesia: pertama, jika novel sebelumnya media yang dibaca, kini melalui transformasi ke media film, novel menjadi sesuatu yang ditonton; kedua, jika novel memungkinkan sensitifitas masyarakat terhadap linguistik, maka film memberi habitus baru yakni sensitifitas dan bahkan kebutuhan terhadap visualitas; ketiga, membaca hanyalah salah satu tahap, yang itu pun tidak prinsipil, sedangkan ‘menonton novel’ jauh lebih riil dan menarik.

Konstelasi kuasa simbolik yang berkelindan antara ranah sastra, film, dan ekonomi yang cenderung memposisikan ranah sastra sebagai ‘yang-terdominasi’ di atas pada gilirannya melahirkan pertanyaan seputar masa depan novel Indonesia kelak. Artinya, jika Walter J. Ong dalam Orality and Literacy (1982) berbicara teorema pergeseran dari kelisanan menuju keaksaraan dalam masyarakat modern dan sejarah sastra, bukan tidak perlu jika ranah post-sastra Indonesia mesti lebih bersiap pada signifikansi konsep John Walker dan Sarah Chaplin dalam Visual Culture (1997) tentang visual poetics: visualisasi puitika bahasa lebih penting ketimbang puitika bahasa itu sendiri. Jangan-jangan, kesuksesan Laskar Pelangi ‘3D’ menjadi momentum lahirnya genre baru yakni novel-sinematografis, novel yang sengaja dibuat untuk difilmkan dan oleh karenanya tak perlu ketat secara literer melainkan disesuaikan dengan nalar sinematografis khususnya pada kebutuhan visualisasi puitika bahasa yang memaksa terjadinya pergeseran mode produksi sastra dari lisan-tulisan-visual. Tentu saja jawaban atas asumsi tersebut kembali pada dialektika agen-struktur dalam ranah kultural baik di masa kini maupun mendatang. Namun, bagaimana sebenarnya dialektika agen-struktur yang kini sedang terjadi dalam ranah sastra dan film?

Agensi

Keberhasilan agen-agen tersebut mengambil posisi krusial dalam ranah produksi kultural bukan tanpa implikasi mendalam pada otonomi ranah sastra dan ranah film itu sendiri. Seturut Bourdieu (1993) dalam The Field of Cultural Production, pada ranah produksi kultural, tingkat otonomi ranah sastra beragam dari satu periode dan tradisi ke periode dan tradisi lainnya; di saat sama, ranah sastra juga bersifat heteronom sebab ia mustahil lepas dari ranah kuasa (ekonomi). Di ranah sastra khususnya prosa, siapapun paham bahwa legitimasi ke-sastrawan-an bukanlah suatu hal yang mudah diraih. Keberadaan institusi-institusi seperti Dewan Kesenian Jakarta yang rutin menggelar sayembara penulisan novel, media massa cetak yang rutin menerbitkan kolom sastra, juga komunitas-komunitas sastra seperti Teater Utan Kayu, misalnya, tak bisa dipungkiri adalah basic units struktur objektif ranah sastra yang mesti dihadapi dan dilintasi siapapun yang berniat menjadi sastrawan. Struktur objektif tersebut tidak hanya pada persoalan regenerasi sastrawan yang legitimit, melainkan juga suatu upaya kontrol terhadap derajat estetik karya sastra.

Dengan kondisi struktur objektif ranah sastra tersebut, tak berlebihan jika Andrea Hirata disebut sebagai agen yang berhasil melakukan praktik agensi. Tidak berasal dari suatu komunitas sastra yang terkonsekrasi, tanpa harus lulus dalam pergulatan awal khas sastrawan yang lebih dulu mempublikasikan karya melalui media massa, juga tanpa harus menjadi juara sayembara novel paling berwibawa di Indonesia, Andrea Hirata melesat sebagai salah satu penulis novel yang karyanya dicetak mencapai dua puluh enam kopi dan menerima royalti lebih dari lima miliar rupiah. Meski kadar estetika Laskar Pelangi tak sekuat Bilangan Fu karya Ayu Utami, Cala Ibi karya Nukila Amal, atau Hubbu karya Mashuri, sulit untuk tidak mengakui baik Laskar Pelangi maupun Andrea Hirata sebagai sastrawan pendatang-baru sedang menggoyahkan struktur objektif ranah sastra dengan segala rezim kuasa simbolik dalam estetika serta politik kanonisasi yang selama ini beroperasi.

Jika Andrea Hirata berhasil mempraktikkan agensi pada ranah sastra, duet Riri Riza dan Mira Lesmana melakukan hal sama terhadap ranah film. Sembari konsisten pada penolakan dikotomi film idealis vis a vis film komersil, Riri dan Mira terus memproduksi film yang ‘baik’, memuat isu-isu strategis dan menjadikan tiap karyanya sebagai mode representasi kritis-emansipatoris. Saat industri film nasional masih terjebak pada tema-tema remaja, komedi, dan horor yang kering secara kultural, Riri dan Mira melalui film Laskar Pelangi hadir dan memberi kontribusi positif dan konkret bagi warga Belitong. Riri Reza juga tak ambil pusing dengan sengkarut struktur objektif ranah film yang didominasi pihak tertentu. Tidak mendapat penghargaan dan bahkan berpolemik dengan agen-agen di balik Festival Film Indonesia (FFI) bukan lagi soal penting. Film Laskar Pelangi justru meraih banyak penghargaan dari festival-festival luar negeri yang film juara FFI pun tak mampu meraihnya, terlebih saat film tersebut ditransformasikan ke dalam bentuk drama musikal—dari scene ke stage. Seperti disebutkan Mira (Kompas 17/12), “Pada prinsipnya, kami percaya pada ide dan gagasan saat ingin menawarkan alternatif baru bagi masyarakat.” Meskipun dalam hal tertentu Andrea, Riri dan Mira juga tak sanggup melepaskan diri dari kuasa ekonomi yang menjadikan mereka agen kapitalisme, keduanya memiliki modal kultural dan modal simbolik yang teramat signifikan untuk menguji dan melabilkan struktur objektif ranah sastra dan film.

Selamat datang, era post-sastra..

Digitalisasi Asmara Para Facebookers

(Dimuat di Jawa Pos, 3 Oktober 2010)

Beberapa saat lalu saya menerima selembar undangan pernikahan yang dikirim melalui facebook dari seorang karib yang selama ini saya kenal tinggal dan bekerja di Surabaya, hendak menikah dengan pasangannya yang tinggal di Balikpapan. Tak ada yang istimewa dari undangan itu, karena penyebaran segala macam undangan di jejaring sosial telah menjadi suatu hal lumrah. Namun, begitu karib saya menelepon demi memastikan undangan sembari bercerita tentang kisah asmara yang kini telah ia wisuda di altar pelaminan, barulah saya terheran-heran: kisah asmara itu dibangun dari dan hanya melalui media facebook, tanpa pernah bertemu muka sekalipun. Tatap muka hanya dilangsungkan sekali dan itu pun sekaligus akad nikah dengan kekasih ‘digital’nya yang tinggal di Balikpapan. Pendeknya, mereka berkenalan, berpacaran, dan memutuskan menikah melalui facebook. Sedemikian hebatkah implikasi media terhadap ‘cara bercinta’ anak muda kekinian? Fenomena budaya dan media apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana sebenarnya proses mediasi asmara berbasis digitalisasi media itu terjadi?

Era Digital

Tak dapat dipungkiri peran situs facebook sebagai media sekaligus produk budaya telah memiliki fungsi strategis dalam perkembangan sosio-kultural baik dalam dalam konteks lokal maupun global. Terdapat lima hal yang patut dicermati dari facebook dalam konteks mode of relationship: (1) facebook merupakan situs jejaring sosial terpopuler dengan skala global; (2) sebagai situs jejaring sosial, setiap users mempunyai ruang untuk mempublikasi eksistensi diri melalui foto, profil diri, pendidikan, prestasi dan lain sebagainya; (3) users juga bisa saling melihat, berkomunikasi, berbagi informasi apapun sesuai dengan keinginan; (4) pemunculan informasi diri dalam bentuk visual tersebut bebas dari intervensi atau keketatan norma seperti dalam dunia nyata. Artinya, setiap users berhak memasang foto pribadi dengan gaya apapun tanpa perlu mempedulikan dimensi nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat tersebut; (5) users bisa memunculkan dirinya sebagai ‘yang-berkepribadian ganda’ (multipersonality) atau juga ‘yang-palsu’ (pseudopersonality) di mana konsep mengenai identitas yang dimunculkan dalam situs tersebut tak selalu mengacu pada diri users yang sesungguhnya.  

Jika dicermati, facebook bukan satu-satunya implikasi pesatnya perkembangan teknologi informasi yang melahirkan banyak media baru; lebih dari itu, fenomena facebook dan teknologi informasi harus dipahami dalam konteks perubahan perilaku pengguna media atau users pada khususnya, serta kehidupan sosio-kultural tempat media tersebut berada pada umumnya. Dalam sejarah perkembangan media, Thomas Mc Luhan (1964) menyebut empat fase yakni (1) tribal age, yakni media yang digunakan dalam masyarakat purba; (2) age of literacy, yakni media yang digunakan setelah ditemukannya alphabet; (3) the print age, mengacu pada perkembangan media setelah ditemukannya teknologi percetakan; (4) the electronic age, yakni ditemukannya media-media berbasis teknologi informasi seperti internet, handphone, satelit, televisi, dan lain sebagainya. Mc Luhan memberi penekanan pada fase the electronic age sebagai fase mutakhir perkembangan media yang menurutnya telah memampukan manusia untuk berinteraksi dan berkomunikasi secara bebas, baik dari batas-batas negara, ruang, dan waktu. Di sinilah Mc Luhan mengajukan tesis terkenalnya: media telah menciptakan ‘global village’ atau Desa Dunia yang membuat umat manusia di seluruh dunia seolah adalah tetangga dekat satu sama lain, hanya terpisah pintu dan halaman, berdasarkan media yang dikonsumsi oleh manusia tersebut.

Kecepatan akses beserta fitur-fitur canggih yang mampu memudahkan setiap orang dalam proses komunikasi yang terdapat dalam internet menjadikan media tersebut berkembang semakin massif. Seperti tersebut di atas, masyarakat pengguna internet bukan sekadar menggunakan internet untuk mencari informasi, namun juga mereproduksi informasi-informasi terkait diri sendiri. ‘Narsisme digital’ tersebut bukan tanpa tendensi, sebaliknya, pencitraan diri sendiri—terlepas dari manipulasi informasi yang sangat mungkin terjadi—bertujuan agar komunikasi yang terjadi di dunia cyber mempunyai signifikasi tertentu dengan komunikasi di dunia riil. Dalam beberapa kasus, seperti disebut di awal, komunikasi via facebook bahkan berlanjut hingga tataran pernikahan.

Tetapi, bagaimana sebenarnya proses komunikasi dalam facebook hingga mampu menyentuh asmara, dimensi paling subtil dari manusia? Bagaimana relasi percintaan yang mustahil nihil dari nilai erotis itu terjalin kuat dalam fitur-fitur semu dunia cyber?

Desa Dunia

Seperti tersebut di atas, facebook sebagai situs jejaring sosial merupakan media informasi berbasis teknologi internet yang memiliki berbagai fitur dan mampu mengkondisikan komunikasi antara dua orang atau lebih berlanjut ke taraf hubungan yang lebih signifikan: percintaan. Sebagai media pertemanan dunia digital, prinsip dari facebook atau situs jejaring sosial lainnya adalah komunikasi interpersonal yang mampu menghubungkan satu individu dengan individu-individu lainnya. Melalui apa yang disebut Mark Deuze (2003) dengan participant dan self journalism dalam cyberspace, setiap users bisa mempublikasikan segala hal terkait dirinya untuk diketahui orang lain. Sekat antara ‘yang-privat’ dan ‘yang-publik’ menjadi begitu tipis. Praktik jurnalisme pribadi yang dalam tahap-tahap tertentu bisa dimaknai sebagai narsisme digital yang menggunakan dan ditunjang oleh pencitraan visual serta teknologi editing tertentu itu memungkinkan adanya proses gazing (memandang) dan komunikasi antara satu user dengan user lainnya, meski masing-masing user berada di tempat yang jauh terpisah sekalipun.

Kisah seorang karib yang merangkai kisah asmara bermula, dari, dan hanya melalui facebook seperti disebut di atas menjadi studi kasus yang relevan terhadap. Pasangan yang masing-masing awalnya berada di Pulau Jawa dan Kalimantan dengan selisih jarak ribuan kilometer tidak mengalami ‘hambatan tetap’ dalam merangkai cinta; sebaliknya, dengan media internet, keduanya tetap mampu menjalin hubungan cinta seolah mereka berada di satu kampung, begitu dekat dan intim, hingga hubungan itu berlanjut ke pernikahan.

Di sinilah tesis global village Mc Luhan menemukan signifikansinya: (1) media memperbesar daya seseorang untuk memahami dan mengetahui tatanan sosio-kultural yang beragam di berbagai belahan dunia; (2) media membuat penggunanya mengetahui begitu banyak hal sehingga dunia seolah menjadi lebih sempit; (3) media memungkinkan setiap orang untuk mampu hidup di berbagai dunia dan budaya pada waktu yang sama tanpa harus meninggalkan kamar mereka; (4) akhirnya, media membuat setiap penggunanya percaya bahwa seluruh penduduk dunia adalah ‘tetangga sebelah’ yang bisa diajak komunikasi tanpa harus tersekat dinding-dinding pembatas teritori negara, ideologi, dan agama.

Estetika Mengintip

Betapapun canggih media internet dalam menciptakan ilusi global village, relasi percintaan selalu menuntut lebih dari sekadar komunikasi tulisan. Fitur-fitur yang memungkinkan users memasang gambar merupakan ruang gazing (pandangan) Sadar maupun tidak, dalam teknologi internet setiap users terlibat pada apa yang dalam psikologi Freudian disebut scopophilia atau kenikmatan mengintip yang berujung pada voyeurism. Para facebookers cinta sebenarnya mengalami proses scopophilia di mana masing-masing saling bertukar gambar untuk mengenali, mengidentifikasi ciri-ciri fisik, serta merefleksikannya dengan standar kecantikan atau ketampanan yang masing-masing bermukim dalam psikis masing-masing. Di sinilah permainan manipulasi tanda, dalam hal ini citra atau foto diri bermain. Hampir seluruh users jejaring sosial telah menggunakan apa yang oleh Jean Baudrillard sebagai artificial sign, yakni tanda-tanda yang dihasilkan oleh teknologi digital. Penggunaan tanda artifisial bisa diidentifikasi dari permainan efek fotografis pada foto users yang foto tersebut menarik, bercahaya, berbeda dengan citra aslinya, dan yang terpenting, mengundang rasa penasaran dari users lain yang melihatnya. Manipulasi citra atau penggunaan tanda-tanda artifisial memiliki implikasi signifikan dalam proses gazing. Bagi para facebookers petualang cinta, proses gazing tersebut menjadi signifikan sebab dalam proses selanjutnya, mereka, sadar maupun tidak, akan membuat keputusan apakah mereka masing-masing mendapat kenikmatan memandang yang sesuai dengan kriteria masing-masing, atau malah menghentikan proses gazing tersebut sebab tidak mendapatkan kenikmatan apapun.

Dengan demikian, relasi percintaan yang dijalin melalui media cyber seperti facebook menjadi sesuatu yang sangat mungkin akan banyak terjadi. Keterkaitan relasi percintaan dengan cyberspace bisa diformulasikan sebagai berikut: (1) cyberspace merupakan ruang komunikasi di mana setiap users bisa berkomunikasi dengan users lainnya; (2) relasi percintaan mengimplisitkan suatu kontak fisik tertentu yang oleh cyberspace dimediasi sekaligus direduksi menjadi fitur-fitur visual di mana kode-kode atau ciri-ciri fisik seseorang mampu dimunculkan; (3) meskipun semu dan terbatas di satu sisi, cyberspace menawarkan komunikasi yang lebih ‘riil’ di sisi lain karena users memiliki kebebasan dalam mengekspresikan apa yang ia inginkan tanpa harus merasa cemas atau was-was seperti halnya komunikasi verbal face-to-face di mana etika atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat menjadi suatu hal yang begitu dipertimbangkan.

Paradoks

Jika dicermati, kisah seorang karib di atas, atau juga para petualang cinta di dunia facebook merepresentasikan gejala paradoksal teknologi sistem informasi. Di satu sisi, kecanggihan teknologi mutakhir membuat keterpisahan ruang dan waktu sedemikian tak berarti dalam merenda kisah asmara; di sisi lain, asmara yang terajut sejatinya sekadar pada tataran ide: tanpa sentuhan fisik, tak berpretensi melanggar norma susila masyarakat. Dengan kalimat lain, di zaman serba modern di mana perilaku asmara remaja cenderung identik dengan kemesraan fisik, Petualang cinta dalam facebook kembali pada konsep pacaran ala Syekh Amongraga, mistikus di zaman Sultan Agung, yang menikahi perempuan yang tak pernah ia lihat sebelumnya.

Seturut dengan tesis Daniel Bell (1973) yang memandang secara optimis implikasi teknologi cyber sebagai ciri masyarakat post-industrial, paradoks tersebut merupakan implikasi positif dari sistem informasi berbasis internet pada mode of tradition yang berlaku pada suatu budaya tertentu. Mengacu pada kisah asmara seorang karib di atas, bukan tidak mungkin kecanggihan teknologi akan menciptakan ‘tradisi percintaan’ baru di kalangan masyarakat ‘kelas digital’ yang, sadar atau tidak, tekah merevisi nilai-nilai dan perspektif baru terkait ‘yang-digital’ dan ‘yang-banal’.