[puisi]

..dari perjalanan itu..

(dipublikasikan pertama kali di Jawa Pos pada 2016)


NOVEMBER DI BRUGES

lewat jendela itu ladang-ladang seperti terbang

tak meninggalkan bayang. dipandanginya gerimis menjatuhi

tepian kaca kereta—derunya sayup. siang redup

ketika dia hidupkan kembali ingatan masa kanak

tentang seorang ibu mengajari anaknya yang bisu bernyanyi

di sudut stasiun tua yang sepi dan mengering

tergunting angin dan matahari. “Aku pun merindumu

sayang, sungguh, kelak aku pulang. Namun izinkan kulukis

sejenak salju tipis kepergianku dalam

puisi yang gugup berjanji.”

Bruges, 2015

TENTANG KATEDRAL

dari liukan kanal dan dinding tebal

katredal, masa lalu terekam dalam lolong

biduan jalanan. Telah lama termaktub dalam risalah

sejarah abad-abad gelap saat manusia lelap

dalam doa-doa. “Eli, eli, lama sabakhtani”

antara terang dan gelap selalu terhampar kabut

lagu tentang surga dan segala yang tak surut

dinding beku. angin diam. seperti kenangan,

angsa-angsa putih itu pun mencari hangat

di sisi jembatan yang teriris tipis

segaris matahari.

Bruges, 2015



PETA BUTA

dan kau terduduk dengan mantel bulu warna perunggu

setelah lelah menyusur lorong-lorong yang nihil

di peta ingatanmu. adakah yang kautunggu?

kau amati burung-burung pos kelabu

meliuki sungai yang seakan tak pernah selesai

mengalir. mereka tak lagi membawa kabar

atau kelakar tentang pelaut yang gentar

pada badai salju hari pertama.

kau amati langkah-langkah gontai

berpadu mesra aroma marijuana

sejak tibamu di pantai. adakah yang kaucari?

gerimis tiba. selalu tanpa aba-aba.

kau beranjak lagi menyusuri lorong

lorong asing di peta buta kenanganmu.

Amsterdam, 2015

DE VINK


entah siapa menabur madu

di kota itu: ia lihat sepasang kupu beradu

membelah perdu menyisir salju sambil berlalu

terbang tersipu malu. dari jauh dilihatnya

gadis kecil berpita merah muda

membawa segulung kembang gula

berbentuk gondola. ia tersenyum

sendiri. diseduhnya lagi segelas kopi

hitam legit. perjalanan dan kesendirian adalah puisi

tentang negeri empat musim

yang kini ditafsirinya berulangkali.

lelaki itu bergegas pergi

mengambil langkah ke utara tepi

Leiden, 2015

DI TEPI PELABUHAN

I

meski daun tak berembun angin

tak berayun masih ia pergi menyusun pagi

sebab ia tahu sebelum matahari tinggi

seekor kumbang jantan akan duduk di pelupuk

dahan, menagihnya bercerita tentang lautan

dengan sepasang gelombang mawar

mekar di pasangnya. ia pun tergesa

mengenakkan topi, pergi mendayung sampan

di teluk arus lamban. lengang. hanya bangku-bangku

dari kayu menyapanya, berkata ia mesti menanti

sebentar lagi. kumbang itu akan datang tapi tak sendiri

sebab sendiri adalah ngeri, matahari lebam di langit kiri

II

pagi itu, ia lihat sepasang kumbang beradu

membelah perdu menyisir debu sambil berlalu

terbang tersipu malu. kumbang sayap pirang itulah yang ia tunggu,

“tetapi kini ia lupa padaku,” sendu lelaki itu

pada sendiri, “ia alpa pada rupa, dan sengaja.”

lelaki itu diam tertanduk kelu. pilu

rapuh. hati yang menanti adalah sebilah belati

tajam mengancam. hati yang terkenang adalah pedang

yang bimbang namun lantang menantang

III

sehelai kembang luruh di atas bangku

bangku yang jarang tersentuh. kumbang-kumbang

jauh meninggi. lelaki itu meneguk kopi, melepas topi.

tiba-tiba ia teringat sesuatu

: datanglah sebagai pendar merah menyala

bawakan segulung mantra bunyi berhala

sepi. janji adalah jala tertebar lebar

harap dan perangkap. bangku-bangku tahu lelaki itu pasti

berkeras duduk dan menanti. ia tak ingin mengeluh

pada angin, pada teluk mati suri. ia hanya diam, tenang

memandang kapal-kapal gegas ke seberang

menatap layar menjemput pasang

“Tuhanku, ombakku, kini aku tahu sayapmu

terentang seluas lautan.”

Rotterdam, 2015


KERUDUNG MERAH PADAM

:untuk Zizi

karena diam-diam mataku merekam merah

padam kerudungmu, berdosakah aku?

ah, kau. di dalam ruang remang,

adakah yang lebih mudah dari menduga arah

di mana terang terentang?

maka menolehlah barang sejenak, dan bersiulah.

jika bulan tipis dalam mendung berangsur lebur,

gerimis itu juga yang kelak melukis jatuhnya sendiri.

Surabaya-Leiden, 2015


Syair Syiar Cinta

sebab aku bersyair atas senyumanmu

maka menarilah dengan jubah yang kucipta dari gubah

sujudku pada tanah. merekahlah, sebab engkau adalah igau dari segala

yang memukau—rinduku padamu menjelma fardlu. dan pada segala takzim,

dzikir adalah syair serupa sihir tak berakhir,

yang akan selalu kukirim

alif lam mim…

o, akan kutasbihkan tubuhku sebagai yang tak tercerai

dari tubuhmu

alif lam mim…

akan kusempurnakan senyummu sebagai mempelai

dari cintaku—menarilah, duhai mahabbah, sebab kini rinduku adalah igau

sepasang bangau mencari danau. dan syairku

serupa diri yang terpukau lalu jatuh

kepadamu; kembali patuh

pada senyumanmu

2007