Going Gaga Kejahanaman

Martabat dan Pandangan Dunia Perempuan Tanah Jahanam

Going Gaga Kejahanaman (Prolog)

“Kisahnya merupakan khayalan seenaknya mengenai masyarakat primitif. Faktor yang membuat penonton suka, menurut Tjoei Hock, adalah trick kuburan disambar petir, lalu keluar api dan kemudian muncul tengkorak yang bisa bergerak (Misbach Yusa Biran).”

Setidaknya ada dua frase dalam nukilan komentar pada film Tengkorak Hidoep (1941) di atas patut dicermati: ‘khayalan seenaknya’ dan ‘masyarakat primitif’. Keduanya bernada peyorasi, seakan kisah itu tidak lebih dari angan-angan tentang manusia tak beradab yang dibuat secara serampangan pula. Tambahkan lagi kalimat berikutnya, bahwa sutradara film itu, ujar Biran (2009:281), “Konsisten untuk hanya bikin film penuh aksi sebagai film untuk penonton bawah.” Tidak begitu jelas apakah frasa penonton bawah ini merujuk pada bawah secara ekonomi, bawah secara selera, ataukah kedua-duanya. Namun yang pasti, tanggapan Biran pada salah satu arketipe film horor tanah air itu hanya satu dari sekian komentar bernada “meremehkan” terhadap genre horor, sutradara, dan penontonnya di Indonesia. Entah reaksi apa yang sejarawan film nasional di eranya itu akan sampaikan bila mengetahui, pada Festival Film Indonesia 2020, film yang dinobatkan sebagai film terbaik adalah justru film horor berjudul Perempuan Tanah Jahanam.


Film Perempuan Tanah Jahanam (seterusnya dalam artikel ini disebut film Jahanam) adalah film yang oleh sutradaranya, Joko Anwar, disebut sebagai superna-psycho—akronim dari supernatural dan psycho (tempodotco, 2020). Meskipun memang banyak menampilkan adegan sadisme dan supernatural, saya berpendapat film yang beredar di pasar internasional dengan judul Impetigore ini sesungguhnya bicara tentang martabat. Persisnya, martabat perempuan, martabat film horor, martabat sutradara, dan, dalam beberapa hal, potret martabat masyarakat yang disebut ‘bangsa’. Namun, seperti akan saya ulas lebih lanjut, konsep harga diri dalam film Jahanam ini tidaklah utuh dan solid, melainkan ambivalen dan tragis.

“Kejahanaman” film ini terindikasi dari penghargaan yang didapatkan yakni tujuh belas nominasi Piala Citra 2020, yang berlanjut pada enam penghargaan: film, sutradara, pemeran pendukung perempuan, penata suara, sinematografi, dan penyunting gambar terbaik. Di mancanegara, film Jahanam diputar di Sundance Film Festival 2020 Amerika Serikat, meraih penghargaan Melies Award for Best Asian Film di Bucheon International Fantastic Film Festival (BIFAN) 2020 di Korea, serta ‘bergentayangan’ di festival-festival lain di Eropa. Film Jahanam juga mewakili Indonesia untuk berkompetisi di ajang Oscar Academy Awards 2021 (Laraswaty, 2020). Meskipun pada akhirnya gebyar Oscar belum berhasil disambar, hal itu tidak lantas membuat makna penting film ini ambyar. Sebagaimana judulnya, kejahanaman bisa tumbuh di habitat apa saja: terang atau gelap; lokal atau global, itu tak jadi soal. Hal yang jadi soal adalah: di mana sebetulnya letak kejahanaman film ini?

Sebelum beranjak lebih jauh, diperlukan suatu definisi tentang horor sebagai pijakan awal diskusi dalam artikel ini. Meski demikian, harus dikatakan pula bahwa upaya mendefinisikan horor atau film horor adalah kerumitan yang sama-sama “menakutkan”. Teoretisi horor seperti Carroll (1990:12) menyebut dua istilah yakni art-horror dan natural-horor. Kategori pertama merujuk pada efek psikis atas kehadiran makhluk-makhluk mengerikan (the monstrous) dalam suatu media seperti film, sementara yang kedua lebih merujuk pada ekspresi takut yang biasa dipakai manusia untuk hal-hal yang bersifat umum (bencana, fobia, dll). Definisi itu mendapatkan tanggapan dari teoretisi lain seperti Nickel (2010) dan Smuts (2014). Dari definisi Carroll, Nickel (2010:15) menambahkan elemen evil supernatural dan tokoh psikopat dalam konsep the monstrous karena menurutnya psikopat juga dapat membunuh secara monstrously.

Smuts (2014:6) menolak definisi Carroll yang dianggapnya tidak memiliki basis paradigma sambil mengajukan dua jenis kemungkinan elemen horror yakni supernatural horror dan realist horror. Kemungkinan-kemungkinan definisi itu bisa semakin liar dan angker sebab pengertian monster, evil, atau supernatural ternyata juga bisa sangat lokal (Yoesoef, 2003; Bubandt, 2012; Wilger, 2016). Maka, alih-alih terjebak pada ragam kemungkinan definisi semacam itu, saya memutuskan ‘sepakat’ pada Nickel yang memahami film horor sebagai film yang di dalamnya menghadirkan cerita interaksi antara makhluk-makhluk supernatural (astral)/the monstrous dengan manusia untuk menciptakan nuansa keseraman, ketegangan, dan keterkejutan pada penontonnya. Definisi itu akan digunakan untuk menelaah fenomena interaksi antara ‘yang-astral’ dan ‘yang-corporeal’ dalam film Jahanam, berikut kemungkinan tafsir dan pemaknaan yang dapat diajukan terhadapnya.

Kecuali termuat sebagai resensi film, saya belum berhasil menemukan telaah mendalam terhadap film Jahanam ini. Sulkhan (2019) mengulas sosok-sosok perempuan dalam film, yang menurutnya mengalami penderitaan dan kemalangan bertubi-tubi akibat struktur masyarakat yang berlaku. Putra (2019) memuji plot Jahanam yang rapi sembari mengingatkan calon penonton agar hati-hati pada kemunculan jump scare yang sukar diduga. Dari mancanegara, Sobczynski (2020) memberi catatan dua hal yang mengganggu dalam film ini yakni adegan flashback saat Maya mendapat penglihatan kejadian di masa lalu, serta ending film yang dianggapnya cheesy. Di antara ulasan-ulasan singkat itu, Hunter (2020) menggunakan dua istilah penting yakni borders and westerners. Indonesian horror,” ujar Hunter, “offers a world of magic, demons, and ghostly legends that are previously unknown entities beyond their borders, and the latest from writer/director Joko Anwar might just introduce westerners to even more things that go bump in the night.” Komentar itu membuka kemungkinan diskusi tentang “sudut pandang” antara westerners dengan apa yang ada di luar mereka, yang saya coba bahas dalam artikel ini.

Dalam konteks kritik akademis, saya belum menjumpai kajian terhadap film Jahanam. Namun bila diletakkan dalam lingkup yang lebih luas, kajian tentang film horor Indonesia sudah kerap dilakukan, meski bukan tanpa celah. Saya mencoba mengulas beberapa di antaranya, dengan harapan dapat menempatkan artikel ini berikut pemaknaan terhadap film Jahanam di antara kajian-kajian tersebut.

Heeren (2012 dan 2019) menyediakan satu bagian khusus dalam bukunya untuk membahas film horor. Dalam buku yang juga merupakan karya disertasinya itu, ia mengatakan diskursus mengenai formula film horor mengisyaratkan dinamika proses pencarian image yang bisa mewakili bangsa Indonesia modern. Berangkat dari teori diskursif, analisis Heeren merangkul beragam isu seperti politik, sejarah, identitas, budaya, termasuk Islam, yang dipertajam dengan teori-teori lain. Namun jika dicermati, kajian itu memiliki celah: tanpa melalui analisis naratif yang ketat, kajian ini mengklaim adanya fenomena pergeseran formula naratif dalam film horor bioskop seiring peralihan rezim politik. Heeren (2012 dan 2019) seperti menganggap analisis naratif dapat dilakukan bersamaan melalui analisis diskursif, tanpa menjelaskan dan membedakan prosedur penerapannya. Secara metodologis, sulit dibayangkan bagaimana bisa temuan pergeseran formula naratif disampaikan tanpa didahului dengan analisis naratif yang ketat.

Absennya analisis naratif secara ketat juga tampak dalam kajian Pangastuti (2019). Segendang sepenarian dengan Heeren, analisis naratif dalam kajian Pangastuti lebih mirip sinopsis singkat, alih-alih dilakukan secara serius dan teliti. Pangastuti juga menemukan pergeseran: bila perempuan dalam film horor Orde Baru digambarkan sebagai sosok yang pasrah dan dependen pada laki-laki, di pasca Orde Baru, perempuan digambarkan sebagai penyintas yang lebih mandiri, independen, aktif, namun tetap tidak bisa benar-benar dapat meloloskan diri dari budaya patriarki.

Jika dicermati, terdapat fenomena sebagian besar kajian-kajian tentang film di Indonesia, khususnya film horor, cenderung hanya selintas pandang dalam pembacaan naratif, untuk secepatnya bergerak menjadikan politik berikut implikasinya pada aspek sosial-budaya sebagai konteks utama—untuk tidak mengatakan satu-satunya konteks—yang wajib dirujuk dan dijadikan basis pemaknaan. Konteks politik dan sosial budaya tentu penting dan mustahil dilepaskan dari kritik film. Saya sepakat dan tidak meragukan itu. Namun, apakah itu berarti kritik film boleh selintas pandang saja dalam memeriksa struktur naratif, saya meragukannya. Juga, apakah pembabakan politik di Indonesia menjadi preferensi terpenting untuk memaknai film-film Indonesia termasuk film horor, saya pikir tidak demikian.

Konteks politik memang memungkinkan elaborasi dalam suatu kritik film menjadi kontekstual. Namun, bagaimana pun juga, film diproduksi dan dihadirkan di depan penonton pertama-pertama sebagai suatu cerita (Bordwell, 1985:30, 1997:2; 2008:85), cerita dalam pengertian sebagai naratif (Barthes, 1977:79; Greimas, 1983) yang karenanya film dapat dikenali atau dipahami sebagai sesuatu yang bermakna. Maka, kritik film pada level paling mula adalah pembacaan secara dekat pada aspek naratifnya. Kritik film yang selayang pandang saja mengulas naratif serta tergesa memberi penekanan/porsi lebih pada konteks, dalam beberapa hal, boleh jadi malah merendahkan martabat film dan sutradara itu sendiri. Seakan cerita dalam film-film Indonesia adalah cermin yang memantulkan begitu saja realitas yang menjadi latarnya; seolah sutradara hanya operator mesin sablon yang menyalin atau paling hebat memodifikasi template-template kenyataan menjadi, meminjam istilah Barker (2011) dan Sutandio (2014), alegori yang diaplikasikan dalam karyanya.

Sebagai karya seni, film memiliki puitika[1] atau elemen-elemen fundamental (Bordwell, 2008:23-24) di mana prinsip kesalinghubungan antar elemen itu tidak lantas bisa begitu saja dikaitkan dengan realitas sosial-politik. Sebagai karya sutradara, film merupakan artikulasi pandangan dunia sutradara yang dibentuk dalam rangkaian proses kreatif dan pergulatan dengan sekian diskursus, mulai dari diskursus kreatif hingga diskursus pragmatis industrial: distingsi dan nilai tambah apa yang sebaiknya ditawarkan kepada pasar agar karya atau sutradara itu meraih prestise tertentu. Kritik film, dengan demikian, bergerak ulang-alik pada ketiga semesta tersebut, yakni semesta-film, semesta diskursif, dan semesta masyarakat secara proporsional, serta mampu melakukan sintesis antara ketiga semesta tersebut.

Artikel ini mencoba menawarkan model kritik film sedemikian itu terhadap film Jahanam. Saya akan mengulasnya dalam tiga bagian utama. Bagian pertama, Perempuan, yang mencoba menguliti bagaimana martabat dihadirkan melalui naratif dan kode-kode sinematik. Bagian kedua, Tanah, akan membedah diskursus dan sudut pandang yang dilakonkan sutradara dalam praktik sinematiknya. Bagian ketiga, Jahanam, akan mempertalikan temuan-temuan di bagian sebelumnya serta memaknainya dalam konteks pandangan dunia dan sosial-budaya.






[1] Puitika menurut David Bordwell (2008:23-24) merujuk pada prinsip-prinsip fundamental dalam suatu medium, dalam hal ini film, yakni tentang bagaimana film dikonstruksi, bagaimana elemen-elemen dalam film saling terkait dan efek-efek apa yang dimunculkan dari elemen-elemen itu. Bordwell membagi dua dimensi dalam puitika film, yakni analytical poetics dan historical poetics yang lantas dirinci dalam apa yang dia sebut sebagai six P-words atau 6P yakni particulars, patterns, purposes, principles, practices, dan processing. Seperti disampaikan Bordwell sendiri, prosedur penggunaan keenam prinsip tersebut tidak bersifat hierarkis, melainkan cair dan terbuka untuk dioperasionalkan dengan konsep-konsep dalam teori-teori lain, sepanjang hal itu mengakselerasi upaya pemahaman terhadap fundamen film.

Going Gaga Kejahanaman (bagian 1: Perempuan)

"Emosi paling purba dan terkuat dalam diri manusia adalah rasa takut; ketakutan paling purba dan terkuat adalah takut pada yang-tak-diketahui (Lovecraft)."


Film menampakkan diri sebagai sesuatu yang bermakna karena ia bercerita: seperangkat peristiwa yang saling berkaitan, seringkali kausal, yang digerakkan dan menggerakkan tokoh-tokoh. Cerita itu kemudian diaransemen sedemikian rupa dalam naratif tertentu. Analisis naratif penting sebagai pintu paling awal dalam memaknai suatu film untuk, salah satunya, menampakkan makna suatu cerita. Bordwell (1991:105) menyebutnya sebagai semantic fields, yakni struktur konseptual (clusters, doublets, proportional series, dan hierarchies) yang menjadi dasar pemaknaan di level selanjutnya.

Di bagian ini, saya menggunakan teori struktur naratif model aktansial yang dirancang A.J Greimas (1983)—yang juga diadopsi oleh Bordwell (1991:118), sebagai peranti analisis untuk menguak kemungkinan pola naratif yang diacu serta makna film Jahanam ini.

Teori naratif Greimas dibangun dengan asumsi dasar bahwa teks naratif tersusun dari prinsip oposisi biner dalam linguistik struktural. Greimas (1982, 1983) menawarkan konsep three spheres of opposed sebagai berikut: (1) subjek-objek; (2) pengirim-penerima; (3) pembantu-penentang. Ringkasnya, operasionalisasi teori naratif Greimas dapat diformulasikan dalam tiga poin kunci yakni: (1) struktur tekstual yang meliputi struktur permukaan dan struktur dalam; (2) struktur sintaksis-naratif, meliputi tokoh-tokoh (aktan) dalam kalimat dasar cerita; (3) isotopi, yakni suatu kesatuan semantik berbentuk segi empat semiotik (semiotic square) yang memungkinkan adanya pembacaan lurus dan mendalam sehingga organisasi makna yang implisit dalam teks dapat dieksplisitkan (Karnanta, 2015). Sintaksis naratif penggerak cerita mewujud melalui aktan-aktan yang dapat berupa mahluk hidup maupun tak-hidup. Konsep aktan, sesuai namanya (act), menitikberatkan pada tindakan/aksi sesuai dengan fungsinya, dan dalam satu cerita suatu aktan dapat berganti/berpindah menempati lebih dari satu fungsi.

Subjek penggerak cerita film Jahanam adalah tokoh Maya, dengan sintaksis naratif jenis performatif (penyelenggaraan) berbunyi, Kayaknya gue mau pergi seminggu, nih.” Seperti namanya, kelak tokoh utama ini akan mengalami peristiwa-peristiwa ulang-alik antara maya ke nyata; nyata ke maya, di mana batas antara yang maya dan yang nyata dimainkan begitu rupa. Apa yang dicari Maya? Sambil menunjukkan selembar potret keluarga dengan latar rumah kuno berukuran besar, Maya berkata pada sahabatnya, Dini, bahwa dia ingin mencari tahu tentang harta warisan peninggalan orang tua yang tidak sempat dikenalnya. Maya kemudian pergi ditemani Dini yang akhirnya memang mati lebih dini dalam cerita.

Maya:

Desa Harjosari Madiraja. Gua uda cari tau dan gue uda nemu. Ini solusi biar

kita bisa hidup lagi

Dini:

Gue ikut

Maya:

Nggak

Dini:

Eh May, lo tuh sahabat gue, gak mungkin lah gue biarin lo pergi ke sana

sendirian..


Di desa, mereka bertemu Nyi Misni, nenek misterius yang mana dari dirinya segala peristiwa supernatural berawal dan berjejalin semakin sadis dan kompleks. Maya menjadi target buruan seluruh warga desa karena dianggap kutukan.


Bambang:

Bapak-bapak ibu-ibu, perempuan yang kita cari selama 20 tahun sekarang ada di desa ini.

Tahu kan dia seperti apa? Tahu kan? Sikat. Tutup semua jalan dari desa ini.

Cari perempuan kota itu. Tutup seluruh jalan. Waktunya kita bebas dari kutukan 20 tahun ini.

Meski demikian, tidak semua penduduk desa menolak Maya dan Dini. Ada Ratih yang menolong Maya, serta menjadi orang pertama yang menceritakan asal mula kutukan di desa itu.


Ratih:

Sejak hari itu, desa ini terkutuk. Setiap bayi yang lahir di desa

ini, seluruhnya lahir tanpa kulit. Ki Saptadi bilang untuk memutuskan kutukan ini,

anak pertama yang mendapatkan kutukan tersebut,

harus dikuliti dan dijadikan wayang.

Maya:

Kenapa orang-orang percaya aja apa yang dikatakan Ki Saptadi?

Ratih:

Siapa lagi yang harus didengarkan di desa ini?

Ratih:

Mbah saya bilang, kalau orang bikin perjanjian dengan setan, dan

muncul kutukan, kutukannya ndak akan hilang. Akan cuma muncul kutukan baru.

Makanya aku ndak percaya, kalau bunuh kamu itu akan ngilangin kutukan itu.



Ratih merupakan aktan penolong yang perannya signifikan. Dalam satu scene dan dialog di atas, Ratih mengambil alih posisi narator, yang dari sudut pandangnya menceritakan riwayat keluarga Maya. Pada akhirnya, Maya memang tertangkap, dan nyaris disembelih. Kalau bukan karena bantuan ayah biologisnya, yaitu Sang Dalang sekaligus algojo bernama Ki Saptadi, mustahil Maya dapat pergi dari desa jahanam itu hidup-hidup. Ki Saptadi yang pada sekuen-sekuen sebelumnya berfungsi sebagai penentang, di akhir cerita berpindah sebagai penolong. Memberikan perhatian pada transisi fungsi ini sangat penting, terlebih bila suatu kajian berfokus pada relasi antara lelaki dan perempuan. Pada film Jahanam, meski tidak mendapat porsi signifikan sebagai penggerak cerita, tokoh lelaki ternyata tetap menjadi helper, penyelamat tokoh utama, Maya.

Dari pembacaan struktur permukaan di atas, dapatlah diidentifikasi premis film ini adalah keinginan mendapatkan harta warisan mendorong seseorang pada perjuangan mengakhiri misteri dan kutukan keluarga. Premis tersebut menggerakkan aktan-aktan sesuai fungsinya seperti dalam skema di bawah ini (lihat lampiran Skema Aktansial)


Premis tersebut disusun dalam leksikon (pengidentifikasi) penceritaan yang umum dipakai dalam horor Indonesia: warga kota yang pergi ke desa, lantas merasakan segala keasingan, kengerian, dan ketakutan. Tampaknya memang demikian leksikon cerita film-film horor di Indonesia. Leksikon yang sama dapat dijumpai pada film horor lain misalnya Asih, Tabu, Danur, Sajen, bahkan juga Pengabdi Setan, film lawas yang di-remake oleh Joko Anwar pada 2017 silam. Maka, dapatlah dikatakan, dalam hal leksikon penceritaan, tidak ada invensi yang cukup signifikan dalam film ini. Pakem penokohan pun tidak banyak bergeser: perempuan sebagai penggerak cerita, dipicu krisis identitas/psikologis (seperti dendam, histeria, atau trauma). Lalu datanglah Sang penolong, umumnya laki-laki, yang membantu menyelesaikan masalah. Klise, sebenarnya.

Bagaimana dengan aspek naratifnya?

Secara naratif, saya berpendapat film Jahanam berada dalam konvensi master genre tragedi Aristotelian. Tragedi (Aristoteles, dalam Kauffman, 1992:52) adalah kisah yang menceritakan perjuangan seseorang mengatasi penderitaan/kesengsaraan, yang tersusun dalam plot dan elemen tertentu, sehingga dapat menimbulkan efek emosional mendalam pada pembaca/penontonnya (katarsis). Aristoteles (dalam Kaufman, 1992:55-65) merinci enam elemen tragedi. Saya akan mengilustrasikan enam elemen itu dengan langsung mengaitkannya pada naratif film Jahanam sebagai berikut: (1) hamartia, merujuk pada kesalahan (moral fault) yang dilakukan tokoh yang berakibat fatal terhadap nasibnya, ditunjukkan ketika Maya dan Dini sengaja berpura-pura/berbohong pada warga desa dengan menyaru sebagai mahasiswa yang sedang melakukan riset. Juga pada saat Dini menyaru sebagai Maya saat dijemput oleh dua warga desa, yang berujung peristiwa fatal pada nasibnya. (2) hubris, merujuk pada harga diri/martabat yang berlebihan (excessive pride), berkali-kali dimunculkan khususnya oleh Dini saat mengomentari perilaku warga desa, juga pada saat dia dalam perjalanan dengan dua warga desa yang hendak mengantarnya ke Ki Saptadi; (3) peripeteia (reversals), merujuk pada kondisi yang berbalik menyerang hero, ditunjukkan dengan Maya yang mencari Dini, tidak mengetahui bahwa sahabatnya telah dieksekusi; (4) anagnorisis (recognitions), merujuk pada momen ketika tokoh menghadapi segala rintangan akibat tindakannya, dimulai dari adegan saat Maya mengintip peristiwa kelahiran sekaligus kematian bayi oleh Ki Saptadi (5) eleos (suffering) dan phobos (terror), rangkaian peristiwa sadisme dan supernatural yang ditujukan kepada Maya serta perjuangannya mengatasi berbagai rintangan hingga mencapai klimaks; (6) catharsis, yakni perasaan emosional pembaca/penonton dipicu oleh situasi kemalangan sang hero, ditunjukkan dari adegan Maya menangis dalam kondisi terikat dan hendak dieksekusi lalu terlibat dialog ‘tiga generasi’ (anak-bapak-nenek), di mana adegan itu dan setelahnya merupakan jawaban atas segala yang telah diupayakan Maya. Saya akan membahas lebih jauh pemaknaan terhadap naratif tragedi dan tragic hero ini di bagian terakhir artikel ini. Di bagian ini, dapatlah dikatakan bahwa genre film Jahanam adalah horor supernatural, dengan master genre yaitu tragedi.

Meskipun tragedi berfungsi menyentuh emosi terdalam manusia, hal itu tidak berarti tragedi identik dengan kepasrahan dan kepiluan. Dalam film Jahanam, kondisi sebaliknya justru digambarkan oleh perempuan-perempuan yang hadir dalam cerita, khususnya dalam hal tubuh dan tindakan-tindakannya.

Umum dipahami, film horor, baik di masa Orde Baru maupun pasca Reformasi, kerap memanfaatkan kemolekan tubuh perempuan sebagai daya tariknya. Film-film horor semacam itu mungkin punya definisi lain tentang ‘ketegangan’: jika ada yang ingin dibuat tegang dan berdiri tetapi itu bukan bulu kuduk, maka untuk itulah film-film horor ‘berlendir’ seperti itu dibuat. Film Jahanam jelas bukan film horor seperti itu. Kecuali pada adegan tabu Nyi Sinta dan Ki Saptadi, yang itu pun digambarkan secara wajar, tidak ada adegan-adegan sensual atau angle kamera yang mengarahkan pandangan penonton pada lekuk tubuh tokoh-tokohnya. Film Jahanam jauh dari isu objektivikasi perempuan, yakni penghadiran perempuan semata sebagai objek tontonan dan kenikmatan bertujuan, meminjam istilah Mulvey (1975), memuaskan pandangan laki-laki (male gaze). Alih-alih objek, seluruh tokoh perempuan dalam film Jahanam ini digambarkan sebagai subjek yang lebih luwes dan ‘merdeka’ dalam bertindak dan memosisikan tubuhnya.

Nyi Misni, digambarkan mempunyai pengaruh besar pada warga desa, menjadi mastermind dan inisiator dari segala klenik, ritual, kutukan, juga tumbal manusia. Nyi Misni adalah model bagi monstrous-maternal, konsep ibu yang di satu sisi digambarkan secara alamiah sebagai penyayang namun juga dapat memfasilitasi lahirnya tindakan-tindakan mengerikan (Harrington, 2018:184). Maya dan Dini, digambarkan sebagai perempuan yang luwes dan berani bertindak: mengusir seorang laki-laki yang nyelonong menegur mereka berdua saat ngobrol sambil merokok di toilet; menyaru sebagai mahasiswa untuk mengelabui warga desa, mencari tahu dan menguak misteri di desa itu dengan cara mereka sendiri. Ratih, berani bersikap berbeda dengan kebanyakan warga desa. Dia membantu Maya selama di desa serta digambarkan seorang diri mengusir warga yang hendak menggeledah rumahnya, sekaligus juga hendak menggeledah keperempuanannya.


Warga:

Kesepian ya, sudah lama nggak dipegang suami? Mau aku temani malam ini?

Sudah lama nggak liat yang segede dan sekeras ini kan?

Ratih:

Pergi kamu!

Warga:

Tusuk saja. Aku tidak takut.

Ratih:

(mengiris pahanya) Atau aku bunuh diri. Aku datangi mimpi kalian setiap

malam sampai kalian mati!

Artinya, meskipun tetap digambarkan menjadi sumber permasalahan/konflik, nyaris tidak ada adegan atau visual yang mengeksploitasi kemolekan tubuh perempuan. Justru, para tokoh perempuan dalam film jahanam ini digambarkan sangat luwes dan taktis dalam menempatkan diri serta tubuhnya. Saya kira itu adalah salah satu distingsi kelas film ini dengan film-film horor lainnya.

Aspek latar juga penting dicermati. Film Jahanam dibuka dengan adegan di pintu tol perkotaan, namun sebagian besar durasi mengambil latar pedesaan. Ada upaya penggambaran celah yang menganga antara nilai-nilai ‘kota’ dan ‘desa’. Jika kota identik dengan terang, cepat, bebas; desa identik dengan remang-remang, lambat, dan penuh aturan.

Kusir:

Mbak ke Harjosari itu ngapain tho mbak.

Maya:

Kami mahasiswa mau nulis untuk tugas akhir.

Kusir:

Di desa itu mau nulis apa, sensus penduduk?

Maya:

Kok malah ketawa?

Kusir:

Lha memang desa itu desa terpencil Mbak, gak ada apa-apa.

………………………………………..

Dini:

kok nggak dibangun jalan yang bagus di desa ini sih mas. Hari gini?

Kusir:

ya denger-denger warga desanya yang nggak mau mbak.

Dini:

Kenapa?

Kusir:

ya saya ya nggak tahu tho yo.

Nilai-nilai itu dibenturkan satu sama lain, tampak gamblang dalam pengadeganan, dialog, juga kostum tokoh-tokohnya. Ada keluhan tentang kualitas jalan, pernyataan tentang keterpencilan, juga sikap warga desa yang memang tidak ingin keluar dari kondisi itu. Berikut adalah kata-kata atau penanda-penanda signifikan yang diucapkan para tokoh dalam dialog di film Jahanam ini. Kata-kata ini dianggap signifikan karena secara semantik membangun doublets atau kontras/konflik dalam keseluruhan cerita.


Empat terma homologi

desa: kota: bukan desa: bukan kota

gelap:terang: bukan gelap: bukan terang

terpencil: terpusat: bukan terpencil: bukan terpusat

terkutuk: terpuji: bukan terkutuk: bukan terpuji

malu: bangga: bukan malu: bukan bangga

iblis: manusia: bukan iblis: bukan manusia

kesalahan: kebenaran: bukan kesalahan: bukan kebenaran

derita: bahagia: bukan derita: bukan bahagia

nyata: maya: bukan nyata: bukan maya

ahli waris: leluhur: bukan ahli waris: bukan leluhur

mengatur: membebaskan: bukan mengatur: bukan membebaskan

perempuan: laki-laki: bukan perempuan: bukan laki-laki

cantik: jelek: bukan cantik: bukan jelek

kaya: miskin: bukan kaya: bukan miskin

tanggung jawab: lepas tangan: bukan tanggung jawab: bukan lepas tangan


Dari empat terma homologi tersebut—yang oleh Bordwell (1991:118-120) disebut proportional/opositional series—beberapa kemungkinan kesatuan semantik (makna) atau semantic fields dalam film Jahanam ini kiranya tidak lepas dari ‘perempuan’, ‘solusi hidup’, ‘kutukan, ‘harta warisan’, ‘kesalahan’, dan ‘tanggung jawab’. Apabila kesatuan semantik yang diperoleh dari kode-kode verbal (berupa kata-kata dari dialog) itu dikaitkan dengan penokohan dan pengadeganan, maka dapatlah dikatakan pada tataran struktur dalam (deep structure) film Jahanam sebenarnya sedang berbicara tentang martabat perempuan. Ya, martabat, dalam arti harga diri atau harkat kemanusiaan perempuan. Meskipun banyak menampilkan peristiwa supernatural dan kengerian, film ini mengisahkan keinginan perempuan membebaskan diri dari warisan penderitaan dan kutukan demi martabat hidupnya.

Maya berupaya menggenapi martabatnya sebagai anak yang melacak riwayat orang tua kandungnya; Dini berupaya menghadirkan martabat sebagai seorang sahabat yang bertanggungjawab sekaligus harga diri “orang kota”; Nyi Misni berupaya meneguhkan martabatnya sebagai ibu dan tetua desa; Nyai Sinta, berupaya menggenapi martabatnya sebagai istri dan perempuan yang mampu memberi keturunan untuk suaminya, meski untuk itu ia harus berbuat tabu; juga Ratih, yang seorang diri berani mempertahankan martabatnya sebagai istri dan perempuan.

Selain aspek naratif, penting mencermati visualitas makhluk-makhluk astral atau gaib dalam film ini. Apabila film-film horor Indonesia selama ini identik dengan visual hantu yang menyeramkan: wajah rusak, tubuh sungsang, kuku dan taring tajam, serta bentuk-bentuk teror-visual yang intimidatif dan vulgar, ekstrem itu absen dalam film Jahanam. Visual hantu digambarkan secara ‘wajar’, berupa siluet atau bayang-bayang, seakan penonton sedang menonton pertunjukan wayang. Beberapa ‘terapi-kejut’ atau jump scare memang masih ada tiap kali ‘yang gaib’ itu muncul. Namun kemunculannya tidak berlebihan, “sederhana” tapi jitu, dan yang terpenting, signifikan menjaga ritme ketegangan hingga akhir film.

Alih-alih bertumpu pada visualitas hantu, keseraman dalam film Jahanam lebih dibangun secara intens dari kode-kode sinematik lain. Set dan properti dimainkan begitu rupa sehingga tidak hanya bersifat instrumental, melainkan juga metaforis: pohon-pohon tua, pondok-pondok kayu, jimat gulungan dluang beraksara jawa yang ditanam dalam tubuh Maya, seni wayang kulit, dll. Dengan visual stylization yang terukur, detil yang cermat, akting para pemain yang apik, serta tone warna dan efek pencahayaan menyerupai kelir pertunjukan wayang kulit, harus diakui film ini memang unggul dalam hal sinematografi. Apakah keunggulan pada aspek sinematografi ini berarti film Jahanam mengangkat juga martabat film horor Indonesia? Kemungkinan jawaban atas pertanyaan itu perlu mempertimbangkan aspek-aspek di luar teks film, baik berupa pernyataan maupun pengakuan. Saya akan membahasnya di bagian kedua artikel ini.

Dari pembacaan naratif di atas, hal yang masih mengusik adalah, jika film Jahanam ini hendak bicara soal martabat, kenapa memilih bermain-main dengan wayang kulit, desa terpencil, kutukan, dan tumbal? Atau sebenarnya ada hal misterius lain yang hendak diungkapkan? Pada tahap inilah setiap film perlu dibedah sebagai suatu praktik diskursif. Jangan-jangan, film ini menuai apresiasi khususnya dari publik mancanegara, bukan karena cerita dan sinematografinya saja, melainkan karena ada diskursus tidak kasatmata di dalamnya. Seperti kutipan dari Lovecraft (1973:1) di pembuka bagian ini, beberapa hal justru terlampau menakutkan justru karena dia tidak diketahui.

Going Gaga Kejahanaman (bagian 2: Tanah)


“Tadi kita ngomong bagaimana supaya film Indonesia supaya bisa soar.

Film yang baik itu adalah film yang memiliki tema universal, isu yang universal. Humanisme. Tapi dibuat lewat sudut pandang, pembuatnya ada di mana (Joko Anwar, dalam Vindes, 2021).”

Pembicaraan tentang film sebagai suatu diskursus di Indonesia paling mudah dilakukan dengan menjadikan film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI sebagai contoh. Film garapan Arifin C Noer (1984) itu pernah menjadi film wajib tonton bagi seluruh warga Indonesia di masa Orde Baru. Adegan-adegan sadisme dan kekerasan dipertontonkan berulang-ulang kali, setidaknya satu kali dalam setahun, dalam kurun waktu selama dua belas tahun. Boleh jadi, film itu adalah film ‘horor’ dengan durasi terpanjang dan ‘terjahanam’ yang pernah ada di Indonesia. Vann (2020:217) bahkan eksplisit menyebut, “Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI should be considered as one of the most successful propaganda films of the twentieth century.” Ini bukan lagi soal film memberi tontonan atau hiburan, melainkan bagaimana film membentuk persepsi penonton terhadap kenyataan. Film adalah juga praktik diskursif.

Dalam bahasa sederhana, praktik diskursif berarti reproduksi dan kontestasi pemikiran melalui bahasa sebagai peranti utamanya (Fairclough, 2006). Diskursus merasuk dalam cerita, sebagai tanggapan, respon, bahkan propaganda atas gagasan atau pandangan yang berlaku atau hendak diberlakukan dalam masyarakat. Diskursus bertemali dengan cerita, tapi diskursus bukan cerita itu sendiri. Diskursus menjadi ideologis karena melalui cerita dia dapat mengarahkan/menggiring persepsi/kesadaran penonton terhadap kenyataan yang dimunculkan di dalam maupun di luar film (Ryan, 1988). Spesifik pada film horor, Harrington (2018:183) percaya film horor adalah artefak dan ruang kontestasi diskursif yang dapat bermakna challenging atau countering pada sistem norma kebudayaan. Masalahnya, tidak semua diskursus muncul secara gamblang atau kasatmata.

Ketika film Jahanam ini gencar diapresiasi oleh publik mancanegara, muncul satu pertanyaan: apa sebenarnya yang ada dalam film Jahanam ini, sehingga mampu “menyihir” penonton khususnya mancanegara?

Sulit tidak menafsir film jahanam ini sedang menghadirkan/menegaskan kembali diskursus keterpencilan, ketertinggalan, dan kegelapan yang masih diidap masyarakat Indonesia, khususnya pedesaan. Adegan-adegan dalam film menghadirkan kepercayaan pada kutukan, di mana konsep perjanjian dengan iblis dengan mahar tumbal nyawa digambarkan masih lekat dalam perilaku masyarakatnya. Bagi sebagian penonton yang berasal dari Indonesia, mungkin saja makna penghadiran tumbal tersebut tidak terlalu mengejutkan. Namun bagi publik mancanegara, maknanya bisa jadi sangat lain.

Dalam salah satu kajiannya, Bräunlein (2016:4) menyebut “In the Western academia the topic of ghosts and spirits invariably invokes debates about modernity, reason and unreason, belief and knowledge, religion and science, ‘we’ and ‘other’”. We merujuk pada konsep tentang western: yang konon lebih rasional, beradab, saintifik. Maka, bukan semata keseraman atau kengerian wajah hantu yang penting. Bagi orang “Barat”, film horor dianggap penting karena film tersebut memberi gambaran tentang kehidupan masyarakat others atau liyan, masyarakat yang hidup di luar wilayah mereka. Dalam hal ini, tentu saja, Indonesia.

Perlukah film Jahanam ini dimaknai berdasarkan cara baca itu? Perlu.

Konsep kutukan dan tumbal yang hadir dalam film jahanam ini mustahil dipahami steril dari perdebatan antara religion dan belief. Ada perbedaan antara agama yang dogmatis, science yang sistematis, dan kepercayaan yang bersifat mistis serta sporadis. Film Jahanam bermain-main dengan agama yang digambarkan antara ada dan tiada. Saya akan membahas hal itu di bagian terakhir artikel ini. Sambil merespon kajian Heeren (2012 dan 2019), pada bagian ini saya mencoba mencermati absennya sosok yang bisa dibaca sebagai representasi agama: pemuka agama.

Apabila dalam Pengabdi Setan (2017) sosok pemuka agama masih dihadirkan untuk ‘dikalahkan’ oleh yang-astral, di film ini, Joko Anwar benar-benar menghilangkannya. Yang ada adalah dukun, seseorang yang punya linuwih atau kelebihan mempraktikkan hal-hal gaib, tapi tidak dalam pengertian keagamaan. Sosok itu hadir melalui tokoh Nyi Misni. Dalam konteks silang pandang we dan other; religion dan belief, fenomena ketiadaan sosok pemuka agama termasuk dalam film Jahanam ini dapat membuka ruang pemaknaan baru. Sebab, di saat yang sama, beberapa film horor Hollywood kontemporer justru mengarah ke sebaliknya, misalnya, film The Nun (2018) The Possession (2012), atau The Conjuring. Simbol-simbol agama muncul baik sebagai latar cerita maupun helper dalam naratif film-film itu. Apakah itu berarti film horor Indonesia lebih “jahanam” daripada horor western?

Heeren (2012 dan 2019) menyebut bahwa absennya pemuka agama merupakan penanda dari pergeseran formula film horor bioskop di era Reformasi, yang berbeda dengan horor era Orde Baru. Anggapan itu cukup beralasan, karena beberapa film seperti Danur (2017) dan Sebelum Iblis Menjemput (2018) juga menunjukkan kecenderungan sama: tak ada pemuka agama sebagai helper. Namun fenomena itu tidak mutlak karena tidak sedikit juga film horor Indonesia lain yang masih menghadirkan agama. Herren berargumen pergeseran itu menandai pergulatan gagasan-gagasan tentang identitas kebangsaan yang dalam beberapa hal beririsan dengan ideologi/gerakan politik. Konteks politik sekali lagi menjadi basis pemaknaan. Baiklah. Saya mencoba melihatnya dari sisi berbeda.

Saya berpendapat film-film horor yang menghadirkan agama sebagai eskapisme dan pemuka agama sebagai helper boleh jadi berakar dari pandangan dunia Abad Pertengahan. Pandangan dunia (weltanschauung) merujuk pada seperangkat praktik memandang kenyataan, memosisikan diri, serta mengarahkan tindakan secara sadar berdasarkan sistem nilai tertentu (Neville, 2009; Webb, 2009; Griffioen, 2012). Pandangan Abad Pertengahan cenderung menempatkan manusia sebagai mahluk yang lemah, atau manusia sebagai objek, yang hidup dalam dunia yang fana, dan tak bisa berkelit dari takdirnya (Gracia dan Noone, 2002). Sumber utama pengetahuan, norma, dan nilai di zaman itu adalah agama, dengan pemuka agama sebagai elitnya. Dalam pandangan ini, dapat dikatakan manusia adalah objek, sedangkan subjek semesta alam adalah Tuhan yang Maha ‘Sutradara’.

Seiring terbitnya abad Modern, pengaruh pandangan Abad Pertengahan ini berangsur melemah, tapi tidak benar-benar raib. Mantra modernisme adalah: cogito ergo sum: saya berpikir maka saya ada. Manusia adalah subjek, yang dengan rasionalitasnya dia eksis, dapat mengendalikan dunia dengan sains, dengan rumus-rumus yang pasti, sahih, dan universal (McGuigan, 2006; Barker, 2004), bukan dengan takhayul, juga bukan dengan dalil-dalil dogmatis yang tak boleh dipertanyakan kebenarannya. Sains berkembang, menghasilkan berbagai produk teknologi.

Film lahir di era modern serupa itu sehingga mustahil melepaskan sejarah perkembangan film dari invensi-invensi di bidang teknologi yang dapat dilacak sejak abad 17 (Gringe, Jankovich, dan Monteith, 2012; Bordwell, 2010; Plunt, 2000). Tidak hanya dalam aspek teknis, secara diskursif pun, bohong belaka bila mengatakan cerita-cerita dalam film, berikut keberagaman pandangan yang dimunculkannya, steril dari konteks perkembangan intelektual serupa itu. Sebagai media, film adalah produk teknologi. Sebagai diskursus, film adalah produk intelektual.

Kembali pada film horor, modern bukan berarti menghalau total hal-hal supernatural—salah satu komoditas utama film horor. Tetap ada tempat untuk hal-hal yang supernatural (Carroll, 1990:55-56; Valliant, 2015), namun cara menyikapi/memahami fenomena itu akan sangat berbeda. Agama dan pemuka agama bukan lagi menjadi andalan; sebaliknya, sesuai dengan konsep manusia sebagai subjek, maka manusia itu sendiri yang mesti mampu menyelesaikan segala masalah dengan rasionya, dengan berbagai eksperimen peranti-peranti keilmuan yang konon serba sahih itu. Fakta bahwa beberapa film horor western masih memunculkan agama sebagai solusi dan jalan keluar; sementara sebagian horor Indonesia beranjak meninggalkannya, menjadi terbaca maknanya. Boleh jadi, beberapa film horor Indonesia—termasuk film Jahanam ini, secara diskursif memang lebih “jahanam” daripada beberapa horor western.

Lebih jauh, ada diskursus penting lain dalam film jahanam ini yang patut dicermati. Yakni, hadirnya seni wayang kulit, latar pedesaan yang terpencil, juga sosok para aktor yang cenderung berkulit tropikal seperti Tara Basro, Christine Hakim, Asmara Abigail, dan Ario Bayu. Tafsir apa yang dapat kita ajukan?

Seperti halnya komunikasi antar budaya, agar proses komunikasi berjalan lancar dan pesan dapat mudah dipahami, diperlukan penanda-penanda, verbal maupun visual, yang secara universal mudah dipahami. Wayang kulit, panorama alam yang masih asri, dan manusia-manusia berkulit tropikal, adalah ikon-ikon sempurna dan universal untuk menggambarkan wajah Indonesia: Indonesia yang eksotis, juga mistis. Namun apakah itu artinya film ini hanya mencomot begitu saja ikon-ikon tentang Indonesia tadi? Tentu tidak. Film bukan hanya soal menggunakan ikon, tapi juga menafsirkan ikon-ikon, atau bahkan mereproduksinya sebagai kode-kode sinematik yang punya tawaran makna baru.

Film Jahanam dengan sangat berani menawarkan tafsir lain terhadap seni pertunjukan wayang kulit. Seni pertunjukan yang selama ini dianggap adiluhung dan telah ditetapkan sebagai World Master Piece of Oral and Intangible Heritage of Humanity oleh UNESCO. Citra sosok dalang yang sering dipahami sebagai ahli ngudal piwulang (memberi ajaran) yang mulia, dibongkar lewat penghadiran dua tokoh dalang yakni Ki Donowongso dan Ki Saptadi. Adalah representasi yang terlampau jahanam ketika material wayang kulit di film itu, ternyata, berasal dari anak-anak yang lebih dulu dibunuh dan dikuliti, sebagai tumbal perjanjian antara Ki Donowongso dengan iblis. Adakah yang lebih jahanam dari menunjukkan sisi lain seni adiluhung level dunia yang dianggap sakral, megah, dan penuh ajaran moral, ternyata tak lebih dari dalih perjanjian manusia dengan iblis? Adakah yang lebih jahanam dari penggambaran sosok dalang sebagai algojo atas setiap bayi yang terlahir di desa itu? Sulit untuk tidak mengatakan Joko Anwar paham betul diskursus saling pandang antara we dan other tersebut, dan dengan jitu mengolahnya sebagai visi kreatif dalam produksi filmnya. Kutipan pernyataan Joko di awal bagian ini cukup memberi informasi bahwa persoalan ‘sudut pandang’ memang sangat dia sadari dan dia mainkan dalam filmnya. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana posisi sudut pandang film jahanam ini dalam konteks diskursus we dan the others tadi?

Alih-alih berupaya memberi tafsiran berbeda, film Jahanam ini justru semakin menguatkan pandangan publik ‘wastern’ itu terhadap citra atau stereotipe masyarakat eastern, atau yang populer disebut orientalisme (Said, 1979:3). Yakni, masyarakat yang irasional, mistis, tradisional, eksotis, dan bahkan masih berperilaku bar-bar. Kemunculan tumbal, kutukan, wayang menjadi dapat dimaknai, yakni, sebagai leksikon yang sedapat mungkin sesuai dengan asumsi penonton negara-negara “Barat” tentang “Timur”, dalam hal ini Indonesia. Ada upaya melakukan apa yang Barkin (2006) sebut sebagai exotification, membuat diri tampak eksotik, yang menurutnya telah menjadi kecenderungan konten produk audio visual di Indonesia. Saya berpendapat, sudut pandang film Jahanam ada dalam diskursus exotification itu.

Kesadaran pada sudut pandang itu dipertegas saat Joko bicara soal impuls dan suara sebagai bagian dari visi kreatifnya. “Impuls ini,” ujar Joko (dalam Vindes, 2021), “akan lo keluarkan, nanti bisa berupa pertanyaan, lu bingung lu bikin pertanyaan lewat film lu. Atau pernyataan, menurut gua ini harus ditanggapi seperti ini, itu akan membuat film lo akan punya yang namanya suara.” Dalam hal ini, Joko Anwar seakan menyuarakan kembali dengung mistis mantra-mantra yang bertaut dengan tradisi dari tempat terpencil di suatu negara bernama Indonesia.

Berhasilkah Joko menyampaikan suara itu? Harus diakui dalam beberapa hal Joko memang berhasil. Meski belum berhasil masuk nominasi Academy Awards, film ini mendapat ulasan dan publisitas yang positif. Hal itu tampak dari komentar-komentar publik mancanegara yang diunggah oleh sang sutradara di media sosialnya, juga respon Joko terhadap komentar-komentar itu. Dalam satu wawancara yang dirilis Iman (2020), Joko mengatakan

“Saya senang, karena berarti genre horor sekarang sudah dianggap bukan film dengan kasta rendah lagi ya, jadi sekarang memang ada pergeseran di dunia, bahwa film horor juga sekarang dianggap film dengan genre yang serius. Ada antusiasme dari orang Amerika, terutama Academy Awards’ members, untuk menonton “Perempuan Tanah Jahanam,” itu sudah sesuatu yang menurut saya, misi “Impetigore” untuk jadi representasi film Indonesia sudah tercapai.”


Pada beberapa wawancara, Joko Anwar memang terlihat punya suatu ekspektasi hendak mengubah stereotipe film horor Indonesia. Dalam artikel di Jawa Pos, misalnya, Joko (2020) membeber intensinya. ”Pas itu aku mikir, aku mau bikin film horor ketika punya pengetahuan filmmaking yang lebih tinggi… dulu genre horor itu memang sempat masuk kasta bawah…saya nggak mau bikin film horor jelek.”

Begitu pula dalam wawancara dengan Soleh Solihun (2019), Joko Anwar mengutarakan bahwa dirinya memiliki standar tertentu dalam memproduksi film horor.


Soleh:

Tapi lo sadar gak bahwa setelah Pengabdi Setan, tampilannya mencoba

mengikuti Pengabdi Setan?

Joko:

Masa sih?

Soleh:

Iya. Dari segi warna, nuansa apa segala macem kita lihat terpengaruh sineas kita

Joko:

Sebenarnya gak papa karena Pengabdi Setan itu memang ketika kita bikin gue

sama produser sama kru gue bilang gini ayo kita ini, apa namanya, kita bikin

pengabdi setan jadi batas standar paling bawah untuk film horor di Indonesia.

Jadi kalau orang mau bikin setelah Pengabdi Setan, ya harus lebih tinggi lagi

standarnya


Joko menguraikan perbedaan visi kreatifnya saat mengerjakan genre film lain semisal aksi, drama-komedi, dan horor. Horor, menurutnya, memiliki tuntutan presisi yang tinggi dalam menentukan momen dan lainnya. Joko berharap filmnya dapat menjadi acuan standar minimal genre horor di Indonesia. Dimulai dari film Pengabdi Setan (2017), harus diakui Joko menuai apa yang oleh Bourdieu (2010:35) sebut sebagai legitimasi populer[1] dengan indikator telah ditonton sebanyak 4,2 juta penonton, tertinggi di tahun 2017 (filmindonesia.or.id). Film itu mendapat nominasi film terbaik, serta nominasi sutradara terbaik pada Piala Citra 2017. Tiga tahun berselang, melalui film Jahanam ini, standar yang dimaksud Joko betul-betul membuahkan hasil dengan mendominasi penghargaan Piala Citra 2020.

Lewat film Jahanam, Joko berhasil mendapatkan legitimasi spesifik dan legitimasi borjuis. Joko telah berhasil membuat film Jahanam menjadi apa yang pernah secara antusias dia sampaikan dalam percakapannya dengan Edwin dan Eric Sasono, “Harus bisa bikin publik going gaga! (Sasono, dalam Imanjaya dan Darmawan, 2019).” Raihan lengkap berupa legitimasi spesifik, borjuis, dan populer Joko Anwar melalui film horor adalah pencapaian signifikan dalam praktik sinematiknya. Penghargaan itu tidak hanya menegaskan martabatnya sebagai sutradara, namun juga mengangkat martabat film horor Indonesia.

Tetapi tiga pengakuan/legitimasi di level nasional itu agaknya belum cukup bagi Joko. Dia ingin berkiprah di arena lebih besar yakni level internasional: Academy Awards. Maka, penghargaan Piala Citra 2020 tidak bisa dijadikan satu-satunya tolok ukur bagi praktik sinematiknya. Going gaga yang pernah diucapkan Joko sekali lagi akan diuji untuk tidak hanya berlaku untuk publik nasional, tapi juga untuk publik internasional.





[1]Pierre Bourdieu mengklasifikasikan legitimasi dalam arena produksi kultural (film, sastra, musik dll) menjadi tiga jenis yakni: (1) legitimasi spesifik, yaitu pengakuan yang diberikan oleh sekelompok kepada produsen lain yang menjadi pesaing mereka—legitimasi yang setara dengan seni untuk seni, yang otonom dan cukup-diri; (2) legitimasi borjuis; legitimasi yang berkesesuaian dengan selera borjuis yang diberikan fraksi-fraksi dominan dalam kelas dominan atau alat-alat (institusi) negara; (3) legitimasi populer, yaitu konsekrasi yang diberikan oleh pilihan-pilihan konsumen umum atau audiens-massal. Saya menganggap Piala Citra Festival Film Indonesia sebagai legitimasi borjuis sekaligus spesifik didasarkan oleh fakta bahwa komponen Dewan Juri serta organisasi pelaksana acara tersebut melibatkan sesama sineas (seniman) yakni Badan Perfilman Indonesia (BPI), sementara penyelenggaranya melibatkan institusi resmi negara yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pembahasan lebih lanjut tentang Bourdieu baca Karnanta (2013) dalam artikel Paradigma Teori Arena Produksi Kultural: Kajian Terhadap Pemikiran Pierre Bourdieu.

Going Gaga Kejahanaman (bagian 3: Jahanam)

"Film dapat mengilustrasikan, menyanggah, atau mendefinisikan suatu pemikiran filsafat dengan caranya sendiri. Dalam beberapa hal, film bahkan menjadi kerja filsafat itu sendiri (Thomas E. Wartenberg)."


Telah dibahas pada bagian pertama artikel ini naratif tragedi dan tragic hero dalam film Jahanam, berikut persoalan diskursus serta praktik sinematik sutradaranya pada bagian kedua. Pada bagian terakhir tulisan ini, saya akan mempertalikan simpul-simpul temuan itu dan meletakkannya dalam konteks yang lebih luas, namun tetap berpijak pada film Jahanam ini, yakni pandangan dunia. Oleh karena pembahasan terhadap pandangan dunia mustahil steril dari filsafat, saya membuka bagian ini dengan nukilan Wartenberg (2009) di atas sebagai titik pijak.

Kontribusi Wartenberg dalam kritik film adalah upayanya menentang tesis yang memandang film tidak dapat dikaitkan dengan filsafat, yang ia sebut sebagai four different objections to the film-as-philosophy yakni the generality objection, explicitness objection, imposition objection, dan banality objection, yang kemudian dia periksa asumsi-asumsi dasarnya (Wartenberg, 2009:551). Sebagai tawaran, Wartenberg (2009:556-558) menyodorkan lima mode-filosofis dalam film yakni film sebagai ilustrasi teori-teori filsafat (film as illustrating philosophical theories), film sebagai contoh tandingan (film as counterexample), film sebagai produksi klaim-klaim filosofis (films as making philosophical claims), film sebagai swa-definisi (film as self-definitional) atau yang setara jargon ‘film untuk film’, dan yang terakhir film sebagai kritik sosial (film as social criticism). Studi tentang film dan filsafat penting dilakukan untuk memeriksa dan menguji kualitas proposisi-proposisi yang hadir baik eksplisit maupun implisit sebagai suatu pernyataan atau bahkan pandangan dunia[1].

Mari kita perjelas.

Sulit untuk tidak mengatakan film ini mengambil posisi sebagai film yang mengusung diskursus pascamodernisme. Sebagai kecenderungan mutakhir dalam seni, filsafat, dan ilmu pengetahuan, pascamodernisme mengangkat narasi-narasi pinggiran, atau anti grand narrative (Ritzer, 1997; Caroll, 2003). Subjek-subjek yang sebelumnya dianggap tidak penting, kini diangkat derajatnya, sembari merayakan nihilnya patron/pusat. Memberi mata pada yang buta, memberi suara pada yang bisu (Ní Fhlainn, 2019) demikian beberapa jargon-jargon khas pascamodernisme.

Diskursus pascamodernisme itu juga yang menggenangi film Jahanam ini, melalui penyimpangannya terhadap stereotipe perempuan dalam film horor, pembongkarannya terhadap konsep dan figur dalang, atau penolakan terhadap konsep bapak yang dalam budaya Jawa selalu menjadi patron. Narasi-narasi mapan itu didefinisikan ulang dalam film ini. Sebagai kerja intelektual, pascamodernisme dalam film ini diilustrasikan dengan cukup meyakinkan.

Namun, di saat yang sama, film ini juga digenangi pandangan modernisme-orientalistik. Misalnya, pandangan tokoh Maya dan Dini terhadap kondisi kehidupan masyarakat desa. Sulit untuk tidak mengatakan, sinisme seperti itu berakar dari diskursus modernisme: pandangan yang percaya pada standar-standar universal seperti beradab vs bar-bar; urban vs rural, agama vs kepercayaan dari kacamata ‘barat’, yang muncul dengan teramat gamblang dalam film. Adapun dari sisi bentuk, film ini juga sangat modern. Eksperimen-eksperimen artistik dan naratif khas film pascamodern belum terlihat. Bahwa itu artistik, benar. Tapi itu masih belum sampai pada level simulasi atau hiperealitas khas film pascamodern (Carroll, 2003; Baudrillard, 1983). Dengan kata lain, film Jahanam ini mengilustrasikan sudut pandang yang ambivalen: kondisi mental/psikologi yang ditandai dengan adanya kontradiksi yang tak terselesaikan (Lee, 2016; Babha, 1994). Film ini merayakan pascamodernisme dengan gagasan dan kemasan yang sangat modern. Dia mendobrak beberapa pakem namun sekaligus mengunci pakem lainnya; dia dalang sekaligus wayang; dia terang sekaligus suram.

Tetapi apa makna dari ambivalensi itu dalam konteks praktik Joko Anwar sebagai sutradara yang sedang berupaya ‘gentayangan’ di arena film internasional?

Saya berpendapat, ambivalensi film Jahanam sesungguhnya merupakan suatu pandangan dunia tragis dari sang sutradara. Apa yang saya maksud ‘tragis’ dalam hal ini bukan dalam pengertian harfiah sebagai sesuatu yang ‘menyedihkan’, melainkan merujuk pada suatu konsep dalam sejarah seni. Tragedi, tragic hero, dan tragic world view dapat dilacak jejaknya sejak zaman Aristoteles lalu mengalami beberapa perkembangan/penafsiran ulang oleh para filsuf (Krieger, 1958; Tracy, 2014; Kaufman, 1992; Knight, 2009). Apabila tragedi Aristotelian lebih pada aspek formal (naratif, plot, dan penokohan), pandangan dunia tragis lebih pada aspek psikologis, yakni suatu visi gagasan/pandangan tentang kehidupan yang dianggap tak berujung, tak bermula, tak berarah, tapi sama sekali bukan pesimisme; sebaliknya, visi itu justru mendorong manusia untuk mengatasi segala rintangan dan penderitaan. Pandangan ini dapat menubuh dalam seni apa saja, baik lukisan, musik, termasuk film (White, 1971; Knight, 2009).

Upaya mengoperasionalkan pandangan dunia tragis dalam kajian seni budaya di Indonesia belum banyak dilakukan. Salah satu upaya terpenting pernah dilakukan oleh Faruk (2012) yang berangkat dari kajian Lucien Goldmann (1964) berjudul The Hidden God[2]. Dalam kajian itu, disebutkan tiga elemen dalam konsep pandangan dunia tragis yakni manusia, dunia, dan tuhan yang satu sama lain terjalin dalam relasi paradoksal. Manusia ‘tragis’ adalah manusia yang menyadari bahwa hidup di dunia adalah takdir yang tidak terelakkan, penuh kegetiran dan penderitaan. Dengan rasionalitasnya, dia berupaya memahami hukum-hukum alam/dunia secara sahih berdasarkan rasionalitas ilmiahnya. Namun, di saat yang sama, dia menyadari dunia yang ditempatinya bukanlah satu-satunya dunia, dan rasio saja tidak cukup. Ada sesuatu lain yang mengatasi dunia, yang belum dapat terjawab sepenuhnya dengan rasio, namun terus mengawasinya dan dapat menentukan takdir manusia dengan cara yang tidak dapat diduga. Apakah itu berarti tuhan? Dalam pandangan dunia tragis, tuhan dipercaya keberadaannya, mengawasi gerak-gerik manusia, tapi tidak cukup berperan membantu manusia. Sekilas konsep tuhan serupa itu mirip dengan tuhan modern. Yang membedakan adalah, bila tuhan modern masih memberi justifikasi pada rasionalitas manusia, maka tuhan tragis sama sekali tidak memberi legitimasi bagi akal sehat/rasio manusia. Dia ada sekaligus tiada. Tuhan tahu, tapi dia bersembunyi (Goldmann dalam Faruk, 2012:81-83; Goldmann, 2013:36-37).

Lantas dalam hal apa pandangan dunia tragis itu terpancar dari teks film Jahanam?

Setidaknya ada tiga bagian dalam film itu yang dapat diajukan. Pertama, dialog antara Maya dan Dini dalam scene di pemakaman yang terlihat ‘sepele’, tapi sesungguhnya mengilustrasikan bagaimana relasi antara manusia, tuhan, dan dunia dihadirkan dalam film itu


Maya:

(menarik nafas panjang sambil menengadahkan tangan) doa kubur yang apa sih?

Dini:

Lu nanya gue? Uda lu doa aja pake bahasa Indonesia. Emang Tuhan cuman

tahu bahasa Arab?

Maya:

(jongkok dan berdoa)

Dini:

(berbisik) Doa apaan lo?

Maya:

Doa biar mereka bisa tenang.

Dini:

Doa biar dapat warisan juga nggak?

Maya:

Itu juga

Dini:

Bagus!


Dialog dalam scene itu adalah satu-satunya dialog dalam film yang secara eksplisit menyebut ‘tuhan’. Scene itu seakan mengatakan bahwa tuhan hanya ‘hadir’ di kuburan—tempat yang berasosiasi dengan kematian. Tuhan adalah ‘tujuan’ dari doa-doa, pemilik alam lain tempat arwah bersemayam, namun sekaligus berkuasa atas ‘warisan’ di dunia yang Maya dan Dini tinggali. Kedua, selain dalam scene kuburan, pada scene di awal film, tepatnya di pasar, ada dua properti yang dapat diasosiasikan dengan ‘agama’. Yakni, manekin berjilbab yang mendadak jatuh, juga penampakan sosok berjilbab hitam yang, dari point of view Maya, berjalan menjauh memunggunginya, seakan meninggalkannya. Penonton bisa mengidentifikasi jilbab sebagai ikon dari agama tertentu, misalnya, yang diam-diam ‘ada’ seakan mengawasi, namun tidak berbuat apa-apa. Ketiga, saat Maya mendapatkan bisikan dari yang-astral lalu digambarkan mendapat “penglihatan”. Maya kemudian mengatasi segala rintangan (kejaran warga desa, rasa takut, desa yang gelap dan tak dia kenali) dengan caranya sendiri, demi mengubur wayang-wayang di dalam rumah warisan. Maya adalah model tragic hero yang mengalami dan mengatasi rintangan demi sesuatu yang ternyata tidak jelas ada dan tidak berujung.

Berdasarkan seluruh analisis pada bagian-bagian sebelumnya, dapatlah diidentifikasi seluruh temuan dan pemaknaan terhadap film Jahanam dalam kajian ini sebagai berikut (lihat lampiran bagian 3. Sintesis)


Ada suatu klise: mayoritas penonton film horor adalah orang yang sebenarnya takut dengan hantu. Mereka akan berteriak histeris, entah berapa kali menutup mata dengan tangan, beberapa juga tak dapat tidur nyenyak setelah nonton film horor. Lha, kalau memang takut hantu, kenapa juga suka/penasaran film horor?

Film Jahanam lahir dalam konteks masyarakat Indonesia yang sedemikian ambivalen dan klise itu. Ketakutan dihindari, tapi juga diingini. Kengerian dikutuk, tapi juga dirindukan. Kenyataan dihujat, tapi juga dihidupi. Lihatlah bagaimana di awal film, Maya dan Dini terdesak kebutuhan ekonomi hingga harus bekerja sebagai penjaga pintu tol, lalu beralih ke pedagang baju keliling di pasar tradisional. Maya dan Dini adalah potret masyarakat pekerja kelas menengah urban yang berjuang bertahan hidup di tengah himpitan ekonomi. Ketika kenyataan hidup di kota menemui kendala serius, imaji ambivalen tentang desa muncul: desa adalah asal-usul, riwayat nenek moyang, dan penuh hipokrisi unggah-ungguh. Namun, di sana ada harta warisan yang mungkin bisa dijadikan modal hidup di kota. Seperti kata Maya, “Desa Harjosari Madiraja. Gua uda cari tau dan gue uda nemu. Ini solusi biar kita bisa hidup lagi.” Desa adalah solusi hidup untuk pergulatan yang dilakukan di kota.

Pola sedemikian itu juga yang sepertinya sedang diupayakan Joko Anwar sebagai sutradara, dalam apa yang dia sebut sebagai GPS (Goal, Plan, dan Strategy) hidupnya (Shihab, 2019). Sebagai sutradara yang berupaya meraih martabatnya sebagai sineas di arena film internasional, apabila dia memilih bertarung di genre action, science fiction, dan drama, misalnya, tentu akan sangat berat bersaing dengan sineas dari Amerika Serikat, Iran, atau juga Korea. Dengan sejenak singgah ke desa untuk mengangkat kisah/legenda horor yang memang melimpah ruah keberadaannya di Indonesia, mungkin Joko bisa lebih kompetitif. Hal itu Joko (Imaji, 2021) sampaikan secara eksplisit

“..harus ada pemahaman genre film yang lebih gampang diterima publik internasional, seperti horor dan action. Dan harus rajin ikut serta ke festival-festival film yang memiliki reputasi yang baik. Untuk bisa menembus pasar dunia, film Indonesia harus memiliki keunikan yang membuat penonton menoleh ke kita. Keunikan ini bisa datang dari budaya.”


Cerita Film Jahanam dalam beberapa hal juga menampakkan lintasan hidup Joko Anwar baik sebagai subjek maupun sebagai sutradara. Seperti yang Joko sampaikan, “Kita harus membuat karya kita itu personal, walaupun nggak semuanya (Shihab, 2019).” Joko lahir di Medan, 3 Januari 1976, di suatu tempat yang menurutnya “Yang sangat tidak kondusif untuk seorang anak tumbuh berkembang. Kriminalitas tinggi banget,” lanjutnya. Dalam kondisi keterbatasan ekonomi, Joko kecil banyak menonton film-film yang diputar di bioskop di daerah tempat tinggalnya, dan dari situlah keinginan menjadi sutradara timbul (Imaji, 2021). Kemampuan akademis di atas rata-rata membuatnya diterima kuliah di Institut Teknologi Bandung, meski sebenarnya dia ingin kuliah di Institut Kesenian Jakarta. Keinginannya kuliah di IKJ gagal karena kendala finansial, hingga akhirnya Joko memilih kuliah di ITB (Teknik Kedirgantaraan) karena kampus itu memiliki Liga Film Mahasiswa yang bergerak di Sinematografi. Meskipun menempuh jurusan yang tidak terkait langsung dengan film, hal itu tidak menyurutkan tekadnya menjadi sineas. Joko kemudian menjadi jurnalis di the Jakarta Post yang banyak menulis tentang review film. Profesi jurnalis di desk hiburan dan film memungkinkan dia berkenalan dengan orang-orang di industri film Indonesia, hingga debut film Janji Joni (2005), setelah sebelumnya terlibat dalam film Arisan! (2003) bersama sineas Nia Dinata. Joko piawai menulis skenario baik drama, aksi, maupun komedi. Film Kala (2007) dan Pintu Terlarang (2009) menjadi gebrakan yang mulai menunjukkan keterampilannya bermain di wilayah noir dan thriller. Ide film Perempuan Tanah Jahanam, menurutnya, membutuhkan waktu sepuluh tahun hingga dia siap merealisasikannya, setelah sebelumnya sukses dengan Pengabdi Setan (2017).

Lintasan sejarah hidup itu merekam bagaimana transisi hidup dari suatu kota yang jauh dari pusat (baca: Jakarta), menuju episentrum industri hiburan tanah air, bahkan kini menargetkan berkiprah di level internasional. Saya kira bukan hal kebetulan bila premis film Jahanam yakni keinginan mendapatkan harta warisan mendorong seseorang pada perjuangan mengakhiri misteri dan kutukan keluarga; maka premis praktik Joko Anwar adalah keinginan keinginan mendapatkan pengakuan/penghargaan di arena film mendorongnya untuk mengakhiri stereotipe film horor. Melalui film Jahanam, horor Indonesia menjadi kosmopolit. Film horor barangkali menjadi titik temu antara pandangan ambivalennya tentang director-for-hire serta director-have something to say (Sasono dalam Imanjaya dan Darmawan, 2019); juga antara film standar artistik tertentu dengan film standar penonton (Solihun, 2019; Imaji, 2021). Lewat desa dan horor-tragedi, barangkali akan lebih terbuka peluang dalam arena sinema internasional yang dapat diraih. Raihan legitimasi populer, borjuis, dan spesifik bisa menjadi salah satu modal berkiprah di arena film internasional, selain tentu saja jaringan dan keterampilan sinematografi.

Lagipula di Indonesia pangsa pasar film horor tampaknya akan selalu ada. Rilis Maharrani (2021) menyebut, dari 110 film terlaris dalam 10 tahun terakhir, 24,6 persennya adalah film horor. Film horor berada di peringkat kedua di bawah film drama. Horor selalu punya prospek, karena bagaimana pun, selera kelas menengah Indonesia yang jumlahnya mencapai 21% dari jumlah total penduduk, serta berkontribusi sebesar 43% pada total konsumsi produk ekonomi kreatif termasuk film (Putri, 2020) itu memang suka dengan adrenalin dan tantangan. Suka dengan sesuatu yang mengusik nalar dan kenyamanan mereka, karena itu akan membuat mereka terus bergerak. Tidak soal bila hal itu, sadis, misterius, atau mistis. Asal menantang, kenapa tidak?

Kelas menengah menyukai pilihan dan gemar mencoba hal-hal yang menurut mereka sedang nge-hype. Individu kelas menengah mungkin suntuk bekerja siang hari, dugem ke diskotek di malam hari, sambil nge-tweet mengomentari demonstrasi berjilid-jilid via media sosial mereka. Mereka bisa membaca buku-buku diktat kuliah, lalu main tik-tok lucu-lucuan bak orang kurang pendidikan. Mereka bisa asyik mengakses ribuan film lewat gawai, jeda sejenak untuk membaca berita tetangga sebelah yang mati saat isolasi mandiri di rumah, lalu lanjut nonton film lagi.

Jahanam, bukan?

Pada akhirnya, kata ‘jahanam’ dan kejahanaman dalam film ini tidak dapat dimaknai secara apa adanya. Spektrumnya menjangkau relung-relung yang tidak terduga. Dari martabat perempuan hingga dalang, dari wayang kulit hingga horor kosmopolit, dari kerlip pintu gerbang tol hingga remang jalan setapak menuju neraka.

Surabaya, Agustus 2021




[1] Kajian tentang relasi film-filsafat dan film-pandangan dunia di antaranya pernah dilakukan Koster (2020), yang menemukan interseksi dan efek berbagai pandangan filsafat mulai dari yang akademis hingga populer pada penontonnya, juga Bullaro (2005) saat mengulas pandangan dunia yang hadir dalam film Roberto Benigni, Life is Beautiful

[2] Penjelasan komprehensif tentang genealogi pandangan dunia tragis bukan menjadi tujuan utama saya di sini. Artikel ini berusaha mengeksplisitkan pandangan dunia tragis yang mewujud dalam film Jahanam, sehingga saya mencoba merangkumnya dengan singkat, dan tidak bisa menghindari kemungkinan adanya simplifikasi di sana sini

Referensi

Berisi daftar seluruh sumber acuan yang digunakan dalam artikel Going Gaga Kejahanaman: Martabat dan Pandangan Dunia Perempuan Tanah Jahanam

Referensi

Barker, Chris. 2004. The SAGE Dictionary of Cultural Studies. London: SAGE

Barker, Thomas. 2011. “The Trauma of Post-1998 Indonesian Horror Films.” A Cultural

Economy of the Contemporary Indonesian Film Industry. Diss. National

University of Singapore.

Barkin, Garet. 2006. The Foreignizing Gaze: Producers, Audiences, and Symbols of the

‘Traditional’, Asian Journal of Communication, 16:4, 352-370, DOI: 10.1080/

01292980601012386

Baudrillard, J. 1994. Simulacra and Simulation (S. Glaser, Trans.). Ann Arbor: University

of Michigan Press.

Bhabha, Homi K. (1994). The location of culture. London ; New York : Routledge

Bordwell, David. 1985. Narration in The Fiction Film. Madison: University of Wisconsin

Press.

. 1991. Making meaning: inference and rhetoric in the interpretation of

Cinema. London: Harvard University Press

1997. On The History of Film Style. Cambridge: Harvard University Press

. 2008. Poetics of Cinema. New York: Routledge

. 2010. Film History. An Introduction. Madison: McGraw Hill

Bourdieu, Pierre. 2010. Arena Produksi Kultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Barthes, Roland. 1977. Image, Music, Text. New York: Hill and Wang

Biran, Misbach Yusa. 2009. Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa. Depok:

Komunitas Bambu.

Braunlein, Peter dan Lauser, Andrea. 2016. Ghost Movies in Southeast Asia and Beyond.

Narratives, Cultural Contexts, Audiences. Boston: Brill

Bullaro, Grace Russo. (2005). Beyond Life is Beautiful: Comedy and Tragedy In

The Cinema of Roberto Benigni. Leicester: Troubador Publishing

Bubandt, Nils. (2012) A Psychology of Ghosts: The Regime of the Self and the Reinvention

of Spirits in Indonesia and Beyond, Anthropological Forum: A Journal of Social

Anthropology and Comparative Sociology, 22:1, 1-23

Carroll, Noel. 1990. The philosophy of horror: paradoxes of the heart. New York:

Routledge

2003. Beyond Aesthetics. Philosophical Essays. New York: Cambridge

University Press

Fairclough, Norman. 2006. Discourse and Social Change. Cambridge: Polity Press

Faruk. 2012. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Goldmann, Lucien. 2013. The Hidden God A Study of Tragic Vision in the of Pascal and

the Tragedies of Racine. New York: Routledge

Gracia, Jorge J.E dan Noone, Timothy B. 2002. A Companion to Philosophy in the Middle

Ages. Malden: Blackwell Publishing

Greimas, A.J. 1983. Structural Semantics: An Attempt at a Method. Diterjemahkan oleh Ronald Schleifer.

London: University of Nebraska

Greimas, AJ., dan Courtes, J. 1982. Semiotic and Language. Bloomington: Indiana

University Press

Griffioen, S. 2012. On Worldviews. Philosophia Reformata, 77(1), 19-56. Retrieved

August 18, 2021, from http://www.jstor.org/stable/24710030

Gringe, Paul., Jankovich, Mark., dan Monteith, Sharon. 2007. Film Histories: An

Introduction and Reader

Harrington, Erin. Women, Monstrosity and Horror Film: Gynaehorror. New York: Routledge.

IMAJI, J. . (2021). Wawancara: Joko Anwar. IMAJI: Film, Fotografi, Televisi, &Amp; Media Baru,

12(2), 99–103. Retrieved from https://imaji.ikj.ac.id/index.php/IMAJI/article/view/53

Karnanta, Kukuh Yudha. 2015. “Struktural dan Semantik: Teropong Strukturalisme dan

Aplikasi Teori Naratif A.J. Greimas” dalam Jurnal Atavisme. Vol. 18

Karnanta, Kukuh Yudha. 2013. Paradigma Teori Arena Produksi Kultural: Kajian

Terhadap Pemikiran Pierre Bourdieu. Dalam Jurnal Poetika. Vol.1 No.1

Kaufmann, Walter. 1992. Tragedy and Philosophy. Princeton: Princeton University

Knight, Deborah. 2009. Tragedy And Comedy. Dalam Paisley Livingston and Carl Plantinga (Ed).

Routledge Companion to Philosophy And Film. New York: Routledge

Koster, Johannes Marthinus. 2020 Worldview-philosophy-through-film: An Account of

Cognitive Discomfiture in Viewer-engagement. Thesis. University of the Free State

Krieger, M. (1958). Tragedy and the Tragic Vision. <i>The Kenyon Review,</i> <i>20</i>(2),

281-299. Retrieved August 24, 2021, from http://www.jstor.org/stable/4333856

Lee, E. (2016). Postcolonial Ambivalence and Phenomenological Ambiguity: Towards

Recognizing Asian American Women's Agency. Critical Philosophy of Race, 4(1), 56-73.

doi:10.5325/critphilrace.4.1.0056

Lovecraft, H. P. 1973. Supernatural horror in literature. New York: Dover Publications.

McGuigan, Jim. 2006. Modernity and Postmodernity Culture. New York: Open

University Press

Mulvey, Laura. 1975. Visual Pleasure and Narrative Cinema. Screen, Volume 16, Issue 3,

pp. 6–18, https://doi.org/10.1093/screen/16.3

Neville, R. 2009. WORLDVIEWS. American Journal of Theology & Philosophy, 30(3),

233-243. Retrieved August 18, 2021, from http://www.jstor.org/stable/27944481

Nickel, Philip. 2010. Horror and The Idea of Everyday Life. Dalam Thomas Richard Fahy

(ed.), The Philosophy of Horror. University Press of Kentucky. pp. 14--32

Ní Fhlainn, Sorcha. 2019. Postmodern Vampires. Manchester: Palgrave Macmillan

Plunt, M.J. 2000. Early Cinema and the Technological Imaginary. Dissertation. University

of Amsterdam. Downloaded from UvA-DARE, the institutional repository of the

University of Amsterdam (UvA) http://dare.uva.nl/document/100053

Pangstuti, Anggit. 2019. Female Sexploitation in Indonesian Horror Films: Sundel Bolong

(A Perforated Prostitute Ghost, 1981), Gairah Malam III (Night Passion III, 1996),

and Air Terjun Pengantin (Lost Paradise – Playmates in Hell, 2009). Graduate

Thesis. Auckland University of Technology.

Ritzer, George. 1997. Postmodern Social Theory. New York: McGraw Hill

Ryan, Michael. 1988. The Politics of Film: Discourse, Psychoanalysis, Ideology. Dalam Cary Nelson

dan Lawrence Groesberg. Marxism and the Interpretation of Culture. London: Macmillan

Education

Said, E. W. 1979. Orientalism. New York: Vintage Books.

Sasono, Eric. 2019. Percakapan Joko Anwar, Edwin, dan Eric Sasono. Dalam Ekky

Imanjaya dan Hikmat Darmawan (Ed). Tilas Kritik: Kumpulan Tulisan Rumah

Film 2007-2012. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta

Sutandio, 2014. Historical Trauma and the Discourse of Indonesian-ness in

Contemporary Indonesian Horror Films. Dissertation. Ohio University

Smuts, Aaron. 2009. Cognitive and Philosophical Approaches to Horror. Dalam Paisley Livingston

and Carl Plantinga (Ed). Routledge Companion to Philosophy And Film. New York:

Routledge

Tracy, D. 2014. Horrors and Horror: The Response of Tragedy. Social Research, 81(4),

739-767. Retrieved August 17, 2021, from

https://www.jstor.org/stable/26549652

Van Heeren, Quirine. 2019. Jiwa Reformasi dan Hantu Masa Lalu: Sinema Indonesia Pasca

Orde Baru. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta

Van Heeren, Katinka. 2012. Contemporary Indonesian Film: Spirits of Reform and ghosts from

the past. Leiden: KITLV Press

Vann, Michael G. 2020. Tropical Cold War Horror: Penumpasan Pengkhianatan

G30S/PKI and the Traumatized Culture of Suharto’s New Order. Dalam Poshek

Fu dan Man-Fung Yip (ed). The Cold War and Asian Cinemas. New York:

Routledge

Valliant, Kevin C., "Fears in Concrete Forms: Modernity and Horror in the United States; 1880-

1939." (2015). Dissertations. Paper 1539624014.

https://dx.doi.org/doi:10.21220/s2-3swn-c213

Wartenberg, Philip. Film as Philosophy. Dalam Paisley Livingston and Carl Plantinga (Ed)

Routledge Companion to Philosophy And Film. New York: Routledge

Webb, Eugene. 2009. Worldview and mind: religious thought and psychological

development. Columbia: University of Missouri Press

White, D. 1971. The Poetics of Horror: More than Meets the Eye. Cinema Journal,

10(2), 1-18. doi:10.2307/1225234

Wilger, 2016. ‘Sundelbolong’ as a Mode of Femininity: Analysis of Popular Ghost Movies

in Indonesia. Dalam Peter Braunlein. Ghost Movies in Southeast Asia and Beyond.

Pp. 101-120

Yoesoef, M. 2003. Film Horor: Definisi yang Berubah. Jurnal Wacana 5 (2), 103-113

Sumber dari Portal Berita

Sulkhan, Akhyat. (2019, 22 Oktober) Perempuan-Perempuan Tanah Jahanam yang

Malang: Spoiler Alert! [Halaman Web]. Diakses dari

https://mojok.co/terminal/perempuan-perempuan-tanah-jahanam-yang-

malang-spoiler-alert/

Putra, Andika. (2019, 18 Oktober). Review Film: Perempuan Tanah Jahanam. [Halaman

Web]: Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20191018160231-

220-440725/review-film-perempuan-tanah-jahanam.

Sobczynski, Peter. (2020, 23 Juli). Reviews: Impetigore. [Halaman Web]. Diakses dari

https://www.rogerebert.com/reviews/impetigore-movie-review-2020

Hunter, Rob. (2020, 23 Januari). The Movies We Can’t Wait to Watch at Sundance 2020.

[Halaman Web]. Diakses dari. https://filmschoolrejects.com/sundance-2020-anticipated-movies/

Maharrani, Anindhita. (2021, 7 Juni.) Orang Indonesia suka drama kurang aksi.

[Halaman Web]. Diakses dari https://lokadata.id/artikel/orang-indonesia-suka-

drama-kurang-aksi

Putri, Cantika Adinda. (2020, 1 Juli). Indonesia 'Banjir' Kelas Menengah Sampai 2030.

[Halaman Web]. Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/

20200701102431-4-169311/indonesia-banjir-kelas-menengah-sampai-2030

Iman, Dhania. (2020, 26 November). Wakili Indonesia di Oscar, Juri Oscar: Perempuan

Tanah Jahanam “Punya Nilai yang Berbeda”. [Halaman Web]. Diakses dari

https://www.voaindonesia.com/a/wakili-indonesia-di-oscar-juri-oscar-

perempuan-tanah-jahanam-punya-nilai-yang-berbeda-/5676233.html

Masa Depan Film Horor Indonesia yang Bikin ”Merinding”(2020, 29 November).

Diakses Agustus 20, 2021 dari artikel

https://www.jawapos.com/entertainment/

music-movie/29/11/2020/masa-depan-film-horor-indonesia-yang-bikin-merinding/

Data penonton. 15 Film Indonesia peringkat teratas dalam perolehan jumlah penonton

pada tahun 2017 berdasarkan tahun edar film. Diakses Agustus 20,2021.

(http://filmindonesia.or.id/movie/viewer/2017#.YR77KI4zaUk

Laraswaty, Nutty. (2020, 11 November). Impetigore Masuk Oscar?. [Halaman Web].

Diakses dari https://cinemags.co.id/impetigore-masuk-oscar/

Sumber dari Youtube

Tempodotco. 2020, 25 Oktober. Joko Anwar dan Cerita Perempuan Tanah Jahanam. [Video]

https://www.youtube.com/watch?v=tOOsmtWM5-4&t=242s

Vindes. 2021, 12 Juni. JOKO ANWAR! SUTRADARA YANG BAWA SETAN INDONESIA MENDUNIA!!!

[video]. https://www.youtube.com/watch?v=6v7xD4f_kV0

Sihab, Najwa. 2019, 25 Februari. Yang Muda Punya Gaya: Obsesi Joko Anwar Saingi Marvel.

[video]. https://www.youtube.com/watch?v=RKueSD3gLJQ

Solihun, Soleh. 2019, 26 Agustus. THE SOLEH SOLIHUN INTERVIEW: JOKO ANWAR. [Video].

https://www.youtube.com/watch?v=jO_MOKLRHfM&t=3424s

Podcast:

Anwar, Joko. 2021. 24 Agustus 2021. Sineas dan Kritik Film Bagian 2. [Podcast].

https://open.spotify.com/episode/3KMf8Wpp0H3roQjYytz1ci?si=j_ZdZlQ0TyqALC2kkt

UNQ&context=spotify%3Ashow%3A46dHktuNYcHlaNm5kBcAeQ&dl_branch=1&nd=1

Lampiran

lampiran bagian 1. Skema Aktansial Film Perempuan Tanah Jahanam


lampiran bagian 3. Sintesis


Baca boleh, plagiat jangan

Sumber Gambar:

Watercolor vector created by rawpixel.com - www.freepik.com</a>

https://www.kaskus.co.id/thread/56c171801854f765398b4568/25-ilustrasi-hantu-indonesia-yang-lucu-dan-menggemaskan/1/?order=asc